Kelayakan Finansial Kelayakan Ekonomi 1. Penyesuaian Harga Finansial Menjadi Harga Ekonomi

171 harga tanaman kayu atau buah pada petunjuk yang telah ditetapkan atau yang berlaku. 10 Insentif pemeliharaan tanaman reboisasi akan diberikan kepada peserta yang mempunyai tanaman hidup minimal 60 persen jika 1 ha, terdapat 500 tanaman, maka yang hidup minimal 300 batang. 11 Besarnya insentif pemeliharaan ditentukan oleh: letak lokasi reboisasi, jenis tanaman dan sesuai tahap pemeliharaan. 12 Pembayaran insentif penangkar dan pemeliharaan tanaman melalui rekening kelompok. Untuk pengambilan uang sebaiknya diketahui oleh fasilitator. 13 Harus ada kesepakatan atau ada cara melindungi tanaman reboisasi dari kebakaran. Baik dibuat oleh kelompok tani dan peserta reboisasi harus patuh kepada hukum adat yang telah disepakati. 14 Kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan baik oleh petani peserta dalam kelompok, fasilitator dan pemerintahpenyedia dana.

6.4.5. Kelayakan Finansial

Tabel 55 berikut ini menyajikan hasil analisis finansial terhadap alternatif pengelolaan eks-areal HPH. Dari sudut pandang individu atau perusahaan, secara umum dapat dilihat bahhwa seluruh alternatif kegiatan menunjukkan kelayakan secara finansial. Dengan menggunakan selouruh kriteria NPV, IRR dan BCR alternatif 2 memberikan nilai yang paling besar. Dengan demikian pengusahaan agroforestri dengan pola 50 persen tanaman karet dan 50 persen tanaman buah dengan kombinasi tanaman sela memiliki tingkat kelayakan paling tinggi jika dibandingkan dengan alternatif lainnya. 172 Tabel 55. Ringkasan Kelayakan Hasil Analisis Finansial Alternatif Pengelolaan Lahan pada Eks-Areal HPH. No Pengelolaan Analisis Finansial NPV Rp 000 IRR BC 1 Alternatif Pengelolaan 1 59 862 052.42 19.29 1.44 2 Alternatif Pengelolaan 2 69 338 096.16 52.00 7.83 3 Alternatif Pengelolaan 3 19 327 533.94 28.00 3.41 Sumber : Hasil Analisis Finansial, 2006 6.4.6. Kelayakan Ekonomi 6.4.6.1. Penyesuaian Harga Finansial Menjadi Harga Ekonomi 1 Penyesuaian pembayaran transfer langsung yakni menghapus pembayaran transfer langsung dalam budget, meliputi: pembayaran untuk atau dari pemerintah pajak dan subsidi 2 Penyesuaian harga finansial menjadi harga ekonomi a. penyesuaian harga output alternatif pengelolaan, diasumsikan bahwa output yang dihasilkan merupakan komoditas yang diperdagangkan seperti: karet segar, kayu komersial, buah durian dan buah nenas dimana harga F.O.Bbiaya produksi domestik. cara penyesuaian beberapa barang dijelaskan pada Kotak 2. Sedangkan untuk penilaian produksi kelapa sawit tandan buah segar TBS diasumsikan sebagai barang yang tidak diperdagangkan dan menerima harga pasar secara langsung. b. Dalam penilaian tenaga kerja diasumsikan bahwa upah yang berlaku di pedesaan sekitar eks-areal HPH sama dengan nilai produksi marginalnya, yakni nilai tambahan produksi yang dapat dihasilkan oleh seorang tenaga kerja tambahan. c. Harga bayangan shadow price dari tanah adalah nilai sewa tanah 173 Kotak 2 : Cara menyesuaikan harga finansial menjadi harga ekonomi Dalam analisis ekonomi digunakan nilai devisa bayangan, dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Devisa bayangan = devisa resmi x 1 + premi devisa Dengan asumsi bahwa premi devisa adalah 20 persen dan kurs resmi adalah Rp 9 000USD, maka diperoleh nilai devisa bayangan: Rp 9 000 x 1 + 0.2 = Rp 10 800 Penyesuaian harga komoditas utama dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: Buah durian, dapat dikategorikan sebagai komoditas ekspor dimana harga f.o.b harga produksi domestik Jika digunakan harga f.o.b durian Jakarta, 2005 adalah US 2.78kg, maka nilai ekonomi durian adalah: US 2.78 x devisa bayangan US 2.78 x Rp 10 800 = Rp 30 000kg Harga buah nenas, juga dapat dikategorikan sebagai komoditas ekspor dimana harga f.o.b harga produksi domestik Jika digunakan harga f.o.b nenas US 1.42kg BPS; Subdit Analisa dan Informasi Pasar; Dit. PI, 2005, maka nilai ekonomi nenas adalah: US 1.42 x devisa bayangan US 1.42 x Rp 10 800 = Rp 15 379kg Harga getah damar juga dikategorikan sebagai komoditas ekspor dimana harga f.o.b harga produksi domestik Jika digunakan harga f.o.b getah damar US 1.10kg PT. Javiar Cahaya Gemilang, 2006, maka nilai ekonomi getah damar adalah: US 1.10 x devisa bayangan US 1.10 x Rp 10 800 = Rp 11 880kg

6.4.6.2. Nilai Manfaat Rehabilitasi

Nilai manfaat rehabilitasi menunjukkan kesediaan individu membayar guna memulihkan ekosistem hutan yang terdapat di eks-area HPH bagi penggunaan di masa depan. Nilai ini menjadi sangat penting mengingat status eks- areal HPH merupakan hutan produksi dimana alternatif pemanfaatan yang kuat, apakah di pertahankan atau dilakukan penggunaan lahan. Tanpa memperhitungkan nilai partisipasi kerja yang diberikan oleh responden, diperoleh WTP rata-rata tiap rumah tangga sebesar Rp 4 459bulan. Jumlah ini merupakan porsi yang sangat kecil dari pendapatan setiap rumah tangga. Jika nilai WTP ini digunakan untuk mengestimasi total WTP populasi, 174 diperoleh nilai konstan sebesar Rp 542 143 056tahun. Secara agregat, dalam jangka waktu 30 tahun dengan tingkat diskonto 5.4 persen, nilai sekarang atau present value PV rehabilitasi eks-areal HPH MJRT dan RKI mencapai Rp 7 153 684 052.08 Tabel 56. Tabel 56. Nilai Ekonomi Rehabilitasi Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS, Gabungan Penyangga-1 Penyangga-2 Indikator Tanpa Partisipasi Kerja Dengan Partisipasi Kerja WTP Sampel Rata-rata RpRTBln 1 4 459.00 74 824.00 Nilai Konstan RpTahun 2 542 143 056.00 9 097 401 216.00 Present Value Rp 3 7 153 684 052.08 120 041 994 956.88 Nilai Ekonomi per Ha Rp 4 476 702.52 7 999 279.98 Nilai Ekonomi per Ha US 5 52.97 888.81 Keterangan : 1 diperoleh dari hasil survey, dengan tingkat akurasi mencapai 80.76. 2 merupakan total WTP populasi yakni perkalian a dengan jumlah populasi di kedua zona 28 090 RT dan 12 bulan 3 Present value selama 30 tahun dan tingkat diskonto 6.4 persen 4 Hasil c dibagi dengan luas kawasan total eks-areal HPH MJRT+RKI yang dikategorikan sebagai lahan kritis yakni 15 006.6 hasil analisis spasial dengan menggunakan citra landsat tahun 2005 dan 2002 5 Hasil d dibagi dengan kurs US terhadap Rp, yakni Rp 9 000US Sumber : Data Primer, 2005 diolah Sedangkan jika nilai partisipasi kerja dimasukkan dalam perhitungan, maka WTP rata-rata menjadi Rp 74 824bulan. Penggunaan nilai ini untuk mengestimasi total WTP populasi maka diperoleh nilai konstan sebesar Rp 9 097 401 216tahun dengan nilai sekarang PV dalam jangka waktu 30 tahun pada tingkat diskonto 6.4 persen sebesar Rp 120 041 994 956.88. Nilai yang digunakan dalam perhitungan adalah nilai ekonomi per ha terhadap luas total lahan kritis di eks-areal MJRT dan RKI yang memperhitungkan “partisipasi kerja”, yakni sebesar Rp 799 279.98 atau setara dengan US 888.81 2 .. Nilai ini secara rasional sangat bisa diterima mengingat keterbatasan pendapatan budget 2 Estimasi terhadap nilai preservasi hutan sekitar Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan oleh NRMP 1996, mendapatkan nilai sebesar US 30ha. Estimasi nilai preservasi hutan di Costa Rica memperoleh nilai US 2 500 per ha. Demikian pula estimasi Taman National Khao Yai di Thailand yang menempatkan nilai preservasi sekitar US 400ha. 175 constrain sehingga masyarakat kurang memiliki keinginan untuk membayar kontribusiiuran dalam bentuk uang kas in cash tapi lebih banyak memilih memberikan kontribusi dalam bentuk tenaga dalam suatu kegiatan partisipasi kolektif in kind. Dalam menganalisis nilai sampel rata-rata terhadap populasi rumah tangga, asumsi kunci yang digunakan bahwa sampel merupakan representatif dari keseluruhan populasi. Hal ini berarti seluruh WTP rumah tangga, rata-rata memberikan jumlah yang sama untuk preservasi eks-areal HPH, walaupun secara spesifik estimasi dari keseluruhan survei rumah tangga dapat berbeda dari estimasi yang dilakukan. Dari kegiatan survei lapangan juga diperoleh masukan mengenai kesan mereka terhadap tingkat pemahaman responden tersebut. Berdasarkan pada semua faktor tersebut, dipercaya bahwa responden memahami apa yang ditanyakan kepada mereka mengenai nilai preservasi. Jawaban responden terhadap pertanyaan yang diajukan dalam survei, sebagaian besar cukup logis. Hal ini menunjukkan bahwa jawaban yang diberikan selama survei adalah konsisten dan dapat dipercaya. Perlu dicatat beberapa perbedaan penting antara WTP sampel gabungan dengan WTP masing-masing Zona. Sebagai contoh, responden di Zona-2 yang memiliki jarak yang lebih dekat dengan eks-area HPH dibandingkan dengan responden di Zona-1 secara umum memiliki WTP yang lebih kecil. Responden juga memiliki perbedaan dalam menyikapi kegiatan preservasi eks-area HPH di masing-masing zona, tergantung dari karakteristik sosial ekonomi responden. 176

6.4.6.3. Kriteria Kelayakan

Pada Tabel 57 disajikan ringkasan hasil analisis ekonomi yang memperlihatkan kelayakan masing-masing alternatif pengelolaan lahan kritis yang berbasis preferensi masyarakat. Semua alternatif menunjukkan kriteria kelayakan yang dapat memberikan dampak positif. Hasil ini menunjukkan bahwa penerapan sistem agroforestri dalam upaya pengelolaan lahan kritis di eks-areal hutan konsesi dapat diterima, tidak saja memiliki potensi untuk meningkatkan jasa ekosistem kawasan hutan tetapi juga memberikan manfaat kepada masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan.. Alternatif pengelolaan-2, yakni penerapan sistem agroforestri dalam pengelolaan lahan kritis di sekitar eks-areal HPH dengan komposisi tanaman 50 persen tanaman karet, 50 persen tanaman buah dan tanaman sela menunjukkan tingkat kelayakan paling tinggi. Nilai NPV selama jangka waktu 30 tahun pada suku bunga riil sebesar 6.4 persen adalah sebesar Rp 791 608 786.53 artinya masyarakat mendapat keuntungan bersih sebesar nilai tersebut. Nilai IRR=34.47 persen menunjukkan sampai tingkat bunga tersebut, kredit utuk membiayai usahatani masih menguntungkan. Sedangkan nilai rasio BC=4.16 yang berarti keseluruhan nilai manfaat bersih sekarang yang diterima masyarakat empat kali lebih besar dari keseluruhan nilai biaya sekarang yang dikeluarkan. Tabel 57. Ringkasan Hasil Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Lahan Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS No Pengelolaan Kriteria Investasi NPV Rp IRR BC 1 Alternatif Pengelolaan-1 216 985 175.07 16.15 2.06 2 Alternatif Pengelolaan-2 791 608 786.53 34.47 4.16 3 Alternatif Pengelolaan-3 609 985 752.43 22.58 3.56 Sumber: Hasil Analisis Ekonomi, 2006 177 Alternatif pengelolaan-3, dengan komposisi tanaman 70 persen tanaman kayu, 30 persen tanaman buah dan tanaman sela menempati urutan kedua. nilai NPV=Rp 609 985 752.43 artinya masyarakat mendapat keuntungan bersih sebesar nilai tersebut selama jangka waktu analisis 30 tahun, pada suku bunga riil sebesar 6.4 persen. Sementara nilai rasio BC=3.56 berarti keseluruhan nilai manfaat bersih sekarang yang diterima masyarakat lebih besar dari keseluruhan nilai biaya sekarang yang dikeluarkan. Nilai IRR=22.58 persen menunjukkan sampai tingkat bunga tersebut kredit usahatani masih menguntungkan. Berdasarkan nilai NPV pula alternatif pengelolaan-1 yakni pola usahatani dengan komposisi tanaman 50 persen karet, 50 persen kayu dan tanaman sela merupakan alternatif pengelolaan yang memberikan keuntungan bersih paling kecil yakni dengan NPV=Rp 216 985 175.07 artinya masyarakat mendapat keuntungan bersih sebesar nilai tersebut selama jangka waktu analisis 30 tahun, pada suku bunga riil sebesar 6.4 persen. Sementara nilai rasio BC=2.06 berarti keseluruhan nilai manfaat bersih sekarang yang diterima masyarakat lebih besar dua kali lipat dari keseluruhan nilai biaya sekarang yang dikeluarkan. Namun nilai IRR=16.15 persen menunjukkan sampai tingkat bunga tersebut kredit usahatani masih menguntungkan. Jika menggunakan suku bunga nominal yang berlaku saat ini 16 persen, maka nilai IRR tersebut menunjukkan bahwa usahatani ini relatif lebih berat diusahakan melalui pembiayaan kredit.

6.4.6.4. Hasil Analisis Sensitivitas

Hasil analisis ekonomi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa alternatif pengelolaan-2 memiliki kelayakan ekonomi yang paling tinggi. Namun, hasil ini belum cukup memberikan informasi mengenai pengaruh perubahan variabel-variabel ekonomi. Hasil analisis sensitivitas sangat membantu dalam memberikan rekomendasi ekonomi yang diperlukan untuk penerapan sistem 178 agroforestri dalam upaya rehabilitasi lahan kritis eks-areal HPH di sekitar zona penyangga TNKS. Hasil akhir analisis sensitivitas disajikan pada Tabel 59. Pada Tabel 58 dapat dilihat, jika menggunakan perubahan nilai NPV sebagai kriteria dalam pengambilan keputusan, maka sehubungan dengan penerapan alternatif pengelolaan-2, Skenario-2A1 menghasilkan peningkatan yang paling tinggi dibandingkan dengan skenario lainnya yakni sebesar 56.54 persen. Hasil simulasi ini memiliki makna bahwa penambahan luas lahan seluas 1 ha akan memberikan peningkatan keuntungan bersih dalam jangka waktu 30 tahun pada tingkat suku bunga 6.4 persen sebesar 56.54 persen. Penambahan luas lahan ini tidak begitu sulit dilakukan mengingat potensi lahan kritis di eks-areal HPH masih cukup luas, yakni sekitar 15 000 ha. Alternatif pengelolaan-2 juga memiliki kepekaan terhadap resiko terjadinya inflasi bahkan berpengaruh positif bagi peningkatan NPV. Jika terjadi peningkatan inflasi sebesar 2 persen dari inflasi sekarang 9 persen per tahun mengakibat kenaikan NPV sebesar 48.92 persen. Kenaikan ini terutama disebabkan oleh peningkatan penerimaan usahatani karena adanya kenaikan harga secara umum termasuk harga output yang dihasilkan dari usahatani. Sebaliknya jika terjadi penurunan inflasi pada 2 persen mengakibatkan penurunan penerimaan yang pada gilirannya akan mengurangi NPV. Implikasinya adalah kebijakan pemerintah dalam menstabilkan perekonomian dimana inflasi sebagai indikatornya sangat membantu pengembangan agroforestri pada eks-areal HPH di sekitar zona penyangga TNKS. Sedangkan faktor yang dapat mengakibatkan penurunan NPV yang perlu diwaspadai adalah peningkatan biaya produksi Hasil analisis sensitivitas yang terangkum dalam Skenario-2A2 menunjukkan jika terjadi peningkatan total biaya produksi sebesar 5 persen akan mengakibatkan penurunan NPV sebesar 36.5 179 persen. Oleh karena itu ketersediaan faktor-faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja dan pupuk sngat mendukung pengembangan alternatif pengelolaan-2. Tabel 58. Ringkasan Hasil Analisis Sensitivitas Alternatif Pengelolaan Lahan Kritis di Eks-Areal HPH di Sekitar Daerah Penyangga TNKS Alternatif Pengelolaan NPV Rp PeningkatanPenurunan Alternatif -1 Kondisi Sebelum Simulasi 216 985 175.07 Skenario-1A1 328 022 973.57 51.17 Skenario-1A2 106 556 214.12 -50.89 Skenario-1B1 206 956 405.40 -4.62 Skenario-1B2 227 013 944.74 4.62 Skenario-1C1 168 553 249.21 -22.32 Skenario-1C2 275 064 025.71 26.77 Skenario-1D1 356 735 792.62 64.41 Skenario-1D2 125 677 432.70 -42.08 Alternatif -2 Kondisi Sebelum Simulasi 791 608 786.53 Skenario-2A1 1 239 218 455.72 56.54 Skenario-2A2 502 709 476.41 -36.50 Skenario-2B1 776 739 742.09 -1.88 Skenario-2B2 803 814 526.62 1.54 Skenario-2C1 645 189 744.73 -18.50 Skenario-2C2 949 778 081.94 19.98 Skenario-2D1 1 178 853 224.25 48.92 Skenario-2D2 519 478 462.29 -34.38 Alternatif -3 Kondisi Sebelum Simulasi 609 985 752.43 Skenario-3A1 916 812 558.45 50.30 Skenario-3A2 302 757 941.66 -50.37 Skenario-3B1 598 441 728.61 -1.89 Skenario-3B2 621 529 776.25 1.89 Skenario-3C1 489 882 335.02 -19.69 Skenario-3C2 753 098 750.39 23.46 Skenario-3D1 953 167 163.83 56.26 Skenario-3D2 381 837 082.75 -37.40 Keterangan : A1 : Skenario Jika Penambahan Luas Lahan Setiap Hektar A2 : Skenario Jika Pengurangan Luas Lahan Setiap Hektar B1 : Skenario Jika Biaya Produksi Meningkat 5 B2 : Skenario Jika Biaya Produksi Menurun 5 C1 : Skenario Jika Suku Bunga Nominal Naik 1 C2 : Skenario Jika Suku Bunga Nominal Turun 1 D1 : Skenario Jika Inflasi Naik 2 D2 : Skenario Jika Inflasi Turun 2 Sumber: Data Primer, 2006 diolah 180 Berikut ini dibahas penampilan masing-masing variabel berkaitan dengan hasil simulasi yang mengakibatkan perubahan nilai NPV: 1. Luas Lahan Penambahan luas lahan 1 ha mengakibatkan kenaikan nilai NPV pada semua alternatif pengelolaan. Dengan demikian variabel luas lahan memiliki kepekaan yang tinggi di mana penambahan luas lahan dalam program rehabilitasi lahan kritis di eks-areal HPH sekitar zona penyangga TNKS memberikan dampak yang positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penambahan luas lahan dalam kegiatan rehabilitasi sangat memungkinkan mengingat ketersediaan lahan berupa alang-alang, lahan kosong dan semak belukar di eks-areal HPH di sekitar zona penyangga TNKS masih cukup luas dan bisa dimanfaatkan. Jika dilihat lebih seksama berkaitan dengan skenario penambahan luas lahan, skenario-2A1 merupakan skenario yang memberikan persentase peningkatan NPV paling tinggi yakni sebesar 56.54 persen. Ini mengandung pengertian jika dilakukan penambahan luas lahan seluas 1 ha pada alternatif pengelolaan lahan kritis di eks-areal HPH di sekitar kawasan penyangga yakni sistem pengelolaan agroforestri dengan kombinasi 50 persen tanaman karet dan 50 persen tanaman buah akan memberikan peningkatan nilai bersih sekarang sebesar 56.54 persen. Dengan demikian, skenario 2A1 akan memberikan dampak positif paling besar bagi masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan jika dibandingkan dengan kedua alternatif lainnya. 2. Biaya Produksi Pengaruh perubahan biaya produksi tidak terlalu besar mempengaruhi perubahan NPV. Hasil analisis menunjukkan jika terjadi kenaikan atau penurunan 181 biaya produksi sebesar 5 persen akan mengakibatkan terjadinya kenaikan dan penurunan nilai NPV untuk setiap alternatif pengelolaan antara 1-5 persen. Hasil ini memberikan informasi bahwa pengunaan faktor-faktor produksi dalam penerapan sistem agroforestri relatif tidak terlalu intensif jika dibandingkan dengan usahatani lainnya yang menerapkan pola monokultur. Berkaitan dengan pengaruh perubahan biaya produksi, secara khusus dapat dijelaskan bahwa skenario-1B memiliki kepekaan yang relatif tinggi jika dibandingkankan dengan skenario lainnya yakni antara 4 hingga 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa alternatif-1 yakni sistem pengelolaan agroforestri dengan kombinasi 70 persen tanaman kayu + 30 persen tanaman sela relatif lebih rentan terhadap kenaikan biaya produksi. Hal ini dimungkinkan mengingat pengusahaan tanaman kayu bukanlah kultur masyarakat sekitar eks-areal HPH sehingga biaya produksi yang dikeluarkan terutama biaya tenaga kerja lebih banyak digunakan. 3. Suku bunga nominal Kenaikan suku bunga nominal berpengaruh negatif terhadap pencapaian NPV masing-masing alternatif pengelolaan. Jika diasumsikan terjadi kenaikan suku bunga nominal sebesar 1 persen dari tingkat suku bunga yang berlaku ketika dilakukan penelitian yakni sebesar 16 persen, menunjukkan terjadi penurunan nilai NPV antara 18 persen hingga 27 persen untuk setiap alternatif pengelolaan. Dengan demikian kebijakan penurunan suku bunga nominal akan memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan dalam program rehabilitasi lahan kritis di eks-areal HPH di sekitar zona penyangga TNKS. Simulasi dengan menggunakan variabel suku bunga nominal menunjukkan bahwa skenario-1C pada alternatif-2 relatif lebih peka jika dibandingkan dengan 182 hasil yang diperoleh dari simulasi perubahan suku bunga pada 2 alternatif pengelolaan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan alternatif-1 relatif memiliki resiko yang lebih besar jika terjadi perubahan suku bunga nominal. Jika terjadi peningkatan suku bunga nominal sebesar 1 persen, maka akan mengakibatkan penurunan NPV sekitar 22 persen. 4. Tingkat Inflasi Jika terjadi peningkatan inflasi sebesar 2 persen dari tingkat inflasi yang terjadi sewaktu dilakukan penelitian yakni sebesar 9.06 persen, maka akan mengakibatkan nilai NPV untuk setiap alternatif pengelolaan mengalami peningkatan. Sebaliknya jika tingkat inflasi mengalami penurunan sebesar 2 persen, maka akan mengakibatkan nilai NPV mengalami penurunan. Dengan demikian peningkatan inflasi berpengaruh positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam upaya rehabilitasi lahan kritis eks-areal HPH di sekitar zona penyangga TNKS. Berkaitan dengan resiko inflasi, skenario-1D yakni kenaikan dan penurunan inflasi memberikan nilai kepekaan yang paling tinggi dibandingkan dengan skenario lainnya. Pada skenario-1D1, jika terjadi inflasi sebesar 2 persen, akan meningkatkan nilai NPV sebesar 64.41 persen. Hal ini bisa terjadi karena kenaikan inflasi akan meningkatkan harga output yang pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan. Namun, jika tingkat inflasi menurun Skenario-1D2, maka akan mengakibatkan nilai NPV mengalami penurunan sebesar –46.69 persen. Hasil ini menunjukkan bahwa alternatif-1 relatif lebih sensitif dan memiliki resiko lebih besar jika dibandingkan dengan kedua alternatif lainnya.

VII. SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan

1. Perubahan fisik kawasan hutan eks-areal hutan konsesi di sekitar daerah penyangga TNKS telah mengakibatkan pengurangan luas tutupan hutan di kawasan ini tidak saja akibat penggunaan lahan paska pengelolaan HPH tetapi juga sejak masih dalam pengelolaan HPH. Jenis penggunaan lahan yang dominan antara lain adalah: perkebunan kelapa sawit swasta, ladangkebun masyarakat, dan penggunaan lahan oleh masyarakat di sekitar kawasan yang memperbanyak luasan semak belukar, tanah terbuka dan alang-alang. 2. Kondisi topografi, terbukanya akses ke dalam kawasan hutan dan kurangnya pengawasan merupakan faktor utama yang mendorong terjadinya penggunaan lahan eks-areal HPH di sekitar daerah penyangga TNKS. Hal ini terlihat dari jenis penggunaan lahan terhadap hutan bekas tebangan yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan primer. 3. Pada eks-areal HPH yang berjarak relatif jauh dengan kawasan TNKS, tidak ditemukannya adanya penggunaan lahan yang telah memasuki kawasan TNKS. Sedangkan pada eks-areal HPH yang relatif dekat dengan kawasan TNKS, penggunaan lahan untuk perkebunan tanaman komersial dan ladang masyarakat telah masuk cukup jauh ke kawasan TNKS, sehingga menimbulkan tekanan terhadap kawasan lindung ini. 4. Biaya imbangan opportunity cost penggunaan lahan bekas tebangan menjadi perkebunan kelapa sawit yang dikelola swasta merupakan yang paling besar, yakni mencapai Rp 191 427 700hatahun. Sementara biaya imbangan penggunaan lahan hutan bekas tebangan menjadi ladangkebun masyarakat,