Keterkaitan antar wilayah KERANGKA TEORITIS

wilayah, sistem produksi yang kompetitif bahkan mengindikasikan tingkat produksi, ketenagakerjaan dan pendapatan riil yang tinggi. 2. Transfer publik yang besar menghasilkan peningkatan pada pendapatan, tetapi tidak meningkatkan produksi lokal. Dalam hal ini, pertumbuhan dibiayai oleh wilayah lain, pendapatan tidak menggambarkan kapasitas riil dari produksi lokal. Jika arus dana luar berhenti, sebagai akibat dari keputusan politik atau karena krisis ekonomi nasional, pertumbuhan wilayah dapat terhenti dan tidak mampu untuk melakukan perbaikan ekonomi secara spo ntan. Kondisi makroekonomi yang mengiringi pola pembangunan seperti ini, cenderung memiliki tingkat daya saing loka l yang terbatas yang terkait denga n pengangguran dan stagnasi. 3. Arus masuk kapital antarwilayah untuk pembayaran aset kepemilikan seperti tanah dan bangunan, yang meningkatkan kemakmuran wilayah yang dipegang dalam bentuk likuiditas dan dapat menciptakan pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi. Akan tetapi, dalam kasus ini dalam keseimbangan makroekonomi masih dapat menyembunyikan kondisi pengangguran dan stagnasi. 4. Arus masuk kapital antar wilayah untuk kegiatan investasi langsung dalam wilayah, dengan dampak positif terhadap produk domestik bruto akibat investasi riil yang lebih besar merangsang lapangan pekerjaan dan kapasitas produksi riil wilayah tersebut. Pada kondisi ini dimana keseimbangan pos itif tercipta, terdapat kecenderungan tidak ada masalah pengangguran terutama dalam jangka panjang. 5. Arus masuk kapital dalam bentuk pembiayaan jangka pendek memberikan dampak terhadap peningkatan volume impor. Masalah makroekonomi yang mungkin tersembunyi pada kasus ini tidak terlalu jelas. Dalam teor i-teori berikut, terlihat bagaimana kondisi diatas menjadi pengganti model pertumbuhan lokal. Teori pertama, teori export-base menjelaskan bahwa pertumbuhan sangat bergantung pada daya saing sistem produksi lokal kasus 1, peningkatan pada ekspor akan meningkatkan tingkat pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Model berikutnya yang dikembangkan oleh Harrod Domar menekankan pada pentingnya arus masuk tabungan dan kapital bagi pertumbuhan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja, konsep pemikiran model ini berkaitan dengan kasus 3, 4 dan 5. Sementara itu Hukum Thirlwall mengingatkan bahwa pembangunan dapat terhambat oleh kondisi negatif dari neraca perdagangan, jika ekspor merupakan satu-satunya sumber pembiayaan impor, seperti pada kasus 1. Pada pertengahan tahun 1960-an, Williamson menyampaikan pemikiran bahwa pembangunan melalui berbagai tahapan dan menganalisis bagaimana disparitas wilayah muncul dalam suatu negara. Dalam tesisnya, Williamson menuliskan bahwa pembangunan pada awal tahapan terkonsentrasi dan terpusat di wilayah pusat negara, da n pernyataan ini diterima oleh berba ga i eko nom wilayah. Hanya kemudian, terjadi penyebaran ke wilayah yang lebih peripheral dan ke sektor lain yang lebih lemah. Akibat dari pembangunan dengan dua kecepatan tersebut adalah terjadi gap yang semakin lebar pada fase awal dari pembangunan ekonomi suatu negara, dan kemudian gap tersebut berkurang ketika pendapatan nasional mencapai level tertentu. Alasan terjadinya gap yang semakin lebar antara wilayah yang kuat dan lemah pada fase awal pembangunan terkait dengan dampak crowding-out yang lebih menguntungkan ekonomi yang kuat dibandingkan yang lemah Capello, 2007. Alasan-alasan tersebut adalah: 1. Imigrasi tenaga kerja terlatih dari ekonomi wilayah yang lemah ke ekonomi wilayah yang kuat. 2. Arus kapital ke wilayah yang lebih kaya, dimana terdapat permintaan yang lebih tinggi dengan adanya ketersediaan infrastruktur, jasa, potensi pasar dan kondisi lingkungan yang lebih baik bagi perusahaan. 3. Bagian alokasi yang lebih besar dari investasi publik ke sektor yang kuat, sebagai respon terhadap permintaan aktual dan potensial. 4. Perdagangan antar wilayah yang terbatas dalam hal sumberdaya, sehingga pada tahap awal, wilayah yang kaya tidak dapat memberikan daya dorong terhadap wilayah yang miskin. Walaupun secara empiris terbukti bahwa ketimpangan wilayah meningkat pada tahapan awal pembangunan, akan tetapi hal tersebut tidak membuktikan hipotesis bahwa perbedaan pada tingkat pertumbuhan semakin berkurang. Teori tersebut seolah-olah bersifat optimis terhadap interpretasinya mengenai disparitas yang dianggap sebagai suatu hukum yang alami, tertentu dan universal. Kemajuan teknologi, perubahan sosial dan evolusi pengetahuan, adalah merupakan faktor yang mungkin dapat meningkatkan kapasitas suatu wilayah untuk menarik kapital dan tenaga kerja dari wilayah yang lebih lemah, dan untuk memperoleh investasi publik di bidang sosial kapital modern dan infrastruktur contoh: bandara dan kereta api kecepatan tinggi. Terdapat kecenderungan bahwa pembangunan pada wilayah yang lebih lemah didasarka n pada ind ustri tradisional yang hanya memerluka n proses prod uksi yang sifatnya non inovatif dengan teknologi yang standar seperti yang tertuang dalam teori life-cycle. Ketimpangan antara wilayah pemimpin leader dan pengikut follower dapat terus terjadi dalam hal kualitas, ketimbang kuantitas. Dalam menganalisa ketimpangan wilayah Tadjoeddin, et al. 2001 melakuka n pe mbedaan yang jelas antara ko nsep output wilayah yang menggunakan pendekatan wilayah area approach dan kesejahteraan masyarakat community welfare yang menggunakan pendekatan rumahtangga household approach. O utput wilayah direpresentasikan oleh indikator Pendapatan Domestik Regional Bruto PDRB per kapita, sementara kesejahteraan masyarakat dilihat dari beberapa indikator, yaitu konsumsi pengeluaran konsumsi rumahtangga per kapita, pendidikan tingkat melek huruf dan rata-rata lama bersekolah, kesehatan angka harapan hidup dan angka komposit Indekss Pembangunan Manusia IPM. Dengan demikian, ketimpangan regional bisa dilihat dari berbagai aspek, untuk lebih memperjelas ketimpangan atau pemerataan dalam hal apa equality of what. Pembedaan ini menjadi penting dalam upaya untuk melihat berbagai aspek pemerataan yang akan dijadikan dasar kebijakan pemerataan karena pemerataan dalam satu aspek misalnya pendapatan, belum tentu menjamin pemerataan dalam aspek lain misalnya pemerataan hak menentukan nasib sendiri. Sedangkan pemerataan kesempatan tidak secara otomatis menjamin pemerataan pendapatan. Masalah kesenjangan antar wilayah dapat ditelaah dengan melihat potensi sumberdaya alam, kegiatan ekonomi, pola investasi, pola penggunaan lahan, penduduk dan ketenagakerjaan, kelembagaan sosial budaya dan ekonomi yang ada di masyarakat, sarana dan prasarana dan sebagainya. Dari hasil penelahaan tersebut dapat diperoleh gambaran mengenai faktor- faktor penyebab terjadinya masalah kesenjangan baik antar wilayah maupun sektoral yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menetapkan strategi kebijakan pembangunan yang dapat dirumuskan sebagai dasar bagi penentuan rangkaian program-program dan kegiatan-kegiatan pembangunan yang diperlukan berikut sasaran dan besarannya. Oleh karena itu menurut Tadjoeddin, et al. 2001, mengantisipasi kesenjangan dan ketimpangan pembangunan antar kabupaten perlu dikembangkan basis ekonomi di setiap kabupaten. Adisasmita 1989 melihat perlunya perpaduan dua sasaran pembangunan yaitu membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional to promote growth in the national economy dan memperbaiki ketidakserasian sebagai akibat disparitas dari antarwilayah to handle inequality resulting from large interregional disparities. Maka yang menjadi sasaran pertama adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi yang harus diperbandingkan dengan pengaruh peningkatan kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi secara wilayah atau yang terjadi di berbagai lokasi. Selanjutnya Umar 2001 menekankan perlunya investasi modal publik guna memacu arus komoditi baik dalam wilayah sendiri maupun antarwilayah. Perlunya keterkaitan antara sektor tradisional yang memiliki lahan dan tenaga kerja dan sektor modern yang memiliki moda l dan manajemen.

3.2. P eranan Infras truktur dalam Pembangunan Wilayah

Tingkat daerah dalam perencanaan pembangunan ekonomi bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumberdaya publik yang tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam rangka menciptakan nilai sumberdaya swasta secara bertanggung jawab Arsyad, 1999. Diharapkan perekonomian wilayah dapat mencapai keadaan perekonomian yang lebih baik pada masa yang akan datang dibanding dengan keadaan sekarang, atau minimal sama dengan keadaan ekonomi sekarang. Munculnya perencanaan pembangunan daerah sebenarnya merupakan jawaban terhadap semakin meningkatnya kesenjangan pembangunan yang terjadi antar daerah. Salah satu sumber penyebab terjadinya kesenjangan tersebut karena masih minimnya pembangunan infrastruktur secara menyeluruh. Daerah-daerah yang maju dan memiliki infrastrukt ur yang sangat memada i permintaan barang dan jasa menjadi sangat tinggi, kondisi ini akan mendorong naiknya investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan per kapita di daerah tersebut. Sebaliknya di daerah-daerah yang kurang berkembang yang sedikit memiliki infrastruktur permintaan akan investasi rendah karena pendapatan masyarakat yang rendah. Perkembangan yang tidak merata ini pada akhirnya menimbulkan backwash effect sebagai kerugian yang diderita oleh daerah-daerah yang kurang berkembang akibat adanya ekspansi ekonomi dari daerah-daerah yang maju. Seharusnya tindakan pembangunan dari suatu daerah maju dapat memberikan keuntungan bagi daerah-daerah disekitarnya, dengan kata lain ekspansi pembangunan ekonomi daerah tersebut harus dapat memberikan spread effects bagi daerah-daerah lain. Hirschman 1958 dalam Arsyad 1999 telah menegaskan bahwa jika terjadi perbedaan yang sangat jauh antara perkembangan ekonomi di daerah kaya dengan daerah miskin akan terjadi proses pengkutuban polarization effects sebaliknya jika perbedaan diantara kedua daerah tersebut menyempit, berarti telah