1975, 1980, dan 1983, menyimpulkan bahwa: Pertama, selama periode

pada tahun 1980 dan 1983, terutama karena kebijakan subtitusi impor dan kebijakan pemanfaatan produk dalam negeri yang telah dianut sejak awal dekade 1980. Ketiga, dalam tahun 1970-an pengganda reaksi yang diakibatkan oleh pembentukan modal tetap telah menurun. Keempat, orientasi pembangunan industri Indonesia selama periode 1971-1980 lebih berciri kepada industri subtitusi impor. Kelima, besarnya kebocoron impor menyebabkan produksi barang-barang modal tetap sangat kurang bersifat padat karya. Studi lainnya tentang keterkaitan antarsektor di Indonesia juga pernah dilakukan oleh Poot, Kuyvenhoven dan Jansen 1991 berdasarkan data input- ouput Indonesia tahun 1971, 1975 dan 1980. Mereka menunjukkan keterkaitan antarindustri pada perekonomian Indonesia yang dilihat melalui koe fisien backward linkage dan forward linkage, dari hasil pengamatannya menunjukkan sektor-sektor industri yang mempunyai backward linkage tinggi terutama adalah sektor industri makanan, sedangkan sektor yang memiliki forward linkage paling tinggi adalah industri kimia, peralatan kertas, pupuk dan pestisida. Berdasarkan analisis I-O, mereka juga memaparkan bahwa pembangunan industri di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap komponen impor, terutama sekali bagi sektor-sektor industri non makanan, seperti: industri baja, kertas, kendaraan bermotor, elektronik, perkapalan dan pesawat terbang, dimana semua industri ini umumnya memiliki rasio ketergantungan impor di atas 50 dan yang paling tinggi adalah industri baja dengan rasionya sebesar 0.73. Setiawan 2006 dengan menggunakan pendekatan Input-Output Multiregional Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat meneliti peranan sektor unggulan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah baik antar wilayah sendiri maupun antar wilayah. Hasil studinya menunjukkan bahwa sektor unggulan yang terpilih di masing- masing provinsi yang memiliki bobo t terbesar di masing- masing provinsi adalah sektor industri makanan, minuman, tembakau dan sektor perdagangan di Provinsi Jawa Timur sedangkan sektor hotel dan restoran serta sektor peternakan dan hasilnya, terpilih sebagai sektor unggulan di Provinsi Bali, sektor industri makanan, minuman, tembakau dan sektor hotel dan restoran terpilih di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Seandainya dibandingkan dampak dalam wilayah kedua sektor unggulan di Jawa Timur antara sektor industri makanan, minuman dan tembakau dengan sektor perdagangan, maka sektor perdagangan memiliki dampak yang lebih besar dan kuat baik itu pada pertumbuhan output, pertumbuhan nilai tambah bruto dan penciptaan lapangan kerja di Provinsi Jawa Timur. Dampak antar wilayah dari pertumbuhan sektor industri maka nan, minuman, dan tembakau di Provinsi Jawa Timur ini, terlihat lebih kuat terjadi di provinsi Nusa Tenggara Barat dibandingkan dengan Provinsi Bali, baik itu pada pertumbuhan output, pertumbuhan nilai tambah bruto dan penciptaan lapangan kerja. Sebaliknya sektor perdagangan di Provinsi Jawa Timur mempunyai dampak antar wilayah lebih kuat terjadi di Provinsi Bali dibandingkan dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat baik pada pertumbuhan output, pertumbuhan nilai tambah bruto dan penciptaan lapangan kerja. Di Provinsi Bali seandainya dibandingkan dampak antar wilayah kedua sektor unggulan antara sektor hotel dan restoran dengan sektor peternakan dan hasilnya, maka sektor hotel dan restoran memiliki dampak yang lebih besar dan kuat pada pertumbuhan output dan pertumbuhan nilai tambah bruto, sedangkan sektor peternakan dan hasilnya memberikan dampak yang lebih besar pada penciptaan lapangan kerja. Muchdie 1999 dengan mengaplikasikan model Input-Output antar daerah membahas struktur ruang perekonomian Indonesia yang dirinci menurut lima kelompok pulau besar, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Sulawesi serta Papua. Pembahasan struktur ruang difokuskan kepada pengganda total baik sektoral maupun spasial, dampak bersih baik sektoral maupun spasial dan dampak luberan serta dampak balik spasial. Analisis pengganda spasial menunjukkan bahwa secara umum pengganda yang terjadi di pulau sendiri lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi di pulau lain. Sedangkan analisis distribusi sektoral dan spasial pada dampak bersih juga menunjukkan hal yang serupa, selanjutnya analisis dampak luberan dan dampak balik dapat menjelaskan kedua hasil analisis di atas. Sumatera dan Jawa memiliki dampak luberan yang relatif kecil, hal ini berarti bahwa dampak yang terjadi di pulau sendiri jauh lebih besar dibandingkan dengan dampak luberan yang terjadi di pulau lain. Ini menunjukkan bahwa Sumatera dan Jawa relatif lebih mandiri. Nilai dampak balik yang cukup besar untuk Jawa dan Sumatera menggambarkan bahwa hasil pembangunan yang mengalir dari Jawa setelah beberapa saat akan kembali lagi ke Jawa. Hasil analisis ini mempunyai implikasi bahwa untuk merelokasikan kegiatan pembangunan diperlukan intervensi pemerintah mengingat bahwa tumpahan antar sektor dan tumpahan antar pulau tidak akan memadai. Berkaitan dengan dampak balik dan dampak t umpa han hasil- hasil analisis menjustifikasikan pemikiran bahwa kegiatan pembangunan sebaiknya difokuskan di Kawasan Timur Indonesia. Kebijakan relokasi ini bukan hanya akan menguntungkan Kawasan Timur Indonesia, tetapi bagian lain dari negara ini juga aka n tetap menikmati hasil- hasil pembangunan karena adanya keterkaitan spasial dan dampak tumpahan. Adanya konsentrasi kegiatan pembangunan di Jawa dan Sumatera akan memperburuk masalah pemerataan dalam perekonomian Indonesia. Wilayah Jawa dan Sumatera secara tradisional telah mendominasi perekonomian Indonesia, rendahnya dampak tumpahan dari kedua pulau tersebut berarti bahwa dampak bersih di Jawa dan Sumatera tidak mengalir secara memadai ke wilayah lain di Indonesia. Sebaliknya, dampak umpan balik dari pembangunan di Kawasan Timur Indonesia akan mengalir ke Jawa dan Sumatera. Dalam beberapa studi ada juga yang menerapkan model I-O untuk melihat peranan infrastruktur dalam suatu perekonomian. Sebagai misal yang dilakukan oleh Benvenuti dan Marangoni 1998 yang menggunakan multiplier I-O untuk mengukur dampak investasi dibidang konstruksi terhadap nilai tambah pada dua puluh wilayah negara Italia, hasil studinya menunjukkan bahwa: 1 efek internal lebih besar terlihat di wilayah Utara dibandingka n wilayah Selatan, sedangkan efek spill-over lebih tampak besar di wilayah Selatan dari pada Utara, 2 akibat ada perbedaan propensity to consume mengakibatkan efek total lebih besar terlihat di wilayah Selatan dari pada Utara. Di wilayah Selatan, p enduduknya lebih miskin sehingga sebagian besar pendapatan habis untuk konsumsi. Selain kedua temuan tersebut, hasil studinya yang sangat penting adalah mengenai peranan infrastruktur dalam menciptakan nilai tambah. Disini diperoleh temuan bahwa sekitar 50 nilai tambah negara Italia diciptakan oleh sektor infrastruktur, dimana sebagian besar nilai tambah tersebut dihasilkan oleh wilayah Selatan. Kondisi ini menunjukkan peranan sektor infrastruktur paling penting bagi wilayah Selatan. Studi lainnya adalah mengenai kebutuhan energi da n infrastruktur di India yang dilakuka n oleh Roy da n Mukhopa dhay 1995 , studi ini be rtuj uan untuk mengestimasi multiplier infrastruktur dan multiplier energi, yang sangat bermanfaat untuk mengevaluasi alternatif pembangunan ekonomi secara logis dan kuantitatif. Analisis multiplier sektoral menunjukkan bahwa kebutuhan energi India akan meningkat paling tinggi akibat peningkatan satu unit pada penggunaan energi di sektor pertambangan, diikuti pertanian, peralatan dan jasa lainnya. Untuk multiplier infrastruktur kebutuhan infrastruktur meningkat lebih besar pada periode 1989-1990, dibandingkan periode 1983-1984 bagi sektor pertambangan. Lebih lanjut, multiplier infrastruktur listrik merupakan yang tertinggi bagi sektor produksi energi pada periode 1989-1990 diikuti oleh infrastruktur transportasi, perlengkapan dan lain- lain. Dari studi ini kemudian dibuat formulasi kebijakan yakni maksimisasi output dan minimisasi penggunaan energi dan infrastruktur yang secara tidak langsung dapat mengurangi beban dana investasi.

III. KERANGKA TEORITIS

3.1. Keterkaitan antar wilayah

Model pertumbuhan regional, Export-Base Model, seperti Hoyt’s Model, Export-Led Keynesian dan model dinamis lainnya, mengatakan bahwa wilayah merupakan sistem ekonomi yang kecil dan oleh karena itu memiliki pasar yang terbatas bagi barang dan faktor produksi. Karena struktur produktif yang dimilikinya cenderung sangat terspesialisasi, sistem ekonomi menghasilkan barang yang berlebih akan tetapi tidak mampu memenuhi pasar lokal dengan beragam sumberdaya dan kapital, sehingga hanya dapat diperoleh dari pasar luar wilayah. Mekanisme dimana hubungan antar wilayah menent uka n tingka t out put, pendapatan dan pembentukan kapital menciptakan kondisi makroekonomi yang sangat beragam. Keseimbangan interaksi antar wilayah akan tercipta dan dapat memberikan dampak positif pada saat masing- masing wilayah dapat mengidentifikasi aset produktif spesifik yang dapat menghasilkan produk kompetitif yang mampu bersaing di pasar yang lebih serta memiliki tingkat permintaan yang dapat menembus hambatan lokal. Pada kondisi tersebut maka spesialisasi produktif merupakan faktor kunci dari pertumbuhan ekonomi lokal dan dapat dihasilkan dari kondisi wilayah yang sangat berbeda, sebagai berikut Capello, 2007: 1. Volume ekspor yang besar yang disebabkan oleh sistem produksi yang sangat kompetitif mampu membiayai impor yang diperluka n wilayah. Situasi ini menjelaskan bahwa kondisi makroekonomi yang positif membentuk karakter wilayah, sistem produksi yang kompetitif bahkan mengindikasikan tingkat produksi, ketenagakerjaan dan pendapatan riil yang tinggi. 2. Transfer publik yang besar menghasilkan peningkatan pada pendapatan, tetapi tidak meningkatkan produksi lokal. Dalam hal ini, pertumbuhan dibiayai oleh wilayah lain, pendapatan tidak menggambarkan kapasitas riil dari produksi lokal. Jika arus dana luar berhenti, sebagai akibat dari keputusan politik atau karena krisis ekonomi nasional, pertumbuhan wilayah dapat terhenti dan tidak mampu untuk melakukan perbaikan ekonomi secara spo ntan. Kondisi makroekonomi yang mengiringi pola pembangunan seperti ini, cenderung memiliki tingkat daya saing loka l yang terbatas yang terkait denga n pengangguran dan stagnasi. 3. Arus masuk kapital antarwilayah untuk pembayaran aset kepemilikan seperti tanah dan bangunan, yang meningkatkan kemakmuran wilayah yang dipegang dalam bentuk likuiditas dan dapat menciptakan pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi. Akan tetapi, dalam kasus ini dalam keseimbangan makroekonomi masih dapat menyembunyikan kondisi pengangguran dan stagnasi. 4. Arus masuk kapital antar wilayah untuk kegiatan investasi langsung dalam wilayah, dengan dampak positif terhadap produk domestik bruto akibat investasi riil yang lebih besar merangsang lapangan pekerjaan dan kapasitas produksi riil wilayah tersebut. Pada kondisi ini dimana keseimbangan pos itif tercipta, terdapat kecenderungan tidak ada masalah pengangguran terutama dalam jangka panjang.