BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara tentang feminisme, tentu saja berbicara tentang perempuan. Karena perempuan merupakan bagian dari masyarakat, maka setiap yang dilakukannya akan selalu
terkait dengan konteks sosial budaya, yaitu setiap aktivitasnya akan terkait dengan manusia lain yang ada disekitarnya . Perempuan dengan segala keunikannya seakan menjadi sumber
inspirasi yang tidak akan pernah habis. Kehidupan perempuan ternyata menarik untuk dibicarakan. Perempuan adalah sosok yang begitu unik. Di satu sisi, perempuan adalah
keindahan yang bisa membuat laki-laki tergila-gila. Akan tetapi di sisi lain, ia dianggap makhluk yang lemah dan harus tunduk pada laki-laki. Dan kelemahan tersebut dijadikan
alasan oleh laki-laki jahat untuk mengeksploitasi keindahannya. Bahkan ada anggapan bahwa perempuan itu hina, manusia kelas dua yang walaupun cantik, tetapi tidak diakui
eksistensinya. Salah satu filosof Aristoteles, Thomas Aquinas menyatakan bahwa wanita adalah laki-laki yang tidak sempurna Sugihastuti dan Suharto, 2013: 32.
Hal tersebut di atas merupakan gambaran kebudayaan di Indonesia yang masih memperlihatkan secara jelas keberpihakannya kepada kaum laki-laki. Salah satunya
kebudayaan Jawa yang menempatkan perempuan sebagai yang kedua. Hal tersebut tercermin dalam ungkapan-ungkapan yang sangat meninggikan derajat laki-laki, misalnya wanita yang
berarti
wani ditata
atau berani dan bersedia ditata atau diatur dan swarga
nunut neraka katut
yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan istri hanya tergantung pada suami merupakan contoh ketiadaan peran perempuan dalam keluarga.
Perempuan rata-rata memiliki banyak kesulitan dalam menemukan kedudukannya atau mungkin bahkan takut karena mereka berfikir bahwa yang mencari nafkah adalah laki-
laki, dan dalam menentukan sikap memecahkan kesulitan masalah-masalah yang muncul perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
dalam kehidupannya. Di satu sisi, perempuan dihadapakan dengan persoalan rumah tangga, di sisi yang lain, ia dihadapkan pada masalah-masalah yang yang berhubungan dengan hak,
kewajiban dan hukum. Perempuan yang ingin menemukan eksistensinya terkadang dipandang sebagai bentuk pembangkangan oleh sebagian orang yang masih dilingkupi
pemikiran patriarkis. Padahal, perempuan hanya ingin menemukan jati dirinya, membentuk, dan mengembangkan kesadaran bahwa ada potensi nonfisik yang harus dikembangkan dalam
eksistensi dirinya sebagai manusia. Dalam sistem patriarki, hubungan antara laki-laki dan perempuan bersifat hierarkis,
yaitu kaum laki-laki berada dalam kedudukan puncak dan mendominasi kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan berada pada kedudukan di bawahnya atau subordinat. Kaum
laki-laki berhak menentukan kedudukan kaum perempuan, sebaliknya kaum perempuan tidak dapat menentukan kedudukan kaum laki-laki. Adanya hubungan yang bersifat hierarki
tersebut menimbulkan kerugian di pihak kaum perempuan. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang
dan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti dibentuk, diperkuat, disosialisasikan, dan dikonstruksikan secara sosial dan kultur melalui ajaran keagamaan maupun negara.
Perbedaan gender pada dasarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan
gender inequalities
ketidakadilan gender. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah ternyata perbedaan gender telah menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan
utamanya terhadap kaum perempuan. Hal ini terjadi karena masyarakat kurang mengerti perbedaan gender dan perbedaan jenis kelamin. Proses yang panjang menyebabkan sosialisasi
gender tersebut, akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan yang seolah-olah bersifat biologis dan tidak dapat diubah lagi. Perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat
perempuan dan kodrat laki-laki yang secara perlahan-lahan mempengaruhi kondisi biologis masing-masing jenis kelamin tersebut Fakih, 2012: 10.
commit to user
Berbagai persoalan perempuan yang berhubungan dengan masalah kesetaraan gender ini selanjutnya mengundang simpati yang cukup besar dari masyarakat luas karena dianggap
erat kaitannya dengan persoalan keadilan sosial dalam arti lebih luas Nugroho, 2008: 28. Dewasa ini, berbagai ketimpangan gender yang dialami oleh kaum perempuan tersebut
tengah dipersoalkan an digempur oleh suatu gerakan yang disebut gerakan feminisme. Gerakan ini berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama
gender, pencaian akar ketertindasan perempuan, hingga upaya penciptaan pembebasan perempuan. Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa feminisme merupakan
sebuah ideologi pembebasan perempuan, karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya
Humm, 2002: 158. Dalam kaitannya dengan karya sastra dan dalam penelitian ini adalah novel,
feminisme berkaitan erat dengan kritik sastra feminisme yakni kajian karya sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam
memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya. Pengkritik memandang sastra dengan kesadaran, khusus adanya jenis kelamin yang
berhubunga dengan sastra, budaya, dan kehidupan Djajanegara, 2000: 22. Ketidakadilan gender tidak hanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari saja, tetapi juga
dalam dunia sastra. Seringkali perempuan dijadikan tokoh yang menjadi objek kekerasan dalam karya sastra tersebut. Karya sastra sebagai dunia imajinatif merupakan media
tumbuhnya subordinasi perempuan. Karya sastra seolah-olah hanya ditujukan untuk pembaca laki-laki. Kalaupun ada pembaca perempuan, ia dipaksa membaca sebagai seorang laki-laki
Sugihastuti dan Suharto, 2013: 32. Bentuknya dapat berupa pornografi dan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini merupakan petunjuk adanya anggapan yang negatif terhadap
perempuan atau adanya pendefinisian perempuan dengan menggunakan standar yang dimiliki perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
laki-laki. Hal ini berhubungan dengan adanya salah kaprah tentang konsep gender dan jenis kelamin.
Salah satu gambaran ketertindasan perempuan Indonesia dituturkan secara jelas oleh Pramudya Ananta Toer dalam novel “Bumi Manusia”. Dalam novel tersebut, Pramudya
mengisahkan seorang perempuan pribumi bernama Sanikem. Ayah Sanikem yang bernama Sastrotomo adalah seorang juru tulis desa, yang bercita-cita menjadi juru bayar pabrikgula
yakni suatu jabatan paling tinggi bagi seorang pribumi di desa pada waktu itu. Akhirnya dengan segala cara dilakukannya untuk mendapatkan jabatan tersebut, termasuk
menjual
anaknya Sanikem kepada administrator pabrik gula seharga 25 gulden. Sejak saat itu sanikem menjadi seorang
Nyai Ontosoroh
, yakni seorang perempuan yang menjadi istri yang tidak sah, bergantung dan tidak berdaya di bawah laki-laki Belanda yang berkuasa secara ekonomi
dan politik Nugroho, 2008: 43. Tokoh perempuan dalam novel tersebut dapat dikatakan sebagai simbol perempuan yang mengalami marginalisasi dalam bentuk tidak dipunyainya
hak hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Berdasarkan ilustrasi tentang keadaan perempuan yang disebutkan dalam paragraf di
atas, tidak mengherankan bila pembicaraan mengenai wacana perempuan seolah tidak pernah habis digali. Dalam berbagai wilayah kehidupan baik sosial, politik, ekonomi, agama,
maupun budaya, posisi perempuan selalu dan masih saja dimarginalkan di bawah dominasi superioritas kaum laki-laki. Kondisi yang telah mapan inilah yang hendak akan dirubah para
aktivis perempuan yang merasa peduli dengan nasib sesamanya yang pada akhirnya memunculkan gerakan feminisme.
Pemikiran tentang gerakan feminisme pembebasan perempuan ini turut pula berimbas pada berbagai ranah kehidupan sosial, budaya, dan termasuk karya sastra yang
notabene merupakan salah satu wujud kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena sebuah karya sastra bisa dikatakan wadah untuk menanggapi berbagai peristiwa yang berkecamuk
commit to user
dalam kehidupan nyata yang sekaligus sebagai kritik sosial dari sang pengarang. Seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Austin 2014: 98 “...sastra menyajikan kehidupan, dan
“kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru alam dan subjektif manusia”.
Seiring perkembangan zaman memunculkan suatu perubahan responsi dari masing- masing perempuan sebagai individu. Kenyataan yang tampak adalah adanya kesadaran
bahwa mereka ingin tumbuh sebagai manusia yang mempunyai peranan besar dalam menentukan kehidupannya sendiri dan dalam masyarakat. Dalam karya sastra, munculnya
novel
Saman
dan
Larung
karya Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Fira Basuki, menjadi tonggak bangkitnya sastrawan tahun 2000. Mereka menawarkan warna lain dalam karya
sastra dengan memunculkan tokoh perempuan yang “memegang kendali” atas diri pribadi, bahkan untuk mampu “mengendalikan” tokoh-tokoh lain, termasuk tokoh laki-laki dalam
karya itu. Jika sebelumnya dalam sastra perempuan digambarkan sebagai sosok yang tertindas, korban kekerasan, perkosaan, dan bahkan pengucilan, maka melalui tokoh-tokoh
dalam kedua novel tersebut Ayu Utami menunjukkan emansipasi kaum perempuan dengan menuntut adanya persamaan derajat antara kaum perempuan dan laki-laki baik dalam bidang
sosial, politik, maupun seks. Secara umum, semua novel yang dihasilkan pengarang-pengarang perempuan yang
telah disebutkan di atas adalah sebuah upaya untuk memberi peranan lebih kaum perempuan. Begitu juga cerita yang tergambar dalam novel
Cerita Cinta Enrico
karya Ayu Utami. Melalui tokoh perempuan yang ada dalam novel tersebut, novel ini mengangkat kehidupan
tokoh perempuan dalam kaitannya dengan pilihan hidupnya untuk menentukan takdirnya sendiri.
Ayu Utami yang nama lengkapnya Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa
commit to user
Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartina.Ia berasal dari keluarga Katolik.
Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1994. Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation,
Cardiff, UK 1995 dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan 1999. Ayu menggemari cerita petualangan, seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin. Selain itu,
ia menyukai musik tradisional dan musik klasik. Sewaktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah Femina, urutan kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia
model. Ayu pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan yang memasok senjata dan
bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Akhirnya, ia masuk dalam dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D R. Ketika
menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis
Independen AJI dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai kurator. Ia anggota redaktur Jurnal Kalam dan
peneliti di Institut Studi Arus Informasi. Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian menulis novel. Novel
pertama yang ditulisnya adalah Saman 1998. Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam
dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam
setahun. Para kritikus menyambutnya dengan baik karena novel Saman memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.Karyanya yang berupa esai kerap dipublikasikan di Jurnal
commit to user
Kalam. Karyanya yang lain, Larung, yang merupakan dwilogi novelnya, Saman dan Larung, juga mendapat banyak perhatian dari pembaca.
Emansipasi perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini telah membawa perempuan pada kesetaraannya dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan sampai tingkat tertinggi.
Dalam diri perempuan itu muncul keinginan untuk berprestasi dalam mewujudkan kemampuan dirinya sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya.
Perempuan menginginkan berkiprah di ranah publik dalam rangka mengaktualisasikan diri. Kartini berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan salah satu pilar utama untuk
membebaskan perempuan dari bentuk keterbelakangannya. Meskipun kartini belum berhasil membebaskan dirinya dari kungkungan patriarki karena menerima untuk dinikahkan pada
usia yang sangat muda untuk laki-laki yang bukan pilihannya, tetapi gagasan-gagasannya merupakan pembaharuan untuk kemajuan perempuan.
Perkembangan feminisme sangat pesat ini menggeser sedikit demi sedikit perbedaan gender. Hal ini melibatkan tokoh perempuan dalam novel
Cerita Cinta Enrico
karya Ayu Utami. Mereka lebih menerima kelebihan dan kekuatan lain yang dimiliki oleh perempuan.
Novel ini tidak lagi menganggap bahwa perempuan lemah, tetapi walaupun begitu tidak meninggalkan sifatnya sebagai seorang perempuan yang menikah dan menjadi istri bagi
suaminya, serta ibu yang menyayangi anak-anaknya. Saat ini bagaimana agar sebuah karya sastra dapat menjadi pelopor perjuangan
perempuan yang efektif untuk terbebas dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan kaum laki-laki. Tetapi, harus diingat bukan berarti perempuan bebas dari aturan norma, batasan
tabu, etika seksual dan kodratnya. Hal ini untuk mendorong proses perubahan social kaum perempuan, perempuan pelopor yang mampu membebaskan kaumnya dari kebodohan,
kemiskinan, dan penindasan kaum laki-laki. Ini semua semua belum banyak karya sastra yang menyentuhnya.
commit to user
Pemilihan novel
Cerita Cinta Enrico
sebagai objek penelitian didasarkan pada beberapa hal, di antaranya
Cerita Cinta Enrico
merupakan novel terbaru Ayu Utami yang sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dikaji dengan pendekatan feminisme. Persoalan
yang dibicarakan adalah tentang perempuan yang masih aktual dan memiliki relevansi dengan kehidupan masa kini, serta dipandang bermanfaat untuk menata kehidupan masa
depan yang lebih baik, khususnya bagi perempuan Meninjau novel
Cerita Cinta Enrico
berdasarkan sudut pandang feminisme dalam penelitian ini akan mengangkat struktur novel, eksistensi perempuan, dan nilai-nilai
pendidikan yang terdapat dalam novel. Pendekatan feminisme ini adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra, bagaimana pandangan
pengarang terhadap tokoh wanita dalam suatu karya sastra. Adanya gerakan perubahan peranan sosial persamaan kedudukan perempuan sebagai tokoh emansipasi.
B. Rumusan Masalah