TESIS Purnamaningsih Handayani NIM S841302027

(1)

i

NOVEL CERITA CINTA ENRICO KARYA AYU UTAMI :

KAJIAN FEMINISME DAN NILAI PENDIDIKAN

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Peryaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia

oleh:

Purnamaningsih Handayani

NIM S841302027

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2014


(2)

ii

PENGESAHAN PEMBIMBING

NOVEL CERITA CINTA ENRICO KARYA AYU UTAMI: KAJIAN FEMINISME DAN NILAI PENDIDIKAN

TESIS

Oleh:

Purnamaningsih Handayani

S841302027

Komisi Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing

Pembimbing I Dr. Suyitno, M. Pd __________ Agustus 2014 NIP 19520122 198003 1 001

Pembimbing II Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd __________ Agustus 2014 NIP 19461208 198203 1 001

Telah dinyatakan memenuhi syarat Pada tanggal ___ Agustus 2014

Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 19620407 198713 1 003 commit to user


(3)

iii


(4)

iv

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1. Tesis berjudul: “NOVEL CERITA CINTA ENRICO KARYA AYU

UTAMI KAJIAN FEMINISME DAN NILAI PENDIDIKAN” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memeroleh gelar akademik dan tidak terdapat karya atau pandapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini serta disebutkan dalam sumber acuan dan daftar pustaka. Jika di kemudian waktu terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Permendiknas Nomor 17, tahun 2010).

2. Publikasi sebagian keseluruhan isi tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seizin dan menyertakan tim pembimbing sesuai author dan Program Pascasarjana (PPs) Universitas Sebelas Maret (UNS) sebagai institusinya. Jika saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan tesis ini dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (enam bulan sejak pengesahan tesis), Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia (Prodi PBI) PPs UNS berhak memublikasikan pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi PBI PPs UNS. Jika saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, saya bersedia mandapat sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, Agustus 2014 Mahasiawa,

Purnamaningsih Handayani S841302027


(5)

v MOTTO

Berangkat dengan penuh keyakinan

Berjalan dengan penuh keikhlasan

Istiqomah dalam menghadapi cobaan “YAKIN, IKHLAS, ISTIQOMAH.

(TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid).

Kita dilahirkan untuk sukses, bukan untuk gagal.

(Henry David Thoreau).

Saya datang, saya bimbingan, saya ujian, saya revisi, dan saya menang.

(Penulis)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada:

1. Kedua orang tuaku Almarhum Bapak

Sukardi Prabowo dan Ibu Sri Wulansih.

2. Suamiku tercinta Tri Widodo dan

anakku tersayang Bayu Dzaki Suryo

Nugroho.

3. Almamaterku, Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret.


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah

melimpahkan rahmat, karunia, nikmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul Novel Cerita Cinta Enrico

karya Ayu Utami Kajian Feminisme dan Nilai Pendidikan. Salawat dan salam

semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Swt.

yang telah menuntun kepada jalan kebenaran serta telah memberikan suri tauladan

yang baik.

Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk melengkapi tugas akhir dan

memenuhi syarat untuk menyelesaikan program studi S-2 (strata) Program Studi

Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret.

Dalam penyusunan tesis ini penulis merasa mendapat banyak bantuan,

petunjuk, dan saran dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak

langsung, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima

kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. selaku Rektor Universitas Sebelas Maret yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan

pada program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dan

diberikan kesempatan untuk menggunakan fasilitas yang ada di lingkungan

kampus,

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. selaku direktur Program Pascasarjana


(8)

viii

penulis untuk mengikuti studi lanjut Magister Pendidikan Bahasa Indonesia,

3. Prof. Dr. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan

persetujuan pengesahan tesis ini,

4. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. dan Prof. Dr. Andayani, M.Pd. selaku

Ketua dan Sekertaris Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia

yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi sehingga tesis ini dapat

diselesaikan,

5. Dr. Suyitno, M. Pd. Selaku Pembimbing I yang dengan sabar dan baik hati

telah memberikan bimbingan, nasihat, dan saran-saran yang sangat penting

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini,

6. Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd. selaku Pembimbing II yang telah sabar

meluangkan pemikiran dan waktunya untuk memberikan arahan, petunjuk,

dan bimbingan dalam proses penyusunan tesis ini,

7. Pihak pengelola perpustakaan Pascasarjana dan perpustakaan pusat

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah menyediakan dan

meminjamkan buku-buku sebagai literatur dalam penyempurnaan tesis ini,

Kepada mereka semua, hanya ungkapan terima kasih dan doa yang dapat

penulis persembahkan semoga semua yang telah mereka berikan kepada penulis

sebagai ibadah yang ternilai harganya dimata masyarakat maupun penulis sendiri.

Sepertihalnya pribahasa tak ada padi yang bernas setangkai, sehingga

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, penulis commit to user


(9)

ix

sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun.

Akhir kata penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan

pembaca pada umumnya.

Surakarta, __ Agustus 2014

Penyusun,

PH


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN DEPAN ...

PENGESAHAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN PENGUJI ... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR IS ... Ix DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat raktis ... 9


(11)

xi

BAB II : KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA

ERPIKIR ... 11

A. Kajian Pustaka ... 11

B. Landasan Teori ... 14

1. Hakikat Novel ... 14

2. Hakikat Feminisme ... 31

3. Nilai Pendidikan ... 41

C. Kerangka Berpikir ... 46

BAB III : METODE PENELITIAN ... 49

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 49

B. Pendekatan Penelitian ... 49

C. Data dan Sumber Data ... 50

D. Teknik Pengumpulan Data ... 51

E. Validitas Data ... 52

F. Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Hasil Penelitian ... 56

1. Struktur Novel Cerita Cinta Enrico Karya Ayu Utam ... 56

2. Eksistensi Perempuan dalam Novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami ... 78

3. Nilai Pendidikan yang Terdapat dalam Novel Cerita Cinta commit to user


(12)

xii

Enrico karya Ayu Utami ... 84

B. Pembahasan ... 90

1. Struktur Novel Cerita Cinta Enrico Karya Ayu Utami .. 90

2. Eksistensi Perempuan dalam Novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami ... 95

3. Nilai Pendidikan yang Terdapat dalam Novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami ... 84

BAB V : SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 104

A. Simpulan ... 104

B. Implikasi ... 107

C. Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 112

LAMPIRAN ... 115


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1 Skema kerangka berpikir...39 2. Gambar 2 Jadwal kegiatan penelitian...40 3. Gambar 3 Teknik analisis data...44


(14)

xiv

Lampiran 1. Sampul Novel Cerita Cinta Enrico Karya Ayu Utami Lampiran 2. Sinopsis Novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami

Lampiran 3. Biografi Pengarang Novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami Lampiran 4. Korpus Data Nilai pendidikan Novel Cerita Cinta Enrico karya

Ayu Utami

Lampiran 5. Korpus Data Nilai Pendidikan Novel Si Parasit Lajang karya Ayu Utami

Lampiran 6. Korpus Data Nilai Pendidikan Novel Pengakuan Eks Parasit

Lajang karya Ayu Utami


(15)

xv

Purnamaningsih Handayani, S841302027. 2013. Novel Cerita Cinta Enrico Karya Ayu Utami Kajian Feminisme dan Nilai Pendidikan. TESIS. Pembimbing 1: Dr. Suyitno, M. Pd., II. Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) Struktur Novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami; (2) Eksistensi perempuan dan feminisme yang terdapat dalam novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami; (3) Nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Cerita Cinta Enrico karya ayu Utami. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata. Data penelitian ini adalah novel Cerita Cinta Enrico. Penelitian ini menggunakan pendekatan feminisme untuk mendeskripsikan eksistensi perempuan, pokok-pokok pikiran feminisme yang terdapat dalam novel

Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami. Teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah membaca novel dan analisis dokumen. Validasi data menggunakan triangulasi data, dan teknik analisis data menggunakan model interaktif.

Hasil penelitian ini sebagai berikut: (1) Struktur novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami, yang meliputi: (a) Tema; (b) Tokoh dan Penokoham; (c) Setting atau latar; (d) Alur atau Plot; (e) Sudut Pandang Pengarang; (f) amanat; (2) Eksistensi perempuan dan feminisme novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami, meliputi: (a) kebebasan memilih bagi perempua; (b) perjuangan kesetaraan gender; (c) kemandirian tokoh perempuan; (d) analisis feminisme liberal dalam novel; (3) nilai pendidikan yang terdapat dalam Novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami, antara lain: (a) nilai pendidikan agama; (b) nilai pendidikan moral; (c) nilai pendidikan sosial; (d) nilai pendidikan budaya. Hasil penelitian ini merupakan model kajian secara feminisme yang dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran apresiasi sastra, khususnya apresiasi prosa fiksi. Selain itu penelitian ini dapat digunakan sebagai langkah awal untuk meneliti lebih lanjut tentang feminisme yang tidak hanya terfokus pada karya sastra tetapi juga digunakan dalam mkehidupan bermasyarakat. Para peneliti sastra dapat mengembangkan penelitian sejenis ini dengan sampel yang lebih banyak, analisis yang lebih mendalam, serta dapat menerapkannya dalam realitas kehidupan. Saran untuk penelitian ini ditujukan kepada para pendidik, peserta didik, peneliti sastra, dan para pembaca sebagai bahan pertimbangan dalam mengabdikan tugas-tugas mereka di bidangnya masing-masing.

Kata kunci: novel Cerita Cinta Enrico, kajian feminisme, nilai pendidikan


(16)

xvi

Purnamaningsih Handayani, S841302027. 2013. Novel Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami, a Study on Feminism and Education Value. Thesis. First Counselor: Dr. St. Y. Slamet, M.Pd. Indonesian Language Education Study Program of Postgraduate Program, Sebelas Maret University.

ABSTRACT

This research aimed to describe and to explain: (1) the structure of Novel Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami; (2) the existence of women and feminism existing in novel Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami; and (3) education values existing in novel Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami. This research employed a qualitative method.

The qualitative method was the research procedure yielding descriptive data in the form of words. The data of research was novel Cerita Cinta Enrico. This study employed feminism approach to describe the existence of women, the main idea of feminism existing in novel Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami. Techniques of collecting data used in this research were reading novel and document analysis. The data validation employed data triangulation, and technique of analyzing data used was an interactive model of analysis.

The results of research were as follows. (1) The structure of novel Cerita

Cinta Enrico by Ayu Utami included: (a) Theme; (b) Character and

Characterization; (c) Setting; (d) Plot; (e) Author’s perspective; (f) message. (2) The existence of women and feminism in novel Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami included: (a) the freedom to vote for women; (b) struggle for gender equality; (c) women character’s independency; (d) liberal feminism analysis in the novel; (3) education value existing in novel Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami, included: (a) religion education value; (b) moral education value; (c) social education value; and (d) cultural education value. The result of research was a feministic model of study that could be used as one of literary appreciation learning model, particularly fiction prose appreciation. In addition, this study could be used as the initial measure to study further the feminism not only focusing on literary work but also used in living within the society. The literary researchers could develop such this research with larger sample, more in-depth analysis, and could apply it to life reality. The recommendation of research was intended to educators, students, literary researchers, and readers as the matter of consideration in dedicating their duties in their own field.

Keywords: Novel Cerita Cinta Enrico, feminism study, education value.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbicara tentang feminisme, tentu saja berbicara tentang perempuan. Karena

perempuan merupakan bagian dari masyarakat, maka setiap yang dilakukannya akan selalu

terkait dengan konteks sosial budaya, yaitu setiap aktivitasnya akan terkait dengan manusia

lain yang ada disekitarnya . Perempuan dengan segala keunikannya seakan menjadi sumber

inspirasi yang tidak akan pernah habis. Kehidupan perempuan ternyata menarik untuk

dibicarakan. Perempuan adalah sosok yang begitu unik. Di satu sisi, perempuan adalah

keindahan yang bisa membuat laki-laki tergila-gila. Akan tetapi di sisi lain, ia dianggap

makhluk yang lemah dan harus tunduk pada laki-laki. Dan kelemahan tersebut dijadikan

alasan oleh laki-laki jahat untuk mengeksploitasi keindahannya. Bahkan ada anggapan bahwa

perempuan itu hina, manusia kelas dua yang walaupun cantik, tetapi tidak diakui

eksistensinya. Salah satu filosof Aristoteles, Thomas Aquinas menyatakan bahwa wanita

adalah laki-laki yang tidak sempurna (Sugihastuti dan Suharto, 2013: 32).

Hal tersebut di atas merupakan gambaran kebudayaan di Indonesia yang masih

memperlihatkan secara jelas keberpihakannya kepada kaum laki-laki. Salah satunya

kebudayaan Jawa yang menempatkan perempuan sebagai yang kedua. Hal tersebut tercermin

dalam ungkapan-ungkapan yang sangat meninggikan derajat laki-laki, misalnya wanita yang

berarti wani ditata atau berani dan bersedia ditata atau diatur dan swarga nunut neraka katut

yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan istri hanya tergantung pada suami

merupakan contoh ketiadaan peran perempuan dalam keluarga.

Perempuan rata-rata memiliki banyak kesulitan dalam menemukan kedudukannya

atau mungkin bahkan takut karena mereka berfikir bahwa yang mencari nafkah adalah

laki-laki, dan dalam menentukan sikap memecahkan kesulitan masalah-masalah yang muncul commit to user


(18)

dalam kehidupannya. Di satu sisi, perempuan dihadapakan dengan persoalan rumah tangga,

di sisi yang lain, ia dihadapkan pada masalah-masalah yang yang berhubungan dengan hak,

kewajiban dan hukum. Perempuan yang ingin menemukan eksistensinya terkadang

dipandang sebagai bentuk pembangkangan oleh sebagian orang yang masih dilingkupi

pemikiran patriarkis. Padahal, perempuan hanya ingin menemukan jati dirinya, membentuk,

dan mengembangkan kesadaran bahwa ada potensi nonfisik yang harus dikembangkan dalam

eksistensi dirinya sebagai manusia.

Dalam sistem patriarki, hubungan antara laki-laki dan perempuan bersifat hierarkis,

yaitu kaum laki-laki berada dalam kedudukan puncak dan mendominasi kaum perempuan,

sedangkan kaum perempuan berada pada kedudukan di bawahnya atau subordinat. Kaum

laki-laki berhak menentukan kedudukan kaum perempuan, sebaliknya kaum perempuan tidak

dapat menentukan kedudukan kaum laki-laki. Adanya hubungan yang bersifat hierarki

tersebut menimbulkan kerugian di pihak kaum perempuan.

Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang

dan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti dibentuk, diperkuat, disosialisasikan, dan

dikonstruksikan secara sosial dan kultur melalui ajaran keagamaan maupun negara.

Perbedaan gender pada dasarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan gender

inequalities (ketidakadilan gender). Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah ternyata

perbedaan gender telah menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan

utamanya terhadap kaum perempuan. Hal ini terjadi karena masyarakat kurang mengerti

perbedaan gender dan perbedaan jenis kelamin. Proses yang panjang menyebabkan sosialisasi

gender tersebut, akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan yang seolah-olah bersifat

biologis dan tidak dapat diubah lagi. Perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat

perempuan dan kodrat laki-laki yang secara perlahan-lahan mempengaruhi kondisi biologis


(19)

Berbagai persoalan perempuan yang berhubungan dengan masalah kesetaraan gender

ini selanjutnya mengundang simpati yang cukup besar dari masyarakat luas karena dianggap

erat kaitannya dengan persoalan keadilan sosial dalam arti lebih luas (Nugroho, 2008: 28).

Dewasa ini, berbagai ketimpangan gender yang dialami oleh kaum perempuan tersebut

tengah dipersoalkan an digempur oleh suatu gerakan yang disebut gerakan feminisme.

Gerakan ini berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama

gender, pencaian akar ketertindasan perempuan, hingga upaya penciptaan pembebasan

perempuan. Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa feminisme merupakan

sebuah ideologi pembebasan perempuan, karena yang melekat dalam semua pendekatannya

adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya

(Humm, 2002: 158).

Dalam kaitannya dengan karya sastra dan dalam penelitian ini adalah novel,

feminisme berkaitan erat dengan kritik sastra feminisme yakni kajian karya sastra yang

mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam

memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya

sastranya. Pengkritik memandang sastra dengan kesadaran, khusus adanya jenis kelamin yang

berhubunga dengan sastra, budaya, dan kehidupan (Djajanegara, 2000: 22).

Ketidakadilan gender tidak hanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari saja, tetapi juga

dalam dunia sastra. Seringkali perempuan dijadikan tokoh yang menjadi objek kekerasan

dalam karya sastra tersebut. Karya sastra sebagai dunia imajinatif merupakan media

tumbuhnya subordinasi perempuan. Karya sastra seolah-olah hanya ditujukan untuk pembaca

laki-laki. Kalaupun ada pembaca perempuan, ia dipaksa membaca sebagai seorang laki-laki

(Sugihastuti dan Suharto, 2013: 32). Bentuknya dapat berupa pornografi dan kekerasan

terhadap perempuan. Hal ini merupakan petunjuk adanya anggapan yang negatif terhadap


(20)

laki-laki. Hal ini berhubungan dengan adanya salah kaprah tentang konsep gender dan jenis

kelamin.

Salah satu gambaran ketertindasan perempuan Indonesia dituturkan secara jelas oleh Pramudya Ananta Toer dalam novel “Bumi Manusia”. Dalam novel tersebut, Pramudya mengisahkan seorang perempuan pribumi bernama Sanikem. Ayah Sanikem yang bernama

Sastrotomo adalah seorang juru tulis desa, yang bercita-cita menjadi juru bayar pabrikgula

yakni suatu jabatan paling tinggi bagi seorang pribumi di desa pada waktu itu. Akhirnya

dengan segala cara dilakukannya untuk mendapatkan jabatan tersebut, termasuk menjual

anaknya Sanikem kepada administrator pabrik gula seharga 25 gulden. Sejak saat itu sanikem

menjadi seorang Nyai Ontosoroh, yakni seorang perempuan yang menjadi istri yang tidak

sah, bergantung dan tidak berdaya di bawah laki-laki Belanda yang berkuasa secara ekonomi

dan politik (Nugroho, 2008: 43). Tokoh perempuan dalam novel tersebut dapat dikatakan

sebagai simbol perempuan yang mengalami marginalisasi dalam bentuk tidak dipunyainya

hak hak untuk menentukan nasibnya sendiri.

Berdasarkan ilustrasi tentang keadaan perempuan yang disebutkan dalam paragraf di

atas, tidak mengherankan bila pembicaraan mengenai wacana perempuan seolah tidak pernah

habis digali. Dalam berbagai wilayah kehidupan baik sosial, politik, ekonomi, agama,

maupun budaya, posisi perempuan selalu dan masih saja dimarginalkan di bawah dominasi

superioritas kaum laki-laki. Kondisi yang telah mapan inilah yang hendak akan dirubah para

aktivis perempuan yang merasa peduli dengan nasib sesamanya yang pada akhirnya

memunculkan gerakan feminisme.

Pemikiran tentang gerakan feminisme (pembebasan) perempuan ini turut pula

berimbas pada berbagai ranah kehidupan sosial, budaya, dan termasuk karya sastra yang

notabene merupakan salah satu wujud kebudayaan. Hal ini dapat dimaklumi karena sebuah


(21)

dalam kehidupan nyata yang sekaligus sebagai kritik sosial dari sang pengarang. Seperti yang dikemukakan oleh Wellek dan Austin (2014: 98) “...sastra menyajikan kehidupan, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru alam dan subjektif manusia”.

Seiring perkembangan zaman memunculkan suatu perubahan responsi dari

masing-masing perempuan sebagai individu. Kenyataan yang tampak adalah adanya kesadaran

bahwa mereka ingin tumbuh sebagai manusia yang mempunyai peranan besar dalam

menentukan kehidupannya sendiri dan dalam masyarakat. Dalam karya sastra, munculnya

novel Saman dan Larung karya Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Fira Basuki, menjadi

tonggak bangkitnya sastrawan tahun 2000. Mereka menawarkan warna lain dalam karya sastra dengan memunculkan tokoh perempuan yang “memegang kendali” atas diri pribadi, bahkan untuk mampu “mengendalikan” tokoh-tokoh lain, termasuk tokoh laki-laki dalam karya itu. Jika sebelumnya dalam sastra perempuan digambarkan sebagai sosok yang

tertindas, korban kekerasan, perkosaan, dan bahkan pengucilan, maka melalui tokoh-tokoh

dalam kedua novel tersebut Ayu Utami menunjukkan emansipasi kaum perempuan dengan

menuntut adanya persamaan derajat antara kaum perempuan dan laki-laki baik dalam bidang

sosial, politik, maupun seks.

Secara umum, semua novel yang dihasilkan pengarang-pengarang perempuan yang

telah disebutkan di atas adalah sebuah upaya untuk memberi peranan lebih kaum perempuan.

Begitu juga cerita yang tergambar dalam novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami.

Melalui tokoh perempuan yang ada dalam novel tersebut, novel ini mengangkat kehidupan

tokoh perempuan dalam kaitannya dengan pilihan hidupnya untuk menentukan takdirnya

sendiri.

Ayu Utami yang nama lengkapnya Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis

pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa commit to user


(22)

Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama

Bernadeta Suhartina.Ia berasal dari keluarga Katolik.

Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas

Indonesia (1994). Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation,

Cardiff, UK (1995) dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999). Ayu

menggemari cerita petualangan, seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin. Selain itu,

ia menyukai musik tradisional dan musik klasik. Sewaktu mahasiswa, ia terpilih sebagai

finalis gadis sampul majalah Femina, urutan kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia

model.

Ayu pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan yang memasok senjata dan

bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Akhirnya, ia masuk dalam dunia

jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R. Ketika

menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni,

pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai kurator. Ia anggota redaktur Jurnal Kalam dan

peneliti di Institut Studi Arus Informasi.

Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian menulis novel. Novel

pertama yang ditulisnya adalah Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian

banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam

dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman

Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam

setahun. Para kritikus menyambutnya dengan baik karena novel Saman memberikan warna


(23)

Kalam. Karyanya yang lain, Larung, yang merupakan dwilogi novelnya, Saman dan Larung,

juga mendapat banyak perhatian dari pembaca.

Emansipasi perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini telah membawa perempuan

pada kesetaraannya dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan sampai tingkat tertinggi.

Dalam diri perempuan itu muncul keinginan untuk berprestasi dalam mewujudkan

kemampuan dirinya sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya.

Perempuan menginginkan berkiprah di ranah publik dalam rangka mengaktualisasikan diri.

Kartini berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan salah satu pilar utama untuk

membebaskan perempuan dari bentuk keterbelakangannya. Meskipun kartini belum berhasil

membebaskan dirinya dari kungkungan patriarki karena menerima untuk dinikahkan pada

usia yang sangat muda untuk laki-laki yang bukan pilihannya, tetapi gagasan-gagasannya

merupakan pembaharuan untuk kemajuan perempuan.

Perkembangan feminisme sangat pesat ini menggeser sedikit demi sedikit perbedaan

gender. Hal ini melibatkan tokoh perempuan dalam novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu

Utami. Mereka lebih menerima kelebihan dan kekuatan lain yang dimiliki oleh perempuan.

Novel ini tidak lagi menganggap bahwa perempuan lemah, tetapi walaupun begitu tidak

meninggalkan sifatnya sebagai seorang perempuan yang menikah dan menjadi istri bagi

suaminya, serta ibu yang menyayangi anak-anaknya.

Saat ini bagaimana agar sebuah karya sastra dapat menjadi pelopor perjuangan

perempuan yang efektif untuk terbebas dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan kaum

laki-laki. Tetapi, harus diingat bukan berarti perempuan bebas dari aturan norma, batasan

tabu, etika seksual dan kodratnya. Hal ini untuk mendorong proses perubahan social kaum

perempuan, perempuan pelopor yang mampu membebaskan kaumnya dari kebodohan,

kemiskinan, dan penindasan kaum laki-laki. Ini semua semua belum banyak karya sastra

yang menyentuhnya.


(24)

Pemilihan novel Cerita Cinta Enrico sebagai objek penelitian didasarkan pada

beberapa hal, di antaranya Cerita Cinta Enrico merupakan novel terbaru Ayu Utami yang

sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dikaji dengan pendekatan feminisme. Persoalan

yang dibicarakan adalah tentang perempuan yang masih aktual dan memiliki relevansi

dengan kehidupan masa kini, serta dipandang bermanfaat untuk menata kehidupan masa

depan yang lebih baik, khususnya bagi perempuan

Meninjau novel Cerita Cinta Enrico berdasarkan sudut pandang feminisme dalam

penelitian ini akan mengangkat struktur novel, eksistensi perempuan, dan nilai-nilai

pendidikan yang terdapat dalam novel. Pendekatan feminisme ini adalah upaya pemahaman

kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra, bagaimana pandangan

pengarang terhadap tokoh wanita dalam suatu karya sastra. Adanya gerakan perubahan

peranan sosial persamaan kedudukan perempuan sebagai tokoh emansipasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan

masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami?

2. Bagaimanakah eksistensi tokoh perempuan novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu

Utami dalam persepektif feminisme?

3. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Cerita Cinta Enrico karya

Ayu Utami?


(25)

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan struktur dalam novel Cerita Cinta Enricokarya

Ayu Utami.

2. Mendeskripsikan dan Menjelaskan Eksistensi perempuan novel Cerita Cinta Enrico

karya Ayu Utami dalam perspektif feminisme.

3. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Cerita

Cinta Enricokarya Ayu Utami.

D. Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat penelitian yang dapat diperoleh dalam penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoritis

a. Memberi sumbangan bagi Ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian sastra.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu contoh penerapan pendekatan

feminism dalam penelitian bidang sastra.

c. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap keilmuan dalam

mengapresiasi novel dan memberikan semangat kepada penikmat sastra secara

mendalam.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan guru bahasa dan sastra

Indonesia dalam pembelajaran apresiasi sastra khususnya novel yang beraliran

feminisme.

b. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa dan guru bahasa dan sastra

Indonesia, serta peneliti sastra sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan

tentang kajian feminisme dalam novel Cerita Cinta Enrico karya Ayu Utami. commit to user


(26)

c. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran apresiasi sastra,

dalam hal ini siswa dapat menganalisis karya sastra dengan pendekatan

feminisme.

d. Hasil penelitian ini dapat mengefektifkan proses pembelajaran sastra dalam hal

ini adalah novel Cerita Cinta Enrico yang beraliran feminisme.


(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka

Dalam bagian ini akan dikemukakan kajian kepustakaan tentang hasil penelitian yang

relevan, yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini antara lain:

Hughes (2011: 8) menganalisis peranan perempuan sebagai sheriff, hasil dari

penelitian tersebut menyatakan bahwa dengan adanya pemimpin perempuan dalam lembaga

penegak hukum akan mendapatkan suatu keuntungan, struktur organisasi penegak hukum

perlu lebih fleksibel, serta mendefinisikan posisi kepemimpinan untuk tidak memihak salah

satu gender, perempuan dalam penegakkan hukum secara struktural diskriminasi melalui

pengobatan yang berbeda.

Kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada bagian kajian

perempuan terhadap persamaan kedudukan gender. Perbedaan dengan penelitian yang akan

dilakukan adalah penelitian ini lebih fokus kepada nilai pendidikan dan feminisme dalam

novel, sedangkan Patrick J. Hughes lebih pada ranah penegak hukum.

Gaus (2011: 175) meneliti tentang faktor yang menghalangi guru perempuan dalam

memegang posisi utama di sekolah-sekolah dasar di Makassar, temuan menunjukkan bahwa

kurangnya perwakilan guru perempuan di posisi kepemimpinan di sekilah dasar di Makassar

berasal dari masalah baik sosial budaya dan institusional. Diharapkan hasil penelitian ini

dapat membantu untuk menjelaskan tentang representasi kaumperempuan dalam

kepemimpinan sekolah dasar di Makassar dan untuk memberikan indikasi dari arah yang bisa

ditempuh untuk mengatasi ketidakseimbangan ini. Hasil juga dapat memberikan indikasi apa

langkah tambahan mungkin perlu diambil untuk mengatasi motivasi guru untuk mengejar commit to user


(28)

kepemimpinan mereka. Untuk otoritas hasilnya dapat digunakan untuk revisikebijakan dalam

sistem pendidikan Makassar.

Kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada bagian kajian

perempuan dan pendidikan. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah

penelitian ini lebih fokus kepada nilai pendidikan dan feminisme dalam novel dan Nurdiana

Gaus memeriksa faktor menghalangi guru perempuan dari memegang posisi utama di

sekolah-sekolah dasar di Makassar. Johnson (2012: 1) berpendapat bahwa mulai tahun 70-an

perempuan memiliki tempat dan kedudukan politik yang tinggi. Perbedaan latar belakang

sangat mempengaruhi kehidupan. Persamaan dengan penelitian ini sama-sama membahas

tentang upaya perempuan dalam mencapai persamaan hak dengan kaum laki-laki, dan

sama-sama beraliran feminisme liberal. Perbedaannya terletak pada obyek yang diteliti.

Mishra (2012: 1) mengkaji tentang kontribusi perempuan terhadap pekerjaan yang

mulai jalan kembali selama Perang dunia Pertama ketika mereka mewakili dan bekerja

bersama laki-laki dan berpartisipasi aktif dalam memberikan layanan mereka ke negara itu.

Perempuan melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati dan mendapat tepuk tangan dari

semua orang untuk layanan khusus mereka.

Masuknya perempuan ke dunia profesional dipandang sebagai ancaman sistem

patriarki, yang berpendapat bahwa seorang perempuan harus memberikan pelayanan sebagai

istri, ibu atau anak perempuan. Jika mereka terlibat dengan dunia luar dan bekerja di luar

rumah, mereka dituduh amoral dan merupakan ancaman akan meninggalkan keluarga yang

ditinggaal di rumah, ini merupakan alasan utama bagi munculnya gerakan feminisme.

Hasil yang di dapat dari kajian tersebut adalah bahwa kontribusi perempuan terhadap

dunia usaha telah secara signifikan meningkat dan cukup berhasil untuk mengeksplorasi


(29)

perempuan adalah suatu keharusan bagi setiap perempuan, dan perempuan harus berdiri

untuk memperjuangkan tujuan mereka dan mereka tidak boleh didiskriminasi atas dasar seks

mereka.

Penelitian ini berpendapat bahwa feminisme adalah gerakan yang menganjurkan

untuk menetapkan dan membela hak-hak yang sama bagi perempuan. Hal ini bertujuan untuk

menyediakan politik, ekonomi, hak sosial untuk mereka. Para aktivis yang memperjuangkan

hak-hak ini disebut adalah feminis. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama

meneliti tentang perjuangan perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya. Perempuan

dapat membuktikan bahwa ia mampu mengatasi persoalan hidup yang disebabkan oleh kaum

laki-laki. Perbedaannya terletak pada kajiannya.

Das dan Hazarika (2014:1) mengkaji tentang feminisme liberal, hasil yang di dapat

adalah feminisme liberal menjadi landmark utama dalam sejarah feminisme dan berdampak

jauh dari pertumbuhan dan perkembangan gerakan pembebasan perempuan. Tapi keluhan

tertentu diajukan terhadap feminisme liberal di jalan waktu, oleh karena itu, feminisme

radikal, feminisme marxis, feminisme kosong, dan feminisme ketiga dunia dan banyak lagi.

Sekolah feminisme muncul sebagai kritik feminisme liberal. Feminisme radikal

menegaskan bahwa feminisme liberal telah gagal untuk membangun sebuah teori yang

sistematis tentang perkembangan perempuan. Menurut feminisme radikal, feminisme liberal

gagal untuk memahami bagaimana perempuan tertindas dan diskriminasi dalam sistem

patriarki. Di sisi lain, kaum feminis sosialis juga setuju bahwa sekolah feminis liberal

cenderung untuk melestarikan dan melindungi sistem patriarki melalui memperkaya sistem

kapitalis.

Meskipun feminisme liberal tidak bebas dari kritik tertentu, peran penting dalam


(30)

feminis liberal merupakan jalan baru dan cakrawala perempuan menuju gerakan emansipasi.

Ini membuka pintu pemikiran pembebasan perempuan dari segala macam perbudakan dan

pembudakan.

Persamaan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji tentang feminisme liberal.

Perbedaannya terletak pada objek yang diteliti, penelitian Has dan Hazarika hanya meneliti

tentang feminisme liberal. Sedangkan penelitian ini tidak hanya mengkaji feminisme liberal

tetapi juga mengkaji nilai pendidikan yang ada pada novel.

B. Landasan Teori

1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel

Cerita fiksi dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: roman, cerpen, dan novel.

Dalam tulisan ini yang akan diuraikan hanya pengertian novel karena objek penelitian

yang ditulis adalah novel.

Sastra mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre

yang lain. Untuk mempertegas keberadaan genre prosa, ia sering dipertentangkan

dengan genre yang lain, misalnya dengan puisi, walau pertentangan itu sendiri hanya

bersifat teoritis. Karya fiksi, seperti halnya dalam kesastraan Inggris dan Amerika,

menunjuk pada karya yang berwujud novel dan cerita pendek (Nurgiyantoro, 2012:

9). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan.

Berhubung novel merupakan karya fiksi, maka novel adalah sebuah karya imajinatif.

Meskipun novel bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung

kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Kebenaran

dalam dunia fiksi, tidak harus sama dan tidak perlu disamakan dengan kebenaran

dalam dunia nyata. Dalam dunia fiksi dikenal dengan adanya licentia poetica, commit to user


(31)

sehingga seorang pengarang dapat berkreasi maupun memanipulasi berbagai masalah

kehidupan yang dialami dan diamati menjadi kebenaran yang hakiki dan universal

dalam karyanya, walaupun secara faktual merupakan hal yang salah.

Novel merupakan salah satu bentuk prosa fiksi di samping roman dan cerpen.

Secara etimologis, kata novel berasal dari novella (yang dalam bahasa Jerman:

novella) yang berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’ (Nurgiyantoro, 2012: 9). Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi

dan drama (Waluyo, 2011: 5). Jenis novel dalam sastra Inggris dan Amerika biasa

disebut roman, sedangkan yang disebut novelette dalam bahasa Inggris dan Amerika

disebut novel (Tarigan, 1985: 174). Dewasa ini istilah novella dan novella

mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris:

novellete), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak

terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.

Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro (2012: 9) menjelaskan bahwa novel dan

cerita pendek merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan

dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi.

Dengan demikian pengertian fsinonim dengan fiksi. Dengan demikian pengertian fiksi

sama seperti pengertian novel yaitu sebagai cerita rekaan. Novel, sebagai salah satu

genre sastra, merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran, ide,

gagasan, sikap dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong unsur isi

dan sebagai sesuatu yang ingin disampaikan.

Waluyo (2011: 6) mendefinisikan bahwa dalam novel terdapat: (1) perubahan

nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya;


(32)

Nurgiyantoro (2012: 4) memberikan pengertian bahwa novel adalah karya

fiksi yang menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang

diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui beberapa unsur intrinsik seperti

peristiwa, plot, penokohan, latar, sudut pandang, yang semuanya tentu bersifat

imajiner.

Abrams (1981: 110) menjelaskan bahwa novel merupakan cerita pendek yang

diperpanjang. Istilah novel diterapkan untuk berbagai tulisan yang indah dan hanya

dikembangkan dalam karya fiksi prosa. Sebagai cerita naratif yang berkembang, novel

dibedakan dari cerita pendek dan dari hasil karya yang agak panjang yang dinamakan

novellet.

Dilihat dari segi panjang cerita, novel lebih panjang daripada cerpen. Oleh

karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu

secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai

permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup unsur cerita yang membangun

novel itu (Nurgiyantoro, 2012: 13).

Penjelasan novel lebih panjang daripada cerpen dipertegas dengan pendapat

Kenny (1966: 105 ), yaitu subtitusi dalam novel kompleks, maka cerita dalam novel

mengembang, sehingga novel bukan dibaca sekali duduk. Sejalan dengan pendapat

Kenny, Semi (1993: 32) juga menyatakan bahwa novel mengungkapkan konsentrasi

kehidupan pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas yang

disajikan dengan halus.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa novel adalah

bentuk prosa fiksi baru yang lebih panjang daripada cerpen yang menyuguhkan commit to user


(33)

serangkaian peristiwa dan watak melalui alur cerita yang memiliki nilai instrinsik dan

ekstrinsik serta mengandung nilai-nilai estetika.

b. Unsur-unsur Intrinsik novel

Novel merupakan sebuah totalitas, suatu keseluruhan yang bersifat artistik.

Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling

berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Pembagian

unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik (Nurgiyantoro, 2012: 23).

Lebih lanjut Nurgiyantoro (2012: 23) menjelaskan, bahwa unsur intrinsik

adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang

menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel

adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan

antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Atau

sebaliknya jika dilihat dari sudut pembaca, unsur-unsur inilah yang dimaksud, untuk

menyebut sebagian saja, misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar,

sudut pandang penceritaan, bahasa, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.

Unsur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra

tersebut seperti penokohan atau perwatakan, tema, alur (plot), pusat pengisahan, latar,

dan gaya bahasa (Semi, 1993: 35). Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis

yang sama maupun berbeda, memiliki unsur-unsur yang berbeda. Meskipun demikian

perlu dikemukakan unsur-unsur pokokyang terkandung dalam ketiga jenis karya,

yaitu: prosa, puisi, dan dya, yaitu: prosa, puisi, dan drama. Unsur-unsur prosa

diantaranya: tema, peristiwa atau kejadian, latar atau seting, penokohan atau

perwatakan, alur atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa (Ratna, 2004: 93) commit to user


(34)

Pendapat senada juga disampaikan oleh Winarni, (2009: 92) yang mengatakan

bahwa unsur-unsur yang bisa mengembangkan makna keseluruhan itu adalah

keterkaitan dari jalinan yang padu antara watak, plot, sudut pandang, latar, dialog, dan

lain-lain.

Berikut ini dipaparkan beberapa unsur intrinsik novel:

1) Tema

Tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi (Waluyo, 2011: 7).

Biasanya dalam menyampaikan tema, pengarang tidak berhenti pada pokok

persoalannya saja akan tetapi disertakan pula jalan keluar atau pemecahan untuk

menghadapi persoalan tadi. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca

melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui

proses pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan beberapa kali,

karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca (Waluyo, 2011: 7).

Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Tema dalam banyak hal

bersifat “mengikat” kehadiran atau ketidak hadiran peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pila berbagai unsur intrinsik yang lain. Waluyo (2011: 8)

mengklasifikasikan tema menjadi lima jenis, yaitu:

a. Tema yang Bersifat Fisik

Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut

dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari

nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya.


(35)

b. Tema Organik

Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan

antara manusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, problem politik,

ekonomi, adat, tatacara, dan sebagainya.

c. Tema Sosial

Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan.

d. Tema Egoik (reaksi pribadi).

Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi

kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan dan pertentangan individu.

e. Tema Divine (Ketuhanan).

Sedangkan tema divine (ketuhanan) menyangkut renungan yang

bersifat religius hubungan manusia dengan sang Khalik.

Sayuti (2000: 97) menyatakan bahwa tema adalah makna cerita, gagasan

sentral, atau dasar cerita. Pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh Panuti

Sudjiman (1988: 51) yang menyatakan bahwa tema adalah gagasan yang

mendasari karya sastra.

Nurgiyantoro (2012: 74) berpendapat bahwa sebuah tema baru akan

menjadi makna cerita jika ada dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita

lain. Tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung, melainkan “hanya” secara implisit melalui cerita. Di pihak lain, unsur-unsur tokoh, plot, latar, dan cerita, dimungkinkan menjadi padu dan bermakna jika diikat oleh

sebuah tema. Tema bersifat memberi koherensi dan makna terhadap keempat


(36)

Lebih jelas Nurgiyantoro (2012: 77) mengkategorikan tema berdasarkan

tiga sudut pandang, yaitu penggolongan dikhotomis yang bersifat tradisional dan

nontradisional, penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut

Shipley, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya, sebagai berikut:

a. Tema Tradisional dan Nontradisional

Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk kepada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita termasuk cerita lama.

b. Tingkatan Tema Shipley

Tingkatan tema ini sudah dibahas di atas, seperti yang telah

diungkapkan oleh Waluyo yang mengklasifikasikan tema menjadi lima jenis,

yaitu:

1. Tema yang Bersifat Fisik

Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut

dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari

nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya.

2. Tema Organik

Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan

antara manusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, problem politik,

ekonomi, adat, tatacara, dan sebagainya.

3. Tema Sosial

Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan.

4. Tema Egoik (reaksi pribadi).


(37)

Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi

kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan dan pertentangan individu.

5. Tema Divine (Ketuhanan).

Sedangkan tema divine (ketuhanan) menyangkut renungan yang bersifat

religius hubungan manusia dengan sang Khalik.

6. Tema Utama dan Tema Tambahan

Tema utama disebut tema mayor, artinya makna pokok cerita yang

menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya. Tema tambahan disebut tema

minor, merupakan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu

cerita saja.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide atau gagasan

utama serta pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi penciptaan sebuah

karya sastra dan tema dapat bermakna jika terkait dengan unsur-unsur cerita yang

lain.

2) Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh

dalam cerita fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga

merupakan gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh karena

itu, dalam sebuah fiksi tokoh hendaknya dihadirkan secara alamiah. Dalam arti

tokoh-tokoh itu memiliki “kehidupan” atau berarti “hidup”, atau memiliki derajat lifelikeness (keseprtihidupan), (Sayuti, 2000: 68). Tokoh adalah

individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai

peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988: 16). commit to user


(38)

Tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam

suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki

kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam

ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abraham 1981 cit.

Nurgiyantoro, 2012: 164).

Lebih rinci lagi, Nurgiyantoro (2012: 176) menjelaskan tentang tokoh

utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonis dan tokoh antagonis, tokoh

sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan tokoh berkembang, serta tokoh

tipikal dan tokoh netral, sebagai berikut:

a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan.

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam

novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak

diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian

(Nurgiyantoro, 2012: 177).

Pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih

sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya

dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung (Nurgiyantoro,

2012: 177).

b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu

jenisnya secara populer disebut hero, tokoh yang merupakan

pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Tokoh

protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan

harapan-harapan pembaca (Nurgiyantoro, 2012: 178). commit to user


(39)

Tokoh antagonis merupakan tokoh penyebab terjadinya konflik dan

ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis (Nurgiyantoro, 2012:

1179).

c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang

hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu

saja. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar,

monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu (Nurgiyantoro, 2012:

181)

Tokoh bulat, kompleks, berbeda halnya dengan tokoh sederhana,

adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi

kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Tokoh ini lebih sulit

dipahami, terasa kurang familiar karena yang ditampilkan adalah

tokoh-tokoh yang kurang akrab dan kurang dikenal sebelumnya (Nurgiyantoro,

2012: 183).

d. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak

mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan akibat adanya

peristiwa yang terjadi (Altenberd dan Lewis 1996 cit. Nurgiyantoro, 2012:

188).

Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan

dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan

perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan (Nurgiyantoro, 2012: 188)

e. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral commit to user


(40)

Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan

individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan dan

kebangsaannya atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili

(Nurgiyantoro, 2012: 190).

Tokoh netral adalah tokoh tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita

itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan

bereksistensi dalam dunia fiksi (Nurgiyantoro, 2012: 191).

Wellek dan Werren (1977: 187) lebih menjelaskan cara mengetahui

bahwa seorang tokoh dalam novel dapat dilihat melalui sifat-sifat “luar” dan “dalam”. Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama. Setiap “sebutan” adalah sejenis cara memberi kepribadian atau menghidupkan. Nama merupakan suatu cara ekonomis untuk mencirikan watak tokoh.

Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh

dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal

penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan

yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokoh-tokoh tersebut

(Suroto: 1989: 92-93).

Penokohan sebagai salah satu unsur pembangun fiksi dapat dikaji dan

dianalisis keterjalinanya dengan unsur-unsur pembangun lainnya. Jika fiksi

yang bersangkutan merupakan sebuah karya yang berhasil, penokohan pasti

berjalan secara harmonis dan saling melengkapi dengan berbagai unsur lain,

misalnya dengan unsur plot dan tema, atau unsur latar, sudut pandang, gaya,

amanat, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2012: 172). Yang dimaksud perwatakan


(41)

tersebut. Ini berari ada dua hal yang penting, yang pertama yang berhubungan

dengan teknik penyampaian dan yang kedua berhubungan dengan watak atu

kepribadian tokoh.

Untuk mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh terdapat

beberapa cara, yaitu: 1) Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan

tindakan-tindakannya, terutama sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis, 2)

Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan tokoh, 3) Melalui penggambaran fisik

tokoh. Penggambaran bentuk tubuh, wajah dan cara berpakaian, dari sini dapat

ditarik sebuah pendiskripsian penulis tentang tokoh cerita, 4) Melalui jalan

pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan tindakannya, 5) Melalui

penerangan langsung dari penulis tentang watak tokoh ceritanya. Hal itu tentu

berbedan fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh, wajah dan cara berpakaian,

dari sini dapat ditarik sebuah pendiskripsian penulis tentang tokoh cerita, 6)

Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan

tindakannya, 7) Melalui penerangan langsung dari penulis tentang watak tokoh

ceritanya. Hal itu tentu berbeda dengan cara tidak langsung yang mengungkap

watak tokoh lewat perbuatan, ucapan, atau menurut jalan pikirannya (Sumardjo

dan Saini K.M, 1997: 65-66)

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh dan

penokohan dapat dilihat dari eksistensi dan jalan cerita, jadi tokoh dan

penokohan sangat erat kaitannya dengan unsur-unsur cerita yang lain.

3) Latar

Dalam analisis novel, latar juga merupakan unsur yang sangat penting


(42)

karya sastra (novel) yang turut mendukung masalah, tema, alur, dan penokohan.

Oleh karena itu, latar merupakan salah satu fakta cerita yang harus diperhatikan,

dianalisis, dan dinilai (Sugihastuti dan Suharto, 2013: 54).

Latar memiliki fungsi untuk memberi konteks cerita. Oleh karena itu,

dapat dikatakan bahwa sebuah cerita terjadi dan dialami oleh tokoh di suatu

tempat tertentu, pada suatu masa, dan lingkungan masyarakat tertentu (Wiyatmi,

2006: 40).

Setting atau latar adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita

dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun

setting juga dapat dikaitkan dengan tempat dan waktu. Jika dikaitkan dengan

tempat, dapat dirinci dari tempat yang luas, misalnya negara, propinsi, kota, desa,

di dalam rumah, di luar rumah, di jalan, di sawah, di sungai, di tepi laut, dan

sebagainya. Yang berkaitan dengan waktu,dapat dulu, sekarang, tahun berapa,

bulan apa, hari apa, dan jam berapa, siang atau malam, dan seterusnya (Waluyo,

2011: 23).

Nurgiyantoro (2012: 216) menyatakan bahwa latar adalah segala

keterangan, petunjuk, pangacuan, yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan

suasana terjadinya peristiwa, dalam cerita. Latar meliputi penggambaran letak

geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang), pekerjaan

atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama,

moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh. Kenney, (1966: 40) menyebutkan

tiga fungsi latar, yaitu: a) Membaca secara keseluruhan, dara keseluruhan, dari

cerita, setting ini mendasari waktu, tempat watak pelaku, dan peristi cerita, setting

ini mendasari waktu, tempat watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi. b) Sebagai

atmosfer atau kreasi yang lebih memberi kesan tidak hanya sekedar mr memberi commit to user


(43)

tekanan pada sesuatu. Penggambaran terhadap sesuatu dapat ditambahkan

denngan ilustrasi tertentu. c) Sebagai unsur yang dominanyang mendukung plot

dan perwatakan, dapat dalam hal waktu dan tempat.

Tak jauh beda dengan pendapat Semi (1993: 46) yang mengatakan bahwa

latar atau landas tumpu (setting) adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi.

Termasuk di dalam hal ini adalah tempat atau ruang yang dapat diamati.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar

merupakan tempat kejadian cerita yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan

suasana terjadinya dalam cerita.

4) Alur atau Plot

Alur merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang

menganggapnya sebagai hal yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang

lain. Kejelasan alur, kejelasan tentang kaitan antarperistiwa yang dikisahkan

secara linear, akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang

dibacanya (Nurgiyantoro: 2012: 110).

Alur atau plot sering disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang

tersusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab ddan akibat dan

memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang

(Waluyo, 2011: 9).

Alur atau plot merupakan penyajian secara linear tentang berbagai hal

yang berhubungan dengan tokoh, maka pemahaman pembaca terhadap cerita amat

ditentukan oleh plot (Nurgiyontoro, 2012: 75). Plot, di pihak lain berkaitan dengan

tokoh cerita. Plot pada hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan commit to user


(44)

peristiwa apa yang terjadi dan dialami tokoh (Kenney 1966 cit. Burhan

Nurgiyantoro, 2012: 75).

Pada prinsipnya, ada tiga jenis alur, yaitu (1) alur garis lurus atau alur

progresif atau alur konvensionaldan (2) alur” flasback” atau sorot balik, atau alur regresif . Di samping kedua jenis alur tersebut, masih terdapat jenis alur ketiga,

yaitu, (3) alur campuran, yaitu pemakaian alur garis lurus atau flashback sekaligus

di dalam cerita fiksi (Waluyo, 2011: 13).

Selain pembedaan plot di atas, Nurgiyantoro (2012: 153) mengkategorikan

plot ke dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau

kriteria yang berbeda pula. Pembedaan plot tersebut didasarkan pada tinjauan dari

kriteria urutan waktu, jumlah, kepadatan, dan isi.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alur merupakan

kerangka sebuah cerita.

5) Sudut Pandang Pengarang (point of View)

Sudut pandang merupakan salah satu unsur fiksi yang penting dan

menentukan. Sudut pandang mempunyai hubungan psikologis dengan pembaca.

Pembaca membutuhkan persepsi yang jelas tentang sudut pandang cerita.

Pemahaman pembaca terhadap sebuah novel akan dipengaruhi oleh kejelasan

sudut pandangnya.

Sudut pandang menurut Nurgiyantoro (2012: 248) disebut juga Point of

view, mengarah pada sebuah cerita dikisahkan, merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan,

latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi

kepada pembaca.


(45)

Sementara Wiyatmi (2006: 41) menjelaskan ada dua macam sudut pandang,

yaitu sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga.

Masing-masing sudut pandang tersebut kemudian dibedakan lagi menjadi: a) Sudut

pandang first person central atau akuan sertaan, b) sudut pandang first person

peripheral atau akuan tak sertaan, c) sudut pandang third person omniscient atau

diaan maha tahu, dan d) sudut pandang third person limited atau diaan terbatas.

Pendapat hampir sama disampaikan Waluyo dan Wardani (2008: 37) yang

membedakan sudut pandang menjadi dua macam, yaitu sebagai orang pertama

(juru cerita) atau sebagai orang ketiga (menyebut pelaku sebagai dia). Berdasarkan

bentuk persona tokoh cerita, Nurgiyantoro, (2012: 256) membedakan sudut

pandang pengarang menjadi dua macam, yaitu: persona pertama dan persona

ketiga.

Kedua sudut pandang tersebut lebih jelas dapat didefinisikan sebagai

berikut:

a. Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan

ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala

sesuatu, di lain pihak ia terikat, mempunyai keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan, jadi hanya selaku pengamat saja (Nurgiyantoro, 2012: 256-257). commit to user


(46)

b. Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”.

Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona

pertama, first-person point of view, “aku”, jadi: gaya “aku” tokoh yang terkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self conciousness,

mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar,

dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada

pembaca (Nurgiyantoro, 2012: 262).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa semua unsur-unsur

cerita sangat berkaitan. Tema novel akan bermakna jika ada jalinan dengan

unsur-unsur lain. Demikian juga dengan unsur-unsur yang lain akan berfungsi jika saling

berkaitan.

6) Amanat

Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada

pembaca. Amanat dalam cerita bisa berupa nasehat, anjuran, atau larangan untk

melakukan/tidak melakukan sesuatu.

Amanat berhubungan dengan makna, yaitu sesuatu yang kias, umum dan

subyektif, sehingga harus dilakukan penafsiran. Melalui penafsiran itu

dimungkinkan terjadinya perbedaan pendapat antar satu pembaca dengan pembaca

lain.

Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada

pembaca, biasanya dalam hal kebaikan (Nurgiyantoro, 2012: 335) mengatakan

bahwa amanat dalam fiksi mungkin bersifat langsung atau tidak langsung.

Pengarang dalam menyampaikan amanat tidak secara serta-merta, tersirat dan

terserah pembaca dalam menafsirkan amanat tersebut. Amanat dalam sebuah commit to user


(47)

karya sastra dapat memberikan manfaat bagi pembaca karya sastra dalam

kehidupan nyata.

2. Hakikat Feminisme a. Pengertian Feminisme

Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (women), berarti perempuan

(tunggal), yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak),

sebagai kelas sosial (Ratna, 2004: 184). Feminisme muncul sebagai upaya perlawanan

dan pemberontakan atas berbagai kontrol dan dominasi kaum laki-laki terhadap kaum

perempuan yang dilakukan berabad-abad lamanya. Gerakan feminisme ini pada

awalnya berasal dari asumsi yang selama ini dipahami bahwa perempuan bisa ditindas

dan dieksploitasi dan dianggap makhluk kelas dua. Feminisme diyakini merupakan

langkah untuk mengakhiri penindasan tersebut (Fakih, 2012: 99).

Weedon (1987) dalam Sugihastuti dan Suharto (2013: 6) menjelaskan tentang

faham feminis dan teorinya, bahwa feminis adalah politik, sebuah politik langsung

mengubah hubungan kekuatan kehidupan antara perempuan dan laki-laki dalam

masyarakat. Kekuatan ini mencakup semua struktur kehidupan, segi-segi kehidupan,

keluarga, pendidikan, kebudayaan, dan kekuasaan. Segi-segi kehidupan itu

menetapkan siapa, apa, dan untuk siapa serta akan menjadi apa perempuan itu. Faham

feminis ini lahir dan mulai berkobar pada sekitar 1960-an di Barat, dengan beberapa

faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini mempengaruhi banyak segi

kehidupan dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan perempuan (Sugihastuti dan

Suharto, 2013: 6)

Menurut para feminis, rendahnya kedudukan dan derajat kaum perempuan


(48)

menjaga kesalehan dan kemurnian, bersikap positif dan menyerah, rajin mengurus

rumah tangga. Nilai-nilai ini yang menghambat perkembangan perempuan untuk

menjadi manusia seutuhnya (Djajanegara, 2000: 5). Dengan adanya pandangan

tersebut, maka muncullah sebuah gerakan perempuan atau gerakan feminisme.

Feminisme menurut Waluyo (2011: 190) merupakan gerakan kaum wanita

untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan

direndahkan oleh kebudayaan dominan baik dalam bidang politik dan ekonomi

maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian yang lebih sempit yaitu

sastra feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam

kaitannya dengan produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian

merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan “kesetaraan gender”.

Dari paparan di atas feminisme dapat diidentikkan dengan gerakan perempuan

yang bertujuan meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau

sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki di bidang apapun tanpa bertujuan

menindas kaum laki-laki.

b. Aliran-aliran Feminisme

Menurut Fakih (2012: 80-106), ada beberapa perspektif yang digunakan dalam

menjawab permasalahan perempuan, yaitu feminis liberal, feminis marxis, feminis

radikal, dan feminis sosialis. Aliran-aliran feminis tersebut mempunyai kesamaan

dalam fokus mengenai penindasan wanita itu, serta cara-cara pemecahan yang

ditawarkannya bagi perubahan sosial atau individual (Moore, 1996: 20). Keempat

macam feminis tersebut dibahas sebagai berikut:


(49)

Feminis liberal muncul sebagai aliran kritik pada politik liberal yang

menunjukkan tinggi otonomi, persamaan, dan nilai-nilai moral serta kebebasan

individu, namun dianggap mendeskriminasi kaum perempuan. Fakih (2012: 81)

menjelaskan asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa

kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia

privat dan publik.

Sugihastuti dan Saptiawan (2007: 97) menjelaskan bahwa aliran feminisme

liberal menolak segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini diharapkan

mampu membawa kesetaraan bagi perempuan dalam semua institusi publik dan

untuk memperluas penciptaan pengetahuan bagi perempuan agar isu-isu tentang

perempuan tidak diabaikan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa pokok pikiran aliran

feminisme liberal adalah bahwa setiap manusia, laki-laki maupun perempuan,

diciptakan seimbang dan serasi, karena itu semestinya tidak terjadi penindasan. Jadi

tuntutan feminisme liberal adalah perempuan harus diberi kesempatan dalam

institusi-institusi pendidikan dan ekonomi agar sejajar dengan laki-laki.

2) Feminis Marxis

Karl Marx melihat bahwa kaum perempuan kedudukan identik dengan kaum

proletar pada masyarakat barat. Adapun pemikiran ini masyarakat kapitalis

menjelaskan bahwa perempuan memegang ranah domestik (rumah tangga),

sedangkan sektor di luar rumah adalah didominasi para suami atau laki-laki. Hal ini

menyebabkan anggapan bahwa laki-laki lebih produktif dan memiliki materi lebih

karena di luar sedangkan istri (perempuan) tidak bernilai apa-apa. commit to user


(50)

Djajanegara (2000: 30) menjelaskan bahwa penindasan terhadap perempuan

terjadi karena adanya pembedaan kelas dalam masyarakat. Kaum perempuan

disamakan dengan kelas buruh yang hanya memiliki modal tenaga dan tidak

memiliki modal uang atau alat-alat produksi. Kaum perempuan ditindas dan diperas

tenaganya oleh kaum laki-laki yang disamakan dengan pemilik modal dan alat-alat

produksi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penindasan kaum

perempuan terjadi akibat adanya pembagian kelas dalam masyarakat yakni

perempuan dianggap kaum proletar sedangkan kaum laki-laki dianggap sebagai

kaum borjuis. Adapun jalan keluar menurut aliran ini adalah dengan cara

menghilangkan pembagian kelas dalam masyarakat. Menurut pemikiran ini,

penindasan terhadap perempuan bukanlah hasil dari bias, tetapi lebih dikarenakan

oleh adanya struktur politik, sosial, dan bahkan ekonomi yang tidak seimbang

akibat berlakunya sistem kapitalis.

3) Feminis Sosialis

Menurut Fakih (2012: 92) asumsi yang digunakan dalam feminis sosialis

adalah bahwa perempuan tidak dapat meraih keadilan sosial tanpa membubarkan

patriarki dan kapitalis. Feminis aliran ini berpendapat bahwa penindasan terhadap

kaum perempuan terjadi di kelas maanapun. Ketidak adilan tidak semata

disebabkan oleh kegiatan produksi atau reproduksi dalam masyrakat, melainkan

karena manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan konstruksi sosial.

Djajanegara (2000: 30) menjelaskan feminis aliran ini meneliti tokoh-tokoh

perempuan dari sudut pandang sosialuan ini meneliti tokoh-tokoh perempuan dari


(51)

felas masyarakat. Pengkritik feminis ini mencoba mengungkapkan bahwa kaum

perempuan merupakan kelas masyarakat yang tertindas.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa feminis sosialis

memandang ketertindasan perempuan terjadi akibat adanya manifestasi

ketidakadilan gender yang merupakan konstruksi soaila dalam masyarakat.

Feminisme sosial merupakan gerakan untuk membebaskan kaum perempuan

melalui perubahan struktur patriarkat. Perubahan tersebut bertujuan agar

kesetaraan gender dapat terwujud.

4) Feminis Radikal

Menurut Fakih (2012: 103) feminis radikal berpendapat bahwa penindasan

terhadap kaum perempuan berakar pada kaum laki-laki. Penguasaan fisik

perempuan oleh laki-laki adalah bentuk dasar penindasan dan patriarki adalah

sistem hierarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege

ekonomi. Jadi, sesungguhnya mereka historik, karena menganggap patriarki

universal dan akar segala penindasan.

Sugihastuti dan Saptiawan (2007: 129) berpendapat bahwa feminisme radikal

bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat

sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kaum

laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh

serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianism), seksisme, relasi kuasa

perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.

Nugroho (2008: 67) berpendapat bahwa ada dua sistem kelas sosial dalam

feminis radikal, yaitu sistem kelas ekonomi yang didasarkan pada hubungan


(52)

kedualah yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan, sedangkan konsep

patriarki berujuk pada sistem kelas kedua ini, pada kekuasaan kaum laki-laki

terhadap kaum perempuan yang didasarkan pada penilikan dan kontrol kaum

laki-laki atas kapasitas reproduksi perempuan. Oleh karena itu, kaum perempuan secara

psikologis dan fisik tergantung pada laki-laki.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa feminisme radikal

memandang penguasaan kaum laki-laki terhadap perempuan dari sudut seksualitas

merupakan bentuk penindasan perempuan.

Waluyo (Jurnal Wanodya, 2000: 1) menyampaikan konsepnya tentang aliran

dalam pendekatan feminisme, yaitu:

Feminisme liberal memandang bahwa menurut kodratnya, perempuan itu

lemah dan kapasitasnya terbatas. Oleh karena itu, perempuan disisihkan dari dunia

publik (pendidikan, pekerjaan, jabatan, dan sebagainya), sehingga tidak dapat

berkembang dan hak-haknya menjadi terbatas. Perempuan tidak mendapatkan

kesempatan untuk berkompetisi secara adil dengan laki-laki. Oleh karena itu,

feminisme liberal menganjurkan gugatan agar tindakan pengendalian agar

perempuan tidak dirugikan.

Feminisme radikal memandang bahwa perbedaan biologis antara laki-laki

dan perempuan menjadi sumber opresi dan subordinasi perempuan yang

membedakan dari laki-laki. Oleh karena itu, pembebasan perempuan harus

diusahakan dengan revolusi biologis-teknologi. Perempuan tidak mengalami

penderitaan berkepanjangan karena harus menderita dalam KB, kehamilan, pengasuhan anak, melayani suami, dan urusan “perempuan” yang sebenarnya adalah urusan bersama. Dominasi laki-laki dalam sistem reproduksi perempuan commit to user


(1)

LAMPIRAN 3

Biografi Pengarang Novel cerita Cinta Enrico

Ia dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnyasoal seks dan agama. Namanya langsung tenar sejak karya pertamanya yang berjudul “Saman” terpilih sebagai Roman terbaik Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998.

Novel “Saman” yang dianggap sebagian kalangan agak “liar” itu dalam waktu tiga tahun terjual kurang lebih 55 ribu eksemplar. Sejak itu, nama Ayu Utami sangat akrab di telinga para pecinta sastra sekaligus menempatkan namanya di deretan atas penulis novel di Tanah Air. Beberapa karya Tokoh Perempuan wanita kelahiran Bogor, jawa Barat, 21 November 1968 ini selanjutnya menjadi incaran pembaca.

Lima novel yakni Saman, Larung, Si Parasit Lajang, Bilangan Fu, dan Manjali dan Cakrabirawa, yang sudah ditulis sarjana sastra jurusan Sastra Rusia Fakultas Sastra Universitas Indonesia, ini semuanya mendapat apresiasi dari pembaca. Gaya penulisan Ayu yang gamblang, terus terang, terkait isu gender, seks, dan spiritualisme, membuat pembaca selalu menunggu-nunggu karyanya.

Berkat novel “Saman”, ia juga mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Clause Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, Belanda yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Melalui novelnya yang berjudul ‘Bilangan Fu’, ia mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award pada 2008.

Menurut kritikus sastra dan Penyair Legendaris Indonesia penyair Sapardi Djoko Damono, 'Saman' memamerkan teknik komposisi yang belum pernah


(2)

dicoba oleh pengarang lain. "Dengan menulis novel, saya merasa bisa memberikan sesuatu untuk pengembangan bahasa Indonesia," ujar Ayu.

Sebelum namanya terkenal oleh novel-novelnya, putri dari pasangan Johanes Hadi Sutaryo dan Bernadeta Suhartinah ini sebenarnya sudah pernah berkarir sebagai sekretaris di perusahaan pemasok senjata, kemudian sebagai guest public relation di Hotel Arya Duta, dan jurnalis.

Di dunia jurnalis, ia pernah menjadi wartawarti di beberapa media cetak seperti wartawan lepas Matra, wartawan Forum Keadilan, dan wartawan D&R. Ketika menjadi wartawan majalah Matra, ia banyak mendapat kesempatan menulis. “dalam menulis, saya lebih menekankan kepada bentuk. Jadi, saya harus dekat dengan obyek lain seperti musik, seni rupa, dan lain-lain,” tutur penyuka karya novelis Ahmad Tohari dan Penyair Legendaris Indonesia penyair Sapardi Djoko Damono ini.

Sebagai wartawan pada era Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Orde Baru, ia juga terlibat dalam aktivitas perjuangan kebebasan informasi. Bersama teman-temannya, ia mendirikan Aliansi Jurnalis Independen. Organisasi yang berseberangan dengan pemerintah saat itu membuat ia dan temannya kena hukum. Beberapa temannya sempat masuk penjara, sementara ia dipecat dari media tempatnya bekerja.

Tapi sebelum memasuki dunia jurnalis dan lainnya itu, ia mengaku sebelumnya pernah gagal menerbitkan novel. Justru karena itu pulalah ia jadi memilih berprofesi wartawan.

Ketertarikan Ayu Utami akan cerita kehidupan sebenarnya sudah tampak dalam dirinya sejak anak-anak. Contohnya, sejak masih kecil, ia sudah punya kebiasaan berkhayal sebelum tidur. Seusai menonton televisi misalnya, ia bersama kakaknya Retno sering commit to user


(3)

bercerita di kamar sampai pukul sebelas malam. Ayu mengaku menggemari cerita petualangan seperti Lima Sekawan, Karl May, dan TinTin.

Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, ia kemudian menulis novel, dan di situlah namanya langsung meroket. Jadi, jika dulu ia gagal jadi novelis kemudian menjadi jurnalis. Belakangan terbalik, gagal menjadi wartawan lalu jadi sastrawan. Namun, diakuinya, dunia jurnalistiklah yang membuat dirinya punya disiplin dan lebih matang, sekaligus membuatnya berhasil jadi novelis.

Dari novel-novelnya yang sudah diterbitkan, banyak yang memuji tulisan Ayu. Namun, tidak sedikit juga yang menganggapnya terlalu berani. Sebab, tulisannya mendobrak norma dan bicara hal yang masih tabu bagi sebagian besar orang Indonesia. Di novel 'Saman' misalnya, Ayu Utami bicara amat terbuka soal seks. Sementara di Bilangan Fu, persoalan yang ingin didobrak Ayu adalah monotheisme dan militerisme yang bahkan sempat membuat beberapa pembaca menduga Ayu seakan mengampanyekan sesuatu yang anti-Tuhan, bahkan hidup tanpa Tuhan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abrams. M. H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston. Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Das and Hazarika. 2014. “A Theoretical Appraisal On Liberal Feminism”. Golden Research

Thougts Vol: 3, Issue: 12, pp. 1-2, 2014.

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.

Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Gaus, Nurdiana. 2011. “Women and School Leadership: Factors deterring female teachers

from holding principal positions at elementay schools in Makassar”. Advancing

Women in Leadership Vol: 31, pp. 45-56.

Hadi, Soedono. 2003. Pendidikan Suatu Pengantar. Surakarta: UNS Press.

Hughes, Patrick J. 2011. “A New Sherriff in Town: The Barriers of Structural Discrimination

Facing Women Leaders”. Advancing Women in Leadership vol. 31, pp. 8-13, 2011.

Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminism. Terjemahan Mundi Rahayu. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Johnson, Leight. 2012. “Separated by Their Sex: Women in Public and Private in the

Colonial Atlantic World.” Aphraben Posted. Marymount University. Issue 2, pp.1.

Kenney, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press. Koentjaraningrat. 1985. Budaya, Mentalitas, dan pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Mishra, Deepanjali. 2012. “A Feminist Study with Reference to Shobha De’s Novels”. The Criterion An Internasional Journal in English.Vol. III. Issue 1, pp 1. 2012.

Moleong, Lexy J. 2007. Metode penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosadakarya. Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Indonesia. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.


(5)

Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Pradopo, Racmat Djoko. 2003. Bebera pa Teor i Sa str a, Metode Kr itik, da n P enera pannya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha, 2004. TeoriMetode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Sarah, Gamble. 2010. Feminisme & Postfeminisme. Yogyakarta: Jalasutra.

Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media. Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Sugihastuti dan Suharto. 2013. Kritik Sastra Feminis Teori dan aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Suroto, 1989. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif : Dasar, Teori, dan Terapannya dalam

Penelitian. Surakarta : UNS Press.

Suyitno. 1986. Sastra. Tata Nilai dan Aksesoris Baru Indonesia. Jogjakarta: Hanindita. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Teeuw, A. 1984.Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tilaar, HAR. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif

untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.


(6)

Tong, Rosemarie. 2006. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra.

Utami, Ayu. 2012. Cerita Cinta Enrico. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ---. 2013. Parasit Lajang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

---. 2013. Pengakuan Eks Parasit Lajang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Waluyo, Herman J. 2011. Pengkajian dan Apresiasi Prosa Fiksi. Surakarta: UNS Press. ---. 1992. Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.

Waluyo, Herman J dan Nugraheni Eko Wardhani. 2008. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Widya Sari.

Wellek, Rene dan Austin Werren. 1997. Theory of Literature. New York: United States of Amerika.

---. 2014. Teori Kesusastraan (diterjemahkan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Winarni, Retno. 2009. Kajian Sastra. Salatiga: Widyasari. Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian sastra. Yogyakarta: Pustaka.