Hubungan antara Hukum Nasional dan Hukum Internasional

IV.2. Hubungan antara Hukum Nasional dan Hukum Internasional

dengan Pelanggaran HAM Terhadap Para Anggota dan Simpatisan PKI Negara memenuhi unsur sebagai pelanggar HAM terhadap anggota dan simpatisan PKI pasca Gerakan Tiga puluh September 1965. Pemerintah dalam hal ini dapat dikategorikan melakukan tindakan baik pelanggaran HAM by commission maupun pelanggaran HAM by omission. Dari segi by commission pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan yang melanggar HAM PKI, anggota dan simpatisannya, anggota keluarga mereka serta ribuan warga Negara Indonesia lainnya yang hanya dicurigai sebagai anggota dan simpatisan PKI, seperti: 1. Membubarkan PKI secara sepihak pada tanggal 12 Maret 1966 melalui Keppres 131966 dan disusul keputusan yang dikeluarkanpada tanggal 14 Maret 1966 yang menyatakan seluruh partai politik dan organisasi massa dilarang menerima anggota baru yang berasal dari partai terlarang PKI 2. Mengeluarkan kebijakan bersih lingkungan, di mana setiap orang berkewajiban membuktikan dirinya bukan anggota atau simpatisan PKI melalui KTP yang menyatakan bersih dari keterlibatan dengan PKI 3. Adanya kewajiban bagi para setiap bekas tapol PKI untuk menerakan tulisan “eks tapol” di belakang namanya pada KTP sehingga menyulitkan para bekas tapol untuk kembali membangun hubungan sosial dengan masyarakat dan hubungan politik dan ekonominya Universitas Sumatera Utara 4. Pelarangan buku-buku yang dicurigai memuat paham Marxisme-Leninisme oleh kejaksaan agung seperti buku-buku dari Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Sobron Aidit, dan yang lainnya 5. Penyiksaan para tapol di berbagai tahanan di seluruh Indonesia, seperti penyiksaan para tapol di Pulau Buru yang berlangsung hingga 1978 Sedangkan dari segi pelanggaran HAM by omission, Negara melakukan pelanggaran HAM dengan tindakan-tindakan antara lain: 1. Terjadinya pembunuhan massal di sejumlah daerah di Indonesia dengan dalih membersihkan Indonesia dari bahaya komunisme dan membersihkan Gerakan Tiga puluh September sampai ke akar-akarnya. Dalam hal ini, Negara tidak selalu turun langsung, namun dengan memanfaatkan sipil yang tergabung dalam organisasi-organisasi kepemudaan, baik yang berbau keagamaan maupun tidak. Negara melalui Resimen Para Komando Angkatan Darat RPKAD memasuki wilayah-wilayah Indonesia melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang diduga anggota atau simpatisan PKI dengan cara mempropaganda. Perbedaan waktu terjadinya kekerasan di daerah-daerah yang berlainan menunjukkan bahwa kedatangan Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat RPKAD berperan sebagai pemicu. Pengamatan Anderson dan McVey di JawaTengah mengemukakan bahwa kekerasan baru dimulai saat pasukan RPKAD tiba di ibu kota provinsi tersebut, Semarang, pada 17 Oktober, dan kemudian menyebar ke kota-kota kecil dan desa-desa pada hari- hari berikutnya. Adalah RPKAD yang mengatur dan melaksanakan eksekusi para pemimpin PKI Bali pada 16 Desember 1965 di Desa Kapal. Ada banyak Universitas Sumatera Utara saksi kejadian itu karena RPKAD mengundang politisi-politisi antikomunis di Bali selatan untuk menonton. Pembantaian sekitar 30 orang ini, termasuk I Gde Puger, seorang pengusaha berada yang dikenal sebagai penyandang dana untuk PKI walaupun ia bukan anggota partai, mengungkapkan bahwa militer mendorong penduduk sipil untuk membunuh orang-orang yang terkait dengan PKI. Koordinasi antara Soeharto dan RPKAD sangat erat: ia datang di Bali satu hari setelah pasukan parakomando mendarat di sana. Orang-orang sipil yang terlibat dalam pembunuhan, apakah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, atau tempat-tempat lainnya, umumnya anggota milisi yang sudah dilatih oleh militer baik sebelum maupun sesudah 1 Oktober, dan diberi senjata, kendaraan, serta jaminan kebal hukum. Mereka bukan sekadar orang-orang sipil biasa yang bertindak mandiri dari militer. 118 2. Negara membiarkan terjadinya pelanggaran HAM tersebut dan selama 44 tahun lamanya tidak ada upaya hukum yang dilakukan Negara baik untuk melakukan penyelidikan serius mengenai pelanggaran HAM tersebut maupun untuk mengembalikan hak-hak para korban. Sedangkan peran aktor-aktor non-Negara dalam pelanggaran HAM terhadap PKI adalah terkait dengan pembunuhan massal yang dilakukan pemuda dari beberapa organisasi yang dikoordinir oleh militer. Selain itu, penonaktifan anggota dan simpatisan PKI dari sejumlah instansi swasta yang dilakukan pasca Gerakan Tiga puluh September adalah juga peranan aktor-aktor non-Negara dalam pelanggaran HAM ini. 118 John Roosa. Op. cit. Halaman 36-37 Universitas Sumatera Utara Tindakan-tindakan tidak manusiawi yang dilakukan Negara terhadap para anggota dan simpatisan PKI ini juga jika ditinjau dari peraturan perundang- undangan nasional jelas dapat dikategorikan pelanggaran HAM yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 9 yang mengatur tentang pelanggaran kejahatan HAM berat kejahatan terhadap kemanusiaan yang berupa: a. Pembunuhan b. Pemusnahan c. Perbudakan d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional f. penyiksaan g. perkosaan h. penganiayaan terhadap kelompok tertentu yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional i. penghilangan orang secara paksa j. kejahatan apartheid Universitas Sumatera Utara Jika ditinjau dari isi DUHAM, maka Negara telah melakukan pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan PKI. Dari pembahasan di Bab sebelumnya, hak-hak yang pasti dilanggar adalah yang termuat dalam Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6, 9, 10, 11, 12, 18, 19, 20, 22, 23, 26, 27. Pendiskriminasian orang- orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI dalam memperoleh hak-hak dasar sebagaimana diatur dalam DUHAM telah melanggar Pasal 2, begitu pula dengan penganiayaan yang diterima oleh mereka baik di dalam maupun di luar tahanan atau penjara, seperti penyiksaan para tapol di Pulau Buru dan berbagai penjara atau tahanan lain yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia yang tidak layak huni telah melanggar Pasal 5. Pengeksloitasian tenaga para tapol dengan kompensasi yang tidak jelas selama di tahanan juga melanggar ketentuan Pasal 4 yang melarang ketentuan mengenai penghambaan. Pembubaran dan tindakan mengilegalkan PKI melanggar ketentuan dalam Pasal 18 hingga 20, sedangkan pemblokiran akses mereka dalam hidup berpolitik, memperoleh pekerjaan, pelayanan sosial, pendidikan dan mengekspresikan diri melalui seni dan budaya telah melanggar pula ketentuan Pasal 21 sampai 27. Tidak diberinya akses bagi mayoritas tapol untuk menanyakan alasan hukum ditahannya mereka seperti juga tidak diberinya kesempatan bagi mereka untuk membela dirinya di depan pengadilan juga menyalahi ketentuan Pasal 6 sampai 12. Dalam hal ini Negara melakukan pelanggaran yang cukup pelik melalui berbagai regulasi yang menyebabkan ditahannya orang-orang yang terkait PKI maupun yang dicurigai terikat keanggotaan PKI. Universitas Sumatera Utara Dalam pengadilan yang diselenggarakan bagi mereka yang digolongkan sebagai Golongan A, Mahmilub dalam hal ini tidak dapat dijamin sebagai lembaga peradilan yang imparsial. Hal ini dikarenakan proses peradilan di Mahmilub sendiri tidak mengijinkan adanya kesempatan banding bagi para terdakwa, mahmilub merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Kolonel Abdul Latief dalam pledoinya yang diterbitkan tahun 2000 menyatakan bahwa proses persidangan berjalan dengan tidak semestinya teruatama akibat sikap dan tindak-tanduk hakim. Hakim menolak pembacaan eksepsi Latief dan memerintahkan agar ia hanya membacakan poin-poin pentingnya saja. Ia juga dilarang mengemukakan pendapat meski relevan untuk kepentingan pemeriksaan, misalnya menanggapi keterangan saksi atau tuduhan penuntut. Selain itu secara tidak wajar majelis hakim menyuruhnya memberi keterangan terlebih dahulu sebelum pemeriksaan saksi-saksi, dan bukan sebaliknya. Pemeriksaan terhadap saksi-saksi dalam perkara Latief juga berjalan secara tidak terbuka. Saksi Pono tidak didatangkan Jaksa karena alasan teknis. Keterangannya hanya dibacakan di muka persidangan, padahal yang bersangkutan ada dalam tahanan dan bersedia diperiksa sebagai saksi. Selain itu, ketika Latief meminta mengahadirka saksi Soeharto sebagai saksi yang meringankan, hakim menolak permintaan itu dengan alasan tidak relevan. 119 Sementara, Sudisman, dalam pledoinya yang diterbitkan tahun 2000 juga menyatakan bahwa pengadilan secara diskriminatif tidak menyiarkan jalannya persidangan melalui Radio Republik Indonesia sebagaimana dilakukan dalam 119 Samuel Gultom. Op. cit. Halaman 65-66 Universitas Sumatera Utara siding-sidang Mahmilub sebelumnya. Sehingga secara umum, dalam perkara- perkara yang digelar, hakim bukannya berusaha menemukan apakah terdakwa memang terlibat dalam Gerakan Tiga puluh September, malah secara serampangan langsung ingin membuktikan benar atau tidaknya para terdakwa sebagai anggota PKI. 120 1. Pasal 7 menyebutkan bahwa tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hal ini terkait dengan penyiksaan yang dilakukan terhadap para tapol terkait dugaan hubungan mereka dengan PKI Jika dilihat dari Kovenan Sipol dan Kovenan Ekosob yang menjabarkan lebih lanjut kelentuan-ketentuan dalam DUHAM, perlakuan yang diterima oleh anggota dan simpatisan PKI sejak pasca Gerakan Tiga puluh September juga merupakan pelanggaran oleh Negara. Adapun pelanggaran terhadap kovenan sipol yang dilakukan Negara adalah: 2. Pasal 9 angka 3 bahwa setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan pengadilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Hal ini bertentangan dengan banyaknya tapol yang ditahan bertahun-tahun untuk menunggu proses peradilan mereka atau bahkan tidak pernah diadili 3. Pasal 22 ayat 1 yaitu setiap orang berhak atas kebebasan berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat 120 Ibid Universitas Sumatera Utara pekerja untuk melindungi kepentingannya. Pelanggaran terhadap pasal ini asalah ketika Negara membubarkan PKI secara sepihak dan membuat statusnya sebagai partai terlarang melalui TAP MPRS XXV1966 Sedangkan pelanggaran terkait kovenan ekosob adalah: 1. Pasal 6 ayat 1 yaitu pengakuan Negara-negara pihak terhadap hak atas pekerjaan, termasuk hak semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas dan persetuan Negara-negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi hak ini. Dalam hal ini Negara melakukan pelanggaran dengan pemecatan sepihak orang-orang yang merupakan anggota dan simpatisan PKI, serta pembatasan kebebasan mereka memilih pekerjaan dan mencari nafkah dengan pemberian status “eks tapol” di setiap kartu identitas para bekas tapol 2. Pasal 15 ayat 1 yang berisi ketentuan yang mewajibkan Negara-negara pihak pada kovenan untuk mengakui hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya, dan untuk memperoleh manfaat dari perlindungan atas kepentingan moral dan material yang timbul dari karya ilmiah, sastra atau seni yang telah diciptakannya. Terkait dengan pasal ini Negara telah melakukan pelanggaran dengan melarang terbitnya sejumlah karya sastra dan seni yang dihasilkan oleh sastrawan dan seniman yang merupakan anggota Lekra yang berafiliasi dengan PKI Merujuk pada pengertian-pengertian mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dan unsur-unsurnya, maka pelanggaran HAM terhadap anggota dan Universitas Sumatera Utara simpatisan PKI pasca Gerakan Tiga puluh September 1965 dapat dikatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan dapat diminta pertanggungjawaban secara individual oleh pelakunya. Unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan yang memenuhi persyaratan dari pasal 7 Statuta Roma dan Pasal 9 UU No. 26 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. 121

IV.3. Implementasi Hukum Nasional dan Hukum Internasional Atas