BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Dalam berbagai konferensi hukum internasional yang berkenaan dengan hukum dan Hak Asasi Manusia HAM, Indonesia selalu memposisikan dirinya
sebagai Negara yang mendukung perlindungan Hak Asasi Manusia secara utuh. Ini terlihat dari fakta bahwa sejak reformasi 1998, Indonesia, yang walaupun
produk peraturan perundang-undangan di bidang HAM relatif sedikit,
1
1
Menurut data assessment dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, ditemukan hanya terdapat 35 Undang-undang atau sekitar 25 dari keseluruhan prosuk legislasi
2005-2008, yang tegas memiliki relasi dengan HAM. Lebih lengkap lihat: Wahyudi Djafar. “HAM Masih Menjadi Anak Tiri”. Asasi edisi Maret-April 2009. Halaman 8
selain telah mempunyai peraturan perundang-undangan tersendiri di bidang Hak Asasi
Manusia HAM, yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, terhitung telah
lebih intensif untuk turut serta sebagai pihak pada berbagai perjanjian internasional yang bersifat multilateral, khususnya perjanjian internasional di
bidang HAM seperti International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, International Covenant on Civil and Political Rights
Universitas Sumatera Utara
ICCPR, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, Convention on the Elimination of All Discrimanation against Women, Convention
against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dan Convention on the Rights of the Child.
2
Namun, fakta keikutsertaan Indonesia pada perjanjian-perjanjian tersebut tidak berbanding lurus dengan implementasi perlindungan Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kemajuan di bidang perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia yang tidak mengalami kemajuan yang signifikan sejak
pascareformasi 1998. Dalam laporan HAM yang dikeluarkan oleh Human Rights Watch bahkan ditemukan bahwa untuk tahun 2008 Indonesia malah menunjukkan
kemajuan yang sangat sedikit di bidang perlindungan Hak Asasi Manusia yang ditandai dengan pengukungan kebebasan memilih kepercayaan kasus
Ahmadiyah, dan kebebasan pers yang masih terpasung.
3
2
Instrumen-instrumen internasional tersebut telah diratifikasi sebagai berikut: a.
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination telah diratifikasi dengan UU No. 29 Tahun 1999 tentang
Pengesahan Konvensi Internasional menganai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial
b. International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR telah diratifikasi
dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak- hak Sipil dan Politik
c. International Covenant on Economic Social and Cultural Rights telah diratifikasi
dengan UU No. 11 Tahun 2005, tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak- hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
d. Convention on the Elimination of All Discrimanation against Women telah
diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan
e. Convention against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment telah diratifikasi dengan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau hukuman yang
merendahkan Martabat, tidak manusiawi dan kejam lainnya
f. Convention on the Rights of the Child telah diratifikasi dengan Keppres 361990
tentang pengesahan Konvensi Hak-hak Anak
3
Human Right Watch World Report 2009. Halaman 259
Universitas Sumatera Utara
Berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia sejak masa orde lama juga masih belum mendapat kepastian hukum, mulai dari peristiwa pembunuhan
massal sebanyak lebih dari setengah juta orang yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pada Tahun 1965-1966, Pelanggaran HAM
di Papua terhadap orang-orang yang diduga bersimpati pada gerakan Operasi Papua Merdeka OPM pada 1962-1998, Pembantaian terhadap rakyat sipil di
Santa Crus, Dili, Timor Timur Pada 1973-1998, peristiwa Tanjungpriok pada 1984, Kasus Pembunuhan di Trisakti dan Semanggi pada 1998-1999, pelanggaran
HAM terhadap rakyat sipil Aceh sejak 1989. Justru pelaku pelanggar HAM pada kasus-kasus tersebut kebanyakan dikomandoi oleh Negara, dalam hal ini Tentara
Nasional Indonesia TNI. Kasus Aceh sendiri telah berakhir damai sejak penandatangan MoU
Memorandum of Understanding di Helsinski, Finlandia pada tahun 2005 antara Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM yang mana salah satu poin dalam
MoU tersebut adalah Pemerintah Republik Indonesia memberikan amnesti kepada semua orang yang terlibat dalam kegiatan GAM dan pembebasan tanpa syarat
bagi narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik tersebut. Namun, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk konflik tersebut belum terbentuk
hingga sekarang. Sedangkan untuk kasus Timor Timur, telah mendapat putusan yang in
kracht dari Pengadilan Ad hoc HAM pada tahun 2005. Putusan itu sendiri tidak
Universitas Sumatera Utara
dapat dikatakan sebagai putusan yang mencerminkan rasa keadilan karena dari 18 terdakwa, kesemuanya akhirnya diputus bebas.
4
Kasus Trisakti dan Semanggi sendiri Pada 31 Maret 2008, Kejagung mengembalikan berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM penembakan
mahasiswa Universitas Trisakti dan kasus Semanggi 1 dan Semanggi 2, serta kasus kerusuhan Mei 1998 dan penghilangan orang secara paksa ke Komnas
HAM. Berkas penyelidikan itu dikembalikan, antara lain, karena menunggu Pengadilan HAM Ad Hoc terbentuk.
5
Sedangkan kasus-kasus lainnya seperti kasus Tanjung Priuk dan Pembantaian massal 1965-1966 justru belum mendapat penanganan sama sekali
secara hukum. Kasus pembantaian massal 1965-1966 serta pelanggaran HAM lain yang menyertainya hingga kurun waktu puluhan tahun sesudahnya adalah salah
satu yang perlu mendapat perhatian karena dilihat dari segi kuantitas, pembantaian ini adalah yang memakan korban paling banyak sepanjang sejarah
pembunuhan massal di Indonesia yaitu sekitar satu setengah juta penduduk sipil yang terbunuh dalam peristiwa tersebut,
6
Pembunuhan massal ini diawali dengan sebuah anggapan bahwa penggerak tragedi pembunuhan 7 Jenderal pada 30 September 1965 yang juga
serta pendiskreditan kolektif terhadap pengikut partai politik yang pertama kali terjadi dalam sejarah Indonesia.
4
http:www.infoanda.comlinksfollow.php?lh=AlpWB1NSVAED. Diakses tanggal 3 Maret 2010
5
http:komnasham.go.idportalidcontenttalangsari-tidak-bisa-disidik. Diakses tanggal 11 Februari 2010
6
Robert Cribb dalam Pengantar buku “Indonesian Killings”, Halaman 42, seperti dikutip oleh John Roosa, 2008. Dalih Pembunuhan Massal dan Kudeta Suharto. Jakarta: Hasta Mitra.
Halaman 5
Universitas Sumatera Utara
disebut sebagai Gerakan Tiga puluh September adalah Partai Komunis Indonesia PKI dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua orang baik yang secara
terang-terangan mengaku sebagai anggota dan simpatisan PKI maupun yang orang-orang yang masih diduga sebagai bagian dari Partai tersebut harus dibasmi
hingga ke akar-akarnya, bahkan tindakan ini tak terkecuali hingga petani buta huruf di dusun-dusun terpencil yang ditampilkan sebagai gerombolan pembunuh
yang secara kolektif bertanggung jawab atas Gerakan Tiga puluh September.
7
Peristiwa Gerakan Tiga puluh September dan siapa dalang di baliknya memang sangat kompleks sehingga kajian sejarah terhadap peristiwa ini memang
tidak henti-henti terus dilakukan, ini terbukti dari berbagai versi tentang kejadian itu sendiri yang dihasilkan dari berbagai penelitian sejarah. Tidak ada hasil
penelitian yang seragam di antara para ahli sejarah bahwa PKI memang dalang dari peristiwa Gerakan Tiga puluh September seperti juga tidak ada bukti yang
sangat valid bahwa PKI bukan dalang dari peristiwa tersebut. Namun, terlepas dari konspiratif peristiwa tersebut, hal yang pasti adalah peristiwa yang terjadi
sesudahnya, Pasca 30 September 1965, yaitu terjadinya pelanggaran-pelanggaran Dan sejak Gerakan Tiga puluh September pulalah terjadi pembunuhan besar-
besaran di berbagai daerah di Indonesia, baik yang dilakukan oleh militer maupun yang dilakukan oleh sipil dengan koordinasi dari militer, serta berbagai bentuk
pendiskreditan secara ekonomi, sosial, dan politik yang membuat para angggota dan simpatisan PKI menjadi teralienasi sebagai warga Negara terlebih-lebih
sebagai manusia merdeka.
7
Ibid. Halaman 26
Universitas Sumatera Utara
HAM terhadap sebagian besar anggota-anggota dan simpatisan PKI berupa penyiksaan-penyiksaan baik secara fisik maupun secara psikis tanpa terlebih
dahulu melewati prosedur hukum. Oleh karena itu, secara khusus penelitian ini tidak sedang berusaha
membahas tentang konspirasi tentang siapa aktor intelektual atau kelompok mana yang paling bertanggung jawab di balik Gerakan Tiga puluh September, pula
tidak sedang menempatkan PKI dalam posisi benar atau salah dalam peristiwa tersebut. Dalam keadaan bersalah atau benar, seseorang atau sekelompok orang
tetap harus dihormati martabatnya sebagai manusia, sehingga, dalam kasus tersebut, andaikata pun PKI adalah dalang peristiwa Gerakan Tiga puluh
September 1965, anggota-anggota dan simpatisan PKI tidak selayaknya mendapat perlakuan-perlakuan yang menafikan hak-hak dasar mereka sebagai manusia,
selain karena pembunuhan para jenderal yang jika memang benar dilakukan oleh segelintir orang-orang dari PKI tidak sebanding dengan hukuman kolektif yaitu
ditumpasnya seluruh anggota dan simpatisan PKI yang tidak tahu menahu tentang peristiwa tersebut, hal ini juga menyalahi hak-hak dasar umat manusia yang
tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia DUHAM. Begitu pula, bagi setiap warga Negara, Hak setiap orang untuk mendapat
perlindungan adalah hal yang urgen dan Negara wajib menjamin setiap warga negaranya untuk mendapatkannya tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini para
anggota dan simpatisan PKI sebagai warga Negara Indonesia yang telah terlanjur dicap sebagai penghianat Negara. Apa yang dialami oleh anggota-anggota dan
simpatisan PKI yang menjadi korban stigma pelaku Gerakan Tiga puluh
Universitas Sumatera Utara
September sejak tahun 1965, yaitu bentuk-bentuk pelanggaran-pelanggaran HAM yang serius sebenarnya dalam hukum internasional dapat pula dikategorikan
sebagai Kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity atau bahkan menurut pendapat Robert Cribb yang dengan ekstrim mengemukakan bahwa hal
ini juga dapat disebut sebagai genosida genocide dikarenakan menurut beliau bahwa, terkait dengan defenisi konvensi genosida 1948 bahwa korban genosida
meliputi kelompok nasional, etnik, ras, atau agama, identitas nasional di Indonesia lebih diartikan kepada pandangan politik daripada kepada etnik atau ras.
Bagaimanapun, dalam hukum internasional, pemerintah Indonesia yang telah mengabaikan hak-hak dasar warganya dalam peristiwa pembersihan unsur
PKI pasca Gerakan Tiga puluh September, telah banyak menyalahi kaidah-kaidah hukum HAM internasional. Tindakan pemerintah Indonesia yang telah
meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM akan tetapi banyak melanggar HAM warganya adalah tindakan yang mendapat kecaman dari
masyarakat internasional dan sudah selayaknya pelanggaran HAM berat yang dilakukan Negara terhadap warganya bisa diadili dalam forum pengadilan
internasional. Namun pun demikian, pengadilan-pengadilan nasional pertama- tama harus memperhatikan hukum nasional dalam hal terjadi konflik dengan
hukum internasional. Negara menurut hukum internasional memiliki kebebasan penuh untuk bertindak, dan hukum nasionalnya merupakan persoalan domestik di
mana Negara lain tidak berhak untuk mencampurinya.
8
8
J.G. Starke. 2004. Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika. Halaman 114
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi, dalam hal pelanggaran HAM berat, seperti Genosida, kejahatan terhadap kemanusaan, penyiksaan dan penghilangan paksa, hukum
kebiasaan internasional dan dan prinsip-prinsip hukum umum boleh memberlakukan yurisdiksi universal terhadap orang-orang yang dicurigai
melakukan kejahatan tersebut di atas.
9
9
Amnesty International. “Universal Jurisdiction: 14 Principles on the Effective Exercise of Universal Jurisdiction”.
Artinya masyarakat internasional berhak memberlakukan yurisdiksinya juga terhadap pelaku tersebut tanpa memandang
nasionalitasnya. Statuta Roma sendiri dalam Pasal 17 menyiratkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional dapat mengadili suatu perkara apabila Negara
yang bersangkutan tidak mampu atau tidak bersedia untuk melakukan penuntutan terhada perkara aquo.
Fakta bahwa banyaknya pelanggaran HAM terhadap anggota dan simpatisan PKI pasca Gerakan Tiga puluh September tidak berbanding lurus
dengan usaha-usaha perlindungan HAM yang dilakukan Negara baik semasa terjadinya peristiwa tersebut maupun hingga kurun waktu 30 tahun setelahnya
membuat pentingnya dilakukan kajian hukum terhadap peristiwa ini, dalam hal ini dikhususkan pada kajian hukum internasional, yaitu tentang apa-apa saja bentuk-
bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pasca Gerakan Tiga puluh September 1965 dan bagaimana hukum internasional mengatur perlindungannya, hal-hal
tersebutlah yang melatarbelakangi studi “Pelanggaran HAM terhadap Partai Komunis Indonesia PKI dalam Gerakan Tiga puluh September 1965” ini.
http:www.amnesty.orgenlibraryassetIOR530011999endd42b888- e130-11dd-b6eb-9175286ccde2ior530011999en.pdf . Halaman 2. Diakses tanggal 18 Februari
2010
Universitas Sumatera Utara
I.2. Perumusan Masalah