Pendiskreditan secara Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya

IV.1.1. Pendiskreditan secara Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Peristiwa Gerakan Tiga puluh September dan stigma yang dilekatkan kepada anggota dan simpatisan PKI tidak hanya menyebabkan mereka menerima penganiayaan secara fisik, namun juga secara psikis. Sejak awal, dari Penambahan kata “PKI” oleh rezim orde baru di belakang kata G30S saja sudah merujuk PKI sebagai pelaku aksi militer Gerakan Tiga Puluh September, padahal penamaan itu diberikan sebelum ada penyelidikan dengan hasil data yang akurat bahwa PKI adalah dalang peristiwa tersebut. Penamaan yang tidak netral ini jelas telah mendiskreditkan PKI, terlebih-lebih para anggota dan simpatisannya yang terpaksa menanggung “dosa politik” dari kesalahan yang tidak mereka lakukan. Pasca Gerakan Tiga puluh September, berbagai pemberitaan di media- media yang condong terhadap pemerintah, seperti Berita Yudha, surat kabar milik AD, beramai-ramai menerbitkan kampanye hitam terhadap PKI. Dalam berita- berita tersebut PKI dituduh melakukan pembunuhan sadis terhadap para Jenderal di Lubang buaya, seperti: mencungkili mata, menyayat-nyayat alat kelamin para jenderal, dan menarikan tarian harum bunga di sekitar mayat-mayat tersebut, Pemuda Rakyat PR dan Gerakan Wanita Indonesia Gerwani yang berafiliasi dengan PKI dianggap turut serta dalam hal ini. Kecenderungan pemberitaan dengan versi tersebut sebagai mainstream pemberitaan di media-media Indonesia pada saat itu dipengaruhi dengan dikeluarkannya Surat Perintah Pangdam VJaya No. 01Drt101965 yang memerintahkan Panglima Daerah Kepolisian Universitas Sumatera Utara VIIJaya untuk menguasai semua percetakan serta melarang setiap penerbitan yang berupa apapun tanpa ijin Pepelrada Jaya cq Pangdak VIIJaya. 85 Bukan hanya terhadap PKI saja pelarangan ini dilakukan, namun juga pemerintah melalui TAP MPRS No. XXVMPRS1966, melarang semua akses terhadap ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme, kecuali untuk kajian akademis yang akan diatur lebih lanjut melalui undang-undang, yang ternyata juga tidak pernah diterbitkan. Sejak tahun 1966, hanya ada satu lembaga kajian yang berwenang menyimpan berkas-berkas dan dokumen-dokumen mengenai Marxisme- Gambaran perlakuan kejam dari para anggota dan simpatisan PKI ini juga masih terpahat dengan jelas pada Monumen Pancasila Sakti yang dibuka pada 1969. Selain itu, PKI juga diidentikkan dengan kaum antiagama, sehingga secara sosial, orang-orang yang tersangkut PKI makin teralienasi dari lingkungannya. Peraturan ini secara praktis menyebabkan orang-orang yang pada waktu itu beragama di luar agama resmi Negara beramai-ramai memilih salah satu dari kelima agama tersebut. PKI praktis dibubarkan oleh pemerintah pada 12 Maret 1966, setelah Soeharto mengklaim dirinya menerima Surat Perintah Sebelas Maret Supersemar dari Soekarno, yangmana dalam surat perintah tersebut Soeharto diperintahkan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga keamanan negara. Penerimaan Supersemar ini kemudian diterjemahkan oleh Soeharto sebagai amanat pembubaran PKI sehingga PKI kemudian dianggap sebagai partai illegal. 85 Staf Pertahanan – Keamanan Lembaga Sejarah. Op. cit. Halaman 166 Universitas Sumatera Utara Leninisme yaitu Dinas Penelitian dan Pengembangan Masalah-masalah Komunisme, yang berada di bawah Pusat Sejarah Departemen Kehakiman. Pencabutan terhadap TAP MPRS No. XXV1966 yang diskriminatif ini pada masa pemerintahan K.H. Abdurachman Wahid, telah sempat diusulkan untuk dicabut, namun hingga saat ini tidak ada proses hukum yang mengarah pada indikasi dicabutnya peraturan tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Indonesia juga masih melarang penyebaran ajaran Marxisme-Leninisme, dikeluarkannya UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara makar dengan menambah 6 ketentuan baru di antara pasal 107 dan 108 KUHP yang kesemua ketentuan tersebut pada dasarnya adalah pelarangan penyebaran ajaran Marxisme-Leninisme. Kemudian, untuk membendung aktivitas-aktivitas PKI, mulai akhir 1965 diberlakukan pula Surat tanda tidak terlibat G30S. Surat ini kemudian menjadi syarat lolos untuk berbagai institusi, mulai dari institusi akademis hingga pekerjaan, bahkan di beberapa tempat surat ini juga diberlakukan bagi mereka yang ingin pindah rumah dan sebagai salah satu prasyarat perkawinan. 86 86 Soe Hok Gie. “Surat Tidak Terlibat G30S” dalam Stanley dan Aris Santoso Ed. 2005. Zaman Peralihan. Jakarta: Gagas Media. Halaman 213 Pengurusan Kartu Tanda Penduduk KTP bagi mereka yang pernah berstatus sebagai tahanan politik tapol terkait hubungan mereka dengan PKI juga menjadi tidak mudah. Perlakuan ini dialami oleh Nani Nurani yang berumur 62 tahun dan pernah ditahan selama 7 tahun karena beliau pernah menari pada perayaan ulang tahun PKI pada 1965, pemerintah berdalih dasar hukum tidak dikeluarkannya Universitas Sumatera Utara KTP tersebut adalah Tap MPRS XXV1966 yang menjadi peraturan “multifungsi” untuk mendiskreditkan PKI dalam segala aspek. Pengurusan KTP ini sendiri baru selesai pada 2003 setelah melalui perjuangan yang sulit. Ribuan bekas tapol di seluruh Indonesia juga mengalami kesulitan administratif yang sama. 87 Berbagai instansi pemerintah dan swasta juga menolak membukakan lowongan bagi mereka yang tersangkut paut dengan PKI, bahkan pendiskreditan ini juga berlaku bagi mereka yang diketahui sebagai generasi dari orang tua yang berafiliasi dengan PKI. Banyak dari mereka yang sulit mencari pekerjaan karena status sebagai anak PKI. Anak-anak D.N. Aidit sendiri misalnya, Ilham Aidit, ketika ia mendaftar menjadi pegawai negeri, ia langsung ditolak terkait statusnya sebagai anak dari Ketua CC PKI. 88 Di berbagai daerah di Indonesia terjadi arus besar penolakan dan pemecatan bagi mereka yang diduga atau merupakan anggota dan simpatisan PKI. Di Bandung, pada 14 Okober 1965 terjadi gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh kurang lebih 6.000 orang dari 21 organisasi yang menuntut pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. Demonstrasi tersebut dilanjutkan dengan penyerbuan dan penghancuran terhadap gedung-gedung PKI dan ormas-ormasnya. Di Cimahi terjadi pembersihan dari orang-orang yang tersangkut PKI. Hingga 21 Oktober 1965 tercatat sebanyak 1.751 orang tahanan di Jawa Barat. 89 87 Asvi Warman Adam. “The History of Violence and State in Indonesia”. CRISE Working Paper No. 54 June 2008. http:www.crise.ox.ac.ukpubsworkingpaper54.pdf. Diakses pada tanggal 9 Februari 2010 88 Budi Kurniawan dan Yani Andriansyah. 2005. Menolak Menyerah: Menyingkap Tabir Keluarga Aidit. Yogyakarta: ERA Publisher. Halaman 12 89 Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. 1998. Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid IV: Pemberontakan G30SPKI dan Penumpasannya. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. Halaman 256 Universitas Sumatera Utara Sementara di Cirebon, massa rakyat mengadakan penyerbuan dan penghancuran terhadap rumah tokoh-tokoh G30SPKI. Sementara di Jawa Timur, Pelperada mengambil tindakan menonaktifkan tenaga PKI di semua lembaga Negara, mengamankan tokoh-tokoh PKI, dan mewajibkan tokoh PKI dan ormas- ormasnya untuk melaporkan diri mulai tanggal 23 Oktober 1965. Di Aceh, pada 6 Otober 1965, keputusan Gubernur atas desakan 7 partai politik yang tergabung dalam Front Nasional DI Aceh yang menginginkan PKI dan organisasi- organisasinya dibekukan dan menonaktifkan semua wakil PKI dan ormas- ormasnya dari semua Lembaga Negara dan badan-badan pemerintahan di Aceh akhirnya dikeluarkan. Kebijakan serupa juga terjadi di Sumatera Utara yang memecat dan menonaktifkan aparat pemerintah yang terindikasi terlibat G30SPKI. 90 Sementara di Irian Jaya sekarang Papua sejak pasca Gerakan Tiga puluh September, Pangdam Irian Jaya mengeluarkan suatu maklumat politik bahwa Orang Jawa yang datang ke Irian barat sebelum 1965 adalah PKI tugas; setelah 1965 adalah PKI lari. Sehingga terutama bagi mereka yang datang dari Jawa dan tidak mempunyai surat bersih diri akan diperiksa sebagai orang yang dicurigai PKI. 91 Para bekas tapol PKI juga diharuskan menerakan kata “eks tapol” di KTP mereka, dan setelah dikembalikan ke masyarakat pun, status mereka tidak pulih sepenuhnya, mereka masih dianggap sebagai orang yang berada di bawah pengampuan. Para bekas tapol ini dilepaskan dengan membebankan kewajiban 90 Ibid. Halaman 259-263 91 H.D. Haryo Sasongko Penyusun. 2003. Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965. Jakarta: Amanah Lontar. Halaman 177 Universitas Sumatera Utara bagi keluarganya untuk tetap mengawasinya dan menjamin perilaku dari bekas tapol tersebut, antara lain agar bekas tapol tersebut tidak sampai menyebarkan ajaran Marxisme-Leninisme. Pasca Gerakan Tiga puluh September dan pembersihan besar-besaran yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap unsur-unsur PKI, para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Uni Soviet juga terhalang pulang ke Indonesia, sementara Uni Soviet sejak 1970 juga tidak menerima lagi suaka politik, sehingga para pelajar yang masih kebanyakan masih berumur belasan tahun tersebut terpaksa berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya yang menerima suaka politik. Kalangan yang menjadi korban pendiskreditan ini adalah seniman dan sastrawan yang pernah menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat Lekra yang berafiliasi dengan PKI. Karya yang dihasilkan dari para seniman dan sastrawan ini dilarang beredar. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kiri Indonesia adalah salah seorang dari sekian banyak seniman yang mengalami hal ini. Selama bertahun-tahun, selain terus dipenjara tanpa kepastian peradilan di Pulau Buru, seluruh karya-karyanya dilarang diterbitkan di Indonesia, beberapa karyanya yang sempat terbit dimusnahkan oleh Kejaksaan Agung. Beberapa dari karyanya baru dapat diterbitkan setelah masa reformasi.

IV.1.2. Pembunuhan Massal