Penahanan Paksa dan Penyiksaan Para Tahanan

IV.1.3. Penahanan Paksa dan Penyiksaan Para Tahanan

Pasca Gerakan Tiga puluh September, Kopkamtib yang dibentuk oleh Soeharto berangsur-angsur tumbuh menjadi sebuah organisasi ekstrayudisial dengan kekuasaan yang sangat luas. Hal ini dikarenakan Kopkamtib memberikan kekuasaan penuh bagi komandan-komandan dan tentara lokal yang dinilai terkait secara langsung dan tidak langsung dengan PKI. Segera setelah itu terjadi penangkapan besar-besaran yang berlangsung di Jakarta dan menjalar ke seluruh pelosok Indonesia. Dalam prakteknya penilaian subyektif lebih berperan dalam menentukan siapa yang akan ditangkap. Penangkapan secara membabi-buta ini menyebabkan penjara-penjara kewalahan menampung tahanan yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. 103 Hingga pertengahan Juli 1967 saja Jaksa Agung Soegih Arto mengumumkan sekitar 250 ribu orang ditangkap. 104 Namun, jumlah ini masih diragukan mengingat militer menahan orang- orang yang dicurigai anggota atau simpatisan PKI dalam jumlah yang sangat besar, pada tahun 1965 saja, diperkirakan antara 600.000 hingga 750.000 orang tewas selama berada di kamp penahanan. Selain karena dieksekusi mati, para tahanan juga dipekerjakan secara paksa sebagai tenaga kerja murah, bahkan tidak dibayar, selama bertahun-tahun di kamp penahanan. Kebanyakan tahanan yang 103 Samuel Gultom. 2003. Mengadili Korban: Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara. Jakarta:Elsam. Halaman 61 104 Ignatius Haryanto. 1999. Kejahatan Negara: Telaah tentang Penerapan Delik Keamanan Negara. Jakarta: Elsam. Halaman 18-19. Sebagaimana dikutip oleh Ibid. Halaman 61 Universitas Sumatera Utara pengadilannya tidak pernah diproses tersebut baru keluar dari tahanan pada tahun 1978, setelah mendapat tekanan dari masyarakat internasional. 105 Proses penangkapan ini seringkali tidak disertai alasan yang jelas dan dilakukan di luar batas-batas kemanusiaan. Sudisman, salah seorang pemimpin puncak PKI ditangkap sambil ditodong pistol terkokang dan dimaki-maki oleh aparat. Ia disuruh jongkok di depan rumah dengan hanya mengenakan pakaian dalam. Kolonel Abdul Latief, salah satu dari Dewan Revolusioner, ditangkap di sebuah rumah di Bendungan Hilir, Jakarta, oleh kurang lebih satu pleton pasukan Kujang II Siliwangi. Tanpa mengikuti prosedur atau memerintahkan dirinya menyerah, pasukan tersebut langsung menusuk paha kaki kanannya dengan bayonet, dan kemudian menembak lutut kaki kirinya. Latif kemudian diseret ke mobil yang berjarak sekitar 15 hingga 20 meter dari rumah tersebut. 106 Pada saat pemeriksaan oleh petugas penyidik, Latief sering dipaksa diperiksa berjam-jam meskipun dalam keadaan sakit keras, dan seringkali diperiksa dalam keadaan setengah sadar sehingga keterangan yang ia berikan juga seringkali seadanya. 107 Mereka yang ditangkap dan telah digolongkan dalam golongan A, B, dan C ini juga mendapat perlakuan yang berbeda-beda. Golongan C umumnya diberi bimbingan dan kemudian dilepaskan setelah untuk beberapa lama ditahan, sedangkan golongan B beberapa tahun kemudian baru diputuskan untuk dibuang ke Pulau Buru. Vonis atas kedua golongan ini dilakukan tanpa melalui proses peradilan. Hanya tahanan golongan A yang diajukan ke Mahmilub dan itu pun 105 http:proquest.umi.com. Op. cit. Diakses tanggal 1 Februari 2010 106 Samuel Gultom. Op. cit. Halaman 62 107 Ibid. Halaman 64 Universitas Sumatera Utara tidak seluruhnya. Hingga awal 1976, Amnesty International mencatat masih ada 1.745 tapol golongan A yang tidak diajukan ke pengadilan. 108 Proses pemeriksaan pendahuluan seringkali disertai dengan penyiksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi, seperti diborgol rantai hingga berhari-hari, disetrum, dipukuli, tangan atau kaki dipatahkan, kuku jari-jari tangan dan kaki dicabuti, tubuh diiris dengan pisau silet kemudian diberi jeruk nipis, 109 dicambuk dengan ekor ikan pari, dilibas, kedua ibu jari kaki ditindih dengan kaki meja, kemudian di atasnya diloncati oleh empat sampai delapan orang interogator, sampai kepada siksaan fisik dan mental sekaligus seperti alat kelamin tapol laki- laki diikat dan ditarik oleh tapol perempuan. Bahkan, pada sekitar tengah malam hingga dini hari beberapa tapol sering dipanggil dan dibawa keluar oleh sipil yang berkoordinasi dengan aparat untuk kemudian tidak dikembalikan lagi untuk seterusnya. Beberapa dari mereka tidak pernah diketemukan kembali atau dibunuh. 110 108 Ibid. Halaman 63 109 Ibid. Halaman 64 110 Hasil Wawancara pada tanggal 20 Februari 2010 dengan Jiman Karo-karo, Ketua KPP HAM ’65 Sumatera Utara, salah seorang napol yang ditahan sejak 14 Oktober 1965 di beberapa kamp penahanan di Medan, baru kemudian diadili pada 6 Desember 1973 dan kemudian dipenjara dengan berpindah-pindah tempat di Medan, seperti di Jl. Binjai, Jl. Sena, Sukamulia, Jl. Listrik, dan Labuhan Ruku hingga bebas bersyarat tahun 1985 Siksaan mental tentu saja ketika para tapol didesakkan dalam satu ruangan pemeriksaan sehingga satu sama lain bisa saling menyaksikan bagaimana proses penyiksaan oleh interogator berlangsung. Di Medan, para tapol yang Universitas Sumatera Utara berasal dari organisasi intelektual PKI mendapat siksaan mental tanpa ada siksaan fisik. 111 Kebutuhan makan para tapol sendiri tidak dapat dikatakan cukup baik. Untuk para tahanan di Nusakambangan, jatah makan yang diberikan kepada para tapol hanya dua kali sehari, pagi dan sore 400 gram. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat para tapol harus bekerja berat seperti membajak sawah di sekitar tahanan. 112 Sedangkan untuk tahanan di Tempat Pemanfaatan Tefaat Pulau Buru, hanya mendapatkan jatah makan beras saja tanpa tambahan lain paling banyak 750 gram per orang per hari, itu pun jika panen baik. Padahal di sana para tahanan harus bekerja tiap hari, di bawah penjagaan tentara, sepanjang matahari masih bersinar. Dalam lima tahun pertama terkadang bahkan dari jam 4 pagi sampai jam 12 tengah malam di bawah penerangan lampu petromaks. Para tapol menjadi budak dalam pengertian paling murni, mereka harus berproduksi tidak hanya agar hidup tanpa menjadi beban bagi Negara, tapi terutama justru untuk menjadi penyangga kesejahteraan para penguasa unit dan pembangunan daerah setempat. Karena itu, untuk unit yang bertapol 500 orang rata-rata harus mempunyai sawah 80-120 hektar, lading palawija 60-100 hektar, penggergaji kayu meranti 10-20 111 Hasil Wawancara pada tanggal 25 Februari 2010 dengan Khairuman dari KPP HAM Nusantara, pernah menjadi Tapol terkait keanggotaannya pada CGMI Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia yang berafiliasi dengan PKI 112 HD. Haryo Sasongko Penyusun. Op. cit. Halaman 185 Universitas Sumatera Utara pasang, pemukul sagu 20 pasang atau lebih, penyulingan kayu putih 4-6 tahang lebih, dan bidang-bidang produksi lainnya. 113 Namun, merebaknya isu bahwa PKI adalah dalang dari Gerakan Tiga puluh September membuat para perempuan anggota Gerwani turut dimasukkan ke tahanan dan mengalami berbagai penyiksaan. Penyiksaan-penyiksaan tersebut, termasuk penyiksaan seksual, tidak hanya berlaku terhadap Gerwani, akan tetapi berlaku juga terhadap perempuan-perempuan lain yang tergabung dalam afiliasi

IV.1.4. Pelecehan Seksual terhadap Perempuan