d. Menjatuhkan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran
dalam kelompok tersebut e.
Memindahkan anak-anak secara paksa dari kelompok tersebut ke kelompok lainnya
Rome Statute dalam pasal 6, The International Criminal Tribunal for Rwanda Statute dalam pasal 2, dan pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia juga senada dengan Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide tentang pengertian genosida. Ketentuan
dari instrumen-instrumen ini tidak mengharuskan pemusnahan kelompok yang dimaksud secara keseluruhan untuk dapat disebut sebagai kejahatan genosida.
Indonesia sendiri dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan unsur-unsur genosida dalam Pasal 8 yang sama
indikatornya dengan Pasal 6 dari Statuta Roma.
II.4.2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam Hukum
Internasional dan Hukum Nasional
Menurut pakar hukum Swiss, Jean Graven, kejahatan terhadap kemanusiaan sama tuanya dengan kemanusiaan itu sendiri. Negara-negara
menggunakan konsep-konsep tentang kemanusiaan untuk menjustifikasi peristiwa-peristiwa intervensi unutk membantu kelompok-kelompok minoritas
yang dianiaya oleh pemerintah mereka sendiri pada masa sebelum diaturnya piagam PBB. Konsep-konsep ini juga dikaitkan dengan cara Negara melakukan
peperangan, yang berpuncak pada pemasukan prinsip jus in bello dalam
Universitas Sumatera Utara
perjanjian-perjanjian modern pertama yang penting, konvensi-konvensi Den Haag tentang hukum dan kebiasaan perang.
31
“Until a more complete code of laws of war has been issued, the High Contracting Parties deem it expedient to declare that, in cases not
included in the Regulations adopted by them, the inhabitants and the belligerents remain under the protection an the rule of the principles of
law of nations, as they result from the usages among civilized peoples, from the laws of humanity, and the dictates of the public conscience.”
Konsep kejahatan terhadap kemanusiaan diawali dengan dimasukkannya prinsip kemanusiaan dalam Klausula Martin pada pembukaan Konvensi Den
Haag tahun 1899 dan kemudian Konvensi Den Haag Keempat pada tahun 1907 yang berisi:
32
Dalam frase “laws of humanity”, hukum kemanusiaan dipahami sebagai suatu sumber prinsip-prinsip dari berbagai hukum bangsa-bangsa dan tidak
mengindikasikan kategori norma-norma lain yang berbeda dari norma-norma yang dapat diterapkan bagi objek perjanjian ini, ia hanya berfungsi sebagai aturan
umum untuk mencakup kasus-kasus yang tidak dicakup oleh aturan-aturan tersebut secara eksplisit yang bersandar pada Konvensi Den Haag tersebut.
33
31
Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams. Op. cit. Halaman 71-72
32
Erikson Hasiholan Gultom. 2006. Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur: Tinjauan Hukum Internasional
Terhadap Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam Mengadili Individu-individu yang Bertanggung Jawab atas Terjadinya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Relevansinya dengan
Peradilan Kasus Timor Timur Sekitar Masa Referendum 1999. Jakarta: Tatanusa. Halaman 39
33
Ibid
Pada perkembangannya, Piagam Nuremberg yang membentuk Mahkamah Militer Internasional Nuremberg, dalam pasal 6 c mendefinisikan kejahatan
kemanusiaan sebagai:
Universitas Sumatera Utara
“Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan perbuatan- perbuatan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil,
sebelum atau selama perang, atau persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, rasa atau agama sebagai pelaksanaan dari atau berhubungan dengan setiap
kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi pengadilan tersebut baik yang melanggar ataupun tidak hukum Negara setempat di mana ia dilakukan…”
Rumusan pasal inilah yang merupakan preseden pertama kalinya dalam hukum pidana internasional positif di mana istilah khusus “kejahatan terhadap
kemanusiaan” diperkenalkan dan didefenisikan, namun, sebagaimana yang telah dikatakan di dalam pasal 2, konsep ini bukanlah merupakan suatu hal yang baru,
begitu pula dengan gagasan atau ide tentang melindungi orang-orang sipil di masa perang. Dan yang paling penting diketahui, Piagam ini muncul pertama kalinya
dan dipergunakan sebagai contoh model dan dasar hukum bagi perkembangan- perkembangan lain selanjutnya.
34
Pada tahun 1951, Komisi Hukum Internasional merumuskan kejahatan kemanusiaan sebagai:
35
Dalam ketentuan yang dihasilkan berikutnya yang terkait dengan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan ini, seperti Statuta International
Criminal Tribunal of Yugoslavia ICTY masih berpedoman pada Piagam Nuremberg, barulah pada Statuta International Criminal Tribunal for Rwanda
“Tindakan-tindakan yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh para penguasa suatu Negara atau oleh individu-individu perseorangan
terhadap suatu populasi sipil seperti pembunuhan, atau pemusnahan, atau perbudakan, atau deportasi, atau persekusi-persekusi atas dasar-dasar
politik, ras, agama, atau budaya, bilamana tindakan-tindakan demikian dengan kejahatan-kejahatan lain yang didefenisikan dalam pasal ini”
34
Ibid
35
Report of the International Law Commission, UN GAOR 6th Sess, Supp. No. 9 A1858 1951, Vol. II, hal. 123-144, 136 sebagaimana dikutip oleh Ibid. Halaman 45
Universitas Sumatera Utara
ICTR pada pasal 3 mensyaratkan bahwa kejahatan kemanusiaan yang dimaksud tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas dan
sistematis terhadap populasi sipil, pasal tersebut juga mencantumkan persyaratan kalau seluruh perbuatan-perbuatan tersebut harus telah dilakukan atas dasar-dasar
kebangsaan, politik, suku, rasial, atau agama. Selain itu, baru pada ICTR lah persyaratan tentang harus adanya hubungan kejahatan tersebut dengan konflik
bersenjata dihapuskan.
36
a. Pembunuhan
Era selanjutnya adalah pembentukan Statuta Roma pada 1998. Dalam Pasal 7 Statuta Roma disebutkan bahwa kejahatan kemanusiaan adalah kejahatan-
kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada seuatu kelompok sipil, dengan mengetahui adanya
serangan itu. Adapun yang termasuk dalam lingkup kejahatan kemanusiaan menurut pasal 7 Statuta Roma adalah:
b. Pemusnahan
c. Perbudakan
d. Deportasi atau pemindahan paksa penduduk
e. Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar
aturan-aturan dasar hukum internasional f.
Penyiksaan
36
Ibid. Halaman 52-53
Universitas Sumatera Utara
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa,
pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat
h. Persekusi Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi
atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, sebagai didefenisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal
diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dalam setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap
kejahatan yang berada dalam jurisdiksi mahkamah i.
Penghilangan paksa j.
Kejahatan apartheid k.
Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental
atau kesehatan fisik Sedangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia dalam pasal 9 merujuk pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang sama dengan isi pasal 7 Statuta Roma, kecuali poin k yang tidak disertakan
dalam pasal 9. Mengenai serangan yang meluas atau sistematik itu sendiri tidak
dijelaskan oleh Statuta Roma maupun UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengertian serangan meluas atau sistematik itu berkembang dalam praktek
pengadilan yang tertuang dalam putusan-putusan Hakim. Hakim Pengadilan HAM Ad hoc di Jakarta Pusat menjelaskan pengertian serangan dalam kasus atas
Universitas Sumatera Utara
nama terdakwa Abilio Jose Osorio Soares Putusan No.01PID.HAMAD.HOC2002PH.JKT.PST. halaman 103-104 berpendapat
sebagai berikut : “Yang dimaksud dengan serangan adalah bahwa serangan tersebut
tidak harus selalu merupakan serangan militer, seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law dalam arti bahwa serangan tersebut tidak
perlu harus mengikut sertakan kekuatan militer atau penggunaan senjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu
pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini dapat masuk ke dalam terminologi
serangan attack; Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap penduduk sipil tidak
berarti bahwa serangan harus ditujukan terhadap penduduk population secara keseluruhan, tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil
tertentu yang mempunyai keyakinan politik tertentu” Sedangkan pengertian meluas dan sistematik diberikan sebagai berikut:
“Yang dimaksud “meluas” karena pada peristiwa-peristiwa yang didakwakan terbukti terjadi pembunuhan secara besar-besaran, berulang-
ulang, dalam skala yang besar massive, frequent, large scale, yang dilakukan secara kolektif dengan akibat yang sangat serius berupa jumlah
korban nyawa yang besar; Yang dimaksud dengan sistematik adalah terbentuknya sebuah ide atau prinsip berdasarkan penelitian atau observasi
yang terencana dengan prosedur yang sudah umum. Dalam kaitannya dengan pelanggaran berat HAM, definisi sistematik dapat berarti kegiatan
yang berpola sama dan konsisten berulang-ulang. Pola disini berarti struktur atau desain yang saling berhubungan. Sedangkan konsisten di sini
berarti sebuah gagasan yang ditandai dengan tidak berubahnya posisi atau saling berhubungan, bisa juga karakter tertentu yang sudah terbentuk dan
ditunjukan secara berulang-ulang.”
Adapun pengertian sistematik itu sendiri memiliki 4 empat elemen sebagai berikut :
1. Adanya tujuan politik, rencana dilakukannya penyerangan, suatu
ideologi, dalam arti luas menghancurkan atau melemahkan suatu komunitas;
Universitas Sumatera Utara
2. Melakukan tindak pidana dengan skala yang besar terhadap suatu
kelompok penduduk sipil, atau berulang-ulang dan terus-menerusnya tindakan tidak manusiawi yang saling berhubungan antara yang satu
dengan yang lainnya; 3.
Adanya persiapan dan penggunaan yang signifikan dari milik atau fasilitas publik atau perorangan;
4. Adanya implikasi politik tingkat tinggi atau otoritas militer dalam
mengartikan atau mewujudkan rencana yang metodologis Sedangkan dalam Putusan No.08 PID.HAM AD.HOC 2002
PN.JKT.PST Atas Nama Terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo. Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan serangan meluas tidaklah harus selalu merupakan serangan militer seperti yang diartikan oleh International
Humanitarian Law sehingga pengertian serangan tersebut tidak perlu harus mengikut sertakan kekuatan militer atau psenjata, dengan perkataan
lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan
bentrokan semacam ini adalah termasuk dalam terminologi serangan attack;
1.
Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap “penduduk sipil“ bukan berarti serangan harus ditujukan terhadap penduduk
population secara keseluruhan, akan tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai keyakinan
politik tertentu;
2. Bahwa salah seorang Hakim Pengadilan Pidana Internasional untuk
Yugoslavia, Jean Jaques Heintz menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “serangan meluas” adalah serangan yang bersifat massal,
3. Tindakan dalam skala besar, dilakukan secara bersama-sama dengan
niat yang sungguh-sungguh dan ditujukan terhadap korban dalam jumlah besar, sedangkan menurut Arne Willy Dahl Hakim Advocate
General Norwegia menyatakan “serangan meluas” itu harus diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar widespread attack
is one that is directed against a multiplicity of victims;“
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya dalam Putusan No.02 PID.HAM AD. HOC 2002 PN. JKT. PST Atas Nama Terdakwa Drs. G.M. Timbul Silaen, Majelis Hakim senada
dengan merujuk pada pendapat Arne Willy Dahl Hakim Advocate General menyatakan sebagai berikut:
“bahwa pengertian serangan yang meluas adalah serangan yang diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar Widespread attack is
one that is directed against a multiplicity of victims. Selanjutnya menurut Majelis Hakim “ada juga yang berpendapat bahwa arti serangan yang
meluas adalah merujuk kepada jumlah korban massive, skala kejahatan dan sebaran tempat geografis, dan dalam kejahatan kemanusiaan,
perbuatan meskipun dilakukan secara individual namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif Collective action - M Charief Bassioni, Crime Against
Humanity in the International Law ”
Menurut Majelis Hakim Pengertian serangan yang sistematik berkaitan dengan suatu kebijakan atau rencana yang mendasari atau melatar belakangi
terjadinya tindak pidana tersebut. Pengertian kebijakan tidak selalu berkonotasi tertulis tetapi dapat merupakan tindakan yang berulang dan terus-menerus diikuti
dan telah menjadi pola yang diikuti oleh aparat negara; Selanjutnya Majelis Hakim menyatakan, bahwa Pengertian serangan yang
sistematik adalah suatu serangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang telah disusun terlebih dahulu atau terencana a systematic an attack means carried
out pursuant to a preconceive policy or plan - Arne Willy Dahl, Judge Advocate General Norway”
37
37
Abdul Hakim G Nusantara. “Penerapan Hukum Internasional dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Indonesia”. Halaman 9-12.
II.5. Peran Negara dan Aktor Non-Negara sebagai Pelanggar HAM