Sejarah Perkembangan Hukum HAM Internasional dan

tanpa harus ada persetujuan Negara tersebut, dan persetujuan demikian apabila dinyatakan secara tegas hanya merupakan suatu pernyataan mengenai kedudukan hukum yang sebenarnya saja. Di samping itu, terdapat tugas bagi setiap Negara untuk menyelaraskan bukan hanya undang-undangnya saja, tapi juga konstitusinya, dengan hukum internasional.

II.2. Sejarah Perkembangan Hukum HAM Internasional dan

Nasional Salah satu tonggak penting perkembangan HAM internasional adalah disahkannya The International Bill of Human Rights yang terdiri atas: Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia DUHAM yang diterima dan diumumkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 217A III, International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights atau Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Kovenan Ekosob dan International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik Kovenan Sipol yang ditetapkan melalui resolusi majelis umum PBB 2200 A XXI, serta Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights dan Second Optional Protocol to the International Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty. Ketiga instrumen pertama ini disebut sebagai The International Bill of Human Rights karena semua instrumen ini merupakan fondasi dari Hak Asasi Manusia internasional, instrumen HAM internasional lain yang ada merupakan penjabaran dari The International Universitas Sumatera Utara Bill of Human Rights. Selain itu, The International Bill of Human Rights juga merupakan bagian dari international customary law Hukum kebiasaan internasional Karena keberlakuannya di Negara-negara anggota PBB adalah otomatis walaupun tidak diratifikasi oleh Negara-negara tersebut dan telah berlaku sebagai jus cogens di antara masyarakat internasional. Hukum HAM internasional sendiri pada tahap awal perkembangannya hanya mengakomodir hak-hak sipil yang mana melarang kekuasaan publik untuk menghalangi individual dalam masyarakat, pada tahap ini perlindungan HAM lazim disebut First-Generation Negative Rights. Hak-hak yang dicakup dalam perlindungan ini adalah hak berpikir, hak untuk berbicara, hak beragama, dan kebebasan bermufakat. Beberapa pengamat mengatakan bahwa inilah HAM dalam artian sebenarnya, sedangkan pendapat lain menyatakan hak-hak tersebut adalah HAM yang terpenting karena jika seseorang memiliki hak-hak sipil dan politik, maka ia dapat menghasilkan hal-hal lainnya, sedangkan sisanya menyatakan bahwa hak-hak ini tidak terlalu penting karena jika seseorang berkekurangan dalam kebutuhan primernya seperti makanan, tempat tinggal, dan pendidikan, hak-hak sipil dan politik tidak akan terlalu berarti. Sehingga lahirlah apa yang disebut sebagai Second-Generation Positive Rights yang lebih berbasis hak sosial ekonomi. Berbanding terbalik dengan yang pertama, pada tahap ini, justru ditekankan adanya peran kekuasaan publik untuk mengambil langkah- Universitas Sumatera Utara langkah positif untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang vital seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan. 18 Perdebatan mengenai hak mana yang harus lebih diprioritaskan; hak sipil dan politik atau hak ekonomi, sosial dan budaya menjadi perdebatan dalam beberapa lama, terutama karena adanya bentrokan kepentingan antara Negara- negara blok timur dan blok barat. Negara-negara blok timur Uni soviet lebih mementingkan hak ekonomi, sosial, dan budaya, sedangkan Negara-negara blok barat Amerika Serikat justru menganggap hal ini sangat kontroversial dan sebaliknya lebih menekankan perlunya hak sipil dan politik. Perbedaan orientasi ini mengakibatkan lahirnya Kovenan Ekosob yang disponsori oleh Negara-negara yang berpaham sosialis komunis dan Kovenan Sipol yang disponsori oleh Negara- negara liberalis kapitalis. Perdebatan ini baru memperoleh momentum baru tanpa terpecah pertempuran ideologi antarnegara pada tahun 1993, setelah usainya perang dingin. 19 18 Thomas G. Weiss, David P. Forsythe, dan Roger A. Coate. 1997. The United Nations and Changing World Politics, Second Edition. USA: Westview Press. Halaman 135-136 19 Saafroedin Bahar. 2002. Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Halaman 4. Seperti dikutip oleh M. Arif Hisbullah. Op. cit. Halaman 30 Dalam perkembangannya, mulai timbul kesadaran bahwa perjuangan akan hak-hak bersama adalah jauh lebih penting daripada hak-hak perseorangan, seperti hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas lingkungan alam yang bersih, hak atas sumber daya alam sendiri, dan hak atas warisan budayanya sendiri, oleh karena itu ia disebut sebagai Third-Generation Solidarity. Universitas Sumatera Utara Pasal-pasal dalam DUHAM sendiri secara spesifik dibagi menjadi beberapa kategori hak: 20 1. Hak yang secara langsung memberikan gambaran kondisi minimum yang diperlukan bagi individu agar bisa mewujudkan watak kemanusiaannya, yakni hak pribadi atau individu. Hak yang dimaksud antara lain: a. Pengakuan atas martabat Pasal 1 b. Perlindungan dari tindakan diskriminasi atas dasar apapun Pasal 2 c. Jaminan atas kebutuhan Pasal 3 d. Terhindar dari perbudakan Pasal 4 e. Perlindungan atas tindakan sewenang-wenang dan penganiayaan Pasal 5 f. Kesempatan menjadi warga Negara dan berpindah warga Negara Pasal 15 2. Hak tentang perlakuan yang seharusnya diperoleh manusia dari sistem hukum yang ada. Hak ini memberikan ketentuan mengenai standar perlakuan suatu sistem hukum pada manusia, yaitu: a. Persamaan di depan hukum Pasal 6 b. Tidak diperlakukan sewenang-wenang Pasal 9 c. Memperoleh pengadilan yang adil Pasal 10 d. Dilindungi sebelum dinyatakan bersalah Pasal 11 e. Tidak diintervensi kehidupan pribadinya oleh Negara Pasal 12 20 Pendapat Dadang Juliantara sebagaimana dikutip oleh Ibid. Halaman 34-35 Universitas Sumatera Utara 3. Hak yang memungkinkan individu untuk turut ambil bagian dalam jalannya pemerintahan, yang biasa dikenal dengan hak-hak sipil dan politik. Hak dimaksud antara lain: a. Hak kebebasan berpikir dan beragama Pasal 18 b. Hak menyatakan pikiran secara bebas Pasal 19 c. Berkumpul dan berserikat Pasal 20 d. Serta keikutsertaan dalam pemerintah Pasal 21 4. Hak yang menjamin taraf hidup minimal kehidupan seseorang dan memungkinkan proses pengembangan kebudayaan yakni ekonomi, sosial, dan budaya: a. Mendapatkan makanan, pekerjaan dan pelayanan kesehatan serta syarat sosial lainnya Pasal 22-25 b. Hak untuk pendidikan dan pengembangan pribadi serta kebudayaan Pasal 26-29 Sebelum lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Indonesia belum menganut konsep perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi yang dituntut negara-negara barat sebagai unsur tidak terpisahkan dari demokrasi dan cita negara hukum adalah suatu yang berlebihan dan tidak perlu. Konsep hak asasi dianggap sebagai nilai budaya barat yang lebih menekankan individualisme daripada kepentingan bangsa dan negara sebagai komunitas. Budaya timur yang adiluhung tidak memerlukan hak asasi versi barat ini. Tahun 1980-1990, Indonesia masih berkilah bahwa kalaupun ada hak asasi, maka budaya Universitas Sumatera Utara timur sudah mengakomodasinya dengan lebih baik daripada bangsa barat yang sibuk menuding Indonesia sebagai pelanggar hak asasi. 21 Perlindungan Negara terhadap hak warga mulai mendapat perhatian serius oleh pemerintah orde baru semenjak 1993 oleh Soeharto melalui Keppres RI No. 50 Tahun 1993 ketika terjadi pembunuhan warga sipil di Pemakaman Santa Cruz, Timor Timur 1991 oleh oknum militer, atas desakan aktivis HAM dan masyarakat internasional, Keppres RI ini ditingkatkan menjadi Undang-Undang, yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, pemerintah orde baru beranggapan demokrasi dan HAM adalah suatu kemewahan yang belum perlu dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara selama tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masih tinggi. 22 Walaupun Indonesia telah memuat jaminan HAM dalam konstitusinya, hukum internasional tentang hak asasi manusia tetap diperlukan karena 3 alasan utama, yakni: 23 a. Tambahan rujukan untuk harmonisasi peraturan nasional: kodifikasi pengaturan HAM dalam hukum internasional bertujuan agar esensi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia dapat ditetapkan dengan cara yang seragam, dengan cara mengefektifkan aturan yang berlaku secara internasional ke 21 Tristam Moeliono. “Tinjauan Hukum Internasional Publik terhadap Pembunuhan Massal Tahun 65-66”. http:forumleuven.files.wordpress.com200812tristam.pdf. Halaman 2. Diakses tanggal 28 Februari 2010 22 Teguh Sulistia. “Peran International Criminal Court dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan oleh Militer”. Jurnal Hukum Internasional Volume 5 Nomor 1 Oktober 2007. Halaman 29 23 Adnan Buyung Nasution, dkk. 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Halaman 11-12 Universitas Sumatera Utara dalam praktik dan hukum nasional. Hal ini juga disebabkan adanya prinsip umum: non diskriminasi dalam pemenuhan HAM b. Penempatan jaminan HAM dalam jaminan kolektif: setiap Negara diwajibkan menghormati hukum HAM, tanpa terkecuali. Dengan penetapan hukum internasional HAM, maka jaminan kolektif untuk perlindungan dan pemenuhannya, secara otomatis juga terus dikembangkan. Yurisprudensi internasional juga mendorong, sekaligus memberi batasan yurisprudensi nasional yang tidak menyimpang jauh dari prinsip-prinsip hukum umum yang berlaku. Perlindungan internasional bermanfaat untuk kepentingan politik secara umum. Sebagai contoh, persaingan ekonomi global yang dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di sebuah Negara c. Untuk mengatur masalah khusus HAM: yaitu sebagai tambahan aturan HAM, bahkan tidak jarang, problem HAM hanya diatur dalam hukum internasional HAM. Sebagai contoh, hak kolektif sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri self determination tidak pernah diatur dalam konstitusi Negara- negara kolonial. Contoh lain adalah masalah perlindungan terhadap kelompok minoritas dan status kelompok pelarian yang diatur secara khusus dan mendapat tempat dalam hukum internasional HAM

II.3. Konvensi Anti Penyiksaan