Konvensi Anti Penyiksaan Sutiarnoto, S., M.Hum NIP. 195610101986031003

dalam praktik dan hukum nasional. Hal ini juga disebabkan adanya prinsip umum: non diskriminasi dalam pemenuhan HAM b. Penempatan jaminan HAM dalam jaminan kolektif: setiap Negara diwajibkan menghormati hukum HAM, tanpa terkecuali. Dengan penetapan hukum internasional HAM, maka jaminan kolektif untuk perlindungan dan pemenuhannya, secara otomatis juga terus dikembangkan. Yurisprudensi internasional juga mendorong, sekaligus memberi batasan yurisprudensi nasional yang tidak menyimpang jauh dari prinsip-prinsip hukum umum yang berlaku. Perlindungan internasional bermanfaat untuk kepentingan politik secara umum. Sebagai contoh, persaingan ekonomi global yang dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di sebuah Negara c. Untuk mengatur masalah khusus HAM: yaitu sebagai tambahan aturan HAM, bahkan tidak jarang, problem HAM hanya diatur dalam hukum internasional HAM. Sebagai contoh, hak kolektif sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri self determination tidak pernah diatur dalam konstitusi Negara- negara kolonial. Contoh lain adalah masalah perlindungan terhadap kelompok minoritas dan status kelompok pelarian yang diatur secara khusus dan mendapat tempat dalam hukum internasional HAM

II.3. Konvensi Anti Penyiksaan

Penyiksaan yang dilakukan pemerintah adalah masalah klasik yang masih dipraktekkan secara luas hingga saat ini. Penyiksaan dilakukan oleh banyak Universitas Sumatera Utara Negara sebagai metode interogasi yang resmi. Namun, sejalan dengan diakuinya secara meluas bahwa tindakan tersebut melanggar HAM, maka negara-negara secara perlahan meletakkan penyiksaan sebagai tindakan yang secara resmi dikenai sanksi. 24 Penyiksaan telah dicantumkan sebagai tindakan melanggar HAM dalam berbagai instrumen internasional terdahulu seperti pasal 5 DUHAM, pasal 7 sipol, pasal 10 sipol. Perkembangan yang signifikan dari penerapan kaidah internasional terhadap penyiksaan adalah merupakan pengadopsian dari European Convention for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Pada 9 Desember 1975 majelis umum PBB mengadopsi konsensus dari Declaration on the protection of all persons from being subjected to torture, cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. Komisi HAM PBB kemudian menunjuk special rapporteur untuk pertanyaan terkait penyiksaan pada 22 Mei 1985 dengan mandat untuk “….mencari dan menerima informasi yang dapat dipercaya dari pemerintah, seperti juga agen-agen khusus, Organisasi Non- Pemerintah….” Dan untuk ‘merespon secara efektif’ informasi yang terkait dengan penyiksaan. Pada 10 Desember 1984, Majelis Umum PBB mengadopsi Convention against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment atau sering disingkat dengan Convention Against Torture CAT setelah 7 tahun negosiasi. CAT sendiri berisi ketentuan-ketentuan yang termasuk 24 Dr. Lyal S. Sunga. 1992. Individual Responsibility in International Law for Serious Human Right Violation. Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers. Halaman 80 Universitas Sumatera Utara memasukkan pertanggungjawaban individual dan menetapkan mekanisme pengawasan. 25 Pelanggaran HAM berat atau dikenal dengan “gross violation of human rights” atau “greaves breaches of human rights” sebagaimana disebut secara eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya, tidak dikenal dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Di dalam Statuta Roma 1998 sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain, yaitu “the most serious crimes of concern to the international community as a whole”. Dalam Statuta Roma 1998 pengertian tersebut ditegaskan meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang,dan agresi yang merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pasal 1 CAT menegaskan bahwa yang dimaksud penyiksaan adalah: “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”

II.4. Pelanggaran HAM Berat dalam Hukum Internasional dan