IV.3.2. Penyelesaian dalan Taraf Internasional
Mekanisme pelaporan kepada Komisi HAM PBB yang terdapat dalam Kovenan Sipol dalam kasus-kasus pelanggaran HAM mungkin dilakukan hanya
pada kasus-kasus yang terjadi setelah Indonesia meratifikasi Kovenan tersebut. Indonesia sendiri baru meratifikasinya pada tahun 2005 melalui UU No. 12 Tahun
2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Oleh sebab itu, penyelesaian kasus pelanggaran HAM terhadap para anggota dan
simpatisan PKI yang terjadi sejak tahun 1965 ini tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme tersebut.
Mekanisme yang paling mungkin dilakukan adalah melalui pengadilan internasional. Bentuk-bentuk pengadilan internasional yang telah dikemukakan
dalam Bab II adalah Pengadilan Permanen ICC, Pengadilan Ad Hoc, dan Pengadilan Campuran.
Kendala yang dihadapi untuk mengajukan kasus pelanggaran HAM terhadap anggota dan simpatisan PKI ini selain karena Indonesia sendiri belum
meratifikasi Statuta Roma, ICC hanya berwenang untuk mengadili kasus-kasus yang terjadi sebelum diberlakukannya Statuta Roma, hal ini dikarenakan ICC
sendiri menganut prinsip Ratione Personae Non-Retroaktif pasal 24. Terjadinya tindak kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap anggota dan simpatisan PKI
sendiri terjadi dalam kurun waktu antara 1965 sampai dengan akhir 1970-an, oleh sebab itu penyelesaian hukum lewat mekanisme ICC tidak tepat dalam
penanganan kasus tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan Ad Hoc sebagai pengadilan internasional mempunyai kendala, yaitu terbatasnya mandat dan kewenangannya dalam menembus yurisdiksi
nasional yang harus lebih diutamakan. Selain itu, sifat pengadilan ad hoc yang murni internasional ini kurang mewakili kehendak penduduk Negara asli, hal ini
dikarenakan inisiatif pembentukannya juga berada di tangan Dewan Keamanan PBB, seperti kasus pembentukan ICTY yang tanpa persetujuan Republik Federal
Yugoslavia. Kendala lain adalah jauhnya lokasi pengadilan seperti ICTY yang berlokasi di Den Haag dan proses pengadilan yang lebih didominasi tenaga-
tenaga asing membuat makin tidak terlatihnya tenaga-tenaga lokal dalam kemampuan-kemampuan khusus.
126
126
Alberto Costi. Op. cit. Diakses Tanggal 3 Maret 2010
Dari 3 bentuk pengadilan internasional yang telah dipaparkan sebelumnya, mekanisme pengadilan campuran adalah yang paling mungkin dilakukan untuk
menuntut para pelaku pelanggaran HAM berat terhadap anggota dan simpatisan PKI tahun 1965. Indonesia mungkin dapat mencontoh pemerintah Kamboja yang
berinisiatif mengadili para pemimpin pendahulu mereka dan dengan tegas meolah permohonan amnesti dari para pelaku. Hal ini memang menuntut keseriusan dan
komitmen pemerintah untuk melindungi HAM warga negaranya dengan tidak memihak kepentingan pihak-pihak tertentu.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan mengenai Pelanggaran HAM terhadap Partai Komunis Indonesia PKI dalam Gerakan Tiga puluh September 1965,
maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Bentuk-bentuk pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia PKI dalam Gerakan Tiga puluh September 1965 antara
lain: a.
Pendiskreditan secara Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya: yaitu berupa dihapuskannya PKI dari peta perpolitikan Indonesia secara sepihak,
pencabutan hak berpolitik bagi para anggota dan simpatisan PKI, akses yang sangat terbatas untuk bekerja di instansi pemerintahan dan swasta,
pelarangan kembali ke Indonesia bagi sejumlah orang-orang Indonesia baik anggota PKI maupun bukan yang tinggal di negara-negara
Komunis sebelum terjadinya Gerakan Tiga puluh September 1965, pelarangan karya sastra dan seni yang dihasilkan oleh sastrawan-sastrwan
dan seniman-seniman Lekra, serta keharusan pelekatan kata “eks tapol” pada KTP setiap bekas tapol PKI
b. Pembunuhan Massal di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan oleh
militer ataupun oleh sipil yang dikoordinir oleh militer terhadap orang- orang yang diduga terikat keanggotaan dengan PKI ataupun afiliasinya
Universitas Sumatera Utara