Pembunuhan Massal Bentuk-bentuk Pelanggaran HAM Terhadap Para Anggota

bagi keluarganya untuk tetap mengawasinya dan menjamin perilaku dari bekas tapol tersebut, antara lain agar bekas tapol tersebut tidak sampai menyebarkan ajaran Marxisme-Leninisme. Pasca Gerakan Tiga puluh September dan pembersihan besar-besaran yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap unsur-unsur PKI, para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Uni Soviet juga terhalang pulang ke Indonesia, sementara Uni Soviet sejak 1970 juga tidak menerima lagi suaka politik, sehingga para pelajar yang masih kebanyakan masih berumur belasan tahun tersebut terpaksa berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya yang menerima suaka politik. Kalangan yang menjadi korban pendiskreditan ini adalah seniman dan sastrawan yang pernah menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat Lekra yang berafiliasi dengan PKI. Karya yang dihasilkan dari para seniman dan sastrawan ini dilarang beredar. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kiri Indonesia adalah salah seorang dari sekian banyak seniman yang mengalami hal ini. Selama bertahun-tahun, selain terus dipenjara tanpa kepastian peradilan di Pulau Buru, seluruh karya-karyanya dilarang diterbitkan di Indonesia, beberapa karyanya yang sempat terbit dimusnahkan oleh Kejaksaan Agung. Beberapa dari karyanya baru dapat diterbitkan setelah masa reformasi.

IV.1.2. Pembunuhan Massal

Sebelum digelarnya pengadilan formal terhadap para tersangka pelaku Gerakan Tiga puluh September, di berbagai daerah di Indonesia telah terlebih dahulu digelar “Pengadilan Massa” terhadap para anggota dan simpatisan PKI. Universitas Sumatera Utara Pada Oktober 1965, Soeharto membentuk Kopkamtib Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dan mendapat persetujuan dari Sukarno pada 1 November 1965. Selanjutnya kehadiran Kopkamtib selalu samar-samar karena bukan merupakan badan pemerintah dengan birokrasi tersendiri. Suharto merancangnya lebih sebagai fungsi khusus di tubuh militer. Hampir semua personilnya adalah perwira yang sekaligus memegang jabatan dalam struktur militer yang regular. Angka kematian dari pembunuhan massal terhadap anggota dan simpatisan PKI yang dilakukan oleh militer dan sipil menurut Robert Cribb adalah berkisar antara 100.000 sampai 1.500.000 orang. 92 Jumlah ini juga masih bervariasi: 93 1. Menurut mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik, jumlah korban adalah berkisar 160.000 orang 2. Menurut Ben Anderson dalam tulisannya di Indonesia 40 pada tahun 1985, korban bekisar 500.000 – 1.000.000 orang, sedangkan dalam paper cornell paper yang ia kerjakan bersama Ruth McVey, jumlah korban hanya berkisar 200.000 orang 3. Menurut Brackman, jumlah korban berkisar 70.000 orang 4. Menurut Caldwell dan Utrecht, jumlah korban berkisar 500.000 orang 5. Menurut Contenay, jumlah korban berkisar 100.000 – 200.000 6. Menurut Dahm, jumlah korban berkisar 200.000 7. Menurut perkiraan The Economist, korban berkisar 1.000.000 orang 92 Robert Cribb. “How Many Death? Problem in The Statistic of Massacre in Indonesia 1965-1966 and East Timor 1975-1980” dalam Ingrid Wesel dan Georgia Wimhöfer Ed. 2001. Violence In Indonesia. Hamburg: Abera Verl. Halaman 82 93 Lebih lengkap lihat: Hermawan Sulistyo. Op. cit. Halaman 44-45 Universitas Sumatera Utara 8. Menurut Komisi Pencari Fakta, korban mencapai 78.000 orang 9. Menurut Anggota Komisi, korban mencapai 780.000 orang 10. Menurut Feith dalam The Nation, jumlah korban berkisar 150.000 orang 11. Menurut Frederick, jumlah korban berkisar 750.000 orang 12. Menurut Fryer dan Jackson, angka korban jatuh adalah antara 100.000 – 500.000 orang 13. Grant mengemukakan jumlah 200.000 – 500.000 korban 14. Henderson menyatakan 400.000 – 200.000 sebagai jumlah perkiraan korban 15. Menurut Hughes, angka kematian korban adalah 200.000 orang 16. Menurut Kirk, jumlah korban berkisar 150.000 orang 17. Kopkamtib Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban mengemukakan angka 1.000.000 sebagai perkiraan jumlah korban 18. Legge memperkirakan 250.000 orang yang menjadi korban 19. Lyon member jumlah 200.000 – 500.000 orang yang menjadi korban 20. Menurut Mellor, jumlah korban adalah 2.000.000 orang 21. Menurut Mody, jumlah korban berkisar 500.000 – 1.000.000 orang 22. Menurut Moser, korban berkisar 400.000 23. Neil mengemukanan 750.000 orang sebagai jumlah korban 24. The New York Times pada 24 Agustus 1966 mengungkapkan angka kematian berkisar 150.000 – 400.000 orang, sedangkan The New York Times Magazines pada 8 Agustus 1966 memuat angka 300.000 25. Paget mengemukakan korban mencapai 100.000 – 300.000 Universitas Sumatera Utara 26. Menurut Palar, Duta Besar Indonesia untuk Amerika, angka korban mencapai 100.000 27. Menurut Palmier, angka korban mencapai 200.000 28. Menurut Politbiro PKI yang dikelompokkan kembali, korban mencapai 200.000 orang 29. Pluvier mengemukakan angka antara 500.000 – 1.000.000 korban jiwa 30. Polomka mengemukakan 150.000 – 300.000 sebagai angka korban 31. Laksamana Sudomo Pangkopkamtib mengemukakan angka korban antara 450.000 – 500.000 32. Menurut Soekarno, jumlah korban berkisar 87.000 orang 33. Kedutaan Amerika menyebutkan angka korban 300.000 atau kurang 34. The Washington Post menyebut angka 500.000 sebagai jumlah korban Terlepas dari jumlah-jumlah tersebut, pembunuhan massal yang dilakukan di daerah-daerah bervariasi metodenya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pembunuhan berlangsung secara lebih intens di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan memanfaatkan pertentangan kelompok agama, yaitu antara para santri yang merupakan muslim ortodoks dengan abangan yang merupakan penganut islam yang terpengaruh kepercayaan pada masa pra-Islam. Sedangkan di Bali, pembunuhan dibuat dengan memancing pertentangan antargolongan agama dan antargolongan kelas, sementara di Sumatera Utara, para pimpinan militer dari Universitas Sumatera Utara perkebunan milik pemerintah memiliki ketertarikan khusus untuk menghancurkan kekuatan serikat buruh perkebunan komunis. 94 Penelitian tentang skala pembunuhan yang dilakukan oleh 3 koresponden asing Stanley Karnow dari Washington Post, serta Seth King dan Seymour Topping dari The New York Times memberitakan bahwa personil militer dan milisi sipil antikomunis terlibat dalam pembunuhan dan seringkali mereka melakukannya dengan cara-cara yang sistematik dan rahasia. Mereka hanya mengetahui bahwa tentara pada malam hari melakukan penggerebekan rumah- rumah, menggiring mereka yang dicurigai sebagai simpatisan PKI ke atas truk dan membawa mereka ke luar kota sebelum fajar. King mendengar cerita dari seseorang yang kebetulan menumpang sebuah truk tentara bahwa kira-kira lima ribu orang dari Jakarta yang diambil dari rumah mereka masing-masing dibawa ke sebuah penjara di pinggir kota, dan di sana mereka mati perlahan-lahan karena kelaparan. 95 “Di setiap bangunan, seorang kapten tentara membacakan nama- nama dari sebuah daftar, memberi tahu mereka tentang kesalahan masing- masing – atas nama hukum walaupun sidang pengadilan tidak pernah diadakan. Akhirnya truk-truk itu masing-masing diisi dengan enam puluh tawanan, dan dengan dikawal satu peleton tentara, menempuh jarak sekitar enam mil, melalui hamparan sawah dan kebun karet yang gelap menuju suatu kawasan tandus di dekat Desa Djelok. Para petani di daerah tersebut sudah diperintahkan lurah untuk menggali sebuah lubang besar satu hari sebelumnya. Para tawanan, dibariskan berdiri di bibir lubang, lalu Karnow menggambarkan pembunuhan besar-besaran di kota Salatiga di Jawa Tengah: 94 http:proquest.umi.compqdweb?did=625132931sid=1Fmt=3clientId=63928R QT=309VName=PQD. Diakses tanggal 1 Februari 2010 95 John Roosa. Op. cit. Halaman 31 Universitas Sumatera Utara ditembaki dalam beberapa menit. Beberapa dari mereka barangkali dikubur hidup-hidup.” Dari kisah-kisah semacam ini, Karnow sampai pada kesimpulan bahwa tentara mengorganisasi pembantaian berkelanjutan secara sistematik di Jawa Tengah. 96 Topping juga menyimpulkan bahwa militer melakukan pembunuhan secara kilat terhadap rakyat di Jawa Tengah tetapi ia mengatakan pola kekerasannya berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur dan Bali. Di dua daerah terakhir militer biasanya menghasut penduduk sipil untuk melakukan pembunuhan, ketimbang memerintahkan personil mereka sendiri melakukan tugas kotor itu. Tentara menebar suasana ketakutan dengan mengatakan kepada masyarakat di kota dan desa bahwa PKI sedang bersiap-siap melakukan pembunuhan besar-besaran: menggali kuburan massal, menyusun daftar hitam orang yang akan dibunuh, menyiapkan alat khusus pencungkil mata. Topping menyatakan bahwa pada umumnya para pengamat Indonesia yang berpengalaman menganggap cerita-cerita yang disebarkan tentara sebagai cerita yang dibuat-buat. Topping menambahkan bahwa pengingkaran tentara terhadap tanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan yang terjadi disangkal bukan hanya oleh hasil penyelidikan singkatnya sendiri tapi juga oleh pernyataan pribadi salah satu dari para panglima utama Suharto sendiri. Mayor Jenderal Sumitro, Panglima Kodam Brawijaya, Jawa Timur, dalam wawancaranya dengan Topping berkata, bahwa Suharto, pada November 1965, mengeluarkan perintah secara rinci tentang pembasmian PKI. Dalam Desember 1965, Sumitro beserta stafnya mengunjungi 96 Ibid Universitas Sumatera Utara seluruh komando distrik militer di Jawa Timur untuk memastikan bahwa perintah itu telah dipahami. Topping mengutip Sumitro yang mengakui bahwa “sebagian besar komandan setempat telah menunaikan tugas sebaik-baiknya untuk membunuh kader-kader PKI sebanyak-banyaknya.” 97 Di Bogor, para tentara sudah ditargetkan atasan masing-masing untuk membunuh orang-orang PKI yang ditahan dalam jumlah tertentu. Murad Aidit, Adik dari D.N. Aidit, yang pernah ditahan terkait hubungan darahnya dengan D.N. Aidit, mendengar bahwa beberapa jenderal yang berkuasa ditargetkan untuk membunuh 100.000 orang PKI di masing-masing daerah kekuasaanya. 98 Di samping itu, banyak orang dari kelompok-kelompok pekerjaan tertentu yang hilang. Para guru misalnya, yang pada masa Demokrasi Terpimpin tidak diperhatikan dengan baik secara intensif telah direkrut oleh PKI dan digunakan sebagai ujung tombak untuk mempengaruhi generasi muda. Konsekuensinya adalah mereka kemudian menjadi target khusus dalam aksi kekerasan pada tahun 1965-1966. 99 Pipit Rochiat, seorang Indonesia yang tinggal di Jerman pada tahun 1984 dalam tulisannya “Am I PKI or Non-PKI?” yang dimuat dalam Indonesia No. 40 pada Oktober 1985 menuliskan: 100 97 Ibid. Halaman 31-32 98 Budi Kurniawan dan Yani Adriansyah. Op. cit. Halaman 94 99 Robert Cribb. “Masalah-masalah dalam Penulisan Sejarah Pembantaian Massal di Indonesia” dalam Robert Cribb Ed. 2003. The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta: MataBangsa. Halaman 17 100 John Roosa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid Editor. 2004. Tahun Yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65 Esai-esai Pilihan. Jakarta: ELSAM. Halaman 15 Universitas Sumatera Utara “Daerah Kediri tampaknya tahanan bagi orang-orang komunis anehnya, kecuali satu kasus mereka tak berhak mengadakan perlawanan, lalu kebanyakan dari mereka berusaha lari ke Surabaya atau mencari perlindungan diKodim di Kota Kediri. Tapi, di penjara pun tidak aman, sebab terlalu banyak yang ingin mencari perlindungan dan penjara tidak sanggup menampungnya. Akhirnya, tentara sering mengangkut mereka dengan truk ke Gunung Klotok. Entah apa yang diperbuat oleh tentara terhadap mereka, tapi yang jelas pergi penuh muatan dan pulang kosong. Selain itu, Kodim juga tak keberatan bila ada orang-orang nasionalis atau agama datang ke sana untuk meminta orang-orang komunis yang dibutuhkan. Kodim bersedia menyerahkan tawanan komunis, asal mereka- mereka yang membutuhkan membawa kendaraan.” Di Bali, malah ada anggapan yang tersebar bahwa membunuh PKI adalah dibenarkan oleh Tuhan dan tidak akan disalahkan oleh hukum. Anggapan ini disebarkan oleh Widjana, seorang tokoh PNI, tokoh lain juga mengatakan bahwa mengambil barang-barang PKI bukanlah pekerjaan yang melanggar aturan. 101 Namun, dari peristiwa pembantaian ini, Negara tidak melakukan perlindungan. Pers Amerika Serikat mengakui bahwa staf kedubes Amerika Serikat di Jakarta menyerahkan daftar 5000 orang nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada AD Indonesia. Dalam Otobiografinya, Soeharto sama sekali tidak menunjukkan tanda bahwa ia menyesali jatuhnya korban yang begitu banyak. Justru Kol. Jasir Hadibroto yang mengaku telah membunuh Ketua CC PKI, D.N. Aidit tanpa proses hukum dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai Gubernur Lampung. 102 101 Soe Hok Gie. “Di Sekitar Pembunuhan Besar-besaran di Pulau Bali” dalam Stanley dan Aris Santoso Ed. Op. cit. Halaman 195-196 102 Hersri Setiawan. “Soeharto Penanggungjawab Pembantaian Massal Pasca G30S” dalam Islah Gusmian Peny.. Soeharto Sehat. 2006. Yogyakarta: Galang Press. Halaman 124-125 Artinya, selain mendapat pembenaran, pembunuhan anggota dan simpatisan PKI dapat dijadikan komoditi agar seseorang memperoleh penghargaan dari instansi pemerintah. Universitas Sumatera Utara

IV.1.3. Penahanan Paksa dan Penyiksaan Para Tahanan