I.7. Sistematika Penulisan
Untuk dapat mempermudah pemahaman skripsi ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Adapun penulisan skripsi ini
dibagi ke dalam 5 Bab yang berhubungan satu sama lainnya, yaitu: Bab I :
Bab ini berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, hingga sistematika penulisan
Bab II : Bab ini membahas tentang Tinjauan umum tentang Pelanggaran
HAM, termasuk membahas tentang bentuk-bentuk pelanggaran HAM berat, dan mekanisme hukum nasional serta internasional yang dapat
ditempuh dalam kasus-kasus pelanggaran HAM Bab III :
Bab ini merupakan bab yang khusus membahas tentang Gerakan Tiga Puluh September 1965
Bab IV : Bab ini membahas tentang bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang
dilakukan terhadap PKI, Hubungan pelanggaran HAM tersebut dengan hukum nasional dan hukum internasional, serta bagaimana
implementasi hukum nasional dan hukum internasional dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Bab V : Bab terakhir dalam skripsi ini yang berisi penutup berupa kesimpulan
dari keseluruhan penelitian yang dilakukan serta juga saran-saran
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELANGGARAN HAM
II.1. Hubungan Antara Hukum Internasional dengan Hukum
Nasional
Dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, ada dua teori yang terkemuka, yaitu:
15
1. Dualisme
Teori ini dikemukakan oleh para penulis positivis seperti Triepel dan Anzilotti. Bagi mereka, dengan konsepsi teori kehendak mereka tentang hukum
internasional, merupakan hal yang wajar apabila menganggap hukum nasional sebagai suatu sistem yang terpisah. Menurut Triepel, terdapat dua perbedaan
fundamental di antara kedua sistem hukum tersebut yaitu: a.
Subjek-subjek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subjek- subjek hukum internasional adalah semata-mata dan secara eksklusif hanya
Negara-negara b.
Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah kehendak Negara itu sendiri, sumber hukum internasional adalah kehendak
bersama dari Negara-negara
15
J.G. Starke. Op. cit. Halaman 96-99
Universitas Sumatera Utara
Adapun butir a di atas tidak dapat dikatakan benar karena hukum internasional juga mengikat individu-individu, sedangkan butir b agak
menyesatkan karena di atas kehendak bersama tersebut terdapat prinsip-prinsip fundamental hukum internasional yang lebih tinggi darinya dan yang mengatur
pelaksanaan atau pernyataannya. Sedangkan Anzilotti menganut suatu pendekatan yang berbeda, ia
membedakan hukum internasional dan hukum nasional menurut prinsip-prinsip fundamental dengan mana masing-masing sitem itu ditentukan. Dalam
pendapatnya, hukum nasional ditentukan oleh prinsip atau norma fundamental bahwa perundang-undangan Negara harus ditaati, sedangkan sistem hukum
internasional ditentukan oleh prinsip pacta sunt servanda. Yaitu perjanjian antar Negara-negara harus dijunjung tinggi, sehingga kedua sistem itu memang terpisah
sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan antara keduanya, yang mungkin terjadi adalah penunjukan-penunjukan renvois dari sistem yang satu ke sistem
yang lain, selain daripada itu tidak ada hubungan apa-apa. Mengenai teori Anzilotti ini, cukuplah mengatakan bahwa karena alasan-alasan yang
dikemukakan, tidak benar bahwa pacta sunt servanda harus dianggap sebagai norma yang melandasi hukum internasional; prinsip ini hanya merupakan
sebagian contoh dari prinsip yang sangat luas yang menjadi akar hukum internasional.
2. Monisme
Berbeda dengan para penulis yang menganut teori dualism, pengikut- pengikut teori monism menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan
Universitas Sumatera Utara
tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik berupa kaidah yang mengikat Negara-negara, individu-individu, atau kesatuan-kesatuan
lain yang bukan Negara. Menurut pendapat mereka, ilmu pengetahuan hukum merupakan kesatuan bidang pengetahuan dan poin yang menentukan karenanya
adalah apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sebenarnya atau bukan. Jika secara hipotesis diakui bahwa hukum internasional merupakan suatu
sistem kaidah yang benar-benar berkarakter hukum, maka menurut Kelsen dan penulis-penulis monistis lainnya, tidak mungkin untuk menyangkal bahwa kedua
sistem hukum tersebut merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu pengetahuan hukum. Dengan demikian, suatu konstruksi selain
monisme, khususnya dualism, bermuara pada suatu penyangkalan karakter hukum yang sebenarnya dari hukum internasional. Penulis-penulis monistis tidak akan
berpendapat lain selain menyatakan bahwa kedua sistem tersebut, karena keduanya merupakan sistem kaidah-kaidah hukum, merupakan bagian-bagian
yang saling berkaitan di dalam suatu struktur hukum. Namun, penulis-penulis lain yang mendukung monime berdasarkan
alasan-alasan yang bukan cuma abstrak semata-mata, dan penulis-penulis tersebut menyatakan, sebagai suatu masalah yang memiliki nilai praktis, bahwa hukum
internasional dan hukum nasional keduanya merupakan bagian dari keseluruhan kaidah hukum universal yang mengikat segenap umat manusia baik secara
kolektif ataupun individual. Dengan perkataan lain, individulah yang sesungguhnya menjadi akar kesatuan dari semua hukum tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dari segi pandang teori dualistik yang menekankan kedaulatan kehendak Negara maka primat primacy terletak pada hukum nasional. Dalam hal ini,
pendukung Monisme berbeda pendapat. Kelsen, misalnya dengan membuat suatu analisis struktural hukum internasional dan hukum nasional. Kelsen menerapkan
doktrin hirarkis yang mana menurut doktrin ini kaidah-kaidah hukum ditentukan oleh kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip lain yang dengan mana kaidah-kaidah
tersebut mendapat validitas atau kekuatan mengikatnya; dengan demikian kaidah yang ditetapkan dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan perundang-
undangan ditentukan oleh kaidah yang lebih tinggi. Dengan ini, Kelsen berkeberatan atas pandangan mengenai pemilihan antara hukum internasional dan
hukum nasional didasarkan pada alasan bahwa cara pandangnya tersebut berakar pada suatu pendekatan filosofis yang sangat meragukan.
16
Lebih lanjut, tesis mengenai pemberian primat akhir pada hukum nasional dapat dikatakan tidak berhasil dalam dua hal penting:
17
1. Apabila hukum internasional memperoleh validitasnya hanya dari konstitusi
Negara, maka hukum internasional tidak akan berlaku lagi apabila konstitusi yang menjadi sandaran otoritasnya tersebut tidak berlaku. Akan tetapi yang
lebih pasti adalah bahwa berlaku sahnya hukum internasional tidak bergantung pada perubahan atau penghapusan konstitusi-konstitusi atau pada
revolusi. 2.
Masuknya Negara-negara baru ke dalam masyarakat internasional. Telah menjadi ketetapan bahwa hukum internasional mengikat Negara-negara baru
16
Ibid. Halaman 99-100
17
Ibid
Universitas Sumatera Utara
tanpa harus ada persetujuan Negara tersebut, dan persetujuan demikian apabila dinyatakan secara tegas hanya merupakan suatu pernyataan mengenai
kedudukan hukum yang sebenarnya saja. Di samping itu, terdapat tugas bagi setiap Negara untuk menyelaraskan bukan hanya undang-undangnya saja, tapi
juga konstitusinya, dengan hukum internasional.
II.2. Sejarah Perkembangan Hukum HAM Internasional dan