Latar Belakang Historis Perubahan Sistem dan Pola Pertanian Rakyat Di Desa Sukatendel Kabupaten Karo (1965 – 2005).

BAB II IDENTIFIKASI DESA

2.1 Latar Belakang Historis

Berbicara mengenai perkembangan sebuah desa tentu saja tidak dapat terlepas dari latar belakang ataupun sejarah masa lalu desa tersebut. Demikian juga Desa Sukatendel yang masih mempunyai cerita masa lalunya sendiri. Adapun kisah masa lalu semacam ini diperoleh melalui cerita lisan dari para orang tua. Desa ini pada awalnya merupakan sebuah kawasan hutan yang belum dijamah oleh masyarakat di sekitarnya. Menurut cerita yang diperoleh, sepasang suami-istri bernama Suka dan Tendel membuka lahan baru di sana untuk dijadikan ladang. 11 Mereka membangun barung yaitu sejenis pondok sapo sebagai tempat untuk berteduh. Hal ini kemudian ditiru oleh orang-orang lain yang ikut mendirikan barung mereka sendiri di tempat tersebut. Maka terbentuklah beberapa barung yang disebut dengan barung-barung. Mereka akhirnya mulai bertempat tinggal di barung-barung tersebut. Mereka juga mengikut-sertakan sanak keluarga mereka ke tempat ini. Sedikit demi sedikit orang dari wilayah lain juga mulai berdatangan dan lama- kelamaan terbentuklah sebuah komunitas, di mana pada akhirnya mereka memutuskan untuk membangun sebuah desa. Penduduk di desa yang baru ini memustuskan untuk memberi nama desa mereka dengan nama pendirinya, Suka dan 11 Sebelumnya, petani masih mengandalkan sistem perladangan berpindah shifting cultivation, merupakan salah satu corak usaha tani primitif di mana hutan ditebang-bakar kemudian ditanami tanpa melalui proses pengolahan tanah. Corak usahatani ini umumnya muncul di wilayah- wilayah yang memiliki kawasan hutan cukup luas di daerah tropik. Sistem perladangan berpindah dilakukan sebelum orang mengenal cara mengolah tanah. Universitas Sumatera Utara Tendel. Untuk kesan praktis, kedua nama mereka digabung sehingga menjadi ‘Sukatendel’. 12 Sesuai tradisi, pendirian sebuah desa tidak dapat terpisahkan dengan sistem kekerabatan masyarakat karo, yang dikenal dengan Rakut Si Telu. Dalam pendirian sebuah desa kuta, Rakut Si Telu harus ikut mengambil peran. Terdapat tiga kelompok dalam susunan kemasyarakatan yang berhubungan dengan proses didirikannya sebuah desa: 1. Pendiri desa simantek kuta ialah orang yang berasal dari klan Perangin-angin. Marga ini mempunyai banyak sub-marga yang tersebar di wilayah Karo Teruh Deleng. Jika bertemu dengan orang dari desa lain, maka penduduk desa Sukatendel merasa kesulitan untuk menjelaskan tentang asal marganya. 13 Maka mereka menyebut marga mereka dengan ‘Perangin-angin Sukatendel’, untuk menegaskan wilayah tempat tinggalnya. Sejak saat itulah penduduk yang bermarga Perangin-angin disini mulai dikenal dengan Perangin-angin Sukatendel. Kelompok ini disebut juga dengan bangsa taneh. Untuk mendirikan desa, Simantek Kuta membawa serta Anak Beru, Senina dan Kalimbubu-nya. Anak beru yang dibawa pada saat mendirikan desa beserta keturunannya terus- menerus disebut dengan Anak Beru Singian Rudang. Kalimbubu dan keturunannya yang dibawa pada saat pendirian desa terus-menerus disebut Kalimbubu Simajek Lulang. Ketiga kelompok inilah yang mempunyai peranan 12 Wawancara dengan nande Pulungen br. Perangin-angin, Desa Sukatendel, 5 Maret 2011. 13 Dalam perkenalan dengan seseorang yang belum pernah dijumpai, biasanya orang Karo akan saling menanyakan marga, yang diikuti asal tempatnya. Universitas Sumatera Utara penting di desa tersebut sebab kelompok ini memegang kendali atas pemerintahan. 2. Kelompok pendatang, yaitu mereka yang datang ke desa ini karena adanya faktor pernikahan dengan sanak saudara simantek kuta. Mereka disebut dengan ginenggem, yang artinya orang yang diayomi. Jika kelompok ini ingin membuka perladangan baru harus juga memperoleh persetujuan dari simantek kuta. 3. Kelompok yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan simantek kuta, disebut rakyat derip, atau rakyat biasa. Kelompok ini diharuskan membayar sewa tanah serta mengurus ijin untuk membuka perladangan dan melakukan kerahen, yakni wajib kerja kepada simantek kuta. Kepengurusan desa dipegang oleh marga simantek kuta dan dibantu oleh anak beru-nya sehingga tampak seperti sebuah majelis, sehingga mereka berperan dalam mengambil keputusan atau kebijaksanaan dalam pemerintahan desa. Struktur pemerintahan tradisional ini mulai berubah, ketika Belanda mulai memasuki wilayah Karo pada tahun 1904 yang ditandai dengan ditetapkannya wilayah administratif Onder-afdeling Karolanden. 14 Maka Dararan Tinggi Karo dikelompokkan menjadi lima landschaap, yang masing-masing dipimpin oleh seorang zelfbestuur dalam satu 14 Sarjani Tarigan, Lentera Kehidupan Orang Karo Dalam Berbudaya, Kabanjahe: TB. Abdi Karya, 2009, hal. 44. Universitas Sumatera Utara Onder-afdeling. Masing-masing landschaap dibagi atas beberapa urung 15 yang membawahi beberapa desa. - Landschaap Suka terbagi atas empat urung: a. Urung Suka berkedudukan di Desa Suka b. Urung Sukapiring berkedudukan di Desa Seberaya c. Urung Ajinembah berkedudukan di Desa Ajinembah d. Urung Tengging berkedudukan di Desa Tengging - Landschaap Lingga terbagi atas lima urung: a. Urung Sepulu Dua Kuta berkedudukan di Kabanjahe b. Urung Telu Kuru berkedudukan di Desa Lingga c. Urung Naman berkedudukan di Desa Naman d. Urung Tiga Pancur berkedudukan di Desa Tiga Pancur e. Urung Empat Teran berkedudukan di Desa Batu Karang f. Urung Tiganderket berkedudukan di Desa Tiganderket - Landschaap Barusjahe terdiri dari dua urung: a. Urung Si Enem Kuta berkedudukan di Desa Sukanalu b. Urung Si Pitu Kuta berkedudukan di Desa Barusjahe 15 Kata urung berasal dari bahasa Tamil, ur, berarti kampung. Kata urum, berarti sebuah kampung yang penduduknya terdiri dari kasta sudra petani yang berada di India selatan pada zaman dahulu. Universitas Sumatera Utara - Landschaap Sarinembah terdiri atas empat urung: a. Urung Sepulu Pitu Kuta berkedudukan di Kabanjehe b. Urung Perbesi berkedudukan di Desa Simbelang c. Urung Juhar berkedudukan di Desa Juhar d. Urung Kutabangun berkedudukan di Desa Kutabangun - Landschaap Kuta Buluh terbagi atas dua urung: a. Urung Namohaji berkedudukan di Desa Kutabuluh b. Urung Liang Melas berkedudukan di Desa Mardinding Setiap urung dipimpin oleh seorang bapa urung yang membawahi beberapa desa, di mana desa ini dipimpin juga oleh seorang pengulu kepala desa. Setiap desa terbagi atas beberapa kesain yang dipimpin oleh seorang pengulu kesain. Desa Sukatendel termasuk ke dalam wilayah urung Tiganderket. Kedatangan Belanda turut membawa beberapa perubahan, salah satunya adalah dibukanya fasilitas jalan raya yang menghubungkan wilayah Kabanjahe ke wilayah pedesaan di Karo Teruh Deleng, dan Singalor Lau. Maka penduduk Desa Sukatendel membuat sebuah jalan kecil yang menghubungkan pusat desa mereka dengan jalan raya, sehingga untuk mencapai desa ini, harus menempuh jarak sekitar 100 meter dari simpang masuk desa. Area hutan yang sudah ditebang di sekitar desa dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan untuk bertani dan bersawah. Rumah-rumah penduduk juga mulai dibangun dengan jumlah yang cukup bayak, seiring dengan meningkatnya populasi Universitas Sumatera Utara desa. Rumah dibangun dalam bentuk rumah tradisional Karo, yakni Rumah Si Empat Jabu. Rumah ini didirikan berdasarkan arah hilir kenjahe dan hulu kenjulu sesuai aliran mata air di desa tersebut. Pergolakan yang terjadi pada tahun 1947 ikut berpengaruh terhadap situasi Desa Sukatendel. 16 Pada masa ini seluruh penduduk turut serta membakar rumah mereka dan mengungsi ke wilayah pedalaman hutan, jauh dari desa mereka. 17 Di sanalah mereka bertempat tinggal untuk sementara sembari menunggu situasi aman kembali. Selama masa pengungsian, mereka hanya dapat mengkonsumsi apa yang disediakan oleh alam, seperti ubi. Sekitar 5 atau 6 bulan mengungsi, penduduk merasa bahwa situasi telah aman kembali. Maka penduduk yang mengungsi memutuskan untuk pulang ke wilayah Desa Sukatendel. Mengingat kondisi desa yang sudah kacau dan berantakan, maka dilaksanakan sebuah musyawarah. Mereka berdiskusi tentang tata ruang desa yang akan mereka bangun kembali. Melalui musyawarah tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa setiap kepala keluarga berhak mendapatkan sebidang tanah, untuk dibangun rumah di atasnya. Luas dan lebar tanah yang diberikan sama untuk masing-masing kepala keluarga, sehingga tidak terjadi pertengkaran. Masing-masing rumah dibangun kembali, namun tidak lagi bermodelkan Rumah Si Empat Jabu, melainkan rumah sederhana dengan model klasik, mirip dengan rumah panggung; fondasi yang terbuat dari batu dengan disertai tiang kayu penahan lantai pandak, mempunyai kolong di bawah rumah, dan mempunyai redan ture tangga naik ke teras rumah. Antara satu 16 Pergolakan ini tidak terlepas dari masuknya Sekutu dibonceng oleh Belanda NICA ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang. 17 Wawancara dengan nande Mara br Perangin-angin, 17 September 2010. Universitas Sumatera Utara rumah dengan rumah yang lainnya dibuat pemisah berupa jalan setapak yang memudahkan warga untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Untuk status kepemilikan ladang atau sawah yang ditinggalkan sebelumnya, hal tersebut tidak menjadi masalah, karena setiap pemilik ladang atau sawah masih tetap mendapatkan hak atas tanah mereka. Setelah penduduk dapat kembali membangun desa mereka, maka aktivitas harian mereka juga kembali kepada keadaan semula, yaitu bertani atau bersawah.

2.2 Kondisi Alam dan Geografis