Perubahan Sistem dan Pola Pertanian Rakyat Di Desa Sukatendel Kabupaten Karo (1965 – 2005).
PERUBAHAN SISTEM DAN POLA PERTANIAN RAKYAT DI DESA SUKATENDEL KABUPATEN KARO (1965-2005)
SKRIPSI DIKERJAKAN
O L E H
OKTA SELVIA SINUHAJI NIM 070706029
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2011
(2)
Lembar Persetujuan Skripsi
PERUBAHAN SISTEM DAN POLA PERTANIAN RAKYAT DI DESA SUKATENDEL KABUPATEN KARO (1965-2005)
Yang diajukan oleh Nama : Okta Selvia Sinuhaji NIM : 070706029
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:
Pembimbing
Drs. Wara Sinuhaji M.Hum Tanggal:
NIP. 195707161985031003
Ketua Departemen Ilmu Sejarah
Drs. Edi Sumarno M.Hum Tanggal:
NIP. 196409221989031001
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2011
(3)
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
PERUBAHAN SISTEM DAN POLA PERTANIAN RAKYAT DI DESA SUKATENDEL KABUPATEN KARO (1965-2005) SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN O
L E H
Okta Selvia Sinuhaji Nim 070706029
Pembimbing
Drs. Wara Sinuhaji M.Hum NIP. 195707161985031003
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Ilmu Budaya Dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(4)
Lembar Persetujuan Ketua Departemen
Disetujui Oleh
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
Departemen Ilmu Sejarah Ketua Departemen Ilmu Sejarah
Drs. Edi Sumarno M.Hum NIP. 196409221989031001
(5)
Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan & Panitia Ujian Diterima oleh:
Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Ilmu Budaya
Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
Pada:
Hari:
Tanggal:
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan
Dr. Syahron Lubis M.A NIP. 19511013197603100
Panitia Ujian
No. Nama Tanda Tangan
1. Drs. Edi Sumarno M.Hum (___________)
2. Dra. Nurhabsyah M.Si (___________)
3. Drs. Wara Sinuhaji M.Hum (___________)
4. Dra. Ratna M.S (___________)
(6)
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai sumber segala hikmat yang telah melimpahkan berkat dan karunia-Nya sejak awal hingga akhir perkuliahan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan akademik Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul, Perubahan Sistem
dan Pola Pertanian Rakyat Di Desa Sukatendel Kabupaten Karo (1965 – 2005),
dimana isi serta materi skripsi didasarkan pada studi lapangan dan literatur yang mendukung dengan menganalisa informasi yang diperoleh dari wawancara kepada sejumlah petani di Desa Sukatendel.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu, serta memberikan berbagai kritik dan saran selama penulisan skripsi ini berlangsung;
- Kepada kedua orang tua tercinta, M. Sinuhaji dan N. br Perangin-angin, yang telah memberi banyak dukungan moril dan materil kepada penulis selama penelitian. Demikian juga kepada saudara-saudariku, Indra Jaya Sinuhaji, S.T, Mulyani br Sinuhaji S.P, Juniawan Sebayang, S.P dan Aurelia.
- Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. Syahron Lubis M.A, beserta seluruh staffnya.
- Bapak Drs. Edi Sumarno, M. Hum dan Ibu Dra. Nurhabsyah M.Si, selaku ketua dan sekretaris Departemen Ilmu Sejarah.
(7)
- Bapak Drs. Wara Sinuhaji, M. Hum, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, serta membimbing penulis hingga skripsi ini selesai. - Seluruh Civitas Akademika di jajaran Fakultas Ilmu Budaya, khususnya staf
pengajar dan staf administrasi Jurusan Ilmu Sejarah.
- Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karo, Naomi Sinuhaji yang telah memberi izin kepada penulis guna ‘meminjam’ data di bagian arsip.
- Kepala Desa Sukatendel, Bapak Ngapul Surbakti, yang turut serta telah membantu penulis selama penelitian.
- Seluruh warga Desa Sukatendel, terkhusus Nande Mara br. Perangin-angin selaku informan kunci; dan kepada para petani yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancarai selama penelitian berlangsung.
Terima kasih kepada KOSMAS Community (Marina Putri Sebayang S.Farm, Elisa Hari Septi Simanjuntak, S.S, Imelia Anita Listari Lubis, Jamin Kembaren A.Md, Enda Ginting; dan kamar no.8)
Penulis berterima kasih kepada teman-teman stambuk 2007 Ilmu Sejarah; Intan Purnama Sari Rumahorbo, Yudika Situmorang atas kebersamaan dan dukungan yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini; dan kepada Antonius Lambok Ginting, Fasrah Aka Sihaloho, Henry Imanuel Sitanggang, Okky Zulindra, Sarifah Aini, Sukma Iwan, Sulistia Fitriani Panggabean; demikian juga kepada Meisia Mutiara Manurung dan Siti, yang telah menjadi partner di dalam seminar proposal dan meja hijau.
(8)
ABSTRAK
Adapun skripsi ini merupakan tulisan dari serangkaian hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sukatendel Kabupaten Karo. Penelitian yang dilakukan menyangkut masalah perubahan sistem dan pola pertanian petani yang telah berlangsung dalam kurun waktu empat puluh tahun. Perubahan sistem yang dulunya bersifat subsisten menjadi sistem agribisnis telah membawa dampak yang cukup berarti bagi kehidupan para petani. Selain itu, sistem yang telah berubah ini ikut mempengaruhi pola bertani yang masih bersifat klasik.
Desa Sukatendel terletak di Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, berjarak 101 km dari Medan. Dengan lokasinya yang terletak 7 km dari gunung berapi Sinabung, tanah di desa ini sangat cocok untuk dipergunakan sebagai lahan pertanian. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penduduk desa, sehingga hampir semua penduduknya bermatapencarian sebagai petani. Lahan yang terletak di dekat aliran air irigasi dijadikan sebagai sawah dan lahan yang letaknya mendekati hutan dipergunakan sebagai ladang.
Pada awalnya petani masih mengandalkan sistem subsisten, di mana mereka mengusahakan lahan hanya untuk keperluan pangan semata. Mereka menanam padi untuk konsumsi keluarga, sedangkan kalau ada hasil yang dijual, tidak dimaksudkan untuk mencapai keuntungan komersil. Seiring dengan berjalannya waktu, sistem subsisten perlahan-lahan ditinggalkan dan petani mulai mengenal sistem agribisnis. Petani mulai menjual hasil panen ke pasar untuk mendapatkan keuntungan. Di sinilah mulai terjadi perubahan sistem pertanian tersebut. Perubahan ini mulai terlihat di saat para petani mulai mengusahakan tanaman keras, yang mempunyai nilai jual tinggi di pasaran. Dengan demikian petani telah mengenal sistem pasar dan berpeluang untuk mengatur sendiri usaha taninya.
Salah satu hal yang menjadi fokus utama ialah adanya pergantian jenis tanaman yang diusahakan oleh petani. Para petani tampak giat mengganti jenis tanaman satu ke tanaman yang lain selama empat puluh tahun, tanpa adanya bantuan yang berarti dari pihak manapun. Petani mengusahakan tanaman keras pertama yakni jeruk keling pada tahun 1947. Memasuki tahun 1960, petani juga mulai menanam cengkih. Jeruk keling yang terserang penyakit kemudian diganti menjadi vanili pada tahun 1980. Petani yang merasa kecewa karena ketidakpraktisan vanili memutuskan untuk menggantinya lagi dengan jeruk padang yang sukses ditanam hingga tahun 2000. Sebagian petani sawah kemudian ‘mengubah’ sawahnya menjadi lahan kering dan menanam tembakau di atasnya pada tahun 1997 hingga 2005. Petani jeruk
padang akhirnya beralih menanam kakao, di saat jeruk padang mereka mulai
terserang penyakit.
Metode yang dipergunakan ialah wawancara dimana wawancara dilakukan terhadap sejumlah petani yang pernah terlibat di dalam peralihan usaha tani tersebut. Selain itu informasi dari berbagai literatur yang mendukung juga ikut dipergunakan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa petani mempunyai strategi khusus di dalam mengelola pertaniannya. Strategi tersebut meliputi berbagai upaya petani di dalam mengelola berbagai faktor produksi sehingga menghasilkan produk usaha tani yang berkualitas.
(9)
DAFTAR ISI
UCAPAN TERIMA KASIH ………..……… i
ABSTRAK ………....…. iii
DAFTAR ISI ………. iv
DAFTAR TABEL ………..…...… vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……….……… 1
1.2 Rumusan Masalah ………..…….. 4
1.3 Tujuan dan Manfaat ……… 5
1.4 Tinjauan Pustaka ……….………. 7
1.5 Metode Penelitian ………...………. 9
BAB II IDENTIFIKASI DESA 2.1 Latar Belakang Historis ………...…….. 12
2.2 Kondisi Alam dan Geografis ………...……….. 18
2.3 Komposisi Penduduk ………... 24
2.4 Struktur Sosial Budaya ……….. 27
BAB III KRONOLOGIS PERKEMBANGAN USAHA TANI 3.1 Kondisi Pertanian Sebelum Tahun 1965 ………... 33
3.2 Jeruk Keling & Cengkih; Era Kesuksesan Petani …………..……… 41
(10)
3.4 Jeruk Padang; Komoditas Bernilai Jual Tinggi ………….………… 47
3.5 Tembakau; Si Daun Emas ………...….. 49
3.6 Kakao: Si Uang Cokelat ……… 52
BAB IV FAKTOR PENDUKUNG PERKEMBANGAN USAHA TANI 4.1 Pertanian Subsistensi dan Peralihannya Menjadi Pertanian Komersial ………...……...…………...… 56
4.2 Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani ……….….………… 59
4.3 Faktor-Faktor Produksi Pertanian ………..…………..….. 62
4.4 Dampak Peralihan Sistem Pertanian ……….………. 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ………..…….. 72
5.2 Saran ………..……… 73
DAFTAR PUSTAKA ………...………..…. 74
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Klasifikasi Tanah dan Fungsinya Tabel 2 Komposisi Jumlah Penduduk
Tabel 3 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 1996 Tabel 4 Komposisi Penduduk Menurut Agama Tahun 1996
Tabel 5 Komposisi Penduduk Menurut Usia Tahun 1996 Tabel 6 Rincian Luas Lahan Pada 1947-1977
Tabel 7 Rincian Luas Lahan Pada 1984-1988 Tabel 8 Rincian Luas Lahan Pada 2000-2005
(12)
ABSTRAK
Adapun skripsi ini merupakan tulisan dari serangkaian hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sukatendel Kabupaten Karo. Penelitian yang dilakukan menyangkut masalah perubahan sistem dan pola pertanian petani yang telah berlangsung dalam kurun waktu empat puluh tahun. Perubahan sistem yang dulunya bersifat subsisten menjadi sistem agribisnis telah membawa dampak yang cukup berarti bagi kehidupan para petani. Selain itu, sistem yang telah berubah ini ikut mempengaruhi pola bertani yang masih bersifat klasik.
Desa Sukatendel terletak di Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, berjarak 101 km dari Medan. Dengan lokasinya yang terletak 7 km dari gunung berapi Sinabung, tanah di desa ini sangat cocok untuk dipergunakan sebagai lahan pertanian. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penduduk desa, sehingga hampir semua penduduknya bermatapencarian sebagai petani. Lahan yang terletak di dekat aliran air irigasi dijadikan sebagai sawah dan lahan yang letaknya mendekati hutan dipergunakan sebagai ladang.
Pada awalnya petani masih mengandalkan sistem subsisten, di mana mereka mengusahakan lahan hanya untuk keperluan pangan semata. Mereka menanam padi untuk konsumsi keluarga, sedangkan kalau ada hasil yang dijual, tidak dimaksudkan untuk mencapai keuntungan komersil. Seiring dengan berjalannya waktu, sistem subsisten perlahan-lahan ditinggalkan dan petani mulai mengenal sistem agribisnis. Petani mulai menjual hasil panen ke pasar untuk mendapatkan keuntungan. Di sinilah mulai terjadi perubahan sistem pertanian tersebut. Perubahan ini mulai terlihat di saat para petani mulai mengusahakan tanaman keras, yang mempunyai nilai jual tinggi di pasaran. Dengan demikian petani telah mengenal sistem pasar dan berpeluang untuk mengatur sendiri usaha taninya.
Salah satu hal yang menjadi fokus utama ialah adanya pergantian jenis tanaman yang diusahakan oleh petani. Para petani tampak giat mengganti jenis tanaman satu ke tanaman yang lain selama empat puluh tahun, tanpa adanya bantuan yang berarti dari pihak manapun. Petani mengusahakan tanaman keras pertama yakni jeruk keling pada tahun 1947. Memasuki tahun 1960, petani juga mulai menanam cengkih. Jeruk keling yang terserang penyakit kemudian diganti menjadi vanili pada tahun 1980. Petani yang merasa kecewa karena ketidakpraktisan vanili memutuskan untuk menggantinya lagi dengan jeruk padang yang sukses ditanam hingga tahun 2000. Sebagian petani sawah kemudian ‘mengubah’ sawahnya menjadi lahan kering dan menanam tembakau di atasnya pada tahun 1997 hingga 2005. Petani jeruk
padang akhirnya beralih menanam kakao, di saat jeruk padang mereka mulai
terserang penyakit.
Metode yang dipergunakan ialah wawancara dimana wawancara dilakukan terhadap sejumlah petani yang pernah terlibat di dalam peralihan usaha tani tersebut. Selain itu informasi dari berbagai literatur yang mendukung juga ikut dipergunakan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa petani mempunyai strategi khusus di dalam mengelola pertaniannya. Strategi tersebut meliputi berbagai upaya petani di dalam mengelola berbagai faktor produksi sehingga menghasilkan produk usaha tani yang berkualitas.
(13)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia senantiasa menyesuaikan diri dengan kondisi geografis tempat tinggal mereka. Kondisi inilah yang menyebabkan mengapa sebagian besar masyarakat di pedesaan, terutama yang tinggal di dataran tinggi umumnya bermatapencarian sebagai petani. Adapun jenis tanaman yang ditanam oleh para petani tergantung pada kesesuaiannya dengan iklim wilayah tersebut.
Sejarah pertanian telah mencatat bahwa sistem dan pola pertanian masyarakat petani pada awalnya adalah pertanian yang bersifat subsisten, dimana tanaman yang ditanam hanya sekedar dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.1 Sistem seperti ini juga terjadi di wilayah dataran tinggi Karo. Mereka menanam berbagai jenis biji-bijian, antara lain padi, jagung ataupun sayur-sayuran. Maka bentuk pertanian tersebut bersifat individual, cakupannya hanya dalam keluarga. Sistem ini kemudian berubah dan berkembang dimana para petani mulai memanfaatkan lahan pertaniannya guna memperoleh uang, sehingga sistem subsistensial perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Walaupun demikian, di satu sisi petani yang telah berhasil
1 Greg. Soetomo. Kekalahan Manusia Petani Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal. 21
(14)
senantiasa berkeinginan untuk memberi bantuan kepada kerabat mereka yang masih bertani dengan sistem subsistensial tersebut.2
Dengan kondisi geografis yang dikelilingi oleh pegunungan dengan ketinggian 140 s/d 1400 m di atas permukaan laut, dataran tinggi sangat memungkinkan untuk usaha pertanian tanaman holtikultura. Sejak zaman kolonial Tanah Karo dikenal sebagai penghasil buah-buahan dan sayur-sayuran yang bahkan diekspor ke luar negeri.3
Adapun Desa Sukatendel merupakan desa yang terletak di dekat kaki Gunung Sinabung dengan luas wilayah 6,16 km2
dan berjarak 25 km dari ibukota Kabupaten Karo, Kabanjahe.4 Terdapat sebuah pembaharuan di kalangan petani, dimana selama kurun waktu empat puluh tahun mereka ’gemar’ melakukan pergantian jenis tanaman yang berorientasi pasar. Di sini terlihat bahwa ada sebuah sistem baru yang dijalankan petani di dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sistem ini berdampak terhadap pola dan sistem bercocok-tanam petani, dan dampak yang lebih jauh lagi ialah petani telah mempunyai keterkaitan langsung dengan pasar. Keterkaitan ini membuat pedesaan telah berubah mencapai tingkat komersialisasi sedemikian rupa, sehingga lebih terlibat dalam percaturan ekonomi yang lebih luas di luar wilayahnya atau disebut cenderung mengarah ke sistem kapitalisme.
2 Wara Sinuhaji, Aktivitas Ekonomi & Entrepreneurship Masyarakat Karo Pasca Revolusi,
Medan: USU Press, 2004, hal. 116.
3 Adapun cikal bakal mengapa di wilayah ini menjadi pusat penghasil sayur dan buah tidak
terlepas dari pengaruh Belanda yang membuka sarana jalan raya yang membelah Bukit Barisan dan saat itu juga untuk pertama kalinya berhasil mengembangbiakkan tanaman kentang di kaki bukit Gundaling, Berastagi.
(15)
Perubahan sistem pertanian didasari dengan pergantian jenis tanaman yang ditanam. Di Desa Sukatendel, terjadi pergantian yang melibatkan berbagai macam jenis tanaman keras. Tanaman keras yang menjadi pilihan petani ialah tanaman yang bernilai jual tinggi di pasaran (high value commodity), yang mulai dilakukan petani pada tahun 1965, seperti jeruk, cengkih, vanili, kakao, hingga tembakau.
Dengan adanya perubahan ini petani berhadapan dengan beberapa resiko yaitu; pertama, karena tanaman keras merupakan tanaman yang bebas diusahakan dan diperdagangkan tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhubungan langsung dengan pasar, akibatnya mereka sangat rentan terhadap fluktuasi harga yang juga dipengaruhi oleh beberapa aktor mulai dari pembeli biasa hingga tengkulak. Kedua, pertanian juga sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan musim.
Untuk mengahadapi berbagai resiko tersebut, rumah tangga petani akan mengelola struktur nafkah sehingga mampu meminimalkan resiko, tergantung kepada sumber daya yang dimiliki. Dalam upaya memperjuangkan kehidupan ekonomi akibat berbagai resiko tersebut, rumah tangga petani biasanya akan melakukan berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan sosial mereka dalam upaya berjuang untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup.
Menjadi pertanyaan tersendiri bagi penulis, mengapa petani Desa Sukatendel mampu menopang kehidupan ekonomi mereka di saat usaha tani mereka terus mengalami pergantian jenis tanaman selama berpuluh-puluh tahun. Hal semacam ini tentunya tidak memakan waktu dan biaya yang sedikit, namun selama empat puluh tahun mereka telah sukses mengelola usaha tani mereka tanpa adanya hambatan yang
(16)
berarti. Demikian juga hal yang sama akan terus mereka alami ke masa yang akan datang.
Untuk itulah penulis berniat mengangkat fenomena ini menjadi topik penulisan skripsi dengan judul Perubahan Sistem Dan Pola Pertanian Rakyat di Desa Sukatendel Kabupaten Karo (1965 - 2005). Tahun 1965 merupakan awal masa dimana petani mulai melakukan pergantian jenis tanaman yang berorientasi pasar. Tahun 2005 sebagai batasan skop temporal menunjukkan adanya dampak dan pengaruh perubahan sistem dan pola pertanian tersebut terhadap kehidupan sosial ekonomi para petani selama kurun waktu empat puluh tahun.
Pendekatan kritis dalam penelitian ini diperlukan untuk membuka dan menerangi situasi krisis yang berlangsung dalam kehidupan petani di Desa Sukatendel. Krisis terjadi ketika petani mengalami persoalan baik dari alam, dalam masyarakat dan oleh iptek. Satu hal yang khas adalah bahwa yang dilakukan oleh para petani yang bercocok-tanam itu adalah berusaha menghindari kegagalan yang akan menghancurkan kehidupannya dan bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil resiko.5
1.2 Rumusan Masalah
Adapun pokok permasalahan yang ingin diungkapkan dalam tulisan ini ialah mengenai perubahan sistem dan pola pertanian rakyat di Desa Sukatendel selama kurun waktu 1965-2005. Mengapa mereka masih dapat mempertahankan usaha tani
5 James C. Scott, Moral Ekonomi Petani Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara,
(17)
mereka di tengah-tengah krisis adalah akibat konversi jenis tanaman yang rutin mereka lakukan. Dalam kasus ini petani tentunya mengalami kerugian dan mereka membutuhkan modal yang lebih untuk membeli bibit tanaman jenis baru dan mengelolanya, namun fakta menunjukkan bahwa selama empat puluh tahun terdapat perkembangan sosial ekonomi yang positif bagi para petani di desa tersebut.
Maka untuk itu rumusan masalah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi dan sistem pertanian masyarakat Desa Sukatendel
sebelum tahun 1965?
2. Mengapa terjadi perubahan sistem dan pola pertanian di desa tersebut?
3. Apakah faktor pendukungnya, dan bagaimana dampak perubahan sistem dan pola pertanian bagi petani?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian.. Untuk itulah adanya penelitian dilakukan guna menjawab permasalahan yang dirumuskan.
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi kondisi pertanian masyarakat Desa Sukatendel sebelum tahun 1965.
2. Menganalisis mengapa terjadi perubahan sistem dan pola pertanian di desa tersebut.
(18)
3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang berperan dalam perkembangan usaha tani dan sejauh mana dampak perubahan sistem dan pola pertanian bagi kehidupan petani.
Penelitian ini diharapkan mampu mengeksplorasi dinamika sistem nafkah rumah tangga petani yang bersifat dinamis, khas dan kompleks, sehingga dapat berkontribusi kepada:
1. Masyarakat Desa Sukatendel khususnya dan masyarakat Karo umumnya dapat memperoleh informasi tentang perkembangan pertanian di Desa Sukatendel.
2. Pengambil kebijakan, diharapkan agar pemerintah Kabupaten Karo lebih dapat memperhatikan kondisi petani, terlebih petani yang jauh dari pusat pemerintahan daerah seperti petani di Desa Sukatendel.
3. Dunia akademik, diharapkan dapat menyumbangkan referensi baru dalam khasanah penelitian tentang perubahan sistem dan pola pertanian, spesifik pada petani Desa Sukatendel.
(19)
1.4 Tinjuan Pustaka
Dalam suatu penelitian, tinjauan pustaka diperlukan untuk mendukung permasalahan yang diungkapkan, dan sebagai acuan untuk menghasilkan teori. Maka untuk itulah, penulis menggunakan beberapa buku yang mendukung seperti
Pengantar Ekonomi Pertanian oleh Mubyarto, Petani: Suatu Tinjauan Antropologis
oleh Eric. R Wolf, dan The Transition From Subsistence To Commercial Family
Farming In North Sumatra, sebuah tesis doktor yang ditulis oleh D. H. Penny.
Mubyarto dalam bukunya Pengantar Ekonomi Pertanian menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi kehidupan petani di beberapa wilayah di Indonesia. Buku ini tidak menjabarkan kondisi pertanian masyarakat pedesaan di Indonesia, melainkan ekonomi produksi, permintaan penawaran dan tata niaga, dan pembangunan pertanian dan penelitian. Persoalan-persoalan ekonomi pertanian mencakup jarak waktu yang lebar antara pengeluaran dan penerimaan pendapatan petani, pembiayaan pertanian, tekanan penduduk dan pertanian serta pertanian subsisten.6 Buku ini dapat dijadikan salah satu acuan penulisan tentang konsep ekonomi berbasis pertanian di wilayah pedesaan. Dari buku ini juga dapat dilihat persoalan-persoalan ekonomi pertanian yang mempunyai kesamaan dengan objek penelitian ini seperti masalah pembiayaan yang bukan hanya dialami petani di Pulau Jawa, yang menjadi objek kajian Mubyarto, melainkan juga di desa yang menjadi objek penelitian ini. Adapun kaitan antara buku ini dengan topik penelitian ini adalah, dengan adanya deskripsi tentang prinsip-prinsip ekonomi dalam usahatani, serta
(20)
persoalan-persoalan ekonomi pertanian diharapkan mampu membantu penulis dalam mengembangkan ide penulisan tentang pertanian di Desa Sukatendel.
Wolf berpendapat bahwa masyarakat industri dibangun di atas puing-puing masyarakat petani pedesaan, dan ia lebih mementingkan bahasan tentang kaum tani yang merupakan produk hasil evolusi masyarakat manusia.7 Ia juga mencoba memperlihatkan bahwa dunia petani bukanlah dunia tanpa bentuk (amorphous), melainkan satu dunia yang teratur, yang mempunyai bentuk-bentuk organisasi yang khas. Pendekatan yang dipergunakannya ialah pendekatan antropologis, yang menganalisa berbagai sisi kehidupan petani di berbagai tempat di dunia. Dengan adanya informasi tentang aspek ekonomi dan sosial kaum tani, diharapkan dapat membantu pengembangan tulisan tentang kaum tani di Desa Sukatendel.
The Transition From Subsistence To Commercial Family Farming In North Sumatra merupakan sebuah tesis yang didasari atas penelitian D. H Penny di
Sumatera Utara pada tahun 1962. Beliau meneliti delapan wilayah di Sumatera Utara, salah satunya ialah Desa Tiganderket. Desa Tiganderket berjarak dua kilometer dari Desa Sukatendel sehingga sepertinya tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara kehidupan sosial di dua desa tersebut, mengingat pada masa penelitian ini berlangsung, Desa Tiganderket merupakan sentra pasar di Kecamatan Payung. D. H Penny menitikberatkan penelitiannya pada fenomena peralihan subsistence-minded dengan economic-minded yang terdapat di delapan wilayah penelitiannya.8 Ia mencatat bahwa dari kedelapan tempat tersebut, petani di desa Tiganderket lah yang
7 Eric R. Wolf, Petani: Suatu Tinjauan Antropologis , Jakarta: C.V Rajawali, 1985, hal. 5. 8 D. H. Penny, The Transition From Subsistence To Commercial Family Farming In North Sumatra, Tesis Doktor, Cornell University, 1964, hal. 4–7.
(21)
paling berpotensi sebagai petani dengan mental wirausaha. Dengan adanya informasi tambahan dari penelitian beliau, kiranya dapat memberi masukan tersendiri di dalam penulisan skripsi ini.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah guna mengumpulkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.9 Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari peninggalan masa lampau.10 Adapun tahap-tahap yang dipergunakan ialah heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.
Tahap pertama adalah heuristik, merupakan tahap pencarian sumber-sumber yang berhubungan dengan penelitian ini. Ada dua teknik yang digunakan yakni studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan sumber tertulis yang bersifat primer ataupun skunder yang berupa laporan, arsip dan buku-buku yang berkaitan dengan objek yang dikaji. Sumber ini diperoleh dari Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Medan, perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, dan kantor kepala Desa Sukatendel.
Sumber lisan juga ikut dipergunakan, yakni dengan teknik wawancara. Wawancara dilakukan dengan orang-orang yang dapat memberi keterangan tentang penelitian ini. Adapun sumber informan yakni masyarakat Desa Sukatendel
9 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Logos, 1999, hal.25. 10 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (terj, Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI-Press, 1985,
(22)
khususnya para petani serta kepala Desa Sukatendel. Dalam melakukan wawancara, penulis akan mempersiapkan topik wawancara sebagai pedoman atau petunjuk wawancara.
Adapun pedoman wawancara ialah sebagai berikut:
- Apa penyebab sehingga petani subsisten beralih menjadi petani komersil? - Bagaimana petani beradaptasi dengan sistem pertanian yang baru tersebut? - Mengapa petani cenderung memilih jenis tanaman keras?
- Apakah kendala petani di dalam mengembangkan usaha taninya?
- Bagaimanakah pola pertanian mereka setelah diterapkannya sistem yang baru tersebut?
- Seperti apakah langkah-langkah petani dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk yang bisa saja muncul?
- Bagaimana cara-cara petani di dalam membudidayakan tanaman? - Bagaimana sistem tenaga kerja, permodalan dan pemasaran mereka?
- Apakah faktor kebudayaan turut serta mempengaruhi perkembangan usaha tani? - Bagaimakah dampak peralihan sistem pertanian tersebut terhadap kehidupan petani?
Langkah kedua ialah melakukan kritik sumber. Kritik akan dilakukan terhadap sumber-sumber yang sudah terkumpul, baik ekstern ataupun intern. Kritik
ekstern ialah kritik yang dilakukan terhadap materi sumber, yang bertujuan untuk
menentukan kredibilitas suatu data, sedangkan kritik intern merupakan kritik terhadap isi sumber yang bertujuan untuk menilai layak tidaknya suatu data.
(23)
Tahap berikutnya adalah interpretasi. Ini merupakan tahap dimana dilakukan analisis terhadap fakta-fakta yang sudah diseleksi berdasarkan sumber-sumber yang diperoleh.
Tahap yang terakhir adalah tahap historiografi yakni tahap pemaparan atau penulisan sejarah. Dalam tahap ini hasil penelitian beserta rangkaiannya akan diuraikan dalam bahasa tulisan secara kronologis dan sistematis sehingga diperoleh sebuah historiografi masyarakat petani di Desa Sukatendel, Kabupaten Karo.
(24)
BAB II
IDENTIFIKASI DESA
2.1 Latar Belakang Historis
Berbicara mengenai perkembangan sebuah desa tentu saja tidak dapat terlepas dari latar belakang ataupun sejarah masa lalu desa tersebut. Demikian juga Desa Sukatendel yang masih mempunyai cerita masa lalunya sendiri. Adapun kisah masa lalu semacam ini diperoleh melalui cerita lisan dari para orang tua.
Desa ini pada awalnya merupakan sebuah kawasan hutan yang belum dijamah oleh masyarakat di sekitarnya. Menurut cerita yang diperoleh, sepasang suami-istri bernama Suka dan Tendel membuka lahan baru di sana untuk dijadikan ladang.11 Mereka membangun barung yaitu sejenis pondok (sapo) sebagai tempat untuk berteduh. Hal ini kemudian ditiru oleh orang-orang lain yang ikut mendirikan barung mereka sendiri di tempat tersebut. Maka terbentuklah beberapa barung yang disebut dengan barung-barung. Mereka akhirnya mulai bertempat tinggal di barung-barung tersebut. Mereka juga mengikut-sertakan sanak keluarga mereka ke tempat ini. Sedikit demi sedikit orang dari wilayah lain juga mulai berdatangan dan lama-kelamaan terbentuklah sebuah komunitas, di mana pada akhirnya mereka memutuskan untuk membangun sebuah desa. Penduduk di desa yang baru ini memustuskan untuk memberi nama desa mereka dengan nama pendirinya, Suka dan
11 Sebelumnya, petani masih mengandalkan sistem perladangan berpindah (shifting cultivation), merupakan salah satu corak usaha tani primitif di mana hutan ditebang-bakar kemudian
ditanami tanpa melalui proses pengolahan tanah. Corak usahatani ini umumnya muncul di wilayah-wilayah yang memiliki kawasan hutan cukup luas di daerah tropik. Sistem perladangan berpindah dilakukan sebelum orang mengenal cara mengolah tanah.
(25)
Tendel. Untuk kesan praktis, kedua nama mereka digabung sehingga menjadi ‘Sukatendel’.12
Sesuai tradisi, pendirian sebuah desa tidak dapat terpisahkan dengan sistem kekerabatan masyarakat karo, yang dikenal dengan Rakut Si Telu. Dalam pendirian sebuah desa (kuta), Rakut Si Telu harus ikut mengambil peran. Terdapat tiga kelompok dalam susunan kemasyarakatan yang berhubungan dengan proses didirikannya sebuah desa:
1. Pendiri desa (simantek kuta) ialah orang yang berasal dari klan Perangin-angin. Marga ini mempunyai banyak sub-marga yang tersebar di wilayah Karo Teruh
Deleng. Jika bertemu dengan orang dari desa lain, maka penduduk desa
Sukatendel merasa kesulitan untuk menjelaskan tentang asal marganya.13 Maka mereka menyebut marga mereka dengan ‘Perangin-angin Sukatendel’, untuk menegaskan wilayah tempat tinggalnya. Sejak saat itulah penduduk yang bermarga Perangin-angin disini mulai dikenal dengan Perangin-angin Sukatendel. Kelompok ini disebut juga dengan bangsa taneh. Untuk mendirikan desa, Simantek Kuta membawa serta Anak Beru, Senina dan Kalimbubu-nya.
Anak beru yang dibawa pada saat mendirikan desa beserta keturunannya
terus-menerus disebut dengan Anak Beru Singian Rudang. Kalimbubu dan keturunannya yang dibawa pada saat pendirian desa terus-menerus disebut
Kalimbubu Simajek Lulang. Ketiga kelompok inilah yang mempunyai peranan
12 Wawancara dengan nande Pulungen br. Perangin-angin, Desa Sukatendel, 5 Maret 2011. 13 Dalam perkenalan dengan seseorang yang belum pernah dijumpai, biasanya orang Karo
(26)
penting di desa tersebut sebab kelompok ini memegang kendali atas pemerintahan.
2. Kelompok pendatang, yaitu mereka yang datang ke desa ini karena adanya faktor pernikahan dengan sanak saudara simantek kuta. Mereka disebut dengan
ginenggem, yang artinya orang yang diayomi. Jika kelompok ini ingin
membuka perladangan baru harus juga memperoleh persetujuan dari simantek
kuta.
3. Kelompok yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan simantek kuta, disebut rakyat derip, atau rakyat biasa. Kelompok ini diharuskan membayar sewa tanah serta mengurus ijin untuk membuka perladangan dan melakukan
kerahen, yakni wajib kerja kepada simantek kuta.
Kepengurusan desa dipegang oleh marga simantek kuta dan dibantu oleh anak
beru-nya sehingga tampak seperti sebuah majelis, sehingga mereka berperan dalam
mengambil keputusan atau kebijaksanaan dalam pemerintahan desa. Struktur pemerintahan tradisional ini mulai berubah, ketika Belanda mulai memasuki wilayah Karo pada tahun 1904 yang ditandai dengan ditetapkannya wilayah administratif
Onder-afdeling Karolanden.14 Maka Dararan Tinggi Karo dikelompokkan menjadi lima landschaap, yang masing-masing dipimpin oleh seorang zelfbestuur dalam satu
14 Sarjani Tarigan, Lentera Kehidupan Orang Karo Dalam Berbudaya, Kabanjahe: TB. Abdi
(27)
Onder-afdeling. Masing-masing landschaap dibagi atas beberapa urung15 yang membawahi beberapa desa.
- Landschaap Suka terbagi atas empat urung: a. Urung Suka berkedudukan di Desa Suka
b. Urung Sukapiring berkedudukan di Desa Seberaya
c. Urung Ajinembah berkedudukan di Desa Ajinembah
d. Urung Tengging berkedudukan di Desa Tengging
- Landschaap Lingga terbagi atas lima urung:
a. Urung Sepulu Dua Kuta berkedudukan di Kabanjahe
b. Urung Telu Kuru berkedudukan di Desa Lingga
c. Urung Naman berkedudukan di Desa Naman
d. Urung Tiga Pancur berkedudukan di Desa Tiga Pancur
e. Urung Empat Teran berkedudukan di Desa Batu Karang
f. Urung Tiganderket berkedudukan di Desa Tiganderket
- Landschaap Barusjahe terdiri dari dua urung:
a. Urung Si Enem Kuta berkedudukan di Desa Sukanalu
b. Urung Si Pitu Kuta berkedudukan di Desa Barusjahe
15 Kata urung berasal dari bahasa Tamil, ur, berarti kampung. Kata urum, berarti sebuah
kampung yang penduduknya terdiri dari kasta sudra (petani) yang berada di India selatan pada zaman dahulu.
(28)
- Landschaap Sarinembah terdiri atas empat urung:
a. Urung Sepulu Pitu Kuta berkedudukan di Kabanjehe
b. Urung Perbesi berkedudukan di Desa Simbelang
c. Urung Juhar berkedudukan di Desa Juhar
d. Urung Kutabangun berkedudukan di Desa Kutabangun
- Landschaap Kuta Buluh terbagi atas dua urung:
a. Urung Namohaji berkedudukan di Desa Kutabuluh
b. Urung Liang Melas berkedudukan di Desa Mardinding
Setiap urung dipimpin oleh seorang bapa urung yang membawahi beberapa desa, di mana desa ini dipimpin juga oleh seorang pengulu (kepala desa). Setiap desa terbagi atas beberapa kesain yang dipimpin oleh seorang pengulu kesain. Desa Sukatendel termasuk ke dalam wilayah urung Tiganderket.
Kedatangan Belanda turut membawa beberapa perubahan, salah satunya adalah dibukanya fasilitas jalan raya yang menghubungkan wilayah Kabanjahe ke wilayah pedesaan di Karo Teruh Deleng, dan Singalor Lau. Maka penduduk Desa Sukatendel membuat sebuah jalan kecil yang menghubungkan pusat desa mereka dengan jalan raya, sehingga untuk mencapai desa ini, harus menempuh jarak sekitar 100 meter dari simpang masuk desa.
Area hutan yang sudah ditebang di sekitar desa dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan untuk bertani dan bersawah. Rumah-rumah penduduk juga mulai dibangun dengan jumlah yang cukup bayak, seiring dengan meningkatnya populasi
(29)
desa. Rumah dibangun dalam bentuk rumah tradisional Karo, yakni Rumah Si Empat
Jabu. Rumah ini didirikan berdasarkan arah hilir (kenjahe) dan hulu (kenjulu) sesuai
aliran mata air di desa tersebut.
Pergolakan yang terjadi pada tahun 1947 ikut berpengaruh terhadap situasi Desa Sukatendel.16 Pada masa ini seluruh penduduk turut serta membakar rumah mereka dan mengungsi ke wilayah pedalaman hutan, jauh dari desa mereka.17 Di sanalah mereka bertempat tinggal untuk sementara sembari menunggu situasi aman kembali. Selama masa pengungsian, mereka hanya dapat mengkonsumsi apa yang disediakan oleh alam, seperti ubi.
Sekitar 5 atau 6 bulan mengungsi, penduduk merasa bahwa situasi telah aman kembali. Maka penduduk yang mengungsi memutuskan untuk pulang ke wilayah Desa Sukatendel. Mengingat kondisi desa yang sudah kacau dan berantakan, maka dilaksanakan sebuah musyawarah. Mereka berdiskusi tentang tata ruang desa yang akan mereka bangun kembali. Melalui musyawarah tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa setiap kepala keluarga berhak mendapatkan sebidang tanah, untuk dibangun rumah di atasnya. Luas dan lebar tanah yang diberikan sama untuk masing-masing kepala keluarga, sehingga tidak terjadi pertengkaran. Masing-masing rumah dibangun kembali, namun tidak lagi bermodelkan Rumah Si Empat Jabu, melainkan rumah sederhana dengan model klasik, mirip dengan rumah panggung; fondasi yang terbuat dari batu dengan disertai tiang kayu penahan lantai (pandak), mempunyai kolong di bawah rumah, dan mempunyai redan ture (tangga naik ke teras rumah). Antara satu
16 Pergolakan ini tidak terlepas dari masuknya Sekutu dibonceng oleh Belanda (NICA) ke
berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang.
(30)
rumah dengan rumah yang lainnya dibuat pemisah berupa jalan setapak yang memudahkan warga untuk berjalan-jalan di sekitar desa.
Untuk status kepemilikan ladang atau sawah yang ditinggalkan sebelumnya, hal tersebut tidak menjadi masalah, karena setiap pemilik ladang atau sawah masih tetap mendapatkan hak atas tanah mereka. Setelah penduduk dapat kembali membangun desa mereka, maka aktivitas harian mereka juga kembali kepada keadaan semula, yaitu bertani atau bersawah.
2.2 Kondisi Alam dan Geografis
Desa Sukatendel merupakan salah satu desa dari 25 desa yang berada di Kecamatan Payung.18 Desa ini berjarak 25 km dari ibukota Kabupaten Karo, Kabanjahe dan berjarak 101 km dari Medan.19
Luas desa ini 6,16 km2
atau sekitar 4,60% dari luas Kecamatan Payung. Luas desa tampaknya tidak mengalami perubahan yang signifikan, terkecuali pada tahun 1997. Adapun penyebab perubahan luas ini akan dibahas pada bab selanjutnya.
18 Dalam kurun waktu penelitian ini (1965-2005) Desa Sukatendel masih termasuk ke dalam
Kecamatan Payung. Pada Tahun 2005 Bupati Karo menerbitkan PERDA nomor 04 tahun 2005 tentang pembentukan kecamatan baru dimana salah satu kecamatan yang mengalami pemekaran ialah Kecamatan Payung menjadi 2 kecamatan. Kecamatan Payung (sebagai kecamatan induk pindah ibukota kecamatan dari Tiganderket ke Payung), sedangkan Kecamatan Tiganderket (kecamatan pemekaran) ibukotanya di Tiganderket. Secara resmi Kecamatan Tiganderket telah disahkan oleh Bupati Karo tanggal 29 Desember 2006.
(31)
Tabel 1
Klasifikasi Tanah dan Fungsinya
FUNGSI TANAH
LUAS (HA) %
1965 - 1996 1997 1965 - 1996 1997
Tanah Sawah 110 40 17,86 6,49
Tanah Kering 97,5 168 15,83 27,27
Bangunan Pekarangan 7 7 1,14 1,14
Lainnya 401,5 401,5 65,17 65,17
JUMLAH 616 616 100 100
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka
1996 & 1997
Pemukiman terdapat di tengah-tengah desa dengan susunan rapi, dan teratur. Sawah ataupun ladang yang terdapat di desa ini sebagian besar berada di luar pemukiman warga. Sawah dan ladang mereka terletak di wilayah perbatasan antar desa Sukatendel dengan desa-desa lain. Para petani dapat berjalan kaki jika ingin pergi ke sawah atau ladang mereka, karena jaraknya tidak terlalu jauh dari desa. Adapun batas wilayah desa dapat dilihat sebagai berikut.20
Utara - Desa Susuk, Desa Kutambaru.
Timur - Desa Tiganderket, Desa Tanjung Merawa. Selatan - Desa Batukarang.
Barat – Desa Jandimeriah.
(32)
Desa ini berada di ketinggian 900 m dari permukaan laut dengan suhu udara sekitar 21°C - 26°C dan curah hujan 1800 mm per tahun.21 Dengan letaknya yang berjarak 7 km dari gunung berapi Sinabung (2451 m), tanah di desa ini tergolong cukup subur, sehingga penduduk desa memanfaatkannya sebagai lahan untuk bertani dan bersawah.
Desa Sukatendel juga mempunyai bagian-bagian khusus yang dapat dimanfaatkan oleh warganya. Bagian-bagian itu meliputi daerah yang luas dan mempunyai fungsinya masing-masing, seperti uraian berikut:
a) Perumahan warga
Sebelum periode kemerdekaan, penduduk tinggal di sebuah rumah tradisional yang disebut Rumah Adat. Khusus di wilayah Karo Teruh Deleng, rumah dihuni oleh empat keluarga, sehingga disebut Rumah Si Empat Jabu. Rumah itu dihuni oleh simantek kuta (jabu benana kayu), anak beru-nya (ujung
kayu), sembuyak/biak senina simantek kuta (lepar benana kayu) dan kalimbubu simantek kuta (lepar ujung kayu). Namun setelah desa
dibumihanguskan pada tahun 1947, bentuk fisik rumah pun berubah seperti uraian di atas.
b) Kesain
Kesain merupakan tempat semacam alun-alun yang dipergunakan sebagai
tempat dilaksanakannya sebuah acara adat. Kesain juga berfungsi sebagai tempat anak-anak untuk bermain-main. Pada zaman dulu, tidak semua warga
21 Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar,
tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1800 mm artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar, tertampung air setinggi 1800 mm.
(33)
desa dapat mempergunakan kesain ini untuk acara adat mereka. Hanya mereka yang berasal dari kelompok simantek kuta saja yang dapat menggunakan kesain ini. Kelompok ginenggem juga dapat mempergunakan
kesain, tapi harus meminta izin dari simantek kuta terlebih dahulu. Aturan ini
mulai dihapuskan setelah Belanda masuk ke Tanah Karo. c) Jambur
Jambur mempunyai beberapa fungsi:
- Sebagai lumbung, dimana warga desa dapat menyimpan padi. Masing-masing warga dapat menyimpan padi milik mereka, dan tidak tergabung begitu saja dengan padi milik orang lain.
- Bagian atas jambur dipergunakan oleh para anak laki-laki yang sudah remaja (anak perana) untuk tidur.
- Bagian bawah jambur dipergunakan sebagai tempat untuk bercengkerama antar warga.
- Jambur juga dipergunakan sebagai tempat untuk memasak lauk-pauk
pada saat sebuah acara adat tengah berlangsung. d) Geriten
Geriten ialah tempat diletakkannya tengkorak para leluhur pendiri desa, atau
seorang keturunannya yang mempunyai prestise dan wibawa yang tinggi. Pembuatan sebuah geriten kepada seorang yang telah meninggal tidak boleh sembarangan, melainkan harus dilihat dari sudut moral, kekuasaan atau kekayaan orang tersebut. Tokoh yang diletakkan di dalam Geriten patut menjadi contoh bagi orang lain, terlebih pada keturunannya.
(34)
e) Pendonen
Pendonen ialah kuburan bagi orang-orang yang sudah meninggal. Pendonen
mulai dibuat sejalan dengan pemerintahan Belanda di Tanah Karo, sekitar tahun 1908. Sebelumnya mayat orang yang sudah meninggal dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai.22
f) Perjuman
Area di sekitar desa dijadikan perjuman atau perladangan bagi warga setempat. Ada warga yang menjadikan area tersebut menjadi sawah dengan mengalirkan air dari parit di tepian jalan, sehingga mereka dapat menanam padi. Setiap ladang diberi pagar, selain sebagai pembatas, juga untuk mencegah masuknya hewan peliharaan warga. Di setiap ladang biasanya dibangun sebuah pondok kecil (sapo) sebagai tempat berteduh, atau menyimpan berbagai peralatan tani. Di sawah, selain membangun sapo, petani juga membangun sebuah pantar, yaitu sebuah tempat yang dikhususkan untuk mengamati burung-burung saat padi sudah menguning. Pantar dibuat lebih tinggi dari sapo, terbuat dari kayu, tanpa dinding, hanya atap dan lantai disertai dengan tiang penahan lantai. Dari pinggir sawah dipasang banyak tali yang dihubungkan ke pantar, sehingga jika sekelompok burung mendekati sawah, tali tersebut dapat digoyang-goyangkan oleh si penjaga sawah untuk menakut-nakuti kelompok burung.
22 Ritual menghanyutkan abu jenazah ke sungai ini merupakan salah satu bukti peninggalan
(35)
g) Kerangen
Kerangen (hutan) desa merupakan milik warga desa sepenuhnya, dimana
warga biasa mencari kayu bakar atau balok kayu di sana. h) Barong
Barong merupakan wilayah di luar perladangan yang dipergunakan oleh
warga sebagai tempat untuk mengembalakan ternaknya. Ternak yang dipelihara harus mempunyai gembala (permakan) supaya ternak-ternak tersebut tidak pergi ke luar barong dan merusak tanaman orang lain.
i) Perjalangen
Perjalangen merupakan sebuah wilayah luas yang dikhususkan untuk
hewan-hewan yang tidak digembalakan. Perjalangen ialah milik simantek kuta, sebagai bagian dari Tanah Kesain. Di sini perladangan tidak diizinkan. Jikalau ada warga yang ingin membuka perladangan di perjalangen, maka ia harus mendapat izin dari pengulu (kepala desa), memagar ladangnya dan membayar sewa tanah kepada pengulu.
j) Tapin
Tapin merupakan sungai yang mengalir di sebuah desa. Setiap desa biasanya
mempunyai sebutan khusus untuk sungai mereka. Tapin di Desa Sukatendel disebut dengan Lau Bentayan.
k) Buah Uta-uta
Buah Uta-uta ialah tempat dimana warga biasanya melangsungkan upacara
religius. Misalkan jika terjadi musim kemarau yang panjang, maka warga desa melakukan upacara meminta hujan (Ndilo Wari Udan). Jika permohonan
(36)
mereka berhasil dan hasil panen memuaskan, warga kembali mengadakan upacara pemujaan Buah Uta-uta (Mere Buah Uta-uta)
2.3 Komposisi Penduduk
Berdasarkan data yang diperoleh, Desa Sukatendel mencapai tingkat populasi tertinggi pada tahun 1995, yakni 1379 orang, dengan kepadatan penduduk 224 orang per km2. Untuk tahun-tahun selanjutnya jumlah penduduk desa bekisar di antara angka 1100-an. Berikut rincian jumlah penduduk beserta kepadatan penduduknya:
Tabel 2
Komposisi Jumlah Penduduk
Keterangan
TAHUN
1995 1999 2003
Jumlah Penduduk 1397 1172 1102
Kepadatan Penduduk per km2 224 190 178
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka
1995.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pertambahan penduduk kerap bertambah sebelum tahun 1995 dan setelah itu jumlahnya cenderung tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Adanya penurunan angka ini umumnya disebabkan bertambahnya jumlah penduduk yang pindah ke kota, dan juga karena putra-putri mereka yang hendak bersekolah dan mencari pekerjaan di kota.
(37)
Mayoritas penduduk desa ialah suku Karo, namun terdapat juga beberapa etnis suku lain, seperti Jawa dan Toba. Selain itu tampak adanya rasa solidaritas yang tinggi antar etnis. Meskpiun mayoritas warga desa bermarga Perangin-angin, namun terdapat juga marga-marga Karo yang lainnya di sini. Hal ini umumnya disebabkan karena faktor pernikahan.
Mata pencaharian warga umumnya adalah bertani. Ada juga warga yang tidak mempunyai ladang atau sawah sehingga pekerjaan sehari-hari mereka ialah bekerja di ladang orang lain (ngemo). Orang yang ngemo ini biasanya akan menawarkan diri untuk bekerja di ladang atau sawah seseorang. Ia akan memperoleh upah sesuai lama atau jenis pekerjaan yang diberikan si pemilik lahan.
Tabel 3
Komposisi Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 1996
Sektor Pekerjaan Jumlah Jiwa
Pertanian 762 PNS/ABRI 18 Lainnya 33
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka
1996
Warga desa mempunyai sifat keterbukaan yang tinggi. Hal ini ditandai dengan mulai diterimanya agama Kristen dan Islam memasuki tahun 1960. Agama Islam dibawa oleh etnis Jawa yang bermukim di desa ini untuk mencari pekerjaan.
(38)
Meskipun terdapat perbedaan agama antara mereka, namun hal ini tidak menjadi sesuatu hal yang menghalangi interaksi sosial antara mereka.
Tabel 4
Komposisi Penduduk Menurut Agama Tahun 1996
No. Jenis Agama Jumlah/Jiwa
1 Kristen 796
2 Islam 583
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka
1996
Di sini terdapat sebuah masjid dan dua unit bangunan gereja, tempat penduduk beribadah. Meskipun semua penduduk desa telah menganut agamanya masing-masing, namun masih ada juga warga yang menganut konsep agama tradisional.23 Hal ini ditandai dengan masih adanya warga yang melaksanakan upacara adat seperti Erpangir Ku Lau, atau Ndilo Wari Udan.
Di desa ini terdapat sebuah Sekolah Dasar Negeri dan pada tahun 1997 pemerintah membangun sebuah Sekolah Menengah Pertama dan sebuah Sekolah Menengah Atas.24 Para orang tua sangat menganjurkan anak-anak mereka untuk bersekolah, paling tidak sampai tamat Sekolah Menengah Pertama.
23 Kepercayaan kuno masyarakat Karo disebut perbegu, yang meyakini adanya kuasa gaib.
Menurut kepercayaan ini manusia terdiri atas tubuh, roh dan nafas. Perbegu berasal dari kata begu, yang berarti hantu, roh orang yang sudah meninggal. Jika seorang penganut kepercayaan ini meninggal, tubuhnya kembali ke tanah, darahnya kembali ke air, nafasnya kembali ke udara, dan jiwanya menjadi hantu.
24 Sebelum SMP dan SMA ini dibangun, anak-anak SMP dan SMA sebelumnya bersekolah di
(39)
Tabel 5
Komposisi Penduduk Menurut Usia Tahun 1996
USIA Yang Bersekolah Tidak Bersekolah
7-12 144 2
13-19 168 9
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka
1996
Biasanya sepulang dari sekolah, anak-anak akan membantu orang tua mereka bekerja. Terkadang mereka diminta untuk berjualan sayur dalam jumlah kecil di
kesain desa, atau sekedar membantu pekerjaan di ladang atau sawah.
2.4 Struktur Sosial Budaya
Karakteristik orang-orang Karo pada umumnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam tempat tinggalnya. Walaupun mereka terisolir di pedalaman dataran tinggi, sebagai sebuah komunitas, di sana juga terbentuk sebuah budaya yang menjadi patron bagi masyarakat Karo dalam menjalin hubungan dengan sesamanya.25 Seluruh pola hubungan tersebut tertuang dalam sebuah aturan tidak tertulis yang bersifat mengatur. Adapun adat istiadat yang berlaku di dataran tinggi Karo berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Wilayah peradatan ini dapat dikategorikan sebagai berikut:
(40)
o Karo Kenjulu
Meliputi Kecamatan Kabanjahe, Kecamatan Berastagi, Kecamatan Barusjahe, Kecamatan Tiga Panah, Kecamatan Merek dan sekitarnya.
o Karo Timur
Meliputi Kecamatan Lubuk Pakam, Kecamatan Bangun Purba, Kecamatan Galang, Kecamatan Gunung Meriah, Kecamatan Dolok Silau, Kecamatan Silima Kuta dan sekitarnya.
o Karo Langkat
Meliputi Kecamatan Padang Tualang (Batang Serangan), Kecamatan Bahorok, Kecamatan Selapian, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai, Kecamatan Sungai Bingai, Kota Binjai, Kecamatan Stabat dan sekitarnya.
o Karo Baluren
Meliputi Kecamatan Tanah Pinem, Kecamatan Tiga Lingga, Kecamatan Gunung Stember, dan sekitarnya di Kabupaten Dairi.
o Karo Dusun
Meliputi Kecamatan Sibolangit, Kecamatan Pancurbatu, Kecamatan Namorambe, Kecamatan Sunggal, Kecamatan Kutalimbaru, Kecamatan Senembah Tanjung Muda Hilir, Kecamatan Senembah Tanjung Muda Hulu,
(41)
Kecamatan Hamparan Perak, Kecamatan Tanjung Morawa, Kecamatan Biru-biru, Deli Tua dan sekitarnya.
o Karo Teruh Deleng
Meliputi Kecamatan Kutabuluh, Kecamatan Payung, Kecamatan Tiganderket, Kecamatan Lau Baleng, Kecamatan Mardinding dan sekitarnya.
o Karo Singalor Lau
Meliputi Kecamatan Tiga Binanga, Kecamatan Juhar, Kecamatan Munthe dan sekitarnya.
Dari keterangan tersebut dapat dilihat bahwa Desa Sukatendel termasuk ke dalam wilayah Karo Teruh Deleng.26 Masyarakat Karo pada umumnya harus memahami beberapa hak dan kewajiban tiap-tiap orang dalam adat. Demikian juga halnya di Desa Sukatendel. Salah satu yang utama ialah sangkep nggeluh, yaitu suatu sistem kekeluargaan pada masyarakat Karo yang secara garis besar terdiri atas senina,
kalimbubu dan anak beru. Adapun pusat dari sangkep nggeluh ini ialah sukut, yakni
pribadi/keluarga/merga tertentu yang diayomi oleh senina, kalimbubu dan anak beru-nya.
26 Sebutan Karo Teruh Deleng (di bawah gunung) mengacu pada letak pedesaan yang
(42)
Tutor
Dalam melaksanakan upacara adat tertentu seperti pernikahan, upacara kematian atau memasuki rumah baru, sangkep nggeluh akan diketahui bila sudah jelas siapa yang menjadi sukut dalam acara tersebut. Misalnya, dalam adat pernikahan, sukut adalah orang yang menikah beserta orang tuanya. Dalam adat kematian, sukut adalah istri/suami yang ditinggal beserta anak dari orang yang meninggal tersebut. Dalam adat memasuki rumah baru, sukut adalah si pemilik rumah.
Untuk memahami hal tersebut, sebaiknya harus dipahami terlebih dahulu bagaimana cara orang-orang Karo menarik garis keturunan, baik dari ayah
(patrilineal) dan ibu (matrilineal) dari seseorang, yang disebut dengan tutor.
Adapun cara menarik garis keturunan atau tutor ini meliputi: 1. Marga atau Beru
Marga adalah hal yang paling utama dalam identitas seorang Karo. Untuk
laki-laki, dipakai kata merga yang merupakan nama keluarga, sedangkan untuk perempuan dipakai kata beru. Dalam setiap perkenalan masyarakat Karo, biasanya akan ditanyakan marga terlebih dahulu. Merga berasal dari kata
meherga yang berarti mahal.27 Mahal dalam konteks budaya Karo berarti penting.
Marga ini akan diwariskan hanya kepada anak laki-laki dari tiap keluarga.
Terdapat lima marga/beru pada suku karo yakni Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan.
27 Mengenai penjelasan tentang asal mula kemunculan marga ini, lihat di Sarjani Tarigan, Op. Cit. hal. 292.
(43)
2. Bere-bere
Bere-bere merupakan nama keluarga yang diwarisi dari beru ibu
seseorang. Misalkan jika seseorang bermarga Ginting dan ibunya beru Tarigan, maka anaknya bere-bere Tarigan.
3. Binuang
Binuang merupakan nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ayahnya (ibu dari ayah). Misalkan jika seorang anak mempunyai ayah yang
bermarga Sembiring dan ayahnya bere-bere Ginting, maka binuang anak tersebut ialah Ginting.
4. Kempu
Kempu merupakan nama keluarga yang diwarisi oleh seseorang dari bere-bere ibunya (ibu dari ibu). Misalkan jika seorang anak mempunyai ibu beru
Ginting dan bere-bere Tarigan, maka anak tersebut kempu Tarigan. 5. Kampah
Kampah merupakan nama keluarga yang diwarisi oleh seseorang dari beru
nenek ayahnya (dari pihak ayah). Misalkan jika seorang anak bermarga Tarigan dan nenek ayahnya (ibu dari ayahnya) beru Sembiring maka anak tersebut
kampah Sembiring.
6. Soler
Soler merupakan nama keluarga yang diwarisi oleh seseorang dari beru
nenek ibunya (dari pihak ibu). Misalkan jika seorang anak bermarga Tarigan dan nenek ibunya (ibu dari ibunya) beru Ginting maka anak tersebut soler Ginting.
(44)
Demikianlah terlihat bahwa masyarakat Karo mengambil garis keturunan baik dari ayah atau ibu. Tutor ini dapat menjadi sebuah faktor yang mempererat rasa kekeluargaan. Umumnya, dua orang yang berbeda marga tapi mempunyai kesamaan pada salah satu unsur di atas, sudah dianggap bersaudara.
Rakut Sitelu
Rakut Sitelu mencakup tiga hal: 1. Senina
Yang dimaksud dengan senina ialah orang-orang yang sependapat di dalam permusyawaratan adat. Se berarti satu, nina artinya kata atau pendapat.
2. Anak Beru
Dalam kehidupan adat, anak beru dikenal sebagai kelompok yang mengambil istri dari sebuah keluarga (marga).
3. Kalimbubu
Kalimbubu merupakan kelompok pemberi gadis bagi suatu keluarga (merga). Kalimbubu sering diidentikkan dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang terlihat),
karena kedudukannya yang sangat dihormati.
Ketiga hal ini mempunyai cabang masing-masing yang berbeda tugas dan fungsinya dalam setiap acara adat.28
28 Untuk penjelasan selengkapnya tentang sangkep nggeluh masyarakat Karo, lihat di
(45)
BAB III
KRONOLOGIS PERKEMBANGAN USAHA TANI
Perkembangan pertanian di Desa Sukatendel terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, yakni empat puluh tahun. Perkembangan ini mencakup pergantian jenis tanaman yang dilakukan oleh para petani. Berbeda jenis lahan yang dikelola, berbeda pula jenis tanaman yang diusahakan. Perkembangan tersebut tidak dapat dipisahkan dari sejarah pertanian sebelumnya. Berikut akan dipaparkan sedikit tentang situasi pertanian sebelum peralihan jenis tanaman dimulai.
3.1 Kondisi Pertanian Sebelum Tahun 1965
Penduduk Desa Sukatendel di dalam segala aspek kehidupannya tidak terlepas dari aturan adat yang telah membudaya dalam diri mereka. Dalam hal pertanian, baik di sawah atau ladang, mereka juga menerapkan konsep-konsep adat tersebut.
Pertanian Sawah
Penduduk yang mempunyai sawah menanam padi di sawah masing-masing. Sebaliknya, bila ada warga yang ingin membuka perladangan atau persawahan, maka ia harus melakukan ngumbong juma.29 Ngumbong juma ini
wajib melewati proses yang harus dilakukan oleh orang yang ingin membuka lahan tersebut. Setelah meminta izin dari pengulu, ia akan mengumumkannya pada orang lain. Untuk itu ia harus mempersiapkan belo bujur, beberapa helai daun sirih yang bagus diselipkan pada pelepah daun pohon enau (ertek).
(46)
Pelepah ini kemudian ditancapkan di lahan yang akan ditanaminya, sebagai tanda bahwa lahan itu sudah ada yang empunya.
Sesuai tradisi masyarakat Karo, sebelum padi mulai ditanam, biasanya dilakukan merdang merdem yang merupakan upacara untuk mengawali masa menanam (merdang). Merdang Merdem dilaksanakan karena menurut kepercayaan tradisional suku Karo, apabila hal itu tidak dilakukan maka ulat
(bala-bala) akan mengganas, sehingga membahayakan padi yang akan
ditanam. Setelah merdang merdem dilaksanakan maka benih padi sudah dapat ditanam. Penanaman ini biasanya dilakukan secara serempak oleh semua petani di semua sawah di desa. Dalam menanam padi, petani akan dibantu oleh keluarganya masing-masing. Mereka akan mulai bekerja di pagi hari dan jika matahari sudah terbenam, mereka akan pulang ke rumah masing-masing.
Adapun jenis padi yang ditanam disebut oleh petani sebagai page
sipadang, page mayang atau page sulung.30 Bibit padi diperoleh dari sanak saudara atau dari pemilik sawah yang lain. Padi ditanam pada bulan pertama atau kedua setiap tahunnya, dan dapat dipanen 6 bulan kemudian. Padi ini mempunyai kualitas yang sangat bagus, dan rasanya enak. Bila sudah mencapai umur 4 bulan, tingginya dapat mencapai setinggi orang dewasa, sehingga jika seorang dewasa masuk ke tengah-tengah sawah yang padinya sudah tinggi seperti itu, orang tersebut bisa tidak terlihat dari luar. Apabila disimpan dengan baik, padi dapat bertahan satu setengah hingga dua tahun. Jika petani ingin menanam padi lagi, tapi persediaan padi mereka masih ada
(47)
di lumbung, maka petani biasanya akan menjual padi lama tersebut kepada warga desa yang menginginkannya.
Memasuki bulan keempat, padi pun mulai menguning. Bulir-bulir padi yang mulai terbentuk ini pastinya mengundang perhatian burung-burung liar yang terdapat di alam sekitar desa. Para penduduk menyebutnya dengan perik
mbulan takal, alias burung berkepala putih. Burung ini terbang dan mencari
makan secara berkelompok. Tentu saja padi yang mulai menguning di sawah menarik perhatian mereka. Untuk itulah, para petani melakukan usaha guna mengantisipasi serangan burung-burung ini, yakni dengan menjaga sawah mereka, yang dikenal dengan istilah muro. Menjelang matahari terbit, salah seorang anggota keluarga petani akan segera berangkat ke sawah untuk menjaga sawah mereka.31 Ia mengawasi sawah dari atas pantar, yang telah didesain sedemikian rupa seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Selanjutnya tugas ini akan diserahkan pada anak-anak pada saat mereka sudah pulang dari sekolah. Anak-anak tidak pulang ke rumah terlebih dahulu, tapi segera menuju sawah sepulang dari sekolah. Anggota keluarganya yang lain akan membawakan makan siang bagi si anak tersebut. Muro dilakukan serempak di setiap sawah, sehingga cukup menyenangkan bagi penjaga sawah karena dapat saling berkomunikasi, walaupun dengan berteriak, dengan penjaga sawah yang lain.32
31 Petani berangkat ke sawah saat matahari belum terbit, karena menurut mereka pada saat
pagi-pagi buta seperti itu, kawanan burung pemakan padi masih berada di sarangnya.
32 Kegiatan muro ini menginspirasi musisi Djaga Depari untuk menciptakan sebuah lagu
(48)
Akhirnya setelah lima atau enam bulan, para petani dapat mengakhiri masa jerih payahnya. Padi yang sudah kuning siap untuk dipanen, yang disebut dengan istilah rani page (panen padi).33 Padi dipotong dengan menggunakan ketam (anai-anai), yang dijepit di sela-sela jari tangan, lalu dengan menggunakan jempol jari seikat kecil (ruhi) batang padi ditarik dan ditekan sehingga terpotong. Setiap ruhi dikumpulkan sedikit demi sedikit, sehingga penuh menjadi empat cekal yang disebut dengan satu pungo. Adapun kumpulan dari sabitan padi tersebut disebut raden.
Selanjutnya dilakukan ngerik, yaitu memisahkan bulir-bulir padi dengan batangnya. Ngerik dilakukan dengan menggulung batang-batang padi menggunakan kedua kaki. Bulir-bulir padi yang sudah terpisah dari batangnya kemudian dikumpulkan, sedangkan sisa batang-batang padi dapat dimanfaatkan untuk pupuk tanaman.
Bulir-bulir padi dijemur hingga kering, kemudian ditumbuk (tutu), guna memisahkan kulit padi dengan isinya. Menumbuk padi dilakukan oleh para anak gadis di tempat khusus yang telah disediakan, biasanya di jambur desa. Di sana tersedia tempat menumbuk padi untuk umum, sehingga setiap orang dapat menumbuk padinya di sana (nutu ku lesung). Padi yang sudah ditumbuk selanjutnya dapat dikonsumsi sebagai beras untuk makanan pokok keluarga.
33 Menurut kepercayaan tradisional masyarakat Karo, rani page tidak boleh dilakukan di
sembarang hari. Untuk itu petani meminta bantuan pada seseorang yang ahli menentukan hari (guru
(49)
Di sawah milik petani masih terdapat beberapa batang padi muda, yang tidak dipanen sebelumnya. Padi yang masih muda ini kemudian dipotong dan diirik, lalu direndam (reme) dan keesokan harinya digongseng
(sok). Ketika masih panas, bulir-bulir padi ditumbuk (tutu) sehingga kulitnya
terkelupas, dan beras menjadi pipih. Beras tersebut ditampi sampai bersih dan siap dikonsumsi dengan gula merah. Kegiatan ini disebut dengan mahpah atau
ngameti.
Adapun penyebab mengapa petani Sukatendel menanam padi pada awal tahun berkaitan dengan sebuah konflik irigasi yang terjadi antara Desa Sukatendel dengan Desa Jandimeriah pada tahun 1961.34 Air yang menjadi sumber utama pengairan sawah ialah aliran air yang mengalir mengkuti rute berikut:
Desa Selandi - Desa Sukatendel – Desa Jandimeriah - Desa lain di Kecamatan Tiganderket.
Jadi dapat dikatakan aliran air tersebut termasuk juga kepunyaan warga Desa Sukatendel. Karena itulah sebelumnya petani dapat menanam padi sepanjang tahun, namun aliran air yang sampai di Desa Jandimeriah tidak cukup untuk irigasi sawah mereka. Hal ini membuat petani padi Desa Jandimeriah merasa kesulitan, karena mereka juga mengandalkan aliran air tersebut sebagai air irigasi di sawah mereka. Maka setiap malam, beberapa warga Jandimeriah diam-diam datang ke Desa Sukatendel dan menutup saluran air itu, supaya air tersebut dapat mengalir sepenuhnya ke Desa
(50)
Jandimeriah. Di pagi harinya, petani Sukatendel merasa terkejut mendapati sawah mereka telah kering, akibat air irigasi yang tidak berjalan semestinya. Maka mereka membuka kembali aliran air yang sebelumnya telah ditutup oleh warga Jandimeriah. Hal ini berlangsung terus-menerus selama beberapa minggu hingga akhirnya konflik ini diselesaikan dengan musyawarah antar kedua desa. Kesimpulan musyawarah mereka ialah setiap enam bulan sekali air tersebut akan dipakai secara bergantian oleh petani kedua desa. Jadi setiap awal tahun, petani Sukatendel mendapat giliran untuk menggunakan irigasi sawah. Setelah padi mulai matang, maka aliran air dialihkan ke Desa Jandimeriah. Karena itulah, petani Sukatendel melakukan panen padi di sekitar pertengahan tahun, sedangkan petani Desa Jandimeriah melakukan panen padi pada saat akhir tahun.
Setelah petani Sukatendel mengakhiri panen padi, selanjutnya di atas tanah yang sudah mulai kering tersebut mereka menanam bawang merah dan cabai.35 Bawang merah dapat dipanen 3 bulan kemudian, dan cabai dapat dipanen 6 bulan kemudian. Selain untuk konsumsi keluarga, petani menjualnya ke pasar Tiganderket, dengan demikian, petani dapat memperoleh uang.36 Jika tahun telah berganti dan air irigasi mengalir kembali di sawah-sawah Sukatendel, maka petani kembali menanam padi.
35 Petani memilih bawang merah dan cabai ketimbang sayur-sayuran, karena bawang merah
dan cabai bersifat lebih tahan lama daripada sayur, sehingga hasil panen dapat disimpan sembari menunggu dijual ke pasar Tiganderket setiap hari kamis.
36 Kalaupun ada produksi yang dipasarkan tidak dimaksudkan untuk mencapai keuntungan
komersil, karena pada masa ini petani merasa sudah kaya jika mampu menyimpan beras untuk dimakan oleh keluarga.
(51)
Pertanian Ladang
Jika petani di sawah menanam padi, lain halnya dengan petani yang mempunyai lahan kering seperti ladang. Sepulang dari mengungsi petani mulai mengusahakan tanaman jeruk di ladang masing-masing. Jeruk yang ditanam ialah jenis Grapefruit (Citrus Paradisi), yang oleh petani disebut dengan jeruk keling. Jeruk ini merupakan jenis jeruk terbaik yang pernah ditanam oleh petani Sukatendel. Jika sudah besar, tingginya dapat mencapai 15-18 meter dengan garis tengah batang hampir mencapai setengah meter. Jeruk akan berbunga dan mulai berbuah sekitar umur delapan tahun. Buah biasanya akan matang pada bulan September atau Oktober dan dapat ‘bertahan’ di batangnya sampai bulan Mei tahun berikutnya.
Petani memperoleh bibit dari sanak saudara yang telah lebih dahulu membudidayakan tanaman jeruk ini. Antara satu pohon dengan pohon lainnya dibuat jarak sekitar sepuluh meter, karena jika mulai tumbuh besar, pohon ini akan mempunyai dahan yang panjang dan banyak sehingga diperlukan jarak yang optimal antar pohon.
Pada permulaan tumbuhnya, tidak ada hama yang mengganggu tanaman petani, dan pupuk juga tidak digunakan. Masalah yang mengganggu petani hanyalah kumpulan semut yang kerap menghinggapi batang jeruk mereka. Untuk mengatasinya petani mengutip ranting-ranting pohon kemudian dikumpulkan di bawah pohon jeruk mereka lalu dibakar. Asap yang dihasilkan akan membubarkan kumpulan semut tersebut.
(52)
Jika sudah tiba masa panen, maka petani akan bekerja sama mengutip buah jeruk yang matang bersama-sama dengan anggota keluarganya. Buah jeruk yang siap panen mempunyai garis tengah sekitar 15 cm, sehingga dapat dibayangkan bagaimana beratnya satu buah jeruk saja. Karena pohonnya yang tinggi dan rindang, maka mustahil buah dapat dipetik langsung dari bawah pohon. Untuk itu petani mempunyai cara tersendiri untuk mengutip hasil panennya. Di setiap pohon dipasang semacam alat kerek (seperti yang biasa dipakai oleh tukang bangunan) yang terhubung dari salah satu dahan dengan tanah di bawahnya. Di dahan tersebut sebuah keranjang kayu diikatkan. Seseorang akan naik ke atas pohon dan mulai mengutip buah jeruk yang terjangkau tangan, dan mengumpulkannya di keranjang yang telah disertakan di alat kerek tadi. Keranjang yang telah penuh akan dikerek ke bawah pohon dan dikosongkan oleh seorang lain yang telah menunggu di bawah pohon. Demikian proses tersebut berlanjut dan dilakukan dari pohon ke pohon. Hasil kutipan tersebut dijual oleh petani ke pasar Tiganderket.
Berikut akan dipaparkan langkah-langkah yang dilakukan petani mulai dari tahun 1965 yang menjadi cikal bakal peralihan tanaman di desa ini. Yang menjadi fokus utama di dalam bab ini ialah pergantian tanaman yang ditanam ladang, sebab hampir keseluruhan jenis tanaman yang diganti ialah jenis tanaman keras yang memang hanya dapat ditanam di ladang. Petani yang mempunyai sawah tetap konsisten menanam padi seperti yang diuraikan di atas.
(53)
3.2 Jeruk Keling & Cengkih; Era Kesuksesan Petani
Pada bab sebelumnya telah diuraikan bahwa petani mulai menanam jeruk
keling sepulang dari pengungsian, sekitar tahun 1947.37 Walaupun petani dapat menuai keberhasilan panen dengan tidak adanya hambatan, namun bukan berarti petani dapat bertahan terus dengan kondisi semacam itu. Pertanian sangatlah tergantung pada unsur-unsur alam yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman yang akhirnya membentuk sebuah sistem yang jalin-menjalin.
Memasuki tahun 1960, tanaman jeruk keling petani mulai terserang penyakit blendog (Diplodia). Penyakit ini disebabkan oleh adanya cendawan Botryodiplodia
Theobromae Pat. Tanaman yang terserang akan mengeluarkan blendog (semacam
lendir) yang berwarna kuning keemasan dari batang atau cabang tanaman. Jamur yang berkembang di antara kulit dan kayu, akan merusak kambium,38 sehingga apabila serangan telah mengelilingi batang, tanaman akan mati. Pada masa ini petani belum mengandalkan pupuk atau pestisida, umumnya disebabkan karena masih minimnya pengetahuan petani tentang penyakit tanaman ataupun pengelolaannya. Selama ini para petani melakukan cocok-tanam dengan cara yang sederhana, tidak mengenal penyuluhan, melainkan hanya meniru cara bertani rekan-rekannya yang lain. Ada beberapa tanaman jeruk keling petani yang terkena blendog cukup parah, sehingga mereka mulai berpikir tanaman apakah yang layak ditanam di ladang mereka sebagai penggantinya. Maka petani memutuskan untuk menanam jenis tanaman keras lain, yakni cengkih. Meskipun ini adalah pertama kali bagi petani
37 Wawancara dengan nande Tajak br. Sebayang, Desa Sukatendel, 5 Maret 2011. 38 Lapisan jaringan yang bertanggung jawab atas pertumbuhan tumbuhan.
(54)
menanam tanaman perkebunan, tanaman ini akhirnya berhasil dikembangbiakkan. Cengkih mulai ditanam oleh petani meskipun tanaman jeruk keling di sini belum mati semuanya. Masih banyak petani yang dapat mengutip hasil dari jeruk keling yang ada, meskipun penyakit blendog mulai menyerang. Jadi dapat disimpulkan bahwa jeruk keling dan cengkeh bersamaan waktu tumbuhnya.
Cengkih (Eugenia Aromatica), dalam bahasa Inggris disebut cloves, adalah tangkai bunga kering yang beraroma khas. Cengkih banyak digunakan sebagai bumbu masakan pedas di negara-negara Eropa, dan sebagai bahan utama rokok kretek khas Indonesia. Pohon cengkih merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh dengan tinggi 10 - 20 meter, mempunyai daun berbentuk lonjong yang berbunga pada pucuk-pucuknya. Tangkai buah pada awalnya berwarna hijau, dan berwarna merah jika bunga sudah mekar. Tanaman tumbuh optimal dengan suhu 22°-30°C, dan curah hujan yang dikehendaki 1500 - 4500 mm/tahun.
Menurut petani bibit ini didatangkan dari luar negeri, dan mereka dapat meminta bibit cengkih kepada petani cengkih yang telah terlebih dahulu sukses menanam cengkih di desa tersebut. Pohon cengkih yang telah besar akan menghasilkan tunas-tunas liar di dekat batangnya. Tunas-tunas ini tidak dibutuhkan oleh si pemiliknya, sehingga petani lain dapat meminta tunas-tunas liar tersebut untuk kemudian ditanam di ladang masing-masing. Di sini juga terlihat adanya rasa saling membantu antar petani.
Antara satu pohon dengan pohon yang lain dibuat jarak sekitar 7x7 meter. Dengan jarak tanam seperti ini, jumlah pohon yang ditanam dalam area satu hektar ialah 144 pohon (umumnya 150) dan masih dapat diisi hingga 200 pohon. Satu bibit
(55)
pohon cengkih yang berusia dua tahun akan di tanam untuk pertama kalinya di lahan yang tersedia. Usia produktifnya dimulai di tahun kelima dan seterusnya akan stabil berbunga hingga lebih dari 50 liter setiap panen. Saat menunggu masa panen tiba (2 hingga 3 tahun), petani akan membersihkan rumput dan merawat cengkihnya selama 3 – 4 kali dalam setahun (6 – 12 kali dalam 2 atau 3 tahun). Beberapa petani mempercayakan pekerjaan ini kepada buruh tani (aron), yang akan memangkas rumput di sekitar pohon. Ada pula pekerjaan yang tidak semua orang mampu, yaitu mencari ulat cengkih, yang harus dikerjakan oleh ahlinya. Mereka dibayar berdasar jumlah kepala ulat yang berhasil dipatahkan. Dalam satu pohon (yang terkena ulat) bisa terdapat 5 hingga 10 ulat yang bersarang dan ini sangat berpotensi membunuh pohon cengkih bila berhasil menembus inti batang.
Di dekat pagar ladang mereka, petani menanam pohon kelapa, di samping itu ada juga yang menanam pohon kemiri dan kopi. Buah dari tanaman pinggir ini dapat dipergunakan oleh petani untuk kebutuhan keluarga, selain itu mereka dapat juga menjualnya ke pasar meskipun hasilnya tidak seberapa. Di samping itu, ada petani yang menanam beberapa jenis sayuran dalam jumlah kecil, seperti ubi kayu atau labu untuk dikonsumsi oleh keluarga.
(56)
Tabel 6
Rincian Luas Lahan Pada 1947-1977
Tahun
Luas Lahan (m2)
Jeruk Keling Cengkih
1947 750.000 -
1957 880.000 90.000
1967 600.000 360.000
1977 110.000 870.000
Dalam perkembangannya, petani tidak menggunakan pupuk, sehingga cengkih mereka mulai berbunga pada umur 6 sampai 8 tahun.39 Bila panen tiba, setiap pohon akan menghasilkan 50–100 liter bunga cengkih dan dari setiap 6 liternya akan senilai satu kg cengkih kering. Artinya setiap pohon akan menghasilkan 10 kilogram bila jumlah produksinya sebanyak 60 liter. Periode ini merupakan masa kejayaan petani Sukatendel dalam mengelola pertaniannya. Hal ini dikarenakan pada masa ini harga komoditas cengkih sangat menjanjikan bagi petani dan hasil panen juga melimpah setiap tahunnya.
Bila panen tiba, maka akan ada serentetan aktifitas panen yang dimulai dari persiapan hingga penjualan. Orang-orang yang dibutuhkan untuk memenuhi panggilan panen ini meliputi pemetik, pemisah bunga dari tangkainya, pemungut cengkih, penjemur, juru masak, mandor kelompok, mandor kerja, pencari ulat, dan
(57)
supir angkut. Dengan hitungan sederhana, misalnya dalam area seluas 1 hektar dengan jumlah pohon 150 per hektarnya maka akan menyerap tenaga kerja saat panen sebanyak 30 pekerja dengan durasi waktu kerja 1 bulan. Petani memetik cengkih dari cabang dan memisahkannya dari susunan tunas, kemudian mengeringkannya di bawah terik matahari hingga empat hari. Selama pengeringan, warna cengkih akan berubah dari hijau menjadi merah lalu menjadi coklat tua. Setelah kering, cengkih dibersihkan dengan cara ditampi. Kemudian cengkih yang sudah bersih dimasukan ke dalam karung lalu dijahit dan siap dijual. Terkadang ada juga tengkulak yang langsung mendatangi petani untuk membeli cengkih mereka.
3.3 Vanili: Si Emas Hijau
Vanili (Vanilla planifolia) adalah tanaman penghasil bubuk vanili yang biasa dijadikan pengharum makanan. Bubuk ini dihasilkan dari buahnya yang berbentuk polong. Tanaman vanili dikenal pertama kali oleh orang-orang Indian di Meksiko, negara asal tanaman tersebut. Nama daerah dari vanili adalah panili atau perneli. Vanili disebut sebagai ‘si emas hijau’ karena nilai ekonomisnya yang tinggi di pasaran. Harganya mahal karena budidaya dan proses pasca panen lebih rumit dibandingkan tanaman lain. Tanaman ini dapat tumbuh dari dataran rendah sampai 700 meter dpl. Vanili tidak menyukai cahaya matahari yang jatuh secara langsung, karena dapat menyebabkan daun tanaman berwarna kuning dan lemah. Oleh karena itu dibutuhkan pohon pelindung untuk pertumbuhannya. Tanaman penaung yang dipilih petani beranekaragam, seperti pohon pisang, lamtoro, dan petai. Temperatur
(58)
yang dikehendaki ialah 9 – 38 °C, dengan curah hujan optimal 1500 – 3000 mm per tahun.
Di Desa Sukatendel, penanaman vanili mulai dilakukan pada awal tahun 1980. Bibit vanili yang dibeli petani Sukatendel merupakan tanaman vanili yang sudah distek, yang ditaruh di dalam polybag. Vanili akan mulai berbunga saat umurnya mencapai satu setengah hingga dua tahun. Selain di negeri asalnya Meksiko, tanaman vanili hanya dapat melakukan penyerbukan dengan bantuan manusia (hand
pollination).40 Penyerbukan hanya dapat dilakukan oleh petani di bawah jam 12 siang, selain karena bunganya hanya dapat bertahan satu hari, bunga yang telah mekar juga tidak dapat bertahan dalam kondisi yang kering. Lima atau enam bulan setelah penyerbukan, buah vanili akan matang dan siap dipanen. Buah yang dipetik harus tepat matang, tidak boleh terlalu muda atau terlalu matang, karena akan mempengaruhi kualitasnya. Dengan jarak tanam 1,5 X 2,5 meter, satu hektar lahan dapat ditanami 2500 - 2900 batang vanili. Tanaman vanili yang sudah cukup umur dan baik pertumbuhannya akan mampu menghasilkan 4000 batang buah per tahun. Vanili yang sudah dikeringkan tidak dibawa oleh petani ke pasar untuk dijual, karena sudah ada pembeli yang langsung datang ke desa ini untuk membeli vanili mereka. Satu kilo vanili dijual dengan harga sekitar Rp. 8.000 – Rp. 10. 000,-
Petani yang pada masa ini menanam vanili umumnya ialah petani yang jeruk
kelingnya paling terakhir mati. Menjelang akhir tahun 1979 hampir semua tanaman
jeruk mereka telah mati, maka mereka beralih menanam vanili. Sedangkan petani
40 Penyerbukan bunga vanili di Meksiko dibantu oleh lebah jenis tertentu yang hanya dapat
(59)
cengkih masih tetap bertanam cengkih di ladang mereka. Pada tahun 1980, cengkih ditanam seluas 870.000 m2, vanili seluas 60.000 m2.
Periode penanaman vanili hanya berlangsung sekitar 3 tahun saja. Hal ini diakibatkan karena kerumitan dalam pengelolaan dan penanganannya yang tidak praktis seperti yang diuraikan di atas.41 Ditambah lagi, bunga vanili yang telah mekar hanya dapat bertahan satu hari, sehingga petani terpaksa harus melakukan penyerbukan buatan secepat mungkin agar terhindar dari resiko kerugian. Banyaknya kendala ini membuat petani menjadi ingin mengganti lagi jenis tanaman yang akan diusahakan di ladang mereka.
3.4 Jeruk Padang; Komoditas Bernilai Jual Tinggi
Seperti yang telah diuraikan di atas, tanaman vanili hanya dapat diusahakan oleh petani selama 3 tahun saja. Memasuki tahun 1984, petani beralih tanam lagi ke jenis tanaman yang dulunya pernah mereka usahakan, yakni jeruk. Bukan hanya oleh petani vanili saja, namun sebagian petani cengkih juga mulai beralih menanam jeruk ini, dikarenakan pada masa ini cengkih mereka tampaknya mulai bermasalah.42 Adapun jenis jeruk yang ditanam kali ini berbeda dengan jeruk keling yang pernah mereka tanam pada tahun 1947. Jenis yang satu ini ialah jenis jeruk yang kini sudah
41 Wawancara dengan nande Mara br. Perangin-angin, Desa Sukatendel, 17 September 2010. 42 Selama masa hidupnya, tanaman cengkih akan melewati dua masa kritis. Masa kritis
pertama biasanya dialami pada pertumbuhan dari tahun pertama hingga berumur tiga tahun yang disebabkan karena pengaruh kelembaban. Oleh karena itu, pemeliharaannya harus sangat diperhatikan. Apabila masa kritis pertama ini dapat dilalui maka pertumbuhan tanaman akan subur, normal dan cepat besar. Masa kritis kedua yaitu setelah berumur antara 8-12 tahun atau 20 tahun, yaitu setelah berbuah lebat dan daun-daunnya banyak berjatuhan tetapi kemampuan berbuahnya tetap ada. Apabila masa kritis ini dapat dilalui, kemungkinan hidup tanaman cengkih dengan normal akan dapat mencapai sekitar seratus tahunan. Tanaman cengkih petani Sukatendel tidak berhasil melewati masa kritis kedua, sehingga cengkih mereka tidak mampu berproduksi dengan baik.
(60)
lazim ditemui, yakni jeruk manis atau jeruk kerotan (Citrus Unshu), petani Karo lazim menyebutnya dengan rimo padang.
Jeruk ini berasal dari Jepang dan mulai ramai dibudidayakan oleh petani Karo secara umum pada tahun 1985.43 Petani Desa Sukatendel dapat memperoleh bibit dari pasar dalam bentuk batang jeruk yang sudah disemai, seharga Rp. 1.500 – Rp. 2.000 per batang. Tanaman ini memerlukan curah hujan 1000 - 2000 mm per tahun dan dapat tumbuh di ketinggian 1 - 1200 meter dpl dengan temperatur optimal antara 25 - 30°C. Jenis tanah desa Sukatendel yang merupakan jenis tanah Andosol dan Latosol sangat cocok untuk ditanami jeruk manis. Jeruk ini akan mulai berbuah 3 tahun setelah ditanam, dan tingginya mencapai 2 - 3 meter dengan garis tengah batang 6 – 7 cm. Jeruk ini dapat dipanen dua kali dalam setahun, dan umumnya pemanenan dilakukan pada bulan kedua dan bulan kedelapan. Dengan jarak tanam 4x5 m, petani dapat menanam sekitar 250 - 300 batang jeruk di areal seluas satu hektar.
Tabel 7
Rincian Luas Lahan Pada 1984-1988
Tahun
Luas Lahan (m2
) Jeruk Padang Cengkih
1984 290.000 660.000
1988 895.000 35.000
(61)
Prospek jeruk padang ini cukup menjanjikan bagi petani, hal ini tampak dimana tanaman ini dapat dikelola cukup lama oleh petani yakni sekitar sepuluh tahun. Pemanenan dilakukan dengan cara dipetik seperti biasa, karena tingginya cukup terjangkau oleh manusia, tidak seperti jeruk keling. Hasil panen kemudian dikumpulkan dan dipilah berdasarkan ukurannya. Buah-buah ini kemudian diatur dengan rapi di dalam sebuah keranjang bambu khusus. Buah jeruk yang berukuran agak kecil diletakkan di bagian dasar keranjang, diikuti oleh buah jeruk yang berukuran sedang dan akhirnya buah jeruk yang berukuran besar diletakkan di bagian atas, yang biasa disebut oleh petani dengan bagian takalna. Berat satu keranjang jeruk ditaksir mencapai 400 - 550 kg.
Dalam penjualannya, petani didatangi oleh para tengkulak yang langsung membeli jeruk mereka. Umumnya transaksi dagang ini dilakukan di ladang, dan dengan kesepakatan yang telah dilakukan sebelumnya. Jika tidak ada tengkulak yang datang, maka petani akan menyewa jasa kendaraan pengangkutan untuk membawa keranjang-keranjang berisi jeruk tadi ke pasar Tiganderket. Di pasar ini, si petani cukup menunggu orang yang akan membeli jeruk mereka. Para pembeli adalah pedagang tingkat pengecer yang akan menjual kembali jeruk tersebut dalam satuan kilogram. Harga satu kilogram jeruk bervariasi, antara Rp. 1.800 – Rp. 4.500.
3.5 Tembakau; Si Daun Emas
Di Desa Sukatendel penanaman tembakau mulai dilakukan pada tahun 1997. Sejarah penanaman tembakau di desa ini berbeda dengan sejarah tanaman lain yang pernah ditanam sebelumnya. Jika sebelumnya petani memilih mengganti jenis
(62)
tanaman akibat serangan hama atau penyakit, maka peralihan tanaman ke tembakau memiliki cerita tersendiri. Seperti yang diuraikan di bab sebelumnya, sawah-sawah milik petani umumnya berada di wilayah perbatasan desa. Memasuki tahun 1997, petani yang sawahnya berlokasi paling ujung mengalami kesulitan karena irigasi tidak lagi sampai ke sawah-sawah mereka. Hal ini dikarenakan mulai berkurangnya debit air irigasi yang biasa dipergunakan petani.44 Luas sawah yang terkena masalah ini mencapai 70 ha (700.000 m2). Akibatnya petani tidak dapat lagi mengusahakan tanaman padi yang sudah mereka tanam sejak tahun 1947. Untuk mengatasi masalah ini para pemilik sawah melakukan pembaharuan, dengan ‘mengubah’ sawah mereka menjadi ladang. Sehingga mulai dari tahun 1997, terjadi perubahan luas antara sawah dan ladang di desa ini. Petani ladang yang baru ini kemudian mengusahakan tanaman tembakau di atas tanah mereka. Tanaman tembakau menjadi pilihan karena harga jualnya yang tinggi di pasaran.
Tembakau (Nicotiana Tobacum) merupakan tumbuhan herba semusim yang ditanam untuk mendapatkan daunnya. Tanaman ini sesuai dengan wilayah dengan curah hujan rata-rata 2000 mm/tahun, dengan ketinggian lahan antara 200 - 3.000 m dpl dan suhu udara antara 21-32 °C. Penanaman dan penggunaan tembakau di Indonesia sudah dikenal sejak lama. Komoditi tembakau mempunyai arti yang cukup penting, tidak hanya sebagai sumber pendapatan bagi para petani, tetapi juga bagi negara. Tanaman tembakau merupakan tanaman semusim, tetapi di dunia pertanian termasuk dalam golongan tanaman perkebunan dan tidak termasuk golongan tanaman pangan. Dengan luas lahan satu hektar maka petani dapat menanam 16.000 - 18.000
(1)
Umur : 77 tahun Pekerjaan : Petani
Nama : Nande Rasta br. Perangin-angin Umur : 71 tahun
Pekerjaan : Petani
Nama : Nande Sangap br. Tarigan Umur : 60 tahun
Pekerjaan : Petani
Nama : Nande Tajak br. Sebayang Umur : 64 tahun
Pekerjaan : Petani
Nama : Nande Terkelin br. Perangin-angin Umur : 69 tahun
Pekerjaan : Petani
Nama : Bapa Trulih Perangin-angin Umur : 67 tahun
Pekerjaan : Petani
Nama : Bapa Ukum Barus Umur : 62 tahun
(2)
LAMPIRAN 1
Potret Kehidupan Warga Sebelum Tahun 1965
Nutu ku lesung, merupakan sebuah kegiatan menumbuk padi yang lazim dilakukan oleh anak perempuan di desa.
(3)
Rumah Tradisional Suku Karo.
Tarian gundala-gundala, biasa ditampilkan pada saat ndilo wari udan, sebuah upacara meminta hujan. (koleksi foto Edi Surbakti, http://mediakaro.blogspot.com)
(4)
LAMPIRAN 3 Lahan Petani
Ladang tembakau milik Bapa Ukum Barus.
Ladang kakao milik Nande Jani br Bangun (koleksi penulis, Maret 2011)
(5)
Biji kakao yang dikeringkan (Milik Nande Mara br Perangin-angin) (koleksi penulis, September 2010)
(6)
LAMPIRAN 5
Sawah milik petani yang ditanami padi. (koleksi penulis, Maret 2011)