dampak dan modus Pungutan
41
Kegiatan ekstrakurikuler sangat tergantung pada kebijakan sekolah. Seidaknya ada beberapa contoh kegiatan ekstrakurikuler
yang dapat menjadi alasan untuk melakukan pungutan. Kegiatan ekstrakurikuler dibagi berdasarkan jenisnya menjadi
; 1 Krida seperi kepramukaan, Laihan Dasar Kepemimpinan Siswa LDKS, Palang Merah Remaja PMR, Pasukan Pengibar
Bendera Pusaka Paskibraka, OSIS, dst. 2 Kegiatan karya ilmiah seperi Karya Ilmiah Remaja KIR, penguasaan dan pendalaman
ilmu pengetahuan, peneliian, penulisan karya ilmiah lain dan sejenisnya, dan yang terakhir 3 adalah kegiatan ekstrakurikuler
berupa laihanolah bakatprestasi melipui pengembangan bakat olah raga, seni, budaya, cinta alam, jurnalisik, teater,
keagamaan, musik, marching band, marawis, dst.
Semakin luasnya cakupan kegiatan ekstrakurikuler, pada tahun 2013 pemerintah mengatur kegiatan ekstrakurikuler dalam
kurikulum 2013. Pembenahan ini diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 81 A Tahun
2013, di mana dalam kurikulum 2013 kegiatan ekstrakurikuler dikelompokkan mejadi dua; yakni ekstrakurikuler wajib dan
ekstrakurikuler pilihan. Kegiatan kepramukaan ditetapkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib dari sedkolah dasar SD
MI hingga sekolah menengah atas SMASMK melalui kerjasama dengan organisasi kepramukaan setempat. Sedangkan kegiatan
ekstrakurikuler pilihan di antaranya OSIS, UKS, dan PMR serta kegiatan ekstrakurikuler berbentuk kelompok atau klub yang
dikembangkan berkenaan dengan konten suatu mata pelajaran, misalnya klub olahraga bola, voli, basket, bulu tangkis, dst atau
ekstrakurikuler yang dikembangkan dari peserta didik seperi klub tari, paskibra, menyanyi, melukis, teater, kesenian, klub
diskusi, sastra, drama, klub bela diri, silat, karate, judo, klub pecinta komputer, otomoif, elektronika, matemaika, bahasa
inggris, klub pecinta alam, pertanian, daur ulang, pekerja sosial, polisi lalu lintas, perkumpulan pengelola tempat ibadah, rohis
dan kelompok peduli yaim.
42
Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler berpotensi menimbulkan pungutan baik yang “legal maupun ilegal”. Namun ini semua
idak dapat langsung dibukikan. Berbagai modus pungutan atas kegiatan ekstrakurikuler di antaranya adalah sebagai
berikut; 1 pembayaran sekali Dalam modus ini, kegiatan ekstrakurikuler sudah termasuk dalam uaang pangkal uang
sumbangan saat pertama kali peserta didik masuk sekolah; 2 kegiatan ekstrakurikuler pembayaran berkala, dilakukan
per bulan; 3 bulan, semester atau per tahun. Biasanya berjenis kegiatan ekstrakurikuler pilihan berbentuk kelompok seperi
klub olah raga, seni, dan peminatan khusus lainnya. Pungutan akan dilakukan saat penerimaan raport semesteran, atau
langsung oleh paniia pelaksana saat peserta didik belum melakukan pembayaran;3 pembayaran sewaktu-waktu,
kegiatan ekstrakurikuler pilihan sesuai dengan even atau kegiatan dalam rangka peringatan perisiwa besar, perlombaan,
atau bersifat kunjungan. Kegiatan ekstrakurikuler kompeisi antar kelas, antar sekolah, promosi antar sekolah merupakan
akivitas yang membutuhkan biaya tambahan. Pembayaran dilakukan sewaktu-waktu, di mana sekolah berargumen
bahwa dana yang disediakan sekolah idak mencukupi untuk melakukan pembayaran trainerpelaih, narasumber, pihak
keiga dan kebutuhan perlengkapan dan peralatan yang belum memadahi; 4 Pembayaran mendadak. Modus ini dilakukan
keika kegiatan ekstrakurikuler menjadi pilihan yang sifatnya mendadak. Modus awalnya berupa sumbangan sukarela
kemudian menjadi kebiasaan yang secara informal menjadi kebiasaan sekolah. Seperi persiapan perpisahan sekolah
yang ditempelkan pada kegiatan ekstrakurikuler pilihan lain. Biasanya juga ditambahkan pungutan mendadak, misalnya
pelaih ekstrakurikuler mendadak ulang tahun, hajatan, pindah kerja, atau kegiatan sumbangan keagamaan dalam rangka suatu
perisiwa pening yang dilekatkan pada kegiatan ekstrakurikuler pilihan lainnya.
43
Modus pembenaran atas pungutan pada kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan di antaranya; 1 sudah mendapat persetujuan
dari komite sekolah, 2 sesuai dengan program yang telah dicanangkan pihak sekolah, dinas atau pemerintah daerah, 3
kesepakatan rapat orang tua wali murid, 4 sudah menjadi tradisi sekolah, 5 sesuai edaran dinas atau kepala daerah, 6
membawa nama baik sekolah dan daerah, 7 mengajarkan anak pada nilai-nilai tertentu agama, 8 jumlahnya idak seberapa,
jika agak besar bisa dicicil dan idak memberatkan, 9 orang tua lain sudah setuju, 10 kegiatan berpengaruh pada nilai rapor
atau kelulusan, dan 11 buat kenang-kenangan.
Jumlah nominal pungutan sangat tergantung pada lingkungan sekolah, kebiasaan dan bentuk kegiatan ekstrakurikuler yang
diadakan. Bentuk ekstrakurikuler yang bervariasi dan memiliki kekhususan idak semua peserta didik ikut, menyebabkan
jumlah nominal dianggap wajar. Besaran itu mulai Rp 1.000,-, Rp 2.000,-, Rp 3.000,-, Rp 5.000,-, Rp 10.000,-, Rp 20.000,- sd
Rp 50.000,- untuk seiap kali kegiatan ekstrakurikuler, dengan waktu kegiatan dalam 1 minggu antara 1-2 hari.
Kegiatan ekstrakurikuler bisa menjadi semakin melenceng dari tujuannya keika ada aspek psikologis yang muncul sebab
seringkali guru pengasuh ekstrakurikuler juga adalah guru mata pelajaran atau guru kelas. Situasi ini menciptakan ekslusivisme
peserta didik dan orang tua peserta didik yang merasa ‘aman’ karena telah ‘membayar’ pada pengasuh ekstrakurikuler.
Terlebih keika jenis ekstrakurikuler itu menonjolkan kegiatan dan perlengkapan yang ‘mahal’. Siswa yang menjadi peserta
dari ekstrakurikuler tersebut memiliki kebanggaan tersendiri meskipun harus ‘membayar lebih’. Kedua pihak merasa dalam
posisi benar dan wajar. Padahal kecenderungan kegiatan ekstrakurikuler seperi ini telah melahirkan kebanggaan semu.
Tujuan utama dalam belajar dikalahkan kegiatan ekstrakurikuler.
44
Di beberapa sekolah, dalam studi PATTIRO, praktek pungutan menjadi ‘biasa’ dan mendapat pemakluman. Ironisnya, sekolah,
terutama guru bidang tertentu, menilai pungutan dianggap sebagai hal wajar. Bentuk kewajaran akan sangat kentara keika
berhubungan dengan sumbangan atas peringatan hari-hari besar agama, sumbangan keagamaan seperi infak, shodaqoh
dan semacamnya. Yang menarik, sumbangan atau pungutan tersebut dilakukan melalui surat edaran. Jenis dan jumlah
besaran ditetapkan, sampai ada semacam ‘sangsi’ sosial yang bisa diterima peserta didik jika idak memberikan sumbangan
tersebut. Ada kalanya sumbangan dihubungkan dengan penilaian proses belajar-mengajar. Situasi ini idak hanya terjadi
di Pulau Jawa tapi juga sudah meluas ke luar Pulau Jawa.
Berbagai efek dan dampak lanjutan atas pungutan-pungutan yang idak transparan menimbulkan kesenjangan dan
kecemburuan tersendiri bagi peserta didik maupun orang tua yang memiliki keterbatasan dana untuk bisa bergabung, bahkan
mereka merasa dikucilkan. Keika pungutan dianggap wajar dan biasa, sigma mutu akan selalu dikaitkan dengan pembiayaan
lebih. Pihak sekolah selalu punya alasan untuk selalu menarik pungutan baik legal maupun ilegal. Sekolah menjadi sebuah
lingkungan moral yang idak kondusif, jauh dari transparansi, menghilangkan semangat saling membantu. Padahal, lembaga
pendidikan semesinya lebih mengutamakan integritas moral, menumbuhkan budaya hormat dan menjadi contoh perilaku
jujur.