105
harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk
penyandang disabilitas. Seiap penyandang difabel berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis
dan jenjang pendidikan Pasal 6 ayat 1. Seiap penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk menumbuh
kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang disabilitas anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Penyandang disabilitas di Indonesia belum mendapatkan hak pendidikannya secara baik. Menurut Dirjen Pendidikan
Dasar Kemendikbud ada sekitar 184.000 anak penyandang disabilitas belum menikmai indahnya pendidikan layaknya
anak dengan kondisi mental dan isik normal. Sampai saat ini jumlah anak berkebutuhan khusus yang telah tertangani
dan masuk dalam pendidikan inklusif baru 116.000 anak dari total 300.000 anak, selebihnya masih di bawah asuhan
orang tua masing-masing.
Menurut laporan dari WFD World Federaion for the Deaf terdapat 70 juta komunitas tuna rungu
4
di seluruh dunia, di mana 0.5 persen dari mereka yang berusia 10-17
tahun justru memiliki kemampuan baca-tulis yang rendah dibandingkan anak yang mendengar normal usia 9-10 tahun.
Hal ini juga terjadi di Indonesia, rata-rata anak-anak tuna rungu sampai dewasa memiliki kemampuan baca-tulis yang rendah
4
Galuh; isilah tuli sudah idak digunakan lagi dalam peraturan perundang- undangan, digani menjadi tuna rungu. Akan tetapi isilah tersebut justru
menciderai para penyandang tuli itu sendiri. Karena menurutnya, tuli itu bukan tuna cacat, tapi hanya idak mampu mendengarkan suara saja. Perlu diketahui
bahwa mendengarkan suara hanyalah salah satu cara seseorang untuk memahami komunikasi, tapi komunikasi idak selamanya harus menggunakan suara, bisa
menggunakan tulisan atau bahasa yang lain yang dipahami para penyandang tuli. Jadi tuli bukanlah tuna.
106
di bawah rata-rata anak yang mendengar normal usia 9-10 tahun. Mereka yang lulus dari SLB maupun lulus SMA umum
dan sebagian kecil yang sempat menuntut pendidikan inggi di Universitas pun mengalami kesulitan dalam memahami
bacaan dan tulisan dalam Bahasa Indonesia.
5
Sejauh ini pendidikan untuk anak dengan disabilitas disediakan dalam iga macam lembaga pendidikan, yaitu
sistem pendidikan segregasi, terpadu dan inklusif.
a. Pendidikan segregasi
Sekolah segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan
reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar
Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperi SLBA untuk anak tunanetra, SLBB untuk anak
tunarungu, SLBC untuk anak tunagrahita dst.
b. Pendidikan terpadu
Sekolah terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk
mengikui pendidikan
sekolah regular
tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan
kebutuhannya. Sekolah tetap menggunakan sistem pengajaran regular untuk semua peserta didik.
Dengan kata lain, pendidikan terpadu mensyaratkan peserta didik untuk mengikui sistem yang dituntut
sekolah regular. Kelemahan pendidikan terpadu ini bagi penyandang disabilitas adalah bahwa ia idak
mendapatkan perlakuan khusus yang memudahkan dalam mengikui pelajaran. Kelebihannya adalah bahwa
5
P3M, Laporan Workshop Pendidakan Inklusi di Hotel Kaisar Jakarta.
107
penyandang disabilitas bisa leluasa bersosialisasi dengan teman-temannya, bermain, dsb.
c. Pendidikan inklusif
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan atau penyempurnaan dari sekolah terpadu. Di sekolah ini,
para penyandang disabilitas diberikan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan khususnya dengan berbagai
macam bentuk akomodasi sehingga mereka bisa belajar bersama-sama temannya dalam satu kelas.
Seiring perkembangan zaman, pendidikan dengan sistem segregasi yang memisahkan pendidikan berdasarkan
jenis ke-tuna-an merupakan sebuah bentuk cacat moral dan dianggap menjauhkan para penyandang disabilitas
dari penerimaan ragam ke-bhinekaan. Maka muncullah kepedulian pemerintah kepada penyandang disabilitas
melalui kebijakan Pendidikan Inklusif. Program pendidikan inklusif diharapkan mampu merevolusi mental generasi
muda untuk lebih realisis dengan mengobarkan semangat kebersamaan dan persatuan bangsa tanpa diskriminasi.
Di samping melalui sekolah reguler, pemerintah dan lembaga swasta masih menyelenggarakan pendidikan atau
sekolah khusus untuk melayani beberapa jenis disabilitas. Hal ini dilakukan untuk tetap memberikan kesempatan pada
orang tua yang tetap memilih menyekolahkan anaknya di SLB atau atas dasar pilihan peserta didiknya sendiri.
Tidak seperi sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan
SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Untuk menjangkau
SLB atau SDLB yang relaif sangat jauh para penyandang
108
disabilitas harus mengeluarkan biaya inggi. Persoalan ini bisa dipecahkan melalui implementasi semangat UU
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana semangat “desa membangun” yang dibedakan dengan isilah “membangun
desa” oleh Kementerian desa membutuhkan tenaga-tenaga terampil dari berbagai pihak. Dengan kata lain, generasi
bangsa idak boleh ada yang menjadi pengangguran. Dengan memiliki semangat kerja membangun desa diharapkan
seluruh warga dapat berparisipasi membangun desa, termasuk para penyandang disabilitas. Pemerintah Desa
dapat berperan pening untuk menjadi solusi menjembatani kebutuhan pendidikan inklusi di pedesaan.
Pada 2001, pemerintah sudah mengadakan uji coba untuk merinis sekolah inklusi di Provinsi Daerah Isimewa
Yogyakarta dengan 12 sekolah di daerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Yogyakarta dengan 35
sekolah. Sekolah sekolah reguler yang dijadikan perinisan itu memang diperuntukkan bagi anak-anak lambat belajar
dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rinisan
sampai sekarang belum ada informasi lebih lanjut tentang keberlangsungan program rinisan tersebut. Sampai tahun
2006, informasi tentang pendidikan inklusi idak muncul di tengah public. Isu tersebut tenggelam oleh isu lain,
seperi biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lain- lain. Pada 2009 tema pendidikan inklusi mulai muncul lagi
dengan adanya beberapa sekolah di Jakarta dan beberapa daerah lain yang memulai pendidikan inklusif.
2. Kebijakan Dunia Tentang Disabilitas
Persoalan penyandang disabilitas bukan sekedar menjadi keprihainan nasional, melainkan juga sudah menjadi
109
persoalan global sehingga banyak negara dan lembaga internasional bekerja bersama-sama memperjuangkan
pendidikan inklusif tanpa diskriminasi ini. Ada beberapa dasar hukum pengaturan dan perlindungan terhadap
hak-hak para penyandang disabilitas. Aturan atau hukum internasional itu antara lain:
a. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. b. Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989.
c. Deklarasi Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun
1990. d. Peraturan standar tentang persamaan kesempatan bagi
para penyandang cacat, 1993. e. Pernyataan Salamanca dan Kerangka aksi tentang
pendidikan kebutuhan khusus, 1994. f. Tinjauan 5 tahun Salamanca; 1999.
g. Kerangka aksi forum pendidikan dunia, Dakar; 2000. h. Tujuan pembangunan millennium yang berfokus pada
penurunan angka kemiskinan dan pembangunan; 2000. i. Flagship Pendidikan untuk semua PUS tentang
pendidikan dan kecacatan; 2001. Kebijakan-kebijakan di atas menandakan bahwa dunia
akan menemukan arah kemanusiannya, untuk semua negara, bangsa dan warganya yang dibangun dari kerangka
pendidikannya.
3. Kebijakan Pendidikan Pemerintah Indonesia bagi penyandang disabilitas
Pemerintah Indonesia sudah memulai kebijakan pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas dengan mempergunakan
dasar falsafah negara Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika