Daya Terima Beras Analog Dari Tepung Ubi Kayu Sebagai Pangan Pokok Di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupate Dairi Tahun 2014

(1)

DAYA TERIMA BERAS ANALOG DARI TEPUNG UBI KAYU

SEBAGAI PANGAN POKOK DI DESA TANJUNG BERINGIN

KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI

TAHUN 2014

SKRIPSI

OLEH :

CHRISTI GESTARINI S. 091000169

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

DAYA TERIMA BERAS ANALOG DARI TEPUNG UBI KAYU

SEBAGAI PANGAN POKOK DI DESA TANJUNG BERINGIN

KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI

TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH :

CHRISTI GESTARINI S. 091000169

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

(4)

Judul Skripsi : DAYA TERIMA BERAS ANALOG DARI

TEPUNG UBI KAYU SEBAGAI PANGAN

POKOK DI DESA TANJUNG BERINGIN

KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : Christi Gestarini S. Nomor Induk Mahasiswa : 091000169

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Departemen : Gizi Kesehatan Masyarakat

Tanggal Lulus : 31 Maret 2015

Disahkan oleh Komisi Pembimbing

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si NIP. 19680516 199303 2 001 NIP. 19670613 199303 1 004

Medan, April 2015 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Dr. Drs. Surya Utama, MS NIP. 19610831 198903 1 001


(5)

ii ABSTRAK

Indonesia merupakan negara dengan tingkat konsumsi beras yang paling tinggi mencapai 139 kg/kapita/tahun pada tahun 2013. Tetapi tidak didukung dengan produksi padi yang sesuai, sehingga pemerintah melakukan impor beras dari negara lain. Selain itu, pemerintah juga sudah melaksanakan program diversifikasi untuk pemanfaatan pangan lokal termasuk ubi kayu. Desa Tanjung Beringin memproduksi ubi kayu tetapi kurang dimanfaatkan karena terbiasa mengkonsumsi beras.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yaitu pembuatan beras analog dengan menggunakan tepung ubi kayu dengan penambahan air. Panelis dalam penelitian ini adalah ibu-ibu di Desa Tanjung Beringin sebanyak 30 orang. Hasil uji daya terima diperoleh dengan uji organoleptik dan dianalisis secara deskriptif. Nilai kandungan gizi disesuaikan dengan DKBM.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daya terima ibu-ibu di Desa Tanjung Beringin terhadap beras analog adalah rendah. Hal ini terlihat dari persentase penilaian rasa beras analog hanya 47,778% dan masuk kategori tidak suka. Warna beras kurang disukai dengan persentase penilaian sebesar 63,333%. Aroma dan tekstur beras analog masuk kategori disukai dengan persentase masing-masing 80% dan 78,889%. Berdasarkan DKBM, perbandingan jumlah zat gizi yang dikandung beras padi dan beras analog dari tepung ubi kayu hampir sama. Keduanya mengandung karbohidrat, fosfor dan kalsium serta menghasilkan energi yang hampir sama.

Maka disarakan penambahan komposisi untuk memperbaiki rasa dan warna beras analog serta pengayaan zat gizinya. Perlu dikembangkan program diversifikasi pangan dari ubi kayu yang dapat diterima masyarakat.


(6)

iii

Indonesia is the country with the highest rice consumption reached 139 kg / capita / year in 2013. But not supported by appropriate rice production, so the government import rice from other countries. In addition, the government has also been implementing diversification program for the utilization of local food, including cassava. Desa Tanjung Beringin produce cassava but underutilized because accustomed to eating rice.

This research is an experimental research that is making analog rice using cassava flour with the addition of water. Panelists in this research are women in the village of Tanjung Beringin as many as 30 people. Acceptability test results obtained with organoleptic and was analyzed descriptively. The value of nutrient content adjusted to DKBM.

The results of this study indicate that the acceptance of women in the village of Tanjung Beringin to analog rice is low. It is seen from the percentage of rice taste assessment analog only 47.778% and categorized dislikes. The color rice is less liked by the percentage rating of 63.333%. Aroma and texture of rice analog liked category by their respective percentages of 80% and 78.889%. Based DKBM, comparison of the quantity of nutrients contained in the rice and rice analogue of cassava flour is almost same. Both contain carbohydrates, phosphor and calcium and produce nearly the same energy.

So have suggested the addition of the composition to improve the flavor and color of rice analog and enrichment nutritional content. Need to be developed a program diversification of cassava that can be accepted by society.


(7)

iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Christi Gestarini S.

Tempat Lahir : Medan

Tanggal Lahir : 14 September 1990

Suku Bangsa : Batak Toba

Agama : Katolik

Nama Ayah : Drs. Gusman Sitindaon

Suku Bangsa Ayah : Batak Toba

Nama Ibu : Tumiur Simanjuntak, S.Pd

Suku Bangsa Ibu : Batak Toba

Riwayat Pendidikan :

1. Tahun 1997 – 2003 : SD Inpres I No. 030356, Tanjung Beringin 2. Tahun 2003 – 2006 : SMP Negeri 2 Sumbul, Tanjung Beringin 3. Tahun 2006 – 2009 : SMA Sw. St. Petrus, Sidikalang


(8)

v

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya yang melimpah kepada penulis sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan dari awal sampai akhir serta dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Daya Terima Beras Analog Dari Tepung Ubi Kayu Sebagai Pangan Pokok Di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupate Dairi Tahun 2014”

Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada orangtua yang terkasih, Bapa Gusman Sitindaon dan Mama Tumiur Simanjuntak yang selalu setia memberi kasih dan pengorbanan yang tidak tidak dapat dibandingkan dengan apapun dalam membesarkan penulis, memberikan dukungan, perhatian dan doa.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si dan Ibu Evawany Y. Aritonang, M.Si karena dengan arahan dan bimbingan beliau penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak dan pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara;

2. Ibu Arfah Mardiana Lubis, M.Psi selaku Dosen Pembimbing Akademik; 3. Ibu Etti Sudaryati, MKM, Ph.D dan Ibu Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes selaku


(9)

vi

4. Seluruh dosen dan staf FKM-USU khususnya kepada Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, seluruh dosen dan Bapak Marihot sebagai staf yang telah banyak memberikan bimbingan dan membantu penulis selama proses pengerjaan skripsi ini;

5. Bapak Dekan Fakultas Pertanian UNIKA St. Thomas atas izin yang diberikan untuk pemakaian laboratorium dan Bapak Negara Simbolon yang meluangkan waktu untuk membantu proses pembuatan produk beras analog; 6. Kepala Desa Tanjung Beringin Bapak Singanui Silalahi yang telah

memberikan ijin untuk melakukan penelitian di desa yang beliau pimpin; 7. Abangku Jimmy Sitindaon dan kedua adikku yang terkasih Rina Sitindaon

dan Chandra Sitindaon yang telah mendukung baik lewat perhatian, dan doa. 8. Sahabat terbaik John Lianto Purba, S.Pd, ST, MM yang dengan sabar

memberi waktu, bantuan, semangat dan perhatian untuk menyelesaikan skripsi ini;

9. Keluarga Rumah Rela 72 (John, Harrys, Nelly, Andri, Rina, Erikson, Hermanto, Guspriadi, Hayeni, Meri, Indris, Junita, Dahlia dan Chandra) untuk dukungan dan kebersamaannya;

10.Sahabat seperjuangan di HMP Gizi Kesehatan Masyarakat (Risanti, Lisparyanda, Rahmi, Vella, Bertha, dan seluruh mahasiswa HMP Gizi) untuk kebersamaan dan semangat juangnya;

11.Semua Sahabat di Lingkungan FKM-USU terima kasih atas kebersamaan, dorongan dan motivasinya khusunya Sri Ulina Purba, Florentina, dan Panamotan; serta


(10)

vii

12.Semua pihak yang turut serta memberi dukungan yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu saya ucapkan terima kasih.

Akhir kata semoga Tuhan Yesus senantiasa melimpahkan karunia-Nya kepada kita semua dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Maret 2015


(11)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Umum ... 6

1.3.2 Tujuan Khusus ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Pangan Pokok ... 8

2.2 Ubi Kayu ... 11

2.2.1.Kandungan Gizi Ubi Kayu ... 12

2.2.2.Manfaat dan Konsumsi Ubi Kayu ... 13

2.2.3.Produksi ... 15

2.3 Tepung Ubi Kayu ... 17

2.3.1.Tahapan Proses Pembuatan Tepung Ubi Kayu ... 17

2.3.2.Kandungan Zat Gizi Tepung Ubi Kayu ... 21

2.4 Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 22

2.5 Uji Organoleptik ... 24

2.6 Panelis ... 26

2.7 Kerangka Teori ... 29

2.8 Kerangka Konsep... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

3.1. Jenis Penelitian ... 31

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.3. Objek Penelitian... 31

3.4. Defenisi Operasional ... 32

3.5. Alat dan Bahan ... 33

3.6. Tahapan Penelitian... 33

3.6.1 Pembuatan Tepung Ubi Kayu ... 33

3.6.2 Pembuatan Beras Analog ... 34


(12)

ix

3.7. Pengolahan Data ... 38

BAB IV HASIL ... 41

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41

4.1.1 Geografi... 41

4.1.2 Demografi ... 42

4.2. Deskripsi Beras Analog yang Dihasilkan ... 42

4.3. Hasil Uji Organoleptik Rasa Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 43

4.4. Hasil Uji Organoleptik Aroma Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu... 43

4.5. Hasil Uji Organoleptik Warna Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 44

4.6. Hasil Uji Organoleptik Tekstur Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 45

4.7. Kandungan Zat Gizi Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu ... 45

BAB V PEMBAHASAN ... 47

5.1. Deskripsi Beras Analog yang Dihasilkan ... 47

5.2. Tingkat Kesukaan Panelis dari Hasil Uji Organoleptik Rasa Beras Analog... 48

5.3. Tingkat Kesukaan Panelis dari Hasil Uji Organoleptik Aroma Beras Analog... 49

5.4. Tingkat Kesukaan Panelis dari Hasil Uji Organoleptik Warna Beras Analog... 50

5.5. Tingkat Kesukaan Panelis dari Hasil Uji Organoleptik Tekstur Beras Analog... 51

5.6. Zat Gizi ... 53

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 57

6.1. Kesimpulan ... 57

6.2. Saran ... 58


(13)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Ubi kayu ... 12 Tabel 2.2 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Indonesia

pada Tahun 2009 – 2013 ... 15 Tabel 2.3 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Sumatera

Utara pada Tahun 2009 – 2013 ... 17 Tabel 3.1 Tingkat Penerimaan Panelis pada Uji Hedonik... 34 Tabel 3.2 Interval Persentase dan Kriteria Kesukaan ... 37 Tabel 5.1 Perbandingan Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram Beras Analog


(14)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Teori ... 27

Gambar 2. Kerangka Konsep ... 28

Gambar 3. Proses Pembuatan Tepung Ubi Kayu ... 32


(15)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Kuesioner Penelitian Lampiran II : Master Data

Lampiran III : Dokumentasi

Lampiran IV : Angka Kecukupan Gizi (AKG) Lampiran V : Surat Izin Penelitian


(16)

ii

Indonesia merupakan negara dengan tingkat konsumsi beras yang paling tinggi mencapai 139 kg/kapita/tahun pada tahun 2013. Tetapi tidak didukung dengan produksi padi yang sesuai, sehingga pemerintah melakukan impor beras dari negara lain. Selain itu, pemerintah juga sudah melaksanakan program diversifikasi untuk pemanfaatan pangan lokal termasuk ubi kayu. Desa Tanjung Beringin memproduksi ubi kayu tetapi kurang dimanfaatkan karena terbiasa mengkonsumsi beras.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yaitu pembuatan beras analog dengan menggunakan tepung ubi kayu dengan penambahan air. Panelis dalam penelitian ini adalah ibu-ibu di Desa Tanjung Beringin sebanyak 30 orang. Hasil uji daya terima diperoleh dengan uji organoleptik dan dianalisis secara deskriptif. Nilai kandungan gizi disesuaikan dengan DKBM.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daya terima ibu-ibu di Desa Tanjung Beringin terhadap beras analog adalah rendah. Hal ini terlihat dari persentase penilaian rasa beras analog hanya 47,778% dan masuk kategori tidak suka. Warna beras kurang disukai dengan persentase penilaian sebesar 63,333%. Aroma dan tekstur beras analog masuk kategori disukai dengan persentase masing-masing 80% dan 78,889%. Berdasarkan DKBM, perbandingan jumlah zat gizi yang dikandung beras padi dan beras analog dari tepung ubi kayu hampir sama. Keduanya mengandung karbohidrat, fosfor dan kalsium serta menghasilkan energi yang hampir sama.

Maka disarakan penambahan komposisi untuk memperbaiki rasa dan warna beras analog serta pengayaan zat gizinya. Perlu dikembangkan program diversifikasi pangan dari ubi kayu yang dapat diterima masyarakat.


(17)

iii ABSTRACT

Indonesia is the country with the highest rice consumption reached 139 kg / capita / year in 2013. But not supported by appropriate rice production, so the government import rice from other countries. In addition, the government has also been implementing diversification program for the utilization of local food, including cassava. Desa Tanjung Beringin produce cassava but underutilized because accustomed to eating rice.

This research is an experimental research that is making analog rice using cassava flour with the addition of water. Panelists in this research are women in the village of Tanjung Beringin as many as 30 people. Acceptability test results obtained with organoleptic and was analyzed descriptively. The value of nutrient content adjusted to DKBM.

The results of this study indicate that the acceptance of women in the village of Tanjung Beringin to analog rice is low. It is seen from the percentage of rice taste assessment analog only 47.778% and categorized dislikes. The color rice is less liked by the percentage rating of 63.333%. Aroma and texture of rice analog liked category by their respective percentages of 80% and 78.889%. Based DKBM, comparison of the quantity of nutrients contained in the rice and rice analogue of cassava flour is almost same. Both contain carbohydrates, phosphor and calcium and produce nearly the same energy.

So have suggested the addition of the composition to improve the flavor and color of rice analog and enrichment nutritional content. Need to be developed a program diversification of cassava that can be accepted by society.


(18)

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara yang terbentang di sepanjang garis khatulistiwa, sehingga sepanjang tahun Indonesia hanya mengalami musim hujan dan musim kemarau. Keadaan ini sangat menguntungkan bagi Indonesia karena terdapat banyak keanekaragaman hayati di Indonesia dan hasil pertanian melimpah sepanjang tahun. Keanekaragaman hayati itu dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya di bidang pangan.

Bahan pangan yang beragam serta melimpah di Indonesia, berupa pangan hewani, pangan nabati, pangan pokok dan juga pangan tambahan. Pangan hewani meliputi daging, telur, ikan, susu dan lain-lain sedangkan pangan nabati berupa makanan pokok yang mengandung karbohidrat seperti beras, ubi jalar, ubi kayu, kentang, jagung, sagu, talas dan lain-lain serta sayur-sayuran dan buah-buahan.

Beras adalah salah satu bahan pangan pokok sumber karbohidrat yang banyak dikonsumsi hampir seluruh penduduk di Indonesia. Beras berasal dari tanaman padi (Oryza sativa), salah satu jenis tanaman serealia yang tumbuh subur di wilayah Indonesia. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2013, produksi beras Indonesia mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2011 yang mengalami penurunan. Akan tetapi hal ini tidak berarti kebutuhan beras masyarakat Indonesia tercukupi. Salah satu penyebab


(19)

2

pemenuhan kebutuhan beras tidak dapat mencukupi adalah ketidakseimbangan antara produksi beras dengan jumlah penduduk.

Tingkat kebutuhan beras masyarakat Indonesia termasuk yang paling tinggi mencapai 139 kg/kapita/tahun dibandingkan dengan negara lain seperti Cina sekitar 90-100 kg/kapita/tahun, Malaysia 90 kg/kapita/tahun, Brunei Darussalam 80 kg/kapita/tahun, Jepang 70 kg/kapita/tahun dan konsumsi beras dunia 60 kg/kapita/tahun (Nurhayat, 2013).

Kekurangan hasil produksi beras Indonesia dipenuhi pemerintah dengan cara mengimpor beras sebanyak 826 ribu ton/tahun 2012 (Christianto, 2013) dan menghabiskan anggaran belanja sampai milyaran rupiah. Pemerintah juga melakukan usaha-usaha peningkatan produksi padi lokal dengan penggunaan bibit unggul, perbaikan irigasi, memperluas tanah persawahan dan usaha lainnya agar peningkatan produksi padi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.

Selain itu, untuk menghadapi ketidakseimbangan antara produksi padi dengan konsumsi masyarakat, para ahli gizi dan teknologi pangan mengenalkan dan mengembangkan pangan pengganti beras seperti ubi jalar, ubi kayu, sagu, jagung, kentang dan serealia lain. Hal ini didukung oleh beberapa peraturan dan perundang-undangan Indonesia yang mengatur penganekaragaman pangan. Salah satu cara penganekaragaman pangan adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan beragam dengan prisip gizi seimbang (PP Ketahanan Pangan No 62 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 2). Undang-Undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Pedoman Umum Penganekaragaman Pangan


(20)

yang telah disusun juga turut mendukung sosialisasi pentingnya penganekaragaman pangan pengganti beras (Hidayah, 2011).

Penganekaragaman pangan atau yang disebut juga diversifikasi pangan adalah salah satu usaha yang dilakukan untuk menurunkan tingkat konsumsi beras dengan pengenalan pangan pengganti beras. Selain pengenalan bahan pangan lain pengganti beras, banyak juga penelitian yang telah dilakukan dalam pembuatan beras analog dari bahan pangan lain pengganti beras.

Pangan pengganti beras yang banyak dikenal dan dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kentang. Bahan pangan tersebut mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, penyumbang kalori yang besar dan membuat rasa kenyang. Semua bahan pangan tersebut memiliki kandungan zat gizi tertentu yang lebih besar dibandingkan dengan beras. Ubi kayu memiliki kandungan kalsium dan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras dan ubi jalar mengandung vitamin A yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras dan memiliki beberapa kelebihan karena kandungan beberapa jenis antioksidan.

Ada beberapa penelitian yang mengembangkan pangan pokok di Indonesia, seperti pembuatan brownis dari tepung ubi kayu. Tepung ubi kayu digunakan untuk mensubsitusi tepung terigu dalam pembuatan brownis. Penelitian tersebut terdiri dari dua uji coba, yaitu menggunakan 100% tepung ubi kayu dan pencampuran tepung terigu dan tepung ubi kayu dengan perbandingan 1 : 1 (Pulungan, 2013).

Roti tawar adalah salah satu makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia sebagai sumber karbohidrat khususnya masyarakat perkotaan. Biasanya


(21)

4

roti tawar dikonsumsi saat sarapan ditambah susu atau teh. Roti tawar adalah makanan yang diolah dari tepung terigu yang masih diimpor. Zuraida dan Supriati (2008) dalam Hardoko, dkk (2010) menyatakan ubi ungu memiliki kadar abu dan kadar serat yang lebih tinggi, serta kandungan karbohidrat dan kalori yang hampir setara dengan tepung terigu sehingga dapat dimanfaatkan untuk mensubsitusi tepung terigu dalam pembuatan roti tawar sebagai makanan sumber karbohidrat dan kalori di Indonesia.

Penganekaragaman bahan pangan seperti beberapa contoh di atas sudah dilakukan tetapi masih perlu ditingkatkan karena pola konsumsi masyarakat sumber karbohidrat masih mengutamakan beras. Kendala yang dihadapi dalam penganekaragaman pangan ini adalah dukungan besar terhadap beras dalam pola makan berbasis nasi yang menyebabkan citra produk pangan selain beras masih sangat rendah. Menghadapi kendala di atas ahli teknologi pangan mulai mengembangkan pembuatan beras yang dibuat dari pangan lain yang dikenal dengan sebutan beras analog.

Salah satu penelitian yang mengembangkan beras analog adalah penelitian yang dilakukan Hasnelly, dkk (2013). Beras analog yang dibuat berbahan dasar beberapa jenis ubi jalar, seperti ubi jalar putih, ubi jalar jingga, ubi jalar ungu dan ubi jalar organik. Jenis-jenis ubi jalar tersebut menghasilkan beras dengan variasi warna yang beragam.

Proses pembuatan beras analog yang dilakukan Hasnelly dibuat dengan cara mencuci ubi jalar dan kemudian dikukus dengan tujuan untuk menguapkan air yang ada di dalam ubi jalar. Ubi jalar yang sudah dikukus kemudian dikupas.


(22)

Setelah dikupas, ubi jalar ditimbang dan kemudian dicampur dengan 20% tepung tapioka dan 10% tepung beras menjadi adonan. Kemudian adonan dibentuk menjadi untaian dengan diameter 2 mm dan untaian tersebut dipotong-potong dengan ukuran panjang 1 cm. Butiran yang dibuat dari adonan tepung ubi jalar, tepung tapioka dan tepung beras tersebut kemudian dikeringkan dengan suhu 700C selama 2 jam. Butiran kering ini disebut beras analog karena bentuknya mirip beras padi.

Desa Tanjung Beringin merupakan salah satu wilayah pedesaan di Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi. Jumlah penduduk di desa tersebut diperkirakan 703 kepala keluarga dan seluruh keluarga mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok . Sebagian besar penduduk desa ini hidup sebagai petani dengan rata-rata tingkat perekonomian menengah ke bawah. Secara geografis, desa Tanjung Beringin berada di wilayah pegunungan dengan dataran yang berbukit-bukit sehingga masyarakat di desa tersebut mengolah tanah dengan cara berladang. Jenis tanah yang ada di desa ini sangat mendukung produksi bahan pangan pokok selain padi seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kentang. Ubi kayu adalah tanaman pokok yang paling sering ditanam masyarakat desa ini. Hampir seluruh petani menanam ubi kayu yang dimanfaatkan sebagai makanan selingan dan makanan ternak.

Konsumsi makanan pokok selain beras kurang populer di masyarakat desa Tanjung Beringin. Hal ini terlihat dari pemanfaatan yang kurang maksimal dari bahan pangan tersebut. Misalnya, selain untuk dipasarkan, pemanfaatan jagung hanya sebagian kecil dikonsumsi sebagai jagung rebus atau jagung bakar dan


(23)

6

pemanfaatan lain sebagai pakan ternak. Sama halnya dengan jagung, ubi jalar dan ubi kayu sering diolah sebagai konsumsi selingan minimal sekali seminggu oleh penduduk desa dengan cara digoreng, direbus, dibakar atau dijadikan olahan seperti kolak.

Dilihat dari penelitian yang pernah dilakukan dalam pembuatan beras analog, desa ini cukup potensial untuk pengembangan beras analog karena konsumsi pangan pokok masyarakat yang sangat bergantung pada ketersediaan beras dan hal ini didukung ketersediaan bahan pangan pokok sebagai dasar pembuatan beras analog.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis ingin mengetahui daya terima beras analog dari tepung ubi jalar di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara pada Tahun 2014 mengingat bahwa beras dengan beras analog memiliki rasa, warna, aroma, tekstur dan juga bentuk yang berbeda.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan informasi yang ada di bagian latar belakang, dapat dilihat bahwa permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana daya terima beras analog dari tepung ubi kayu sebagai pangan pokok di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara pada Tahun 2014.


(24)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui daya terima beras analog dari tepung ubi kayu sebagai pangan pokok dengan uji organoleptik di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi pengembangan beras analog dari tepung ubi kayu di desa Tanjung Beringin

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi untuk pengembangan beras analog dari tepung ubi kayu berdasarkan penerimaan masyarakat.

2. Sebagai peningkatan pengetahuan bagi penulis mengenai program diversifikasi pangan.

3. Sebagai bahan penyuluhan pengenalan pangan beras analog yang dibuat dari bahan pangan pokok lain bagi masyarakat Indonesia yang terbiasa mengkonsumsi beras.


(25)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pangan Pokok

Menurut Food Agricultural Organization (FAO), pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan dan minuman. Sedangkan menurut Undang-Undang tentang Pangan No. 18 Tahun 2012, pengertian pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, pertanian, perikanan, peternakan, perairan dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia. Sederhananya, pangan adalah segala makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia.

Pangan pokok adalah makanan yang paling sering dikonsumsi dan dalam jumlah yang paling banyak diantara bahan pangan lain. Menurut Suyono dalam Haryadi (2004), konsumsi makanan masyarakat Indonesia didominasi pangan yang mengandung karbohidrat sekitar 70% dari total seluruh makanan yang dikonsumsi. Pangan sumber kabohidrat yang banyak dikonsumsi adalah beras yang mencapai 90%.

Bahan pangan pokok selain beras yang sangat melimpah di Indonesia, yaitu jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, talas dan lain-lain namun pemanfaatannya


(26)

kurang diminati masyarakat Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi faktor mengapa beras dijadikan makanan pokok di Indonesia, yaitu sumber daya alam Indonesia mampu memproduksi beras, daya simpan cukup lama, pengolahannya cepat dan mudah, enak dan memiliki nilai gizi yang baik.

Tahun 1940 keberagaman konsumsi pangan di Indonesia sangat baik. Jumlah makanan di Indonesia jika dirata-ratakan maka konsumsi per kapita per tahun adalah beras 86 kg, jagung 38 kg, ubi kayu 162 kg, dan ubi jalar 30 kg. Sejak swasembada beras pada tahun 1984, konsumsi pangan pokok mengalami pergeseran angka konsumsi yang didominasi konsumsi beras bahkan pada tahun 1999, konsumsi jagung hanya 3,1% dan ubi kayu 8,83%. Selain beras, konsumsi pangan pokok yang meningkat adalah terigu, mencapai 500% yang diperoleh dari impor dari negara lain (Gardjito, 2013).

Bergesernya pola konsumsi pangan pokok di Indonesia menyebabkan ketersediaan beras tidak seimbang dengan kebutuhan penduduk Indonesia sehingga pemerintah harus mengimpor beras untuk mencukupi seluruh kebutuhan penduduk. Pemerintah juga melakukan usaha-usaha peningkatan produksi padi lokal dengan penggunaan bibit unggul, perbaikan irigasi, memperluas tanah persawahan dan usaha lainnya agar peningkatan produksi padi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.

Selain itu, untuk menghadapi ketidakseimbangan antara produksi padi dengan konsumsi masyarakat, para ahli gizi dan teknologi pangan mengenalkan dan mengembangkan pangan pengganti beras seperti ubi, ubi kayu, sagu, jagung, kentang dan serealia lain. Hal ini didukung oleh beberapa peraturan dan


(27)

10

perundang-undangan Indonesia yang mengatur penganekaragaman pangan. Salah satu cara penganekaragaman pangan adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan beragam dengan prisip gizi seimbang (PP Ketahanan Pangan No 62 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 2). Undang-Undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Pedoman Umum Penganekaragaman Pangan yang telah disusun juga turut mendukung agar sosialisasi pentingnya penganekaragaman pangan pengganti beras (Nurul Hidayah, 2011).

Konsumsi beras sebagai pangan pokok yang telah menjadi kebiasaan bagi penduduk Indonesia menyebabkan kesulitan untuk menerima pangan lain karena mengonsumsi beras/nasi sudah menjadi kebiasaan dan mudah dikombinasikan dengan berbagai macam menu lauk dan sayuran. Beberapa penelitian telah menghasilkan pembuatan beras analog untuk mencukupi kebutuhan beras dengan pemanfaatan bahan pangan pokok lain yang kurang diminati masyarakat. Beras analog adalah butiran-butiran mirip beras yang dibuat dari bahan pangan pokok lain selain beras dengan menggunakan cara yang beragam.

Menurut Lie dalam Haryadi (2006), tanah yang tingkat kesuburannya rendah seperti di daerah Gunung Kidul dan Pegunungan Seribu mengubah pola pangan mereka dari beras menjadi ubi kayu pada musim paceklik. Penggantian beras menjadi jagung juga terjadi di wilayah yang memiliki lahan kering seperti di Banjarnegara dan Jawa Timur bagian timur (Khudori dalam Haryadi, 2006).

Pembuatan beras analog dari bahan pangan pokok lain didukung dengan tersedianya pangan pokok non-beras yang melimpah di Indonesia. Beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki lahan marginal atau kurang subur dan kering,


(28)

jagung dan ubi kayu dapat tumbuh dengan baik sehingga menguntungkan untuk tetap menghasilkan bahan pangan pokok.

2.2Ubi Kayu

Ubi kayu atau yang sering disebut singkong atau ketela pohon adalah tanaman perdu yang tumbuh di daerah beriklim tropis dan juga sub-tropis. Ubi kayu merupakan salah satu pangan penghasil karbohidrat yang banyak dikonsumsi di Indonesia setelah beras dan jagung (Asnawi, 2008). Tanaman ubi kayu menyimpan cadangan makanan di akar yang membesar membentuk umbi. Bagian dalam umbinya berwarna putih dan juga putih kekuningan tergantung varietas.

Ubi kayu pertama kali dikenal di Amerika Selatan dan dikembangkan di Brasil dan Paraguay. Dahulu ubi kayu hidup secara liar di daerah Brasil dan semua varietas dapat dibudidayakan. Setelah pembudidayaan ubi kayu di beberapa negara, di Brasil Selatan masih ditemukan ubi kayu yang masih tumbuh liar.

Pada abad XVI, Portugal mengenalkan ubi kayu di Indonesia yang dibawa dari Brasil dan ditanam secara komersial pada tahun 1810. Pembudidayaan ubi kayu lebih banyak di tanah-tanah marginal yang kurang subur dan banyak dikonsumsi sebagai pangan pokok di daerah yang tidak dapat memproduksi padi.

Tanaman ubi kayu diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae


(29)

12

Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Family : Euphorbiaceae Genus : Manihot

Spesies : Manihot esculenta

2.2.1.Kandungan gizi

Umbi ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi, tetapi memiliki kandungan protein yang rendah, tetapi pada bagian daun ubi kayu memiliki kandungan protein yang baik karena memiliki asam amino metionina. Umbi ubi kayu rasanya agak manis karena mengandung sedikit glukosa. Jumlah kalori dalam 100 gram ubi kayu adalah 146 kal. Kandungan zat gizi yang terdapat dalam ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Ubi kayu

No. Nama Zat Gizi Jumlah

1. Protein 1,2

2. Lemak 0,3 gram

3. Karbohidrat 34,7gram

4. Ca 33 mg

5. Fe 0,7 mg

6. Vitamin B 0,06

7. Vitamin C 30

8. Fosfor 40 mg

Sumber: DKBM Depkes RI 2005

Berdasarkan tabel 2.1 di atas dapat dilihat bahwa ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat yang cukup besar dan berpeluang dijadikan pangan sebagai sumber karbohidrat tetapi masyarakat Indonesia kurang dapat menerima


(30)

ubi kayu sebagai pangan pokok. Masyarakat menganggap bahwa ubi kayu adalah pangan pokok kelas dua. Selain itu, kandungan lemak dan protein yang rendah serta kandungan racun HCN di dalam ubi kayu menjadi alasan mengapa masyarakat Indonesia tidak menjadikan pangan pokok (Simanjuntak, 2006).

2.2.2.Manfaat dan konsumsi

Umbi ubi kayu yang sudah dikupas tanpa pengolahan tidak memiliki daya simpan walaupun disimpan di lemari pendingin. Kerusakan dapat dilihat dengan munculnya warna biru kehitaman karena terbentuknya asam sianida (HCN) yang bersifat toksik. HCN terbentuk saat umbi ubi kayu teroksidasi sehingga glukosa berubah menjadi glukosida yang membentuk HCN. HCN menyebabkan ubi kayu menjadi pahit. Ubi kayu segar dengan HCN yang tinggi memiliki kandungan pati yang tinggi juga sehingga dalam industri pembuatan tepung tapioka biasanya menggunakan varietas ubi kayu yang mengandung HCN yang tinggi.

Dilihat dari kadar HCN, ubi kayu dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) tidak boleh dikonsumsi bila kadar HCN lebih dari 100 ppm, hal ini ditandai dengan rasa pahit pada ubi kayu, (2) dianjurkan tidak dikonsumsi bila kadar HCN 40-100 ppm dan rasanya agak pahit, dan (3) boleh dikonsumsi bila kadar HCN kurang dari 40 ppm, rasanya tidak pahit.

Cara pengolahan ubi kayu sebelum dikonsumsi cukup beragam. Ubi kayu dapat dimakan setelah dikukus, dibakar dan digoreng. Ubi kayu banyak diolah menjadi penganan-penganan kecil seperti keripik yang diberi bumbu untuk menambah cita rasa dan beberapa kue-kue basah yang diolah secara tradisional.


(31)

14

Selain itu, ubi kayu juga dapat dibuat menjadi tapai melalui proses peragian atau fermentasi.

Gaplek adalah salah satu olahan ubi kayu. Cara pembuatan gaplek sederhana adalah dengan mengupas ubi kayu kemudian dikeringkan. Ada dua jenis gaplek yaitu, gaplek putih biasanya ditepungkan dan sebagai bahan baku pembuatan tiwul dan gaplek hitam yang disebut dengan gatot. Warna hitam pada gatot dihasilkan dari bermacam fungi dan bakteri yang tumbuh selama proses penjemuran dengan tekstur yang kenyal.

Olahan ubi kayu yang digunakan sebagai bahan baku industri adalah tapioka yang dibuat dari pati ubi kayu. Tapioka dibuat dengan cara, ubi kayu yang sudah dikupas kemudian dicuci bersih. Setelah dicuci, ubi kayu diparut dan dicampur dengan air. Kemudian campuran itu disaring dan diperas sampai patinya keluar. Air perasan diendapkan menghasilkan gumpalan pati dan airnya dibuang. Gumpalan pati tersebut diremahkan sehingga terbentuk butiran kasar yang selanjutnya dikeringkan, digiling dan diayak. Ampas hasil olahan pati tersebut dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak namun masyarakat Cirendeu, Cimahi, Jawa Barat mengonsumsi ampas tapioka yang dijemur terlebih dulu. Ampas tapioka yang kering dikukus dan dimakan dengan lauk dan sayur. Masyarakat Cirendeu menyebutnya rasi.

Sugihono dan Sarpina seperti yang dikutip dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2011) mengatakan sagu kasbi adalah makanan khas Muluku Utara yang dibuat dengan cara mencetak tepung kasbi (ubi kayu) dalam cetakan sagu yang dipanggang sampai kering dan matang berbentuk persegi


(32)

panjang, rasanya tawar, berwarna putih dengan tekstur yang keras. Sagu kabi sangat cocok sebagai bahan pangan di musim paceklik karena memiliki daya simpan yang lama, yaitu sekitar 1-2 tahun dalam kondisi baik dan kering. Masyarakat Maluku Utara mengonsumsi sagu kasbi dengan mencelupkan ke dalam air atau kuah makanan hingga lembek dan dimakan dengan lauk dan sayur seperti mengonsumsi nasi. Mengonsumsi sagu kasbi saat sarapan dapat dicelupkan ke dalam teh atau kopi. Sekarang ini telah dikembangkan sagu kasbi aneka rasa dengan penambahan gula halus dan perisa makanan seperti perisa mangga, perisa jeruk, strawberry dan coklat.

Masyarakat di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara mengolah ubi kayu kasaomi. Kasaomi dibuat dengan cara ubi kayu dikupas, diparut, diperas untuk mengurangi kandungan air kemudian dikeringkan. Saat akan dikonsumsi, kasaomi dikukus dan dikonsumsi dengan sayur dan lauk.

2.2.3.Produksi

Ubi kayu di Indonesia dibudidayakan dan dikembangkan dalam skala agrobisnis dalam industri makanan yang cukup tinggi. Hal menguntungkan dari ubi kayu adalah dapat diproduksi di lahan-lahan yang kurang subur. Produksi ubi kayu di Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini.


(33)

16

Tabel 2.2 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Indonesia pada Tahun 2009 - 2013

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas

(Ku/Ha)

Produksi (Ton)

2009 1175666.00 187.46 22039145.00

2010 1183047.00 202.17 23918118.00

2011 1184696.00 202.96 24044025.00

2012 1129688.00 214.02 24177372.00

2013 1137210.00 224.18 25494507.00

Sumber: BPS 2013

Pada tabel 2.2 di atas dapat dilihat bahwa produktivitas ubi kayu secara nasional dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 selalu mengalami peningkatan. Produksi ubi kayu yang meningkat tidak mengalami perubahan walaupun luas lahan mengalami penurunan pada tahun 2012. Hal ini menguntungkan untuk pemanfaatan ubi kayu secara maksimal di bidang pangan karena dengan luas lahan tidak mempengaruhi produksi ubi kayu.

Sentra produksi ubi kayu ada tujuh provinsi pada tahun 2002 yaitu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, NTT dan Sulawesi Selatan. Namun pada tahun 2008 ditambah satu provinsi sebagai sentra produksi ubi kayu yaitu, provinsi Sumatera Utara.

Batasan provinsi disebut sebagai sentra produksi ubi kayu adalah memiliki areal luas panen ubi kayu > 50000 ha selama lima tahun terakhir. Setiap provinsi juga memiliki kabupaten sentra produksi ubi kayu dan batasan kabupaten sentra yaitu, kabupaten atau kota yang mempunyai rata-rata areal luas panen > 5000 ha untuk Pulau Jawa dan > 2500 ha untuk luar Pulau Jawa.

Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang menjadi kabupaten sentra produksi ubi kayu adalah Tapanuli Utara, Simalungun, Deli Serdang, Serdang


(34)

Bedagai, Labuhan Batu, dan Dairi. Untuk produksi ubi kayu di Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel 2.3 di bawah ini.

Tabel 2.3 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Ubi kayu di Sumatera Utara pada Tahun 2009 - 2013

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas

(Ku/Ha) Produksi (Ton)

2009 38611.00 260.88 1007284.00

2010 32402.00 279.48 905571.00

2011 37929.00 287.83 1091711.00

2012 38749.00 302.34 1171520.00

2013 46765.00 318.85 1491108.00

Sumber: BPS 2013

Tabel 2.3 menunjukkan bahwa produktivitas ubi kayu Sumatera Utara lebih tinggi dibandingkan produktivitas ubi kayu secara nasional. Produksi ubi kayu yang tinggi di Sumatera Utara ini dapat dijadikan sebagai dasar pemanfaatan ubi kayu sebagai pangan pokok.

2.3Tepung Ubi Kayu.

2.3.1.Tahapan proses pembuatan tepung ubi kayu

Alternatif pengolahan umbi ubi kayu saat ini sedang diupayakan pemerintah adalah pembuatan tepung ubi kayu atau sering disebut juga tepung kasava. Hal ini disebabkan daya simpan ubi kayu segar sangat rendah. Tepung ubi kayu dibuat dengan cara penghancuran atau penepungan umbi ubi kayu yang sudah dikeringkan. Tepung ubi kayu merupakan produk setengah jadi yang kemudian diolah menjadi mie dan biskuit untuk mensubsitusi tepung terigu.


(35)

18

Pembuatan tepung ubi kayu harus memperhatikan kadar air, pH, kadar pati, kadar pati dan amilosa. Menurut Ingram dalam Gardjito (2013), kadar air menjadi parameter penting dalam menjamin daya simpan tepung ubi kayu. Kadar air yang lebih dari 12% akan menjadi tempat tumbuh mikroba dan kadar air yang lebih rendah akan memperlama waktu simpan. Sedangkan keasaman atau pH yang rendah akan membatasi jumlah subsitusi tepung ubi kayu saat digunakan dalam pembuatan roti.

Proses pembuatan tepung ubi kayu bisa dilakukan dengan cara sederhana dalam skala rumah tangga dan dengan cara modern dalam skala yang lebih besar seperti dalam industri. Salah satu proses pembuatan tepung ubi kayu dengan cara penyawutan memiliki beberapa kelebihan, yaitu rendemen lebih tinggi dibanding tepung gaplek yang 20-22% menjadi 25-30%, hygene, awet, gizi lebih baik, dapat mensubsitusi tepung terigu, baik secara parsial maupun seluruhnya.

Tepung ubi kayu mengandung 12% air, lemak 0,32%, protein 1,19%, karbohidrat 81,75%, dan serat 3,34%. Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi dalam tepung ubi kayu sangat baik dalam pengolahan tepung ubi kayu sebagai bahan dalam pembuatan makanan seperti mie dan biskuit.

Tahapan proses dalam pembuatan tepung ubi kayu menurut Badan Litbang Pertanian dalam majalah Agroinovasi Sinartani adalah sebagai berikut.

1. Ubi kayu segar

Pembuatan tepung ubi kayu bisa berasal dari semua varietas kecuali untuk tepung ubi kayu putih harus menggunakan umbi yang putih bukan ubi kayu kuning dan harus segar. Umbi ubi kayu tidak memiliki daya simpan


(36)

sehingga umbi ubi kayu harus segera disawut dalam waktu 24 jam setelah dipanen karena keterlambatan dalam memeroses ubi kayu akan menyebabkan menurunnya kualitas tepung ubi kayu.

2. Pengupasan

Pengupasan ubi kayu secara manual dengan menggunakan pisau akan menghasilkan rendemen kupas yang tinggi tetapi membutuhkan waktu yang lama dan tenaga yang banyak sedangkan menggunakan alat pengupas kulit ubi kayu lebih cepat dan tenaga yang sedikit. Ubi kayu yang dikupas dengan alat pengupas kulit ubi kayu akan menghasikan mutu kupasan yang kurang bagus.

3. Pencucian dan perendaman

Ubi kayu yang telah dikupas harus dicuci secepatnya di air mengalir atau di dalam bak. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang menempel selama proses pengupasan, membersihkan lender yang terdapat di permukaan umbi dan untuk mengurangi kadar HCN. Perendaman dilakukan sampai seluruh ubi kayu tercelup agar kebersihan dan warna putihnya tetap terjaga. Jenis ubi kayu akan menentukan lama tidaknya ubi kayu direndam. Ubi kayu manis hanya perlu direndam sambil menunggu proses penyawutan sedangkan ubi kayu pahit harus direndam semalaman untuk menurunkan kadar HCN sampai ambang batas yang diizinkan oleh Departemen Kesehatan.


(37)

20

4. Penyawutan

Penyawutan dilakukan dengan alat penyawut/perajang baik secara manual atau digerakkan mesin. Hasil penyawutan berupa irisan ubi kayu dengan lebar 0,2-0,5 cm, panjang 1-5 cm dan tebal 0,1-0,4 cm. Irisan ubi basah ditampung dalam bak plastik atau wadah yang tidak mudah berkarat. 5. Pengepresan

Alat pengepres digunakan untuk menekan irisan ubi kayu basah sampai airnya keluar. Pengepresan ini bertujuan agar pengeringan irisan ubi kayu lebih cepat dan juga untuk mengurangi kadar HCN terutama ubi kayu pahit. Irisan ubi kayu yang sudah dipres dijemur selama 10-16 jam sedangkan irisan ubi kayu tanpa dipres membutuhkan waktu 30-40 jam untuk proses pengeringan.

6. Pengeringan

Irisan ubi kayu pres harus segera dijemur, apabila cuaca buruk dapat dikeringkan dengan alat pengering. Pengeringan irisan ubi kayu harus diperhatikan secara khusus karena akan menentukan mutu tepung ubi kayu yang akan dihasilkan. Kadar air irisan ubi kayu maksimum 14% karena kadar air yang tinggi akan mempersingkat waktu simpan dan menurunkan kualitas tepung. Alas yang digunakan dalam penjemuran irisan ubi kayu bisa dari anyaman bambu atau wadah yang tidak mudah berkarat.

7. Pengemasan

Irisan ubi kayu kering dikemas dalam plastik tebal kedap udara dan dimasukkan ke dalam karung, gudang atau tempat penyimpanan. Karung


(38)

kemasan irisan ubi kayu harus bersih dan kering kemudian dialasi dengan kayu untuk menghidarkan karung menyentuh lantai.

8. Penepungan

Penepungan atau proses penggilingan sawut dapat dilakukan dengan menggunakan alat penepung beras yang banyak beredar di pasaran. Agar lebih efisien, penggilingan dapat dilakukan dua kali, yaitu irisan ubi kayu kering dihancurkan menjadi butiran kecil kemudian digiling sampai halus (80 mesh).

2.3.2.Kandungan zat gizi tepung ubi kayu

Tepung ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat, kalsium dan fosfor yang tinggi. Jumlah kalori yang terdapat dalam 100 gram tepung ubi kayu adalah 363 kal. Kandungan zat gizi yang terdapat dalam tepung ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Daftar Kandungan Zat Gizi di Dalam 100 Gram Tepung Ubi kayu

No. Nama Zat Gizi Jumlah

1. Protein 1,1

2. Lemak 0,5 gram

3. Karbohidrat 88,2 gram

4. Ca 84 mg

5. Fe 1 mg

6. Vitamin B 0,04

7. Fosfor 125 mg

Sumber: DKBM Depkes RI 2005

Berdasarkan tabel 2.4 di atas dapat dilihat bahwa kandungan zat gizi dalam tepung ubi kayu layak dijadikan pangan pokok karena memiliki kandungan karbohidrat, kalsium dan zat besi yang lebih tinggi dari beras. Sementara untuk


(39)

22

pemenuhan zat gizi lain dapat diperoleh dari sayuran dan lauk-pauk sama seperti mengonsumsi nasi.

2.4Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu

Beras analog adalah pangan alternatif yang dibuat dari sumber pangan karbolokal non-padi berupa umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, talas, gembil dan umbi lainnya), serealia (jagung, sorgum, hotong), tanaman pohon (sagu), tanaman buah (sukun, pisang), dan sumber karbohidrat lainnya (Budijanto, 2013).

Sedangkan menurut Machmur (2011), beras analog adalah bahan pangan lokal yang diolah sampai memiliki ciri-ciri yang menyerupai beras yaitu, berbentuk butiran, ditanak dan memiliki kemiripan tekstur. Pembuatan beras analog ini dilakukan untuk menurunkan konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi pangan lokal lain sesuai dengan tujuan diversifikasi pangan.

Metode pembuatan beras analog yang dikenal adalah dengan metode granulasi dan metode ekstruksi. Metode yang paling dikenal adalah metode ekstruksi karena dengan metode ini akan dihasilkan beras analog dengan karakteristik yang sangat mirip dengan beras alami dari bahan baku yang lebih beragam dan dapat dilakukan fortifikasi (Setia Budi, 2013).

Beberapa penelitian dalam pembuatan beras analog sudah dilakukan di beberapa fakultas pertanian di Indonesia. Pembuatan beras analog dilakukan dengan menggunakan bahan dasar bahan pokok yang melimpah di wilayah penelitian dilaksanakan.


(40)

Penelitian yang dilakukan Hindarto Putra (2012) menggunakan bahan dasar tepung pisang goroho (Musa acuminate) yang banyak terdapat di Sulawesi Utara. Kandungan karbohidrat dalam pisang goroho cukup tinggi sehingga pisang ini dapat dijadikan dasar pembuatan beras analog.

Ubi jalar juga dapat digunakan sebagai dasar pembuatan beras analog. Hampir semua varietas ubi jalar pernah digunakan dalam pembuatan beras analog. Ubi jalar yang akan diolah menjadi beras analog dikukus dalam jangka waktu tertentu. Kemudian dilakukan pencampuran dengan bahan lain dan dibentuk menyerupai butiran beras. Beras analog ini kemudian dijemur sampai kering. Ubi jalar mengandung zat gizi yang sangat baik sehingga beras analog yang dihasilkan juga memiliki kandungan gizi yang masih baik (Hasnelly, dkk, 2013).

Tahapan proses dalam pembuatan beras analog adalah sebagai berikut. 1. Pencampuran

Proses pencampuran dilakukan dengan mencampur bahan dasar yaitu bahan pangan pokok nonberas dan bahan pengikat yang berfungsi untuk menjaga agar beras yang dihasilkan memiliki tekstur yang keras seperti beras. Pencampuran harus mendapatkan adonan yang tidak terlalu encer atau terlalu kering atau seperti tekstur adonan pembuatan biskuit.

2. Pembentukan beras

Pembentukan beras analog dari adonan dapat dilakukan menggunakan mesin pembuat beras analog. Adonan dimasukkan ke dalam mesin yang digerakkan dengan tenaga listrik melalui sebuah corong yang ada di bagian atas alat. Adonan tersebut akan keluar dari lubang kecil seukuran beras.


(41)

24

3. Pemotongan

Adonan yang terbentuk pipih memanjang kemudian dipotong kecil-kecil hingga menyerupai beras.

4. Pengeringan

Beras analog yang sudah dibuat dijemur sampai kering dan mengeras. Beras analog yang sudah jadi dapat ditanak dengan cara dikukus. Sebelum dikukus beras direndam selama 5 menit. Saat proses pengukusan, beras disiram dengan air sedikit demi sedikit dan merata agar nasi yang dihasilkan tidak terlalu keras atau terlalu lembek.

2.5Uji Organoleptik

Uji organoleptik atau yang sering disebut evaluasi sensori adalah penilaian terhadap suatu produk makanan untuk memperoleh warna, tekstur, rasa dan penampakan dengan menggunakan indera manusia. Uji ini dilakukan oleh panelis atau pencicip yang dianggap paling peka. Penilaian ini dilakukan untuk menilai mutu berbagai jenis makanan.

Uji organoleptik ada empat jenis yaitu, uji pembedaan (defferent test), uji pemilihan/penerimaan (preference test/acceptance test), uji deskripsi (descriptive test), uji skalar.

1. Uji Pembedaan (defferent test)

Uji pembedaan digunakan untuk melihat perbedaan sensorik diantara beberapa contoh sampel. Uji ini menilai pengaruh beberapa macam perlakuan modifikasi proses atau bahan dalam pengolahan produk untuk


(42)

mengetahui adanya perbedaan atau persamaan dua produk dengan komoditas yang sama.

Hasil uji ini akan efektif jika sifat dan criteria yang diujikan jelas dan dipahami panelis. Keandalan (realiabilitas) dari uji pembedaan ini tergantung dari pengenalan sifat mutu yang diinginkan, tingkat latihan panelis dan kepekaan masing-masing panelis. Pengujian pembedaan ini meliputi: Uji pasangan (Paired comparison/Dual comparation), Uji segitiga (Triangle test), Uji duo-tri, Uji pembanding ganda (Dual standard), Uji pembanding jamak (Multiple standard), Uji rangsangan tunggal (Single stimulus), Uji pasangan jamak (Multiple pairs), Uji tunggal.

2. Uji Pemilihan/Penerimaan (preference test/acceptance test)

Uji penerimaan digunakan untuk melihat penilaian rasa suka seseorang terhadap sifat atau kualitas suatu bahan. Dalam pengujian ini, panelis memberikan tanggapan pribadi suka atau tidaknya terhadap sifat sensoris bahan yang dinilai. Uji ini lebih subjektif dari uji pembedaan.

Tujuan uji ini adalah untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik dapat diterima oleh masyarakat tetapi hasil uji ini tidak dapat menjamin suatu komoditi akan mudah dipasarkan. Uji penerimaan ini meliputi: Uji kesukaan atau uji hedonik dan Uji mutu hedonik.

3. Uji Skalar

Dalam uji ini panelis diminta menyatakan besaran tanggapan yang diperolehnya. Besarannya dapat diberikan dalam bentuk besaran skalar atau dalam bentuk skala numerik. Besaran skalar digambarkan dalam dua bentuk


(43)

26

yaitu, bentuk garis lurus berarah dengan pembagian skala dengan jarak yang sama dan bentuk pita skalar deenga degradasi yang mengarah, contohnya degradasi warna dari sangat putih sampai hitam. Uji ini meliputi: Uji skalar garis, Uji skor (Scoring), Uji perbandingan pasangan (Paired comparation), Uji perbandingan jamak (Multiple comparation), Uji penjenjangan atau uji pengurutan (Ranking).

4. Uji Deskripsi (descriptive test)

Pengujian deskripsi merupakan penilaian sensorik dengan sifat-sifat sensorik yang lebih kompleks karena mutu suatu komoditi umunya ditentukan oleh beberapa sifat sensorik. Pada uji ini banyak sifat sensorik dinilai dan dianalisa sebagai keseluruhan sehingga dapat menyusun mutu sensorik secara keseluruhan. Sifat yang dipilih sebagai pengukur mutu adalah yang paling peka terhadap perubahan mutu dan paling relevan terhadap mutu.

2.6Panelis

Pelaksanaan dalam penilaian organoleptik diperlukan panelis untuk menilai bertindak sebagai instrumen atau alat. Panelis ini terdiri dari orang atau kelompok yang bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan secara subjektif.

Dalam penilaian organoleptik dikenal tujuh macam panel, yaitu panel perseorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak terlatih, panel konsumen


(44)

dan panel anak-anak. Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian dalam melakukan penilaian organoleptik.

1. Panel Perseorangan

Panel perseorangan adalah orang yang sangat ahli dengan kepekaan spesifik yang sangat tinggi yang diperoleh karena bakat atau latihan-latihan yang sangat intensif. Panel perseorangan sangat mengenal sifat, peranan dan cara pengolahan bahan yang akan dinilai dan menguasai metode-metode analisis organoleptik dengan sangat baik. Keuntungan menggunakan panelis ini adalah kepekaan tinggi, bias dapat dihindari, penilaian efisien dan tidak cepat fatik. Panel perseorangan biasanya digunakan untuk mendeteksi jangan yang tidak terlalu banyak dan mengenali penyebabnya. Keputusan sepenuhnya ada pada seorang. 2. Panel Terbatas

Panel terbatas terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi sehingga bias lebih di hindari. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-faktor dalam penilaian organoleptik dan mengetahui cara pengolahan dan pengaruh bahan baku terhadap hasil akhir. Keputusan diambil berdiskusi diantara anggota-anggotanya.

3. Panel Terlatih

Panel terlatih terdiri dari 15-25 orang yang mempunyai kepekaan cukup baik. Untuk menjadi terlatih perlu didahului dengan seleksi dan latihan-latihan. Panelis ini dapat menilai beberapa rangsangan sehingga tidak terlampau spesifik. Keputusan diambil setelah data dianalisis secara bersama.


(45)

28

4. Panel Agak Terlatih

Panel agak terlatih terdiri dari 15-25 orang yang sebelumya dilatih untuk mengetahui sifat-sifat tertentu. Panel agak terlatih dapat dipilih dari kalangan terbatas dengan menguji datanya terlebih dahulu. Sedangkan data yang sangat menyimpang boleh tidak digunakan dalam keputusannya

5. Panel Tidak Terlatih

Panel tidak terlatih terdiri dari 25 orang awam yang dapat dipilih berdasarkan jenis suku-suku bangsa, tingkat sosial dan pendidikan. Panel tidak terlatih hanya diperbolehkan menilai alat organoleptik yang sederhana seperti sifat kesukaan. Panel tidak terlatih biasanya dari orang dewasa dengan komposisi panelis pria sama dengan panelis wanita.

6. Panel Konsumen

Panel konsumen terdiri dari 30 hingga 100 orang yang tergantung pada target pemasaran komoditi. Panel ini mempunyai sifat yang sangat umum dan dapat ditentukan berdasarkan perorangan atau kelompok tertentu.

7. Panel Anak-anak

Panel yang khas adalah panel yang menggunakan anak-anak berusia 3-10 tahun. Biasanya anak-anak digunakan sebagai panelis dalam penilaian produk-produk pangan yang disukai anak-anak seperti permen, es krim dan sebagainya.

Cara penggunaan panelis anak-anak harus bertahap, yaitu dengan pemberitahuan atau dengan bermain bersama, kemudian dipanggil untuk diminta responnya terhadap produk yang dinilai dengan alat bantu gambar seperti boneka yang sedang sedih, biasa atau tertawa.


(46)

Keahlian seorang panelis biasanya diperoleh melalui pengalaman dan latihan yang lama. Dengan keahlian yang diperoleh itu merupakan bawaan sejak lahir, tetapi untuk mendapatkannya perlu latihan yang tekun dan terus-menerus.

2.7Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pikir yang digunakan sebagai acuan untuk menyusun sebuah tulisan yang bersifat ilmiah. Adapun kerangka pikir yang dibuat dalam pengerjaan penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 1. Kerangka Teori Konsumsi Beras Tinggi

Diversifikasi Pangan

Pembuatan Tepung dari Ubi Kayu

Diolah menjadi Beras

Analog Masyarakat


(47)

30

2.8Kerangka Konsep

Konsep adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat penelitian. Konsep tersebut akan dibuat dalam bentuk kerangka untuk mempermudah penyederhanaan pikiran dengan istilah untuk beberapa kejadian yang saling berkaitan.

Adapun kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut ini.

Gambar 2. Kerangka Konsep

Dalam kerangka konsep di atas dapat dilihat apakah beras analog dari tepung ubi kayu diterima atau tidak diterima oleh masyarakat.

Uji Organoleptik ke masyarakat Pembuatan

beras analog dari tepung ubi kayu


(48)

31

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui gambaran tingkat kesukaan ibu terhadap rasa, warna, aroma dan tekstur beras analog yang dibuat dari tepung ubi kayu.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian pembuatan beras analog dilakukan di Laboratorium Pertanian Universitas Katolik St. Thomas Medan dan penanakan beras analog dilakukan di rumah peneliti di Jalan Medan-Sidikalang No. 226, Desa Tanjung Beringin sedangkan pelaksanaan uji daya terima dilaksanakan di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Juli tahun 2014.

3.3. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah beras analog yang dibuat dari tepung ubi kayu. Panelis dalam penelitian ini adalah 30 orang ibu di Desa Tanjung Beringin.


(49)

32

3.4. Defenisi Operasional

1. Beras analog adalah bahan pangan yang dibentuk menyerupai beras dibuat dari tepung ubi kayu.

2. Uji daya terima adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan ibu dengan mempergunakan skala hedonik tiga titik sebagai acuan.

3. Uji daya terima terhadap warna adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan ibu terhadap warna yang tampak pada beras analog dari tepung ubi kayu.

4. Uji daya terima terhadap aroma adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan ibu terhadap aroma beras analog dari tepung ubi kayu.

5. Uji daya terima terhadap rasa adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan ibu terhadap rasa beras analog dari tepung ubi kayu.

6. Uji daya terima terhadap tekstur adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap konsistensi atau kekenyalan yang dihasilkan beras analog dari tepung ubi kayu. 7. Panelis adalah ibu yang diuji tingkat kesukaannya terhadap beras


(50)

3.5. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Pisau

b. Pengupas buah c. Mesin penggiling d. Ayakan halus e. Alat pencetak beras f. Panci pengukus g. Kompor

h. Piring dan sendok

Bahan yang digunakan adalah ubi kayu segar dari spesies Manihot esculenta yang sering disebut dengan ubi Malaysia dengan kualitas yang baik dan tidak busuk. Ciri ubi kayu jenis ini adalah batangnya bercabang tiga dan berwarna putih, tulang daun menjari lima, umbi pendek dengan diameter kurang lebih 10 cm dan berwarna putih. Ubi kayu yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari kebun warga desa Tanjung Beringin.

3.6. Tahapan Penelitian

3.6.1 Pembuatan tepung ubi kayu

Pembuatan tepung ubi kayu di dalam penelitian ini dari ubi kayu yang segar dan tidak busuk. Ubi kayu dikupas, dicuci kemudian dirajang dengan pengupas buah untuk menghasilkan irisan ubi kayu yang tipis. Hal ini sangat menguntungkan dalam mempercepat proses pengeringan. Irisan ubi kayu


(51)

34

kemudian dikeringkan dengan di bawah sinar matahari terik kurang lebih 16 jam. Setelah kering ubi kayu digiling sampai halus kemudian diayak untuk mendapatkan tepung ubi kayu yang halus dan tidak menggumpal. Proses penepungan lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut.

Prosedur Pembuatan Tepung Ubi Kayu

Gambar 3. Proses Pembuatan Tepung Ubi Kayu 3.6.2 Pembuatan beras analog

Proses pembuatan beras analog dari tepung ubi kayu ada sebanyak 3 kali percobaan. Pertama, tepung ubi kayu dicampur dengan air menjadi adonan seperti adonan dalam pembuatan roti kemudian adonan dibentuk menjadi butiran kecil menyerupai beras yang dijemur sampai kering. Beras analog yang dihasilkan memiliki warna putih kekuningan, sangat mirip dengan beras tetapi teksturnya rapuh dan hancur saat penanakan.

Kedua, prosesnya hampir sama dengan proses pembuatan beras seperti yang pertama, bedanya pada proses yang kedua sebelum tepung ubi kayu dicampur dengan air terlebih dahulu dikukus. Percobaan kedua ini menghasilkan

Ubi kayu

Dihaluskan

Dikupas Dicuci

Diayak

Dikeringkan Diiris


(52)

beras yang sama dengan percobaan pertama yaitu, tekstur beras rapuh dan hancur saat penanakan.

Proses yang ketiga, tepung ubi kayu dan air yang sudah dibuat dalam bentuk adonan dikukus terlebih dulu kemudian dibentuk menjadi butiran beras. Pengukusan ini bertujuan untuk meningkatkan kelengketan adonan sehingga beras yang dihasilkan teksturnya tidak rapuh. Pembuatan beras analog dalam penelitian ini dibuat dengan menggunakan mesin pembuat bulir beras. Adonan tepung berasal yang dimasukkan ke dalam alat pembuat beras ini akan menghasilkan beras analog. (Gambar dapat dilihat di lampiran).

Gambar 4. Proses Pembuatan Beras Analog

3.6.3 Penanakan beras analog

Beras analog yang sudah jadi ditanak dengan menggunakan panci pengukus. Beras yang akan dikukus direndam terlebih dahulu sekitar 2 menit.

Tepung ubi kayu

Adonan tepung dicampur air 500 gr tepung + 300 ml air

Adonan dibentuk seperti beras

Beras analog dijemur

Beras analog Adonan

dikukus selama 5 menit


(53)

36

Beras analog yang dikukus harus diaduk agar nasi yang dihasilkan matang dan merata, pada bagian-bagian beras yang masih keras dapat sambil dipercikkan dengan air sampai menghasilkan nasi yang matang merata. Nasi yang dihasilkan dari beras analog tepung ubi kayu ini berwarna kuning kecoklatan dan memiliki tekstur kenyal dan lengket.

3.6.4 Uji daya terima

Penilaian secara subjektif dilakukan dengan uji organoleptik.Uji organoleptik adalah penilaian yang menggunakan indera. Jenis uji organoleptik yang digunakan adalah uji penerimaan untuk menyatakan suka/tidaknya terhadap suatu produk. Uji penerimaan dapat menggunakan panelis yang belum berpengalaman, tidak ada sampel baku atau sampel pembanding, dan dilarang mengingat sampel baku atau sampel pembanding.

Pada uji ini panelis mengemukakan tanggapan secara subjektif suka atau tidak suka dan juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat kesukaan disebut juga skala hedonic. Skala hedonic diubah ke dalam skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan agar dapat dilakukan analisa statistik.

Uji hedonik mempergunakan skala hedonik sembilan titik sebagai acuan, namun mempermudah panelis dan peneliti skala ini diperkecil menjadi 3 tingkatan dengan skor yang paling rendah adalah 1 dan skor yang paling tinggi adalah 3. Berdasarkan tingkatannya, tingkat penerimaan konsumen dapat diketahui sesuai dengan tabel berikut.


(54)

Tabel 3.1 Tingkat Penerimaan Panelis pada Uji Hedonik

Organoleptik Skala Hedonik Skala Numerik

Warna Suka 3

Kurang Suka 2

Tidak Suka 1

Aroma Suka 3

Kurang Suka 2

Tidak Suka 1

Rasa Suka 3

Kurang Suka 2

Tidak Suka 1

Tekstur Suka 3

Kurang Suka 2

Tidak Suka 1

1. Panelis

Jenis panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih yang dipilih dari ibu-ibu di Desa Tanjung Beringin sebanyak 30 orang. Umur panelis berkisar antara 25-50 tahun. Syarat-syarat menjadi panelis adalah :

a. Sehat lahir dan batin b. Tidak sakit

c. Tidak lelah d. Tidak perokok e. Bisa bekerja sama

f. Tidak mengkonsumsi sirih 2. Pelaksanaan Penilaian

a. Waktu dan tempat

Penilaian uji daya terima terhadap beras analog dari tepung ubi kayu dilaksanakan di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi.


(55)

38

b. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah beras analog dari tepung ubi kayu yang sudah ditanak sedangkan alat yang digunakan adalah formulir penilaian, alat tulis dan air minum dalam kemasan.

3. Langkah-langkah Pada Uji Daya Terima

a. Mengunjungi ibu yang menjadi panelis ke rumahnya.

b. Membagikan beras analog dari tepung ubi kayu yang sudah ditanak, air minum dalam kemasan, formulir penilaian dan alat tulis.

c. Memberikan penjelasan singkat kepada panelis tentang cara memulai dan cara pengisian formulir.

d. Memberikan kesempatan kepada panelis untuk memulai dan menuliskan penilaian pada lembar fomulir penilaian.

e. Meminta formulir yang telah diisi oleh panelis.

f. Setelah formulir penilaian dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan analisa deskriptif.

3.7 Pengolahan Data

Data yang sudah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif persentase. Analisis ini dilakukan untuk melihat reaksi panelis terhadap beras analog yang diujikan. Untuk mengetahui tingkat kesukaan dari panelis dilakukan analisis deskriptif kualitatif persentase yaitu kualitatif yang diperoleh dari panelis harus dianalisis dahulu untuk dijadikan data kuantitatif. Skor nilai untuk mendapatkan persentase dirumuskan sebagai berikut.


(56)

% = n/N x 100 Keterangan:

% = skor persentase

n = jumlah skor yang diperoleh

N = skor ideal (skor tertinggi x jumlah panelis)

Data skor persentase diubah menjadi nilai kesukaaan panelis dengan analisis kualitatif, yaitu sebagai berikut.

Nilai tertinggi = 3 (suka) Nilai terendah = 1 (tidak suka) Jenis kriteria yang ditentukan = 3 kriteria

Jumlah panelis = 30 orang

a. Skor maksimum = jumlah panelis x nilai tertinggi = 30 x 3 = 90

b. Skor minimum = jumlah panelis x nilai terendah = 30 x 1 = 30

c. Persentase maksimum = skor maksimum/skor maksimum x 100% = 90/90 x 100% = 100%

d. Persentase minimum = skor minimum/skor maksimum x 100% = 30/90 x 100% = 33,3%

e. Rentangan = skor tertinggi – skor terendah

= 100% - 33,3% = 66,7% f. Interval persentase = rentangan : jumlah kriteria


(57)

40

Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka dapat dibuat interval persentase dan kriteria kesukaan sebagai berikut.

Tabel 3.2 Interval Persentase dan Kriteria Kesukaan

Persentase (%) Kriteria Kesukaan

78 – 100 Suka

56 – 77,99 Kurang suka


(58)

41

HASIL PENELITIAN

4.1Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Geografi

Desa Tanjung Beringin adalah salah satu desa di Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah 468 ha terdiri dari 83 ha luas wilayah permukiman, 375 ha luas lahan pertanian, dan 10 ha lahan kosong. Desa Tanjung Beringin memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Dolok Tolong

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Pegagan Julu IV Tumpak Debata c. Sebelah barat berbatasan dengan Pegagan Juku II Invaliden

d. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Tanjung Beringin I

Hasil pertanian dari desa ini adalah kopi dan sayur-sayuran. Lahan pertanian di desa ini banyak ditanami ubi kayu, biasanya di perbatasan ladang untuk diambil daunnya untuk dijadikan sayur dan umbinya dikonsumsi sebagai cemilan dan selebihnya digunakan untuk pakan ternak. Masyarakat desa Tanjung Beringin mengonsumsi ubi kayu satu sampai tiga kali dalam seminggu. Ubi kayu biasanya hanya direbus atau digoreng saja namun terkadang diolah menjadi kolak, keripik dan lappet ubi. Ubi kayu dikonsumsi hanya sebagai makanan selingan karena masyarakat tetap makan nasi setelah mengkonsumsi ubi kayu.

Seluruh penduduk desa mengonsumsi beras sebagai pangan pokok sehari-hari. Sementara itu, wilayah desa ini tidak berpotensi untuk dijadikan areal


(59)

42

persawahan. Sehingga beras yang menjadi pangan pokok harus dipasok dari luar desa ini. Penduduk desa ini juga tidak menjadikan ubi kayu sebagai pangan pokok walaupun desa ini mampu menghasilkan ubi kayu.

4.1.2 Demografi

Jumlah penduduk di desa tersebut sebanyak 3074 orang terdiri dari 50,68% perempuan, 49,32% laki-laki dan jumlah keluarga sebanyak 703 kepala keluarga. Sebagian besar penduduk Desa Tanjung Beringin bekerja sebagai petani (75%) sisanya bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan wiraswasta (RPJM desa 2014)

Kebiasaan masyarakat desa tersebut dalam mengonsumsi nasi sebagai pangan pokok belum pernah berubah. Sekalipun banyak pangan pokok lain seperti ubi kayu yang dapat dikonsumsi masyarakat desa ini masih merasa belum makan jika belum mengonsumsi nasi..

4.2Deskripsi Beras Analog yang Dihasilkan

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa beras analog dari tepung ubi kayu memiliki warna kuning kecokelatan, tekstur keras, ukuran panjang 0,4 cm dan beraroma khas ubi kayu. Proses pematangan dilakukan dengan cara dikukus. Sebelum dikukus beras direndam terlebih dahulu selama 2 menit. Kemudian beras analog dikukus selama 15 menit setelah dikukus nasi tetap berwarna kuning kecokelatan, beraroma khas singkong, rasanya khas singkong dan agak hambar yang makin lama terasa semakin manis, dan teksturnya kenyal


(60)

dan lengket. Tekstur yang lengket disebabkan pembengkakan granula pati akibat penyerapan air pada proses pengukusan adonan.

4.3Hasil Uji Organoleptik Rasa Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu

Hasil uji organoleptik rasa nasi dari beras analog dengan skala hedonik dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1 Hasil Uji Organoleptik Rasa Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu

Kriteria Skor Panelis Nilai %

Suka 3 3 9 10

Kurang suka 2 7 14 23,333

Tidak suka 1 20 20 66,667

Total 30 43 100

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, diperoleh hasil uji organoleptik rasa beras analog dari tepung ubi kayu yaitu, suka sebanyak 3 orang (10%), kurang suka sebanyak 7 orang (23,333%) dan tidak suka sebanyak 20 orang (66,667%). Persentase nilai hasil uji organoleptik rasa beras analog dari tepung ubi kayu adalah 43/90 x 100% = 47,778. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan tabel 3.2 berada di interval 34 – 55,99 sehingga hasil uji organoleptik rasa beras analog dari tepung ubi kayu masuk ke dalam kategori tidak suka.

4.4Hasil Uji Organoleptik Aroma Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu Hasil uji organoleptik aroma nasi dari beras analog dengan skala hedonik dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini.


(61)

44

Tabel 4.2 Hasil Uji Organoleptik Aroma Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu

Kriteria Skor Panelis Nilai %

Suka 3 13 39 43,333

Kurang suka 2 16 32 53,333

Tidak suka 1 1 1 3,334

Total 30 72 100

Berdasarkan tabel 4.2 di atas, dari 30 orang panelis diperoleh nilai 72 sehingga persentase nilai hasil uji organoleptik adalah 72/90 x 100% = 80. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan tabel 3.2 berada di interval 78 - 100 sehingga hasil uji organoleptik aroma beras analog dari tepung ubi kayu masuk ke dalam kategori suka.

4.5Hasil Uji Organoleptik Warna Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu Hasil uji organoleptik warna nasi dari beras analog dengan skala hedonik dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini.

Tabel 4.3 Hasil Uji Organoleptik Warna Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu

Kriteria Skor Panelis Nilai %

Suka 3 5 15 16,667

Kurang suka 2 17 34 56,667

Tidak suka 1 8 8 26,666

Total 30 57 100

Berdasarkan tabel 4.3 di atas, diperoleh hasil uji organoleptik warna beras analog dari tepung ubi kayu yaitu, suka sebanyak 5 orang (16,667%), kurang suka sebanyak 17 orang (56,667%) dan tidak suka sebanyak 8 orang (26,666%). Persentase nilai hasil uji organoleptik warna beras analog dari tepung ubi kayu adalah 57/90 x 100% = 63,333. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan


(62)

tabel 3.2 berada di interval 56 – 77,99 sehingga hasil uji organoleptik warna beras analog dari tepung ubi kayu masuk ke dalam kategori kurangsuka.

4.6Hasil Uji Organoleptik Tekstur Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu Hasil uji organoleptik tekstur nasi dari beras analog dengan skala hedonik dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini.

Tabel 4.4 Hasil Uji Organoleptik Tekstur Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu

Kriteria Skor Panelis Nilai %

Suka 3 12 36 40

Kurang suka 2 17 34 56,667

Tidak suka 1 1 1 3,333

Total 30 71 100

Berdasarkan tabel 4.4 di atas, diperoleh total nilai sebanyak 71 dari hasil uji organoleptik tekstur beras analog dari tepung ubi kayu. Persentase nilainya adalah 71/90 x 100% = 78,889. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan tabel 3.2 berada di interval 78 - 100 sehingga hasil uji organoleptik tekstur beras analog dari tepung ubi kayu masuk ke dalam kategori suka.

4.7Kandungan Zat Gizi Beras Analog dari Tepung Ubi Kayu

Beras analog yang dihasilkan memiliki komposisi tepung ubi kayu dan air. Zat gizi yang dikandung beras analog ini tidak jauh berbeda dengan zat gizi yang dikandung tepung ubi kayu kecuali ada zat gizi yang hilang dan berkurang saat proses pembuatan beras analog.

Dalam 100 gram beras analog dari tepung ubi kayu diperkirakan mengandung 125 mg fosfor, vitamin B 0,04, zat besi 1 mg, kalsium 84 mg,


(63)

46

karbohidrat 88,2 gram, lemak 0,5 gram, dan protein 1,1 serta menghasilkan energi 363 kal. Selama proses pembuatan dilakukan tidak mengubah zat gizinya. Proses yang dilakukan dalam pembuatan beras analog adalah pencampuran tepung dengan air, pengukusan tepung, pembentukan beras, pengeringan beras dan pengukusan beras.

Pencampuran tepung ubi kayu dan air tidak menghilangkan zat gizi yang terdapat dalam tepung ubi kayu. Proses pengukusan akan mempertahankan zat gizi hingga 82% yang terdapat dalam tepung ubi kayu (Chamdani, 2012). Pengukusan akan memecah karbohidrat menjadi lebih mudah dicerna. Pembentukan beras yang dilakukan dengan menggunakan mesin tidak mempengaruhi zat gizi yang ada di dalam tepung karena mesin tidak menghasilkan panas pada adonan.

Proses pengeringan beras analog untuk mengurangi kadar air dan memperpanjang waktu simpan sehingga pada proses ini tidak mempengaruhi kandungan zat gizinya. Proses pengukusan untuk penanakan beras analog memecah karbohidrat supaya lebih mudah dicerna tanpa menghilangkan zat gizinya.


(1)

ANGKA KECUKUPAN GIZI (AKG) 2013

(10 Kolom) BB

(kg)

TB (cm)

Energi (kkal)

Protein (g)

Lemak (g)

Omega-6 (g)

Omega-3 (g)

Karbohidrat (g)

Serat (g)

Air (mL)

Bayi 0 – 6 bulan 6 61 550 12 34 4,4 0,5 58 0 -

Bayi 7 – 11 bulan 9 71 725 18 36 4,4 0,5 82 10 800

Anak 1-3 tahun 13 91 1125 26 44 7,0 0,7 155 16 1200

Anak 4-6 tahun 19 112 1600 35 62 10,0 0,9 220 22 1500

Anak 7-9 tahun 27 130 1850 49 72 10,0 0,9 254 26 1900

Laki-laki 10-12 tahun 34 142 2100 56 70 12,0 1,2 289 30 1800

Laki-laki 13-15 tahun 46 158 2475 72 83 16,0 1,6 340 35 2000

Laki-laki 16-18 tahun 56 165 2675 66 89 16,0 1,6 368 37 2200

Laki-laki 19-29 tahun 60 168 2725 62 91 17,0 1,6 375 38 2500

Laki-laki 30-49 tahun 62 168 2625 65 73 17,0 1,6 394 38 2600

Laki-laki 50-64 tahun 62 168 2325 65 65 14,0 1,6 349 33 2600

Laki-laki 65-80 tahun 60 168 1900 62 53 14,0 1,6 309 27 1900

Laki-laki >80 tahun 58 168 1525 60 42 14,0 1,6 248 22 1600

Perempuan 10-12 tahun 36 145 2000 60 67 10,0 1,0 275 28 1800

Perempuan 13-15 tahun 46 155 2125 69 71 11,0 1,1 292 30 2000

Perempuan 16-18 tahun 50 158 2125 59 71 11,0 1,1 292 30 2100

Perempuan 19-29 tahun 54 159 2250 56 75 12,0 1,1 309 32 2300

Perempuan 30-49 tahun 55 159 2150 57 60 12,0 1,1 323 30 2300

Perempuan 50-64 tahun 55 159 1900 57 53 11,0 1,1 285 28 2300

Perempuan 65-80 tahun 54 159 1550 56 43 11,0 1,1 252 22 1600

Perempuan >80 tahun 53 159 1425 55 40 11,0 1,1 232 20 1500

Tambahan Bumil Timester 1 +180 +20 +6 +2,0 +0,3 +25 +3 +300

Tambahan Bumil Trimester 2 +300 +20 +10 +2,0 +0,3 +40 +4 +300

Tambahan Bumil Trimester 3 +300 +20 +10 +2,0 +0,3 +40 +4 +300

Tambahan Busui 6 bln pertama +330 +20 +11 +2,0 +0,2 +45 +5 +800


(2)

(14 kolom) Vit A (mcg) Vit D (mcg) Vit E (mg) Vit K (mcg) Vit B1 (mg) Vit B2 (mg) Vit B3 (mg) Vit B5 (mg) Vit B6 (mg) Vit B9 (mcg) Vit B12 (mcg) Biotin (mcg) Kolin (mg) Vit C (mg)

Bayi 0 – 6 bulan 375 5 4 5 0,3 0,3 2 1,7 0,1 65 0,4 5 125 40

Bayi 7 – 11 bulan 400 5 5 10 0,4 0,4 4 1,8 0,3 80 0,5 6 150 50

Anak 1-3 tahun 400 15 6 15 0,6 0,7 6 2,0 0,5 160 0,9 8 200 40

Anak 4-6 tahun 450 15 7 20 0,8 1,0 9 2,0 0,6 200 1,2 12 250 45

Anak 7-9 tahun 500 15 7 25 0,9 1,1 10 3,0 1,0 300 1,2 12 375 45

Laki-laki 10-12 tahun 600 15 11 35 1,1 1,3 12 4,0 1,3 400 1,8 20 375 50

Laki-laki 13-15 tahun 600 15 12 55 1,2 1,5 14 5,0 1,3 400 2,4 25 550 75

Laki-laki 16-18 tahun 600 15 15 55 1,3 1,6 15 5,0 1,3 400 2,4 30 550 90

Laki-laki 19-29 tahun 600 15 15 65 1,4 1,6 15 5,0 1,3 400 2,4 30 550 90

Laki-laki 30-49 tahun 600 15 15 65 1,3 1,6 14 5,0 1,3 400 2,4 30 550 90

Laki-laki 50-64 tahun 600 15 15 65 1,2 1,4 13 5,0 1,7 400 2,4 30 550 90

Laki-laki 65-80 tahun 600 20 15 65 1,0 1,1 10 5,0 1,7 400 2,4 30 550 90

Laki-laki >80 tahun 600 20 15 65 0.8 0,9 8 5,0 1,7 400 2,4 30 550 90

Perempuan 10-12 tahun 600 15 11 35 1,0 1,2 11 4,0 1,2 400 1,8 20 375 50

Perempuan 13-15 tahun 600 15 15 55 1,1 1,3 12 5,0 1,2 400 2,4 25 400 65

Perempuan 16-18 tahun 600 15 15 55 1,1 1,3 12 5,0 1,2 400 2,4 30 425 75

Perempuan 19-29 tahun 500 15 15 55 1,1 1,4 12 5,0 1,3 400 2,4 30 425 75

Perempuan 30-49 tahun 500 15 15 55 1,1 1,3 12 5,0 1,3 400 2,4 30 425 75

Perempuan 50-64 tahun 500 15 15 55 1.0 1,1 10 5,0 1,5 400 2,4 30 425 75

Perempuan 65-80 tahun 500 20 15 55 0,8 0,9 9 5,0 1,5 400 2,4 30 425 75

Perempuan >80 tahun 500 20 15 55 0,7 0,9 8 5,0 1,5 400 2,4 30 425 75

Tambahan Bumil Timester 1 +300 +0 +0 +0 +0,3 +0,3 +4 +1,0 +0,4 +200 +0,2 +0 +25 +10

Tambahan Bumil Trimester 2 +300 +0 +0 +0 +0,3 +0,3 +4 +1,0 +0,4 +200 +0,2 +0 +25 +10

Tambahan Bumil Trimester 3 +350 +0 +0 +0 +0,3 +0,3 +4 +1,0 +0,4 +200 +0,2 +0 +25 +10

Tambahan Busui 6 bln pertama

+350 +0 +4 +0 +0,3 +0,4 +3 +2,0 +0,5 +100 +0,4 +5 +75 +25


(3)

(13 kolom) Besi (mg) Fluor (mg) Fosfor (mg) Iodium (mcg) Kalium (mg) Kalsium (mg) Kromium (mcg) Magnesium (mg) Mangan (mg) Natrium (mg) Selenium (mcg) Seng (mg) Tembaga (mcg) Bayi 0 – 6

bulan

- - 100 90 500 200 - 30 - 120 5 - 200

Bayi 7 – 11 bulan

7 0.4 250 120 700 250 6 55 0,6 200 10 3 220

Anak 1-3 tahun 8 0.6 500 120 3000 650 11 60 1,2 1000 17 4 340

Anak 4-6 tahun 9 0.9 500 120 3800 1000 15 95 1,5 1200 20 5 440

Anak 7-9 tahun 10 1.2 500 120 4500 1000 20 120 1,7 1200 20 11 570

Laki-laki 10-12 tahun

13 1.7 1200 120 4500 1200 25 150 1,9 1500 20 14 700

Laki-laki 13-15 tahun

19 2.4 1200 150 4700 1200 30 200 2,2 1500 30 18 800

Laki-laki 16-18 tahun

15 2.7 1200 150 4700 1200 35 250 2,3 1500 30 17 890

Laki-laki 19-29 tahun

13 3.0 700 150 4700 1100 35 350 2,3 1500 30 13 900

Laki-laki 30-49 tahun

13 3.1 700 150 4700 1000 35 350 2,3 1500 30 13 900

Laki-laki 50-64 tahun

13 3.1 700 150 4700 1000 30 350 2,3 1300 30 13 900

Laki-laki 65-80 tahun

13 3.1 700 150 4700 1000 30 350 2,3 1200 30 13 900

Laki-laki >80 tahun 13 3.1 700 150 4700 1000 30 350 2,3 1200 30 13 900

Perempuan 10-12

tahun

20 1.9 1200 120 4500 1200 21 155 1,6 1500 20 13 700

Perempuan 13-15

tahun

26 2.4 1200 150 4500 1200 22 200 1,6 1500 30 16 800

Perempuan 16-18

tahun

26 2.5 1200 150 4700 1200 24 220 1,6 1500 30 14 890

Perempuan 19-29

tahun

26 2.5 700 150 4700 1100 25 310 1,8 1500 30 10 900

Perempuan 30-49

tahun

26 2.7 700 150 4700 1000 25 320 1,8 1500 30 10 900

Perempuan 50-64

tahun

12 2.7 700 150 4700 1000 20 320 1,8 1300 30 10 900

Perempuan 65-80

tahun

12 2.7 700 150 4700 1000 20 320 1,8 1200 30 10 900

Perempuan >80 tahun 12 2.7 700 150 4700 1000 20 320 1,8 1200 30 10 900

Tambahan Bumil Timester 1 +0 +0 +0 +70 +0 +200 +5 +40 +0,2 +0 +5 +2 +100

Tambahan Bumil Trimester 2

+9 +0 +0 +70 +0 +200 +5 +40 +0,2 +0 +5 +4 +100

Tambahan Bumil Trimester 3

+13 +0 +0 +70 +0 +200 +5 +40 +0,2 +0 +5 +10 +100

Tambahan Busui 6 bln pertama

+6 +0 +0 +100 +400 +200 +20 +0 +0,8 +0 +10 +5 +400

Tambahan Busui 6 bln kedua


(4)

(5)

(6)