menggambarkan satu peristiwa, dan menarik. Cerpen yang bagus yaitu cerpen yang dapat menarik pembaca ke dalam cerita serta membangkitkan gairah
pembaca dalam memahami cerita.
C. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan acuan serta masukan dalam penelitian ini antara lain penelitian yang
dilakukan oleh Novita Rihi Amalia dengan judul “Analisis Gaya Bahasa dan
Nilai-Nilai Pendidikan Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata”
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam kesimpulannya, gaya bahasa yang digunakan dalam novel Sang Pemimpi antara lain 1 perbandingan
meliputi, hiperbola, metonimia, personifikasi, perumpamaan, metafora, sinekdoke, alusio, simile, asosiasi, epitet, eponim, dan parsprototo; 2
perulangan meliputi, aliterasi, anafora, anadiplosis, simploke, epizeukis, mesodiplosis; 3 pertentangan meliputi, litotes, antitesis, oksimoron; 4
penegasan meliputi, repetisi dan epifora. Gaya bahasa yang paling dominan digunakan dalam novel Sang Pemimpi adalah personifikasi karena Andrea
Hirata ingin menyampaikan nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat bagi para pembaca dengan menghidupkan isi cerita di dalamnya. Alasan
penulis memilih penelitian Novita Rihi Amalia sebagai penelitian yang relevan karena sama-sama meneliti tentang gaya bahasa. Perbedaannya yaitu
penelitian Novita selain meneliti gaya bahasa juga meneliti nilai-nilai pendidikan pada novel, sedangkan penulis meneliti gaya bahasa serta
implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada cerpen.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Evi Selviawati dengan judul “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen Laluba Karya Nukila
Amal yang Mengacu pada Karya Grafis M. C. Escher: Analisa Stiliska ”
Universitas Indonesia. Dalam kesimpulannya, gaya bahasa yang digunakan dalam kumpulan cerpen Laluba bab Para Penatap dan Para Pencerita yang
mengacu pada karya grafis M. C. Escher memberikan penjelasan mengenai bagaimana Nukila Amal menarasikan karya grafis M. C. Escher ke dalam
cerpen-cerpennya dengan menggunakan gaya bahasa yang digunakannya. Alasan penulis memilih penelitian Evi ini karena sama-sama meneliti gaya
bahasa. Perbedaannya yaitu penelitian Evi hanya sebatas pada gaya bahasa, sedangkan penulis mencakup gaya bahasa serta implikasinya terhadap
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Vina Esti Suryani dengan
judul “Pemanfaatan Gaya Bahasa dan Nilai-Nilai Pendidikan pada Novel Rembulan Tenggelam di wajahmu Karya Tere Liye
” Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam kesimpulannya, gaya bahasa yang digunakan dalam
novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu karya Tere Liye didominasi oleh simile karena melalui gaya bahasa ini nilai-nilai pendidikan yang ingin
disampaikan akan mudah dipahami oleh pembaca. Adapun pemajasan lain yang terdapat dalam novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu adalah
metafora, hiperbola, personifikasi, metonimia, antitesis, ironi, sarkasme, sinisme, paralelisme, parsprototo, asindenton, polisidenton, apostrof, ellipsis,
pleonasme, perifrasis, anafora, hipalase, paradox, dan epizeukis; pemaknaan gaya bahasa dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Perbedaannya yaitu
penelitian Vina pada gaya bahasa dan nilai pendidikan, sedangkan penelitian penulis mencakup gaya bahasa serta implikasinya terhadap pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia.
D. Pembelajaran Sastra
Sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra dipandang sebagai sesuatu yang penting yang patut
menduduki tempat yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan
yang besar untuk memecahkan masalah-masalah yang nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat.
84
Sastra memang dianggap kurang begitu penting di jenjang pendidikan dan disisihkan oleh para guru terutama
bagi guru yang berpengetahuan apresiasi sastranya rendah.
84
B, Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra Pegangan Guru Pengajar Sastra Yogyakarta:
Kanisius, 1988, h. 15
Bagi masyarakat Indonesia sastra dianggap kurang berperan karena masyarakat Indonesia saat ini cenderung mengedepankan konsep yang pasti
atau eksak yang dianggap lebih penting untuk didapatkan. Pendidikan sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi
apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Kompetensi apresiasi yang diasah dalam pendidikan ini adalah kemampuan menikmati dan
menghargai karya sastra. Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya sastra oleh siswa. Kegiatan ini dapat juga
diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan berbagai teknik pembelajaran
. Dengan pendidikan semacam ini, peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra
secara langsung. Mereka berkenalan dengan sastra tidak melalui hafalan nama-nama judul karya sastranya atau sinopsisnya saja, tetapi langsung
berhadapan dengan karya sastranya.
85
Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu ketrampilan berbahasa,
meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.
86
Minat baca yang kurang di sekolah membuat karya sastra kurang begitu diminati oleh siswa. Hal demikian dapat
dilihat dalam pembelajaran Bahasa Indonesia yang sedikit sekali pembahasan tentang sastra. Akibatnya, tidak sedikit siswa yang mengerti dan paham
tentang sastra dan Bahasa dan Sastra Indonesia belum mampu menjadi mata pelajaran yang disenangi dan dirindukan oleh siswa. Gaya bahasa dan
kosakata mempunyai hubungan erat, hubungan timbal balik. Kian kaya kosakata seseorang, kian beragam pulalah gaya bahasa yang dipakainya.
Peningkatan pemakaian gaya bahasa jelas turut memperkaya kosakata pemakainya. Itulah sebabnya maka dalam pengajaran bahasa, pengajaran
gaya bahasa merupakan suatu teknik penting untuk mengembangkan kosakata
85
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra Jakarta: Grasindo, 2008, h. 168
86
Rahmanto, op. cit., h. 16
para siswa.
87
Pembelajaran sastra di sekolah harus dilakukan dengan metode yang tepat mengacu pada kemampuan afektif siswa sehingga menjadi
apresiatif dan kreatif.
87
Henry Guntur Tarigan, op.cit., h. 5