Nugroho adalah satu-satunya menteri yang mengeluarkan Surat Keputusan tentang Tata Laksana Upacara Resmi dan Tata Busana Perguruan Tinggi. Akan
tetapi, sebelum SK ini terlaksana Nugroho telah dipanggil Tuhan Yang Maha Esa. Puncak pengakuan atas sumbangan Nugroho terhadap bangsa Indonesia adalah
diberikannya Bintang Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Yudha, Dharma Naraya, dan Satyalencana Penegak.
3
Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh FSUI tahun 1963, Nugroho membawakan makalahnya yang berjudul Soal Periodesasi dalam Sastra
Indonesia. Dia mengemukakan bahwa sesudah tahun 1950 ada periode kesusastraan baru yang tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam periodisasi sebelumnya. Menurut
Nugroho, pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 1950-an adalah mereka yang mempunyai tradisi Indonesia sebagai titik tolaknya, dan juga mempunyai
pandangan yang luas ke seluruh dunia. Selain sebagai seorang sastrawan, nugroho juga seorang sejarawan. Namun
sayangnya, berbagai kontroversi yang mengiringi perjalanannya sebagai seorang sejarawan. Salah satu hal yang paling disorot adalah ketika Nugroho dimanfaatkan
oleh ABRI maupun Orde Baru untuk menulis sejarah menurut versi pihak-pihak tersebut. Pada 1964 ABRI menggunakan Nugroho untuk menyusun sejarah militer
menurut versi militer karena khawatir bahwa sejarah yang akan disusun oleh pihak Front Nasional yang dikenal sebagai kelompok kiri pada masa itu akan menulis
Peristiwa Madiun secara berbeda, sementara militer lebih suka melukiskannya sebagai suatu pemberontakan pihak komunis melawan pemerintah.Ketika diangkat
sebagai menteri pendidikan pada 1984, Nugroho menggunakan kesempatan itu untuk menulis ulang kurikulum sejarah untuk lebih menekankan peranan historis militer.
3
Artikel diakses pada 26 Februari 2014 dari http:badanbahasa.kemdikbud.go.idlamanbahasatokoh286Nugroho20Notosusanto
Pada tahun ini pula Nugroho ikut menulis skenario untuk film Pengkhianatan G 30 SPKI yang memuat versi resmi Orde Baru tentang tragedi tersebut. Film ini
kemudian dijadikan tontonan wajib untuk murid-murid sekolah di seluruh Indonesia, dan belakangan diputar sebagai acara rutin setiap tahun di TVRI pada malam tanggal
30 September hingga tahun 1997. Peranan Nugroho dalam penulisan sejarah versi Orde Baru paling menonjol
adalah ketika dia mengajukan versinya sendiri mengenai pencetus Pancasila. Menurut Nugroho, Pancasila dicetuskan oleh Mr. Muhammad Yamin, bukan oleh Soekarno.
Soekarno hanyalah penerus. Akibatnya, tanggal 1 Juni tidak lagi diperingati sebagai hari lahir Pancasila oleh pemerintah Orde Baru.
4
B. Karya Nugroho Notosusanto
1 Cerpen
Sebagai penulis cerita pendek ia menonjol dengan kisah-kisah yang berlatarbelakangkan revolusi seperti yang dialami oleh para pelajar yang
terjun membela tanah airnya dari penjajahan kembali Belanda. Cerita- ceritanya memperlihatkan ketangkasan dan kecermatan, dengan latar belakang
kemanusiaan yang lebih luas, sehingga membuat penulisnya menjadi salah seorang pengarang cerita pendek penting pada masa itu.
5
Bakat Nugroho dalam mengarang sudah terlihat ketika ia masih kecil. Ia mempunyai kesenangan mengarang cerita bersama Budi Darma. Cerita
Nugroho selalu bertema perjuangan. Pada waktu itu Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda. Dari cerita yang ditulis Nugroho
4
Artikel Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh diakses pada 26 Februari 2014 dari
http:profil.merdeka.comindonesiannugroho-notosusanto
5
Ajip rosidi, “Nugroho Notosusanto dan Sastera Indonesia” , Majalah Basis, Jakarta, 12 Desember
1993, h. 465
waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya. Menurut ayahnya, Nugroho mempunyai jiwa nasionalisme yang besar.
Sebagai sastrawan, pada mulanya Nugroho menulis sajak dan sebagian besar karyanya itu dimuat di harian Kompas. Karena tidak pernah mendapat
kepuasan dalam menulis sajak, Nugroho kemudian mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen, dan esai. Karyanya pernah dimuat
di berbagai majalah dan surat kabar seperti Gelora, Kompas, Mahasiswa, Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional, Budaya, dan Kisah. Karena Nugroho
cukup lama bertugas dalam militer, ia dapat membeberkan peristiwa militer, perang, dan suka duka kehidupan, seperti dalam cerpennya yang berjudul
Jembatan, Piyama, Doa Selamat Tinggal, Latah, Karanggeneng, Nini, dan Mbah Dukun.
Kumpulan cerpen Hujan Kepagian berisi enam cerita pendek yang semuanya menceritakan masa perjuangan menghadapi agresi Belanda. Buku
itu memberi gambaran berbagai segi pengalaman manusia yang terjadi dalam peperangan.
Bukunya yang berjudul Tiga Kota berisi sembilan cerita pendek yang ditulis tahun 1953-1954. Judul Tiga Kota diambil karena latar cerita terjadi di
tiga kota, yaitu Rembang, Yogyakarta, dan Jakarta, kota yang paling banyak memberinya inspirasi untuk lahirnya cerita. Menilik nada dan suasananya,
walaupun kumpulan ini terbit tahun 1959, sedangkan Hujan Kepagian terbit tahun 1958, tetapi kedua kumpulan ini tampaknya ditulis dalam waktu yang
sangat berdekatan. Sehingga nada dasar kedua kumpulan ini juga hampir bersamaan. Hanya saja, Tiga Kota lebih banyak mereflesikan latar tempat,
sebagaimana yang disarankan oleh judul tiap-tiap bagian. Karena pengarang
memahami benar-benar persoalan setting,ceritanya dapat mereflesikan setting tempat dan waktu secara sinkronis
6
. Kumpulan cerita pendek Hijau Tanahku Hijau Bajuku diterbitkan oleh
Balai Pustaka dalam rangka “Seri sastra Modern di 16 halaman, terbit tahun 1963 dengan dua cerita pendek, Panser dan Kepindahan. Keduanya tampak
tidak beda dengan cerpen-cerpen dalam Hujan Kepagian, yaitu menampilkan suasana medan tempur dengan tentara yang masih muda belia. Kisah panser
melukiskan pengalaman seorang prajurit yang bertugas di garis depan dan ternyata istri yang ditinggalkannya di kota, sakit kemudian meninggal dunia.
Sedangkan cerpen Kepindahan menceritakan kepindahan letnan Sukanda dari daerah pedalaman, yang mana letnan itu ternyata dicintai istri bupati. Letnan
Sukanda merasa kepindahannya itu merupakan jalan terbaik baginya untuk memutuskan hubungan batin itu. Ternyata dalam perjalanannya yang sendiri,
Letnan Sukanda dihadang musuh, dan ia tewas.
7
Rasa Sayange merupakan kumpulan cerita pendek yang terbit tahun 1961. Di dalamnya terhimpun sepuluh cerpen, Ular, Jembatan, Nini, Piyama,
Doa Selamat tinggal, Latah, Raden Satiman, Karanggeneng, Persalinan, dan Sungai.
Rembang melatari cerita kenangan Mbah Danu, Penganten, dan Tayuban. Yogyakarta dan Jakarta melatari cerita Jeep 04-1001 Hilang dan
Vickers Jepang. Dalam cerpen tersebut penulis mengalami peristiwa yang
dituturkannya. Sehingga cerpen tersebut kelihatan hidup. 2
Karya Terjemahan
Nugroho dikenal sebagai penulis produktif. Di samping sebagai sastrawan dan pengarang, ia juga aktif menulis buku ilmiah dan makalah
dalam berbagai bidang ilmu. Buku terjemahannya yang diterbitkan berjumlah
6
Korrie Layun Rampan, “Nugroho Notosusanto sebagai Sastrawan, Cerpen-Cerpennya Menanamkan Jiwa Nasionalisme”, Harian Suara Karya, 18 November 1983, h. 4
7
Ibid
dua puluh satu judul. Buku itu sebagian besar merupakan lintasan sejarah dan kisah perjuangan militer. Karena wawasannya yang mendalam mengenai
sejarah perjuangan ABRI, dia mampu mengedit film yang berjudul Pengkhianatan G.30SPKI.
Nugroho menghasilkan karya terjemahan, yaitu Kisah Perang Salib di Eropa 1968 dari Dwight D. Eisenhower, Crusade in Europe, Understanding
Histotry: A Primer of Historical Method, dan terjemahan tentang bahasa dan sejarah, yaitu Kisah daripada Bahasa 1971 Mario Pei, The Story of
Language dan Mengerti Sejarah.
3 Esai dan Kritik
Nugroho digolongkan sebagai sastrawan Angkatan 66, sedangkan oleh Ajip Rosidi digolongkan sebagai sastrawan angkatan baru periode 50-an. Di
antara pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Sebagian besar pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, tetapi Nugroho
banyak menulis esai, terutama tentang sastra dan kebudayaan. Tulisannya antara lain berisi pembelaan para sastrawan muda. Ketika terdengar suara
tentang krisis kesusastraan, Nugroho Notosusanto tertarik dalam dunia sastra Indonesia. Nugroho memprakarsai simposium sastra FSUI pada tahun 1953,
yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958. Nugroho banyak menulis esai dan kritik di antaranya dimuat dalam
majalah Kompas, GelanggangSiasat, ruangan “Persada”Kisah atau lainnya.
Esai-esainya memperlihatkan wawasan yang segar dan luas jangkauannya, kelihatan tegar di tengah-tengah para sastrawan lain sebayanya yang
kebanyakan hanya produktif mencipta sajak dan cerita pendek saja. Karangan yang berjudul Situasi 1954 yang termuat dalam kompas berturut-turut empat
nomor itu, dimulai dengan membahas polemik dalam harian Nieuwsieger yang berbahasa Belanda sekitar pertengahan 1954, di antara Tjalie
Robinson, Sutan Muhammad Sjah, Sitor Situmorang, Samuel Intama, Mas