dua puluh satu judul. Buku itu sebagian besar merupakan lintasan sejarah dan kisah perjuangan militer. Karena wawasannya yang mendalam mengenai
sejarah perjuangan ABRI, dia mampu mengedit film yang berjudul Pengkhianatan G.30SPKI.
Nugroho menghasilkan karya terjemahan, yaitu Kisah Perang Salib di Eropa 1968 dari Dwight D. Eisenhower, Crusade in Europe, Understanding
Histotry: A Primer of Historical Method, dan terjemahan tentang bahasa dan sejarah, yaitu Kisah daripada Bahasa 1971 Mario Pei, The Story of
Language dan Mengerti Sejarah.
3 Esai dan Kritik
Nugroho digolongkan sebagai sastrawan Angkatan 66, sedangkan oleh Ajip Rosidi digolongkan sebagai sastrawan angkatan baru periode 50-an. Di
antara pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Sebagian besar pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, tetapi Nugroho
banyak menulis esai, terutama tentang sastra dan kebudayaan. Tulisannya antara lain berisi pembelaan para sastrawan muda. Ketika terdengar suara
tentang krisis kesusastraan, Nugroho Notosusanto tertarik dalam dunia sastra Indonesia. Nugroho memprakarsai simposium sastra FSUI pada tahun 1953,
yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958. Nugroho banyak menulis esai dan kritik di antaranya dimuat dalam
majalah Kompas, GelanggangSiasat, ruangan “Persada”Kisah atau lainnya.
Esai-esainya memperlihatkan wawasan yang segar dan luas jangkauannya, kelihatan tegar di tengah-tengah para sastrawan lain sebayanya yang
kebanyakan hanya produktif mencipta sajak dan cerita pendek saja. Karangan yang berjudul Situasi 1954 yang termuat dalam kompas berturut-turut empat
nomor itu, dimulai dengan membahas polemik dalam harian Nieuwsieger yang berbahasa Belanda sekitar pertengahan 1954, di antara Tjalie
Robinson, Sutan Muhammad Sjah, Sitor Situmorang, Samuel Intama, Mas
Soed dan kemudian juga Savitri =Mochtar Lubis dalam surat kabarnya Indonesia Raya.
8
4 Karya Tulis
Dalam bidang keredaksian ia pernah memimpin majalah Gelora, menjadi pemimpin redaksi Kompas, anggota dewan redaksi Mahasiswa
bersama Emil Salim tahun 1955-1958, menjadi ketua juri hadiah sastra, dan menjadi pengurus BMKN. Sewaktu di perguruan tinggi ia menjadi
koresponden majalah Forum, dan menjadi menjadi redaksi majalah Pelajar. Nugroho juga aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah, baik di dalam negeri
maupun di luar negeri. Dalam tahun 1959-1976 Nugroho menghadiri pertemuan ilmiah internasional sebanyak empat kali.
Nugroho membuat beberapa karya tulis diantaranya, Pemberontakan Peta Blitar Melawan Jepang 14 Februari 1944, The Coup Attempt of the
September 30 Movement in Indonesia bersama Ismail Saleh, 1968, The Dual Function of the Indonesian Armed Forces Especially since 1966. Selain
itu Nugroho berperan dalam membuat naskah proklamasi yang otentik dan rumusan pancasila yang otentik, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI Editor,
Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara.
9
C. Pemikiran Nugroho Notosusanto
Nugroho Notosusanto banyak mengisahkan tentang kemerdekaan. Sejak ia menyandang gelar “cerpenis”, ia selalu protes. Mungkin karena masa remajanya sampai
dewasa ia selalu hidup di dunia serba keras. Ia menikmati bagaimana para penjajah, Belanda seenaknya menindas bangsa kita. Protes kekejaman Belanda tak lepas
8
Ajip Rosidi, loc. Cit.
9
Artikel diakses pada 26 Februari 2016 dari http:www.tamanismailmarzuki.comtokohnotosusanto.html
mempengaruhi pikirannya. Sehingga betapa, tajamnya nada protes di dalam cerpen- cerpennya. Tidak heranlah bila suatu penerbit memberi kata pada cerpen Nugroho,
katanya cerpen Nugroho ini merupakan kesaksian tentang revolusi kemerdekaan. Tidak banyak karya sastranya yang menampilkan kisah-kisah disekitar revolusi itu yang
mengalami sendiri oleh pengarangnya.
10
Nugroho Notosusanto mengartikan “angkatan” sama dengan “periode”. Dalam tulisannya yaitu Boejoeng Saleh berkata bahwa pembagian periode-periode sastra itu
berdasarkan atas pola-pola kebudayaan cultural patterns yang sudah menimbulkan sesuatu keadaan kemasyarakatan terhadap mana lahir bentuk-bentuk mereaksi tertentu
berwujud cara berpikir dan merasa cara mengungkapkan memberikan bentuk kepada pikiran dan perasaan tersebut.
11
Konsep Nugroho Notosusanto dengan membombong sambil membimbing mempunyai makna lain bagi anak-anak remaja. Di tengah-tengah masyarakat yang
mudah mengecam setiap tindakan kaum pelajar, remaja sebagai produk yang brengsek. Membombong membesarkan hati memang seharusnya dilakukan. Karena sebenarnya
tidak benar kalau produk generasi yang sekarang sebagai sesuatu yang brengsek, narkotik, minum-minuman keras atau berkelahi belaka. Banyak generasi muda,
terutama kaum remaja yang sebenarnya mampu berkarya, mampu memperlihatkan bahwa mereka sebenarnya patut diterima sebagai calon pengganti generasi tua.
Kecintaannya pada anak didik, membuatnya selalu trenyuh setiap kali bocah-bocah kecil berkeliaran di jalan dengan dagangannya. Itu pulalah yang mendorongnya untuk
melahirkan ide orang tua asuh. Ia ingin semua anak negeri ini tahu apa itu sekolah. Namun begitu tak berarti ia memanjakan yang sudah berkemauan sekolah.
12
10
Anonim, “In Memoriam Nugroho Notosusanto, Cerpenis yang selalu ingin Merdeka”, Harian Yudha Minggu, Jakarta, 23 Juni 1985, h. 7.
11
Ajip Rosidi, Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia, Tjupumanik, 1970, h.10.
12
Eni S. Bahari Putri, “Nugroho di mata Wartawan Muda, Dia yang Tak Mengenal Lelah”, Harian Umum Pelita, Jakarta 6 Juni 1985, h. 18.
Nugroho Notosusanto menjunjung tinggi suatu kemerdekaan. Bukan saja tidak mau bangsanya dijajah oleh Belanda dan Jepang, tapi dirinya sendiri pun harus bebas,
merdeka. Di sinilah, semangat idealisme Nugroho yang tidak bisa diabaikan oleh para mahasiswa, para prajuriyt, atau para pejabat lainnya, sebab semangat yang merindukan
kemerdekaan sangat dibutuhkan Negara berkembang seperti Negara Indonesia. Apalagi, semangat itu tidak diam meminta merdeka, setelah mendapatkan kemerdekaan
ia terus merindukan mengisi kemerdekaan itu dengan berbagai kesibukan, tentunya tidak mengarah ke hal yang negatif sifatnya.
13
Sebagai seorang yang banyak bergerak dilapangan masyarakat dan organisasi pemuda, serta pula pernah giat dalam ketentaraan pelajar, Nugroho tak dapat dikatakan
tidak punya pengalaman. Kesan membaca cerita-cerita Nugroho ialah ia tak dapat menghayati suasana dan tokoh-tokohnya oleh kekurangan pengalaman batin dan
kekurangan daya imajinasi. Nugroho bukan orang yang berjiwa Patetis, sebaliknya otaknya dingin menganalisa. Nugroho tidak mencoba jadi diri orang lain, tapi tetap
dirinya sendiri, memandang dari sudut pandangnya sendiri.
14
Adanya kelesuan, impasse atau krisis dalam kesusastraan Indonesia pada awal tahun 1950-
an bagi Nugroho tidak lebih dari satu mitos, “mythe”. Hal itu jelas dikemukakan dengan tegas di dalam paling tidak dua buah tulisannya. Dalam melihat
situasi kesusastraan Indonesia yang mendapat tuduhan seakan-akan sedang menghadapi krisis atau impasan itu, Nugroho melakukan penilikan yang meluas dan mendalam.
Meluas dengan menempatkan persoalan kesusastraan dalam rangka budaya Indonesia secara keseluruhan. Mendalam dengan mengadakan analisis pada setiap seginya dengan
cermat.
15
13
Anonim. loc. cit.
14
H.B Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam kritik dan esai, Jakarta: Gunung Agung, 1967, h.7
15
Ajip Rosidi. loc. cit.
Nugroho menyatakan dalam tulisannya bahwa seni dan sastra adalah hanya sebagian kecil dari budaya seluruhnya, dan tak dapat berwatak lain daripadanya.
Tokoh-tokoh Pramoedya tak mungkin menyalahi anggapan-anggapan pengarangnya, dan anggapan-anggapan pengarang terbentuk oleh budayanya. Dia juga mengakui
bahwa filsuf-filsuf besar mempengaruhi masyarakatnya, mempengaruhi alam pikiran zamannya.