1989:50  mengemukakan  penyebab  terjadinya  kesalahan  yang  terjadi  menjadi enam faktor,  yaitu  1  bahasa  populer,  2  bahasa  ibu,  3  lingkungan,  4
kebiasaan, 5 interlingual, dan 6 interferansi. Seturut dari penyebab terjadinya kesalahan berbahasa dan seturut pendapat
Pateda,  penelitian  ini  bertujuan  untuk  mendeskripsikan kesalahan  berbahasa  di daerah  morfologi,  yaitu kesalahan  berbahasa  dalam penggunaan  imbuhanafiks.
Menurut  Tarigan  1988:198,  “kesalahan  morfologi  adalah  kesalahan  memakai bahasa  disebabkan  salah  memilih  afiks,  salah  menggunakan  kata  ulang,  salah
menyusun kata majemuk, dan salah memilih bentuk kata”. Tarigan  1988 melanjutkan  bahwa salah  satu  cara  untuk  meneliti
terjadinya  kesalahan  berbahasa adalah  menggunakan  perspektif  taksonomi  siasat permukaan.  Tarigan  1988:148  berpendapat  bahwa  taksonomi  siasat  permukaan
adalah  suatu  cara  untuk  menyoroti  bagaimana  cara-caranya  struktur-struktur permukaan berubah. Tarigan 1988:149 menambahkan bahwa secara garis besar
kesalahan-kesalahan  yang  terkandung  dalam  taksonomi  siasat  permukaan  adalah penghilangan, penambahan, salah formasi, dan salah susun.
Tarigan 1988:149 berpendapat bahwa kesalahan-kesalahan yang bersifat penghilangan  yang dimaksud  taksonomi  siasat  permukaan  adalah  ketidakhadiran
suatu  butir  yang  seharusnya  ada  dalam  ucapantulisan  yang  baik  dan  benar. Selanjutnya  kesalahan  bersifat  penambahan. Menurut  Tarigan  1988:151,
“kesalahan  penambahan  ini  ditandai  oleh  hadirnya  suatu  butir  atau  unsur  yang seharusnya tidak muncul dalam ucapan yang baik dan benar”.
Kemudian  kesalahan  yang  berupa  salah  formasi, menurut  Tarigan 1988:154,  “kesalahan yang  berupa misformaton atau  salah-formasi  ini  ditandai
oleh  pemakaian  bentuk  morfem  atau  struktur  yang  salah”. Kesalahan  yang keempat  adalah  salah  susun; Tarigan  1988:157  menyatakan  bahwa  kesalahan
tersebut  ditandai  oleh  penempatan  yang  tidak  benar  bagi  suatu  morfem  atau kelompok morfem dalam suatu ucapan atau tuturan—dalam penelitian ini berupa
tulisan.
2.2.2 Imbuhan
Di dalam  morfologi  bahasa, Arifin  dan  Junaiyah 2009 berpendapat bahwa terdapat  suatu  proses  yang  disebut  proses  morfologis.  Di  dalam  proses
morfologis  terdapat  suatu  proses  yang  disebut  afiksasi  atau  pengimbuhan. Menurut Arifin  dan Junaiyah 2009:10, “afiksasi adalah proses morfologis yang
mengubah  sebuah  leksem  menjadi  kata  setelah  mendapat  afiks”. Menurut  Arifin dan  Junaiyah 2009:2-3,  afiks  atau  imbuhan  adalah  morfem  terikat  yang  tidak
danatau memiliki alomorf . Ramlan  2009:55 memberikan  penjelasan  bahwa imbuhan  afiks  ialah
suatu  satuan  gramatik  terikat  yang  di  dalam  suatu  kata  merupakan  unsur  yang bukan  kata  dan  bukan  pokok  kata,  yang  memiliki  kesanggupan  melekat  pada
satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Chaer 2011:197 berpendapat, “dalam penggunaan imbuhan acapkali sebuah kata dasar atau bentuk
dasar  perlu  diberi  imbuhan  dahulu untuk  dapat  digunakan  di  dalam  pertuturan”. Chaer 2011:197 melanjutkan bahwa imbuhan dapat mengubah makna, jenis, dan
fungsi  sebuah  kata  dasar  atau  bentuk  dasar  menjadi  kata  lain,  yang  fungsinya berbeda  dengan  kata  dasar  atau  bentuk  dasarnya.
Chaer 2011:197
menambahkan  bahwa  imbuhan  mana  yang  harus  digunakan  tergantung  pada keperluan  penggunaannya  di  dalam  pertuturan.  Untuk  keperluan  pertuturan  itu
malah sering pula sebuah kata dasar atau bentuk dasar yang sudah diberi imbuhan dibubuhi pula dengan imbuhan lain.
Dalam  penelitian  ini  peneliti  menggunakan  paparan  teori  Arifin  dan Junaiyah mengenai  imbuhan  yang  digunakan  sebagai  acuan  dalam analisis  data
penelitian. Arifin  dan  Junaiyah 2009:5 berpendapat, “afiks  atau  imbuhan  di dalam  bahasa  Indonesia  mempunyai  peran  yang  sangat  penting  sebab  kehadiran
imbuhan  pada  sebuah dasar kata  dapat  mengubah bentuk, fungsi,  kategori, dan makna dasar atau kata yang dilekatinya itu.” Peneliti mencontohkan sebuah dasar
yang dibubuhi konfiks peng-…-an sebagai berikut. a. Bentuk
hijau kata dasar
penghijauan kata jadian
b. Kategori hijau
kata sifat penghijauan
nomina c. Fungsi
hijau keterangan
penghijauan bisa subjek
d. Makna hijau
penghijauan proses, perbuatan, atau cara menghijaukan
Dari  contoh  tersebut  sangat  jelas  bahwa  imbuhan  memiliki  peran  yang sangat  penting  dalam  kegiatan  berbahasa.  Kata  ‘hijau’  dapat  merupakan  kata
dasar yang  berkategori kata  sifat,  selain itu  kata ‘hijau’ memiliki fungsi sebagai keterangan.  Ketika  kata  ‘hijau’  dibubuhi  konfiks  peng-…-an akan  menjadi  kata
‘penghijauan’, yang terjadi adalah kata ‘penghijauan’ merupakan kata jadian, kata
tersebut berkategori nomina yang memiliki fungsi tertentu dalam kalimat bisa saja sebagai  subjek,  dan  makna  yang  muncul  adalah  proses,  perbuatan,  atau  cara
menghijaukan. “Bahasa Indonesia memiliki empat jenis imbuhan,  yaitu prefiks prefiks,
infiks infiks,  akhiran  sufiks,  dan  imbuhan  terbelah  konfiks”  Arifin  dan Junaiyah, 2009:4. Keempat jenis imbuhan tersebut dijabarkan sebagai berikut.
2.2.2.1 Prefiks
“Prefiks prefiks  adalah  imbuhan  yang  dilekatkan  di  depan  dasar  mungkin kata  dasar,  mungkin  pula  kata  jadian.  Bahasa  Indonesia  memiliki  8  prefiks
prefiks,  yaitu  ber- dan  per-,  meng- dan  di-,  ter-,  ke,  dan  se-”Arifin  dan Junaiyah,  2009:6.  Kedelapan  prefiks tersebut  dijabarkan  dan  dijelaskan  oleh
Arifin dan Junaiyah 2009:22-57 dan diringkas oleh peneliti sebagai berikut.
a. Prefiks ber-
“Prefiks  atau  prefiks ber- memiliki  variasi  bentuk  ber-,  be-,  bel- dan  mer- yang  sudah  merupakan  bentuk  arkais”  Arifin  dan  Junaiyah,  2009:22. Adapun
contohnya sebagai berikut. 1 ber- + suku awal mengandung -er-
be-, seperti bekerja, beternak; dan dasar  yang  berfonem  awal  r
seperti berawa dan berencana. 2 ber- +
{ajar} belajar
{unjur} belunjur
3 ber- + ber-, seperti bergaul dan berteman