yang lebih dari satu dwibahasawan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Enung Marlina; dan tidak pahamnya pengguna bahasa akan aturan berbahasanya
sehingga terjadi kesalahan berbahasa seperti penelitian yang dilakukan oleh Donatus Doweng Kumanireng.
Dari ketiga penelitian tersebut, peneliti melihat bahwa setiap pengguna memiliki latar belakang danatau pengalaman berbahasa yang berbeda-beda. Dari
ketiga penelitian terdahulu yang diperoleh peneliti, hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan berbahasa yang dilakukan pengguna bahasa ternyata tidak lepas
dari kesalahan berbahasa karena tidak sesuai dengan kaidah berbahasa Indonesia. Demikianlah ketiga penelitian terdahulu yang peneliti jadikan landasan
dalam penelitian ini. Ketiga penelitian ini juga mendukung dan berkaitan penelitian ini karena topik utama yang dibahas berkaitan dengan kesalahan
berbahasa dengan fokus penelitian imbuhan bahasa Indonesia. Dari kesamaan topik dan fokus penelitian tersebut ada aspek yang belum dibahas dan menjadi
perbedaan antara penelitian terdahulu dan penelitian ini yaitu kesalahan berbahasa dalam menggunakan imbuhan bahasa Indonesia yang meliputi prefiks, infiks,
akhiran, dan gabungan imbuhan serta imbuhan terbelah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis dan penyebab kesalahan berbahasa khususnya
penggunaan imbuhan bahasa Indonesia pada subjek penelitian yaitu tugas akhir mahasiswa teknik elektro Universitas Sanata Dharma lulusan tahun 2013.
2.2 Kajian Teori
Pada subbab ini, peneliti memaparkan teori-teori yang membahas variabel- variabel yang berkaitan dengan judul penelitian ini. Dari judul “Jenis-jenis
Kesalahan Berbahasa dalam Penggunaan Imbuhan pada Tugas Akhir Mahasiswa Program Studi Teknik Elektro Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Lulusan
Tahun 2013”, peneliti akan memaparkan variabel jenis-jenis kesalahan berbahasa, variabel imbuhan serta jenis-jenisnya sebagai berikut.
2.2.1 Jenis-jenis Kesalahan Berbahasa
Pada bagian ini peneliti akan memaparkan teori-teori yang berkaitan dengan jenis-jenis kesalahan berbahasa. Hal tersebut meliputi pengertian dan
jenis-jenis kesalahan berbahasa itu sendiri. Berkaitan
dengan kesalahan
berbahasa, Setyawati
2010:13-14 berpendapat bahwa kesalahan memiliki nuansa kata dengan penyimpangan,
pelanggaran, dan kekhilafan. Setyawati 2010:13 menyatakan bahwa kata ‘salah’ dapat diantonimkan dengan kata ‘betul’, sehingga ‘salah’ dapat diartikan tidak
betul atau tidak menurut norma, tidak menurut aturan yang ditentukan. Setyawati 2010:13 melanjutkan bahwa penyimpangan adalah menyimpang dari norma
yang telah ditetapkan. Pemakai bahasa tahu norma yang benar, namun menyimpang karena alasan tertentu sehingga tidak menggunakan norma yang ada.
Pelanggaran dalam hal berbahasa, Setyawati 2010:14 menyatakan bahwa pengguna bahasa tahu akan adanya norma namun dengan penuh kesadaran tidak
mengikuti norma yang ada. Selanjutnya Setyawati 2010:14 menyatakan
kehilafan dalam hal berbahasa bahwa terjadinya proses psikologis pengguna bahasa yang mengakibatkan kekhilafan menerapkan teori atau norma bahasa yang
ada pada dirinya. Akibatnya adalah kekhilafan tersebut memunculkan sikap keliru.
Setyawati 2010:15 menyimpulkan
“kesalahan berbahasa adalah penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tertulis yang menyimpang dari
faktor-faktor penentu
berkomunikasi atau
menyimpang dari
norma kemasyarakatan dan menyimpang dari kaidah tata bahasa Indonesia.” Selain
Setyawati, Ekowardono 1989:1 berpendapat, “sebab mendasar fundamental terjadinya kesalahan berbahasa ialah kurangnya penguasaan bahasa pada pemakai
bahasa. Penguasaan yang kurang itu dapat terjadi dalam aspek fonologis, morfologis, sintaktis, leksikal semantis atau pun dalam aspek situasi
sosiolinguistis dan psikolingusistis yang mendukung penggunaan aspek-aspek itu”.
Ekowardono 1989:1 melajutkan gagasannya sebagai berikut. Bagi pemakai bahasa yang monolingual keadaan itu kerap
terjadi pada masa awal usaha penguasaan bahasa ibunya, yakni pada masa kanak-kanak. Dalam masa perkembangannya secara
berangsur-angsur kekurangan penguasaan aspek-aspek itu teratasi berkat bimbingan alamiah dari lingkungan bahasanya. Bagi
pemakai
bahasa dwilingual atau
multilingual kurangnya
penguasaan bahasa kedua menimbulkan gejala yang disebut interferansi, yakni gejala tercampurkannya fenomena bahasa
pertama di dalam pemakaian bahasa kedua.
Pendapat-pendapat tersebut didukung oleh pendapat Pateda 1989:50 bahwa kesalahan dalam berbahasa terjadi pada 1 daerah fonologi, 2 daerah
morfologi, 3 daerah sintaksis, dan 4 daerah semantis. Kemudian Pateda
1989:50 mengemukakan penyebab terjadinya kesalahan yang terjadi menjadi enam faktor, yaitu 1 bahasa populer, 2 bahasa ibu, 3 lingkungan, 4
kebiasaan, 5 interlingual, dan 6 interferansi. Seturut dari penyebab terjadinya kesalahan berbahasa dan seturut pendapat
Pateda, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesalahan berbahasa di daerah morfologi, yaitu kesalahan berbahasa dalam penggunaan imbuhanafiks.
Menurut Tarigan 1988:198, “kesalahan morfologi adalah kesalahan memakai bahasa disebabkan salah memilih afiks, salah menggunakan kata ulang, salah
menyusun kata majemuk, dan salah memilih bentuk kata”. Tarigan 1988 melanjutkan bahwa salah satu cara untuk meneliti
terjadinya kesalahan berbahasa adalah menggunakan perspektif taksonomi siasat permukaan. Tarigan 1988:148 berpendapat bahwa taksonomi siasat permukaan
adalah suatu cara untuk menyoroti bagaimana cara-caranya struktur-struktur permukaan berubah. Tarigan 1988:149 menambahkan bahwa secara garis besar
kesalahan-kesalahan yang terkandung dalam taksonomi siasat permukaan adalah penghilangan, penambahan, salah formasi, dan salah susun.
Tarigan 1988:149 berpendapat bahwa kesalahan-kesalahan yang bersifat penghilangan yang dimaksud taksonomi siasat permukaan adalah ketidakhadiran
suatu butir yang seharusnya ada dalam ucapantulisan yang baik dan benar. Selanjutnya kesalahan bersifat penambahan. Menurut Tarigan 1988:151,
“kesalahan penambahan ini ditandai oleh hadirnya suatu butir atau unsur yang seharusnya tidak muncul dalam ucapan yang baik dan benar”.