commit to user
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Taormina 2009 : 651 secara umum setiap karyawan memiliki berbagai kebutuhan pribadi dan mungkin budaya organisasi tempat
mereka bekerja cocok atau tidak cocok dengan beberapa kebutuhan karyawan tertentu. Hal ini berarti orang akan lebih bahagia dalam organisasi di mana
kebutuhan mereka terpuaskan daripada di organisasi di mana kebutuhan mereka tidak dapat terpuaskan. Berkenaan dengan hubungan antara kebutuhan
individu dan konteks sosial yang lebih besar dari organisasi, sebuah pandangan psiko-sosial akan menekankan bahwa orang harus diintegrasikan
atau disosialisasikan pada setiap budaya organisasi. Taormina 2009 : 651 menjelaskan bahwa seharusnya terdapat
hubungan antara karyawan dan organisasi, dengan tidak adanya hubungan ini mungkin akan terjadi ketidakteraturan dalam organisasi, dengan banyaknya
karyawan yang merasa tidak yakin akan keberadaan mereka di perusahaan tempat mereka bekerja. Dengan meningkatkan upaya organisasi dalam
melakukan sosialisasi organisasi, maka karyawan akan semakin merasa menjadi bagian dari budaya organisasi. Untuk memperjelas hubungan antara
kebutuhan karyawan, sosialisasi organisasi, dan budaya organisasi akan diuraikan konseptualisasi variabel-variabel tersebut.
commit to user
13
1. Kebutuhan Karyawan
Menurut Gibson et al., 2006 : 132 motivasi adalah sebuah dorongan pada karyawan yang memulai dan mengarahkan sebuah prilaku. Dan
kebutuhan adalah sebuah rasa kurang puas yang dialami oleh seorang individu pada poin tertentu di waktu tertentu.
McClelland dalam Ivancevich et al., 2006 :154 menyatakan bahwa ketika muncul suatu kebutuhan yang kuat di dalam diri seseorang, kebutuhan
tesebut memotivasi dirinya untuk menggunakan prilaku yang dapat mendatangkan kepuasannya. McClelland membagi kebutuhan karyawan
menjadi 3, yaitu : a. Seseorang yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang tinggi mendorong
seorang individu untuk menetapkan tujuan yang menantang, untuk bekerja keras demi mencapai tujuan tersebut, dan menggunakan keterampilan dan
kemampuan yang diperlukan untuk mencapainya. Berdasarkan hasil penelitian, McClelland mengembangkan
serangkaian faktor diskriptif yang menggambarkan seseorang dengan kebutuhan yang tinggi akan prestasi, yaitu:
1. Suka menerima tanggung jawab untuk memecahkan masalah. 2. Cendrung menetapkan tujuan pencapaian yang moderat dan cendrung
mengambil risiko yang telah diperhitungkan. 3. Menginginkan umpan-balik atas kinerjanya.
b. Seseorang yang memiliki kebutuhan akan afiliasi merefleksikan keinginan untuk berinteraksi secara sosial dengan orang. Seseorang dengan
commit to user
14
kebutuhan afiliasi yang tinggi menempatkan kualitas dari hubungan pribadi sebagai hal yang paling penting, dan oleh karena itu hubungan
sosial lebih didahulukan daripada penyelesaian tugas. c. Seseorang dengan kebutuhan kekuasaan yang tinggi, di lain pihak,
mengkonsentrasikan diri dengan mempengaruhi orang lain dan memenangkan argumentasi. Menurut McClelland, kekuasaan memiliki dua
orientasi. Kekuasaan dapat menjadi negatif pada orang yang berfokus pada dominasi dan kepatuhan. Atau kekuasaan dapat menjadi positif karena
merefleksikan perilaku persuasif dan inspirasional. Klasifikasi yang lain dikembangkan oleh Steers dan Braunstein 1976
: 254 yang membagi kebutuhan karyawan menjadi 4, yaitu: 1. Kebutuhan untuk berprestasi n-Ach mengacu pada keinginan untuk
mencapai sesuatu dan untuk mencapai standar keunggulan, dengan tidak mengambil tugas yang terlalu sulit untuk menghindari
kegagalan. 2. Kebutuhan untuk berafiliasi n-Aff adalah keinginan untuk memiliki
hubungan pribadi yang hangat dan ramah. 3. Kebutuhan akan otonomi n-Aut adalah keinginan untuk melakukan
sesuatu dengan cara sendiri dan memiliki kebebasan pribadi. 4. Kebutuhan untuk dominasi, juga disebut sebagai kebutuhan akan
kekuasaan n-Pow adalah keinginan untuk memegang kekuasaan, dan mempengaruhi dan mengontrol orang lain.
commit to user
15
Secara teori, kebutuhan ini tidak saling berhubungan secara eksklusif, melainkan setiap orang memiliki kebutuhan masing-masing, tetapi untuk
derajat yang berbeda.
2. Budaya Organisasi.
Menurut Gibson et al., 2006 : 31 budaya organisasi merupakan sesuatu yang dirasakan oleh karyawan dan sebuah persepsi yang menimbulkan
sebuah pola kepercayaan, nilai, dan ekspektasi. Dan Schein dalam Gibson et al., 2006 : 31 menyatakan budaya organisasi sebagai sebuah pola dari asumsi
dasar yang ditemukan, diketahui, atau dikembangkan oleh sebuah kelompok yang dipelajari untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan adaptasi
dengan lingkungan luar dan integrasi dalam kelompok tersebut. Pernyataan Schein ini memiliki inti bahwa budaya meliputi asumsi, adaptasi, persepsi, dan
pembelajaran. Menurut Kreitner dan Kinicki 2005 :79 budaya organisasi merupakan
suatu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan, pikirkan, dan bereaksi
terhadap lingkungannya yang beraneka ragam. Definisi ini menyoroti tiga karakteristik budaya organisasi yang penting. Pertama, budaya organisasi
diberikan pada karyawan baru melalui proses sosialisasi. Kedua, budaya organisasi mempengaruhi perilaku kita di tempat kerja. Ketiga, budaya
organisasi berpengaruh terhadap pandangan ke luar dan kemampuan bertahan terhadap perubahan.
commit to user
16
Kreitner dan Kinicki 2005 :79 membagi fungsi budaya organisasi menjadi empat, yaitu :
a. Memberikan identitas organisasi kepada karyawan. Sebagai contoh perusahaan yang inovatif yang memburu
pengembangan produk baru. Salah satu cara mempromosikan inovasi adalah dengan mendukung riset dan pengembangan produk dan jasa
baru. Identitas tersebut didukung dengan mengadakan penghargaan yang diberikan pada karyawan yang inovatif.
b. Memudahkan komitmen kolektif. Budaya organisasi yang dapat membuat karyawannya nyaman
dalam organisasi tersebut dapat meningkatkan komitmen kolektif karyawannya terhadap organisasi tersebut. Sehingga karyawan tersebut
akan lebih loyal terhadap organisasi tersebut dan meningkatkan tingkat turn over karena karyawan tersebut puas dan bangga bekerja dalam
organisasi tersebut. c. Mempromosikan stabilitas sistem sosial.
Stabilitas sistem sosial mencerminkan taraf di mana lingkungan kerja dirasakan positif dan mendukung, dan konflik serta perubahan yang
diatur dengan efektif. d. Membentuk prilaku dengan membantu manajer merasakan keberadaannya.
Fungsi budaya ini membantu para karyawan memahami mengapa organisasi melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana
perusahaan bermaksud mencapai tujuan jangka panjangnya.
commit to user
17
Menurut Rivai 2005 : 430 fungsi budaya perusahaan adalah: 1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya
budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara suatu perusahaan dengan perusahaan yang lain.
2. Budaya memberikan identitas bagi anggota perusahaan. 3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dari
pada kepentingan individu. 4. Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial.
5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu serta membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Menurut Gibson et al., 2006 : 38 membagi budaya menjadi empat jenis, yaitu:
1. Budaya Birokrasi merupakan sebuah budaya yang menekankan pada
peraturan, kebijakan,
penentuan keputusan
yang tersentralisasi.
2. Budaya Keluarga merupakan sebuah budaya yang menekankan pada lingkungan kerja yang bersifat kekeluargaan, mengikuti
tradisi dan ritual, kerja tim, dan pengaruh sosial. 3. Budaya Entrepreneur merupakan sebuah budaya yang menekankan
pada inovasi, kreatifitas, pengambilan resiko, dan secara agresif mencari kesempatan.
commit to user
18
4. Budaya Pasar merupakan sebuah budaya yang menekankan pada pertumbuhan penjualan, peningkatan market share, stabilitas
keuangan, dan keuntungan. Meskipun banyak upaya telah dilakukan untuk menilai dimensi budaya
organisasi, beberapa instrumen telah dirancang untuk digunakan sebagai ukuran umum budaya organisasi. Wallachs 1983 : 32 membagi dimensi
budaya organisasi menjadi tiga, yaitu: budaya birokrasi, inovatif, dan suportif. a. Budaya birokrasi memiliki struktur hirarki dengan garis tanggung
jawab yang jelas, dan diatur untuk beroperasi dalam cara yang teratur dan terkendali.
b. Budaya inovatif cenderung giat, berorientasi pada hasil, dan ditandai oleh kreativitas dan berani mengambil risiko, yang
membuat mereka tertantang, tempat yang bertekanan dimana mereka bekerja.
c. Budaya suportif yang dicirikan oleh interaksi sosial yang harmonis dan adil dimana terdapat kepercayaan, kolaborasi, dan kebebasan
pribadi. Seperti kebutuhan karyawan, Wallach 1983 : 35 menekankan bahwa
budaya organisasi tidak hanya terdiri dari satu jenis saja. Setiap organisasi memiliki berbagai elemen dari masing-masing budaya organisasi tersebut.
Oleh karena itu, tidak realistis untuk mengkategorikan sebuah organisasi sepenuhnya hanya memiliki satu jenis budaya saja. Sebaliknya, setiap budaya
organisasi dapat dinilai untuk derajat birokrasi, inovasi, dan suportifnya.
commit to user
19
3. Sosialisasi Organisasi.
Menurut Gibson et al., 2006 : 41 sosialisasi organisasi merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi untuk mengenalkan karyawan
baru pada budaya organisasi tersebut. Menurut Kreitner dan Kinicki 2005 : 96 sosialisasi organisasi didefinisikan sebagai proses seseorang mempelajari
nilai, norma, dan perilaku yang dituntut, yang memungkinkan ia untuk berpatisipasi sebagai anggota organisasi. Sosialisasi organisasi merupakan
mekanisme kunci yang digunakan oleh organisasi untuk menanamkan budaya organisasinya. Secara singkat, sosialisasi organisasi mengubah orang baru
menjadi orang yang berfungsi penuh dalam mempromosikan dan mendukung nilai dan keyakinan dasar organisasi.
Peneliti perilaku organisasi Feldman dalam Kreitner dan Kinicki, 2005 :96 telah mengusulkan model tiga tahap sosialisasi organisasi yang
mengembangkan pemahaman yang lebih dalam mengenai proses penting ini. Ketiga tahap tersebut adalah:
1. Sosialisasi antisipasi, 2. Pertemuan, dan
3. Perubahan dan pemahaman yang bertambah. Model Feldman juga merinci perilaku dan afeksi yang timbul yang
dapat digunakan untuk menilai seberapa baik seorang individu bersosialisasi.
Tahap 1: Sosialisasi Antisipasi
Proses belajar yang dilakukan sebelum bergabung dengan organisasi. Tahap ini dimulai sebelum individu benar-benar bergabung dengan organisasi.
commit to user
20
Informasi sosialisasi lebih dulu datang dari berbagai sumber. Dalam tahap ini proses sosial yang timbul adalah:
1. Mengantisipasi kenyataan mengenai organisasi dan pekerjaan baru. 2. Mengantisipasi kebutuhan organisasi mengenai keterampilan dan
kemampuan seseorang. 3. Mengantisipasi sensitivitas organisasi terhadap kebutuhan dan nilai
seseorang.
Tahap 2: Pertemuan
Nilai, keterampilan, dan tingkah laku mulai berubah saat karyawan baru menemukan seperti apa sesungguhnya organisasi tersebut. Tahap dua
dimulai saat kontrak pekerjaan telah ditandatangani. Dalam tahap ini proses sosial yang timbul adalah:
1. Mengatur gaya hidup versus konflik dalam kerja. 2. Mengatur konflik peran antar kelompok.
3. Mencari definisi dan kejelasan peran. 4. Menjadi familiar dengan dinamika tugas dalam kelompok.
Tahap 3: Perubahan dan Pemahaman yang Bertambah.
Karyawan menguasai keterampilan, peran, dan menyesuaikan diri dengan nilai dan norma kelompok kerja. Penugasan tugas yang penting dan
pemecahan konflik menandai mulainya tahap akhir dari proses sosialisasi ini. Mereka yang tidak mengalami transisi ke tahap 3 secara sukarela atau tidak
sukarela akan terisolasi dari jaringan sosial di dalam organisasi. Dalam tahap ini proses sosial yang timbul adalah:
commit to user
21
1. Persaingan peran disesuaikan dengan tugas yang sulit dikuasai. 2. Internalisasi norma dan nilai kelompok.
Setelah tiga tahap sosialisasi organisasi tersebut selesai dan karyawan sudah tersosialisasi maka akan timbul tingkah laku dan afeksi dari orang yang
sudah tersosialisasi tersebut, antara lain: a. Hasil Tingkah laku:
· Melaksanakan peran tugasnya · Tetap berada di organisasi
· Berinovasi dan bekerja sama secara spontan b. Hasil yang bersifat afeksi:
· Merasa puas secara umum · Secara internal termotivasi untuk bekerja
· Terlibat dalam pekerjaan yang membutuhkan kemampuan yang tinggi
Gibson et al., 2006 : 44 menyatakan ada beberapa karakteristik dari sosialisasi yang efektif, yaitu: 1 perekrutan yang efektif, 2 program
pemilihan dan penempatan yang efektif, 3 program orientasi yang efektif, 4 program pelatihan yang efektif, 5 menyediakan informasi evaluasi kinerja
yang lengkap, 6 penugasan pekerjaan yang menantang pada karyawan. Louis 1980 : 229 mendefinisikan sosialisasi organisasi sebagai
sebuah proses dimana seorang individu datang untuk menghargai nilai-nilai, kemampuan, perilaku yang diharapkan, dan pengetahuan sosial yang penting
commit to user
22
untuk mengasumsikan peran organisasi dan untuk berpartisipasi sebagai anggota organisasi.
Definisi ini, seperti halnya dengan hampir semua definisi konsep yang lain, menekankan bahwa sosialisasi organisasi sebagai hal yang penting dalam
membantu karyawan berhasil menyesuaikan diri dengan masyarakat dan budaya organisasi. Kebanyakan penelitian tentang sosialisasi organisasi
berfokus pada proses, tetapi pengkonsepan kembali yang dilakukan oleh Chao et al. 1994 dan Taormina 1994 mengungkapkan hal yang berbeda dari
bidang sosialisasi organisasi. Dalam pendekatannya Taormina 1994 : 136 membagi sosialisasi organisasi menjadi empat dimensi, yaitu: pelatihan,
pemahaman, dukungan rekan kerja, dan prospek masa depan. Model ini sangat sederhana dan tiga dimensi mewakili enam poin yang diidentifikasi oleh Chao
et al. 1994, dan Taormina 1994 menambahkan domain keempat, yakni prospek masa depan.
Berikut ini gambaran empat komponen dari sosialisasi organisasi yang juga telah menerima dukungan konseptual dalam model teoretis yang baru-
baru ini dikembangkan.
a. Pelatihan.
Sesuai dengan definisi yang dikemukakan Taormina 1997 : 32, pelatihan adalah tindakan, proses, atau metode yang dilakukan
untuk memperoleh semua jenis keterampilan fungsional atau kemampuan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan tertentu