suatu sanksi terhadap terdakwa atau tergugat walaupun tidak ada norma umum yang dilanggar berdasarkan klaim bahwa
perbuatan tersebut tidak menyenangkan, tidak adil, atau tidak seimbang. Hal ini berarti pengadilan diotorisasikan untuk mem-
buat kasus konkret menjadi norma hukum substantif yang menyenangkan, adil, atau seimbang. Maka pengadilan kemudian
berfungsi sebagai suatu legislatif.
360
Bahkan pengadilan selalu merupakan legislatif dalam hal sanksi karena membuatnya menjadi hukum. Individual-
isasi norma umum oleh keputusan yudisial selalu merupakan penentuan elemen yang belum ditentukan oleh norma umum
dan tidak dapat secara lengkap menentukannya. Hakim adalah selalu merupakan legislator dalam arti bahwa isi keputusannya
tidak pernah dapat ditentukan secara lengkap oleh norma hu- kum substantif yang telah ada.
361
6. Kekosongan Hukum
Otoritas untuk memberikan suatu sanksi yang tidak di- tentukan oleh norma hukum yang sudah ada sering dikatakan
diberikan secara tidak langsung, yaitu melalui suatu iksi. Fiksi ini adalah bahwa tata hukum memiliki suatu kekosongan gaps,
artinya bahwa hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkret karena tidak ada norma umum yang sesuai
dengan kasus ini. Ide ini secara logis berarti tidak mungkin mengaplikasikan hukum valid yang ada kepada kasus konkret
karena tidak adanya premis yang dibutuhkan.
362
Namun tata hukum tidak mungkin memiliki kekosongan. Jika hakim diotorisasi untuk memutuskan suatu perselisihan
sebagai seorang legislator dalam kasus tata hukum tidak berisi norma umum yang mewajibkan tergugat atau terdakwa seperti
diklaim oleh penuntut, hakim tidak mengisi kekosongan hukum, tetapi dia menambahkan kepada hukum yang valid tersebut
suatu norma individual yang tidak berhubungan dengan norma umum. Hukum valid yang ada dapat saja diterapkan terhadap
kasus konkret dengan menolak tuntutan. Hakim, bagaimana- pun, diotorisasi merubah hukum untuk kasus konkret. Dia
memiliki kekuasaan untuk mengikat secara hukum individu yang sebelumnya secara hukum bebas. Namun kapan seharus-
nya hakim menolak gugatan, dan kapan harus membuat suatu norma baru, sangat tergantung pada fakta bahwa pelaksanaan
hukum valid yang ada adalah sesuai dengan pendapat hakim baik secara hukum maupun politik.
363
Legislatif menyadari kemungkinan bahwa norma umum yang dibuat mungkin dalam beberapa kasus menjadi tidak
adil atau menghasilkan sesuatu yang tidak diharapkan. Hal ini karena legislator tidak dapat melihat semua kasus konkret
yang mungkin dapat terjadi. Maka dia kemudian mengotorisasi organ pelaksana hukum tidak untuk mengaplikasikan norma
umum yang dibuat tersebut, tetapi untuk membuat suatu nor- ma baru dalam kasus pelaksanaan norma umum yang dibuat
legislatif tersebut akan memiliki hasil yang tidak memuaskan. Kesulitannya adalah bahwa tidak mungkin menentukan sebelum-
nya kasus-kasus yang akan menjadikan hakim bertindak sebagai legislator. Jika legislator dapat mengetahui kasusnya, maka dia
akan dapat memformulasikan norma umum sehingga mengo- torisasi tindakan hakim sebagai legislatif adalah berlebih-lebi-
han. Formula “Hakim diotorisasi untuk bertindak sebagai legislatif jika aplikasi norma umum yang ada terlihat tidak adil”
memberikan terlalu banyak keleluasaan pada hakim karena mungkin hakim
362
Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 146–147.
363
Ibid., hal. 147–148. Kelsen, Introduction, Op.Cit., hal. 85–86. Kelsen, Pure Theory, Op.Cit., hal. 245–247.
364
Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 148. Kelsen, Pure Theory, Op.Cit., hal. 247–250.
365
Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 148–149.
menemukan banyak kasus di mana norma yang dibuat legislator tidak cocok. Formula tersebut berarti menurunkan sebagian
besar legislator menjadi urusan hakim. Inilah alasan mengapa legislator menggunakan iksi “kekosongan hukum”.
364
Fiksi ini membatasi otorisasi hakim dengan dua jalan. Pertama
, membatasi otorisasi kepada kasus di mana kewajiban yang diklaim oleh penggugat telah dilanggar oleh tergugat,
tidak ditentukan dalam norma umum. Batasan kedua adalah pada kasus dimana aplikasi hukum yang ada akan menjadi tidak
adil atau tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh hukum itu
sendiri. Teori tentang kekosongan hukum adalah suatu iksi karena selalu mungkin secara logis, walaupun kadang-kadang
tidak cocok, untuk mengaplikasikan tata hukum yang ada pada saat keputusan yudisial dibuat.
365
7. Norma Umum yang Dibuat oleh Aktivitas Yudisial