Ilmu Hukum Sosiologis Bukan Sekedar Ilmu Hukum

yang dibatalkan dengan prosedur hukum? Hanya tata hukum itu sendiri yang dapat menjawab pertanyaan ini. Suatu tata aturan hukum mungkin menentukan, sebagai contoh, bahwa sesuatu yang wujudnya suatu norma adalah nul ab initio jika norma ini belum ditetapkan oleh organ yang kompeten, atau telah ditetapkan oleh individu yang tidak memiliki kompetensi. Jika aturan hukum harus menentukan kondisi tertentu sesuatu yang wujudnya norma adalah nul ab initio maka tidak perlu lagi dibatalkan dengan prosedur hukum namun aturan hukum masih harus menentukan prosedur untuk menentukan apakah kondisi tersebut ada atau tidak. Keputusan yang dibuat oleh otoritas kompeten bahwa sesuatu yang wujudnya norma adalah norma yang nul ab initio adalah suatu tindakan konstitutif dan memiliki efek hukum. Tanpa adanya tindakan semacam ini fenomena yang dipertanyakan tidak dapat dianggap nul. Maka fenomena yang dipertanyakan tersebut tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak ada ab initio yang berarti secara hu- kum bukan apa-apa. 388

e. Non Kontradiksi antara Norma Inferior dengan Su- perior

Karakter lain dari norma yang lebih tinggi menentukan norma yang lebih rendah adalah menghindarkan dari kontra- dikasi nyata antara norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih rendah. Ketidakkonstitusionalan dan ilegalitas suatu norma berdasarkan suatu alasan harus tetap dipresuposisikan sebagai valid, yang berarti adanya kemungkinan dibatalkan dan tidak berlaku. Pembatalan artinya menegasikan keberadaan- nya dengan pengetahuan hukum. Kesatuan tata hukum tidak pernah dapat dibahayakan oleh kontradiksi antara norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih rendah dalam hierarki hukum. 389

C. ILMU HUKUM NORMATIF DAN SOSIOLOGIS

1. Ilmu Hukum Sosiologis Bukan Sekedar Ilmu Hukum

Teori hukum yang telah disajikan di sini adalah teori yuris- tik yang diberikan secara tautologi. Teori tersebut menunjukkan bahwa hukum sebagai suatu sistem norma yang valid. Obyeknya adalah norma, umum dan individual. Sesuatu disebut sebagai fakta sepanjang ditentukan demikian oleh norma. Maka teori ini juga dapat disebut suatu teori normatif. 390 Pada awal abad ini muncul tuntutan adanya teori hukum lain yang mendeskripsikan apa yang nyatanya dilakukan orang dan apa yang seharusnya dilakukan, sebagai suatu fenomena alam isik. Melalui observasi kehidupan sosial yang nyata sese- orang dapat menentukan suatu sistem aturan yang menggambar- kan perbuatan nyata manusia sebagai fenomena dari hukum. Aturan-aturan ini sejenis dengan laws of nature dalam arti ilmu alam menggambarkan obyeknya. Sosiologi hukum dibutuhkan untuk menyelidiki hukum dalam arti aturan yang nyata, bukan aturan keharusan atau aturan tertulis. Teori ini juga disebut sebagai ilmu hukum realistis realistic jurisprudence. 391 389 Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 161–162. Kelsen, Pure Theory, Op.Cit., hal. 205–208. Salah satu yang dipandang oleh Harris sebagai theorem dari ilmu hukum murni adalah “A legal systems is to be equated with collection of pure norms interpreted by legal scientists as a non-contradictori ield of meaning–such interpretation entailing the logical postulate that legal norms must originate in a deinite number of sources” yang selanjutnya disebut sebagai prinsip derogasi derogation dan non-contradiction. J.W. Harris, Op.Cit., hal. 24, 41. 390 Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 162. 391 Ibid., hal. 162. 392 Ibid., hal. 162. Walaupun teori yang demikian dapat dibuat, namun te- tap tidak mungkin menjadi ilmu hukum sebagaimana diyakini oleh para pendukungnya. Kepercayaan tersebut hanya mungkin muncul jika seseorang mengidentikkan ilmu dengan ilmu alam dan menempatkan masyarakat secara umum dan hukum seb- agai bagian dari alam. Maka kehidupan sosial juga harus dilihat sebagai subyek dari hukum probabilitas. Walaupun jika terdapat kemungkinan mendeskripsikan fenomena hukum dengan cara demikian, suatu ilmu hukum normatif sebagai analisis struk- tural hukum sebagai suatu sistem norma yang valid juga tetap dapat dilakukan dan tidak dapat di kesampingkan. 392

2. Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Em- piris Deskriptif