Kritik terhadap Konsep Austin tentang Kewajiban Tidak ada Pembedaan antara Kewajiban dan Pertang-

elemen karakteristik hukum primitif. 163 Pertanggungjawaban individual terjadi pada saat sanksi dikenakan hanya pada deli­ quent . 164 Baik pertanggungjawaban individual maupun kolektif dapat diberlakukan dengan mengingat fakta bahwa tidak ada individu dalam masyarakat yang sepenuhnya independen. Bah- kan dikatakan bahwa mempertentangkan antara individu dan komunitas adalah dalil ideologis dari sistem liberal, yang harus ditempatkan sama dengan dalil-dalil ideologi komunis. 165 Ketika sanksi tidak diterapkan kepada deliquent, tetapi ke- pada individu yang memiliki hubungan hukum dengan deliquent, maka pertanggungjawaban individu tersebut memiliki karakter pertanggungjawaban abslut. 166 Pertanggungjawaban kolektif selalu merupakan pertanggungjawaban absolut. 167

3. Kritik terhadap Konsep Austin tentang Kewajiban Tidak ada Pembedaan antara Kewajiban dan Pertang-

gungjawaban Konsep kewajiban yang dikembangkan di sini adalah konsep yang dimaksudkan oleh teori analitis Austin, tetapi tidak pernah benar-benar berhasil mencapainya. Argumentasi Austin berdasarkan pada asumsi bahwa sanksi selalu dikena- kan pada deliquent dan tidak diperhatikan kasus di mana sanksi juga dikenakan kepada individu dalam hubungan hukum ter- tentu dengan deliquent. Dia tidak menyadari perbedaan antara diwajibkan being obligated dengan bertanggungjawab . Deinisinya tentang kewajiban hukum adalah: “diwajibkan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau ditempatkan di bawah kewajiban atau keharusan melakukan atau tidak melakukan, adalah menjadi dapat dimintai pertanggungjawaban untuk suatu sanksi dalam hal tidak me­ matuhi suatu perintah.” Tetapi bagaimana dengan kasus di mana orang selain yang tidak mematuhi hukum, dalam bahasa Austin perintah, bertanggungjawab terhadap suatu sanksi? 168 Kewajiban Hukum tidak Mengikat secara Psikologis Pernyataan bahwa seorang individu diharuskan secara hukum untuk perbuatan tertentu adalah suatu penekanan ten- tang isi suatu norma hukum, bukan tentang peristiwa nyata, khususnya bukan tentang sikap mental individu tersebut. Dalam menentukan kewajiban, yaitu dengan memberikan sanksi pada pelanggaran kewajiban delik, aturan hukum mungkin dengan maksud agar individu memenuhi kewajibannya karena takut akan sanksi. Tetapi pertanyaan apakah orang benar-benar takut atau tidak terhadap sanksi dalam melaksanakan kewajibannya tidak relevan bagi teori hukum. Jika keharusan hukum diek- spresikan dengan mengatakan bahwa seorang individu terikat dengan aturan hukum, model ekspresi ini tidak boleh dipahami secara psikologis bahwa hal tersebut merupakan motif perbua- tannya. Ini hanya bermakna bahwa dalam suatu norma hukum yang valid, perbuatan tertentu dari individu terkait dengan suatu sanksi. Pernyataan hukum bahwa seorang individu diharuskan secara hukum atas perbuatan tertentu mengikat walaupun jika individu tersebut tidak peduli bahwa dia diharuskan. Bahkan dalam hukum positif terdapat kemungkinan di mana individu yang diharuskan oleh norma hukum tidak mungkin dapat mengetahui norma tersebut, yaitu dalam kasus norma yang berlaku surut. 169 168 Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 71. 169 Ibid., hal. 71–72. 164 Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 68. 165 Kelsen, Introduction, Op.Cit., hal. 51–52. 166 Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 70. 167 Kelsen, Pure Theory, Op.Cit., hal. 125. Kewajiban sebagai Ketakutan terhadap Sanksi Austin menyatakan bahwa orang terikat dengan ke- harusan melakukan atau tidak melakukan sesuatu adalah karena hal itu jahat dan orang itu takut akan sanksi. Namun Apakah seseorang bertanggungjawab terhadap suatu sanksi atau tidak tidak bergantung pada apakah dia takut atau tidak terhadap sanksi. Jika benar bahwa seseorang terikat atau diharuskan karena takut pada sanksi, maka seharusnya deinisinya berkem- bang menjadi “to be obliged is to fear the sanction .” Tetapi deinisi ini tidak sesuai dengan prinsip teori hukum analisis yang menekan- kan pada perintah. 170

F. HAK HUKUM 1. Hak dan Kewajiban