Tindakan Yudisial dan Penerapan Norma yang Ada

5. Tindakan Yudisial dan Penerapan Norma yang Ada

Dari sudut pandang dinamis, keputusan pengadilan yang mengadakan norma individual yang dibuat berdasarkan norma umum undang-undang atau kebiasaan adalah cara yang sama halnya dengan norma umum tersebut dibuat berdasarkan konstitusi. Pembuatan norma hukum individual oleh organ pe- laksana hukum, khususnya pengadilan, harus selalu ditentukan oleh satu atau lebih norma umum yang ada terlebih dahulu preëxistent . Penentuan ini dapat dilakukan secara berbeda de- rajatnya. Normalnya, pengadilan terikat oleh norma umum yang menentukan prosedur sebagaimana pula isi dari keputusannya. Namun mungkin pula legislator mengotorisasi pengadilan untuk memutuskan kasus konkret berdasarkan dikresinya. Ini adalah prinsip yang dalam negara ideal Plato disebut royal judges dengan kekuasaan yang hampir tidak terbatas. 357 Namun demikian, harus diingat bahwa pengadilan bukan hanya organ pembuat hukum, tetapi juga organ pelak- sana hukum. Dalam setiap keputusan yudisial, norma umum hukum ajektif diaplikasikan dalam tindakan sebagai hakim dan untuk memutuskan kasus konkret atas diskresinya atau berdasarkan norma umum hukum substantif. Norma umum hukum ajektilah yang mendelegasikan kekuasaan yudisial ke- pada pengadilan. Tanpa norma ini, adalah tidak mungkin me- ngakui individu sebagai hakim yang memutus kasus konkret, sebagai organ komunitas hukum dan keputusannya sebagai hukum yang merupakan norma mengikat dalam tata hukum yang membentuk komunitas hukum. 358 Jika fungsi pengadilan diatur baik oleh hukum substantif dan hukum ajektif, yang berarti baik prosedur maupun isi kepu- tusannya telah dtentukan oleh norma umum yang telah ada, maka pengadilan terikat dalam derajat yang berbeda. Jika tidak ada norma umum yang memberikan kewajiban dalam kasus yang diajukan, maka kompetensi pengadilan dapat ditentukan dalam dua cara. Pengadilan dapat membebaskan terdakwa atau menolak gugatan penggugat. Dalam kasus ini pengadilan juga menerapkan hukum substantif sepanjang berkaitan dengan pernyataan bahwa tata hukum positif tidak mewajibkan ter- dakwa atau tergugat untuk berbuat sesuatu yang diklaim oleh penuntut atau penggugat. Hal ini berarti bahwa sesuai dengan hukum yang berlaku, terdakwa atau tergugat diijinkan untuk bertindak sebagaimana yang mereka lakukan. 359 Diskresi Pengadilan Hakim sebagai Legislator Cara lain menentukan kompetensi pengadilan dalam kasus tidak adanya norma umum yang menentukan kewajiban terdakwa atau tergugat seperti yang diklaim oleh penuntut atau penggugat adalah sebagai berikut: Pengadilan diotorisasi oleh tata hukum untuk memutuskan kasus dalam diskresinya sendiri, untuk menghukum atau membebaskan terdakwa, un- tuk menerima atau menolak tuntutan, untuk memerintahkan atau menolak memerintahkan suatu sanksi kepada terdakwa atau tergugat. Pengadilan diotorisasi untuk memerintahkan 358 Ibid., hal. 144. 359 Ibid., hal. 145. 360 Ibid. Kasus di mana pengadilan di otorisasi ini merupakan alternatif pada saat tidak terdapatnya norma umum substansial. Jika ada norma umum, maka hakim harus melaksanakannya. Berdasarkan pandangan ini muncul aliran penafsiran konstitusi formalism yang berpendapat bahwa ruang penafsiran adalah secara semantik berdasarkan norma-norma dalam konstitusi. Lihat Charles Sampford and Kim Preston eds., Interpreting Constitution: Theories, Principles, and Institutions, NSW: The Federation Press, 1996, hal. 232–234. 361 Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 146. Kelsen, Introduction, Op.Cit., hal. 81–82. suatu sanksi terhadap terdakwa atau tergugat walaupun tidak ada norma umum yang dilanggar berdasarkan klaim bahwa perbuatan tersebut tidak menyenangkan, tidak adil, atau tidak seimbang. Hal ini berarti pengadilan diotorisasikan untuk mem- buat kasus konkret menjadi norma hukum substantif yang menyenangkan, adil, atau seimbang. Maka pengadilan kemudian berfungsi sebagai suatu legislatif. 360 Bahkan pengadilan selalu merupakan legislatif dalam hal sanksi karena membuatnya menjadi hukum. Individual- isasi norma umum oleh keputusan yudisial selalu merupakan penentuan elemen yang belum ditentukan oleh norma umum dan tidak dapat secara lengkap menentukannya. Hakim adalah selalu merupakan legislator dalam arti bahwa isi keputusannya tidak pernah dapat ditentukan secara lengkap oleh norma hu- kum substantif yang telah ada. 361

6. Kekosongan Hukum