Hukum Retroaktif dan Ketidaktahuan Hukum
Nilai politik dan moral atas hukum retroaktif mungkin dipermasalahkan, tetapi kemungkinannya tidak dapat diragu-
kan. Konstitusi Amerika misalnya menyatakan dalam Artikel I Seksi 9 klausul 3: “ No…ex post facto law shall be passed.
” Terma ex post facto law
ditafsirkan sebagai hukum pidana yang berlaku retroaktif. Hukum retroaktif menuai keberatan dan tidak di-
inginkan karena melukai perasaan keadilan atas sanksi, terutama hukuman, terhadap individu karena suatu tindakan atau omisi
di mana individu tersebut tidak dapat mengetahui bahwa hal itu akan dikenai sanksi.
111
Namun, kita mengenal prinsip dasar dalam semua tata hukum positif bahwa ketidaktahuan hukum tidak merupakan
pemaaf seseorang ignorantia juris neminem excusat. Fakta bah- wa seorang individu tidak tahu bahwa hukum memuat sanksi
pada perbuatannya atau omisinya adalah bukan alasan untuk tidak mengenakan sanksi kepadanya. Kadang-kadang prin-
sip tersebut ditafsirkan secara restriktif yaitu “ketidaktahuan hukum bukan pemaaf jika individu tidak tahu hukumnya walaupun
memungkinkan possible untuk mengetahui hukum
”. Maka prinsip ini menjadi tidak sesuai dengan penolakan hukum retroaktif.
Pemisahan antara kasus di mana individu dapat mengetahui hukum yang valid pada waktu dia melakukan delik, dan kasus
di mana individu tidak dapat mengetahui hukum adalah sesuatu yang problematik.
112
Kenyataannya, secara umum dipresuposisikan bahwa hukum yang valid dapat diketahui oleh individu yang perilaku-
nya diatur oleh hukum tersebut. Ini adalah presumptio juris et de jure
, yaitu suatu dugaan hukum yang tidak membutuhkan bukti. Hal ini adalah tidak benar; praduga tersebut merupakan
bentuk dari iksi hukum. Sesuai dengan kemungkinan dan ke- tidakmungkinan mengetahui hukum tersebut, maka tidak ada
perbedaan yang esensial antara suatu hukum yang retroaktif dan dalam banyak kasus hukum yang tidak retroaktif tapi tidak
dapat diketahui oleh individu yang menjadi subyek hukum.
113
4. Norma Hukum Norma Hukum dan Aturan Hukum dalam
Arti Deskriptif Jika paksaan coercion adalah elemen esensial hukum,
maka norma yang membentuk tata hukum harus norma yang menentukan suatu coercive act, yaitu sanksi. Sebagai ba-
giannya, norma umum harus norma di mana sanksi tertentu dibuat tergantung pada kondisi tertentu. Ketergantungan ini
diekspresikan dengan konsep keharusan ought. Hal ini tidak menyebabkan bahwa perumusan norma dilakukan dalam ben-
tuk keharusan atau preskripsi.
114
Pembuat hukum dapat juga menentukan dengan bentuk kalimat akan datang future tense
seperti “a thief will be punished”. Frase akan dihukum tidak meng- implikasikan prediksi peristiwa yang akan datang, tetapi suatu
imperatif atau perintah dalam makna iguratif.
115
Adalah tugas dari ilmu hukum mewakili hukum suatu komunitas, yaitu materi yang diproduksi oleh otoritas hukum
dalam prosedur pembuatan hukum, menjelaskan akibat ben- tuk pernyataan bahwa jika hal tertentu dan kondisi tertentu
terpenuhi, maka sanksi tertentu akan mengikuti. Pernyataan
111
Ibid., hal. 44.
112
Ibid., hal. 44.
113
Ibid., hal. 44.
114
Keharusan atau preskripsi ini dapat diatur baik secara positif maupun negatif dalam bentuk perintah commanding, otorisasi authorizing dan juga permit-
ting. Kelsen, Pure Theory, Op.Cit., hal. 15–17.
115
Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 45.
ini harus tidak dicampurkan dengan norma yang dibuat oleh otoritas pembuat hukum. Norma hukum yang ditetapkan
oleh otoritas pembuat hukum adalah peskriptif, sedangkan aturan hukum yang diformulasikan oleh ilmu hukum adalah
deskriptif.
116
Aturan Hukum dan Hukum tentang Alam “Law of Nature”
Hukum adalah suatu fenomena sosial, yaitu sesuatu yang dapat diamati dalam masyarakat. Masyarakat sebagai obyek
amatan adalah hal yang berbeda dari fenomena alam. Jika ilmu hukum tidak sama dengan ilmu alam, maka harus memiliki
perbedaan sebanyak mungkin dengan ilmu alam. Perbedaan tersebut adalah pada interpretasi data sosial berupa tindakan
sebagai tindakan itu sendiri dan bukan sebagai fakta material eksternal yang ditangkap dari suatu obyek.
117
Aturan hukum, terma yang digunakan dalam makna des- kriptif, adalah suatu hypothetical judgment hypothetisches Urteil
118
yang memberikan konsekuensi tertentu atas kondisi tertentu. Hal ini juga merupakan bentuk logis dari law of nature. Seperti
halnya hukum alam, ilmu alam mendeskripsikan obyeknya dalam kalimat yang memiliki karakter hypothetical judgment. Dan
seperti halnya aturan hukum, law of nature juga menghubungkan dua faktor di mana satu sebagai kondisi dan yang lain sebagai
konsekuensi. Kondisi dalam hal ini adalah sebab sedangkan konsekuensi adalah akibat. Bentuk fundamental law of nature
adalah hukum kausalitas. Perbedaan antara aturan hukum dan law of nature
adalah bahwa aturan hukum mengenai manusia dan perbuatannya, sedangkan law of nature mengenai sesuatu dan
reaksinya. Law of nature menentukan bahwa jika A terjadi, maka B terjadi atau akan terjadi. Aturan hukum menyatakan; jika A
terjadi, B harus terjadi. Aturan hukum adalah suatu norma.
119
Biasanya perbedaan antara law of nature dengan norma dikarakteristikkan dengan pernyataan bahwa law of nature tidak
dapat memiliki perkecualian, sedangkan norma dapat. Namun hal ini tidak benar. Suatu fakta memiliki karakter sebagai per-
kecualian terhadap suatu aturan jika pernyataan yang mem- bentuk fakta tersebut adalah secara logis bertentangan dengan
aturan. Karena suatu norma adalah bukan pernyataan tentang realitas, maka tidak ada pernyataan fakta riil yang dapat dikon-
tradiksikan dengan suatu norma. Maka tidak ada perkecualian dalam suatu norma.
120
Norma Hukum sebagai Standar Valuasi
Norma hukum dapat diaplikasikan tidak hanya dalam arti dilaksanakan oleh organ atau dipatuhi oleh subyeknya,
tetapi juga dalam arti membentuk dasar bagi suatu penilaian spesiik untuk mengkualiikasikan perbuatan organ, atau sub-
yek sebagai lawful atau unlawful . Suatu tindakan dikualiikasikan
sebagai perbuatan tertentu menurut norma, seperti tindakan menghilangkan nyawa dikualiikasikan sebagai pembunuhan.
Ini adalah penilaian spesiik yang juristik di mana norma ber- fungsi sebagai skema penilaian tindakan scheme of interpretati
on.
121
Namun aktivitas penilaian hakim juga terkait dengan adil atau tidak adil, tetapi hanya sepanjang kapasitasnya dalam
menjalankan fungsi pembuatan hukum. Sepanjang dia terlihat mengaplikasikan hukum, tindakannya dimaknai sebagai lawful
atau unlawful seperti tindakan orang lain sebagai subyek dari hukum.
122
116
Ibid., hal. 45. Kelsen, Pure Theory, Op.Cit., hal. 71–75.
117
Kelsen, Introduction, Op.Cit., hal. 8–9.
118
Ibid., hal. 23.
119
Kelsen, General Theory, Op.Cit., hal. 45–46.
120
Ibid., hal. 46.
121
Kelsen, Introduction, Op.Cit., hal. 10-11. Kelsen, Pure Theory, Op.Cit., hal. 3-4.
Suatu penilaian hukum yang menentukan hubungan positif atau negatif antara perbuatan manusia tertentu dengan
norma hukum, mengimplikasikan keyakinan eksistensi suatu norma hukum. Keyakinan ini dapat diveriikasi dengan kenya-
taan keberadaan norma tersebut. Maka penilaian hukum me- miliki karakter obyektif sehingga eksistensi nilai hukum adalah
sesuatu yang dapat diveriikasi secara obyektif.
123
B. SANKSI