Evaluasi yang dilakukan oleh BPBD menyertakan bantuan dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, Wartawan, LSM, dan lain-lain agar memudahkan sistem
monitoring sehingga jika ada tindakan penyelewengan bisa segera ditindak dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
62
a. Faktor Pendukung Pelaksanaan Program RR IV.4.3 Faktor Pendukung dan Faktor Kendala
Hasil wawancara yang peneliti lakukan pada Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi sebagai faktor pendukung dalam menjalankan program ini
menyebutkan bahwa Pemerintah sangat memfasilitasi semua kegiatan dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi, mulai dari gaji, biaya transportasi ke
lapangan, perjalanan dinas ke Banda Aceh maupun ke Jakarta, bahkan biaya rapat koordinasi internal BPBD dan rapat bersama dinasinstansi Pemerintahan
lainnya.
63
b. Faktor Kendala 1. Keterbatasan Dana
Berdasarkan hasil wawancara yang saya lakukan bersama informan, menyebutkan bahwa kekurangan dana adalah salah satu faktor penghambat dalam
pelaksanaan program ini, baik dana yang bersumber dari APBN dan APBA. Sehingga ada beberapa masyarakat sampai saat ini belum mendapatkan bantuan,
62
Wawancara dengan Kasi Rehabilitasi, Bapak Mahlansyah, S.T 20092014
63
Wawancara dengan Kabid RR, Bapak Gusti Martarosa, S.T 27082014
Universitas Sumatera Utara
dan menuntut kepada BPBD. Kekurangan dana untuk penyelesaian program ini sekitar Rp.25 Milyar.
64
BPBD belum bisa memastikan, karena jawaban konkret dari BNPB juga belum ada. Tetapi BPBD berusaha untuk terus meminta. Kepala BPBD mengaku
juga sudah sering ke Jakarta, ke Banda Aceh untuk selalu mengingatkan BPBA dan BNPB agar kekurangan dana segera dicairkan.
Solusi Kekurangan Dana
65
2. Budaya Masyarakat
Salah satu faktor penghambat dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi adalah budaya masyarakat yang masih tradisionil dan latar belakang masyarakat
yang majemuk. Contoh kasusnya adalah, beberapa oknum masyarakat yang menyelewengkan dana pembangunan rumahnya untuk kebutuhan yang tidak
penting. Maka, Pemerintah mempunyai hak menghentikan pencairan dana untuk tahap selanjutnya, dan secara tegas masyarakat tersebut dapat diproses secara
hukum.
66
3. Rendahnya Kualitas SDM Masyarakat dan SDM Fasilitator
Hambatan lainnya yaitu sejumlah masyarakat membangun rumahnya tidak mematuhi persyaratan kaidah teknis pembangunan rumah ramah gempa. Selain itu
hambatan juga dialami oleh para pengeksekusi kebijakan seperti: fasilitator, dan pegawai BPBD, dikarenakan belum pernah sebelumnya melaksanakan kegiatan
64
Wawancara dengan Kepala BPBD, Bapak Djauhari, S.T 22092014
65
Wawancara dengan Kepala BPBD, Bapak Djauhari, S.T 22092014
66
Wawancara dengan Kabid RR, Bapak Gusti Martarosa, S.T 27082014
Universitas Sumatera Utara
rehabilitasi dan rekonstruksi ini, mulai dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat Kampung, jadi masih membutuhkan proses adaptasi untuk mempelajari
mekanisme kegiatannya agar berjalan dengan lebih baik.
67
4. Terbatasnya Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia
Kendala lain seperti ketersediaan bahan baku yang terbatas sebab ada kebutuhan-kebutuhan yang secara serentak harus dipenuhi, hal tersebut kemudian
menimbulkan spekulan-spekulan yang merusak harga bahan kebutuhan bangunan tersebut. Contoh: naiknya harga semen karena permintaan meningkat, harga kayu
juga melambung dikarenakan masyarakat saat ini lebih memilih membangun rumah semi permanen daripada rumah beton dikarenakan trauma yang masih
membekas. Ketersediaan tukang ahli bangunan yang terbatas, jadi ahli bangunan tukang pada kenyataannya banyak yang berasal dari luar daerah. Upaya
untuk meminimalisir dampak terssebut seharusnya bisa diantisipasi oleh kinerja Tim Pendamping Masyarakat, namun dalam implementasinya TPM tidak
melakukan fungsi pendampingan dan kinerja dengan baik.
68
Keterbatasan SDM fasilitator juga merupakan kendala, jumlah fasilitator diprogramkan hanya cukup untuk memfasilitasi 2000KK saja, sementara jumlah
korban saat ini mencapai lebih dari 7000KK, sehingga fungsi pengawasan terbatas dan tidak maksimalnya kinerja fasilitator dalam memfasilitasi masyarakat.
Program pemerintah tersebut seharusnya dikelompokkan dalam 3 gelombang pekerjaan, artinya untuk tahap pertama mengerjakan 2000 rumah terlebih dahulu,
67
Wawancara dengan Kabid RR, Bapak Gusti Martarosa, S.T 27082014
68
Wawancara dengan Kabid RR, Bapak Gusti Martarosa, S.T 27082014
Universitas Sumatera Utara
kemudian 2000 rumah lagi, dan sisanya menyusul 3000 rumah. Namun masyarakat enggan menerima mekanisme seperti ini, masyarakat meminta proses
pelaksanaan Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi berjalan serentak di seluruh wilayah. Padahal jika program pemerintah tadi bisa berjalan sesuai rencana yang
telah ada, pemerintah bisa menentukan skala prioritas dan proses controlling bisa lebih mudah, tujuannya agar pekerjaan bisa lebih efektif dan kemungkinan besar
dalam rentang waktu empat bulan bisa diselesaikan 1 gelombang pekerjaan. Namun karena sistem kerja tersebut tidak diterapkan, maka faktanya di lapangan
fasilitator tidak mampu menyelesaikan RAB dan sketch rumah masyarakat. Jadi masyarakat mencari pihak ketiga, sehingga menimbulkan banyaknya oknum yang
memanfaatkan situasi seperti ini. Ditambah lagi tidak semua fasilititator yang bekerja secara professional sehingga mereka juga menjadi bagian dari oknum-
oknum yang memanfaatkan kelemahan masyarakat dengan cara menekan masyarakat dengan dalih bantuan teknis membuat RAB. Terlebih lagi sebenarnya
masalah-masalah yang terjadi sudah sangat banyak, karena satu Kabupaten ini hanya BPBD yang membidangi secara khusus tentang kebencanaan.
69
5. Tumpang Tindih dan Buruknya Pendataan
Masalah tumpang tindih data juga merupakan kendala yang sering Pemerintah hadapi di lapangan, namun hal tersebut terus dibenahi dan koreksi
seiring berjalannya program. Karena pada dasarnya setiap KK hanya boleh menerima bantuan satu 1 rumah.
69
Wawancara dengan Kabid RR, Bapak Gusti Martarosa, S.T 27082014
Universitas Sumatera Utara
Kriteria penyelewengan jenis kerusakan, baik rusak sedang maupun rusak berat juga merupakan hal yang sering dijumpai di lapangan. Contohnya dalam
suatu kasus sebenarnya masyarakat hanya mengalami rusak sedang, tapi dalam pendataan ditulis rusak berat. Banyaknya manipulasi data di tingkat bawah juga
merupakan permasalahan yang sangat kompleks dalam program ini. Contohnya saat Reje memecah KK dengan anaknya pasca bencana terjadi. Jadi, Reje dan
anaknya sama-sama mendapat bantuan sehingga proses pendataan menjadi kacau dan tak transparan. Contoh kongkrit lainnya seperti kasus penipuan di Kampung
Pinangan yaitu Reje memanipulasi data korban bencana, sehingga masyarakat yang seharusnya mendapatkan bantuan, menjadi tidak dapat karena dialihkan
kepada masyarakat lain.
70
a. Uji Publik IV.4 Implementasi Penanggulangan Bencana oleh BPBD di Masyarakat
IV.4.1 Pelaksanaan Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Uji publik dilaksanakan Pemerintah pada tanggal 20 Oktober 2013. Beberapa masyarakat melakukan proses penyanggahan, namun sanggahan
tersebut ada yang diterima ada juga yang ditolak. Di salah satu kampung, seperti Kampung Blang Gele ada sekitar 13 orang yang menyanggah, mereka kemudian
dipanggil untuk menindaklanjuti proses berikutnya. Penilaian dan verifikasi pada masyarakat yang melakukan sanggahan dilakukan oleh fasilitator.
71
70
Wawancara dengan Kabid RR, Bapak Gusti Martarosa, S.T 27082014
71
Wawancara dengan Budi, Rusak Sedang, Kampung Blang Gele 21092014
Dilain pihak, informan yang peneliti wawancarai menyebutkan bahwa proses penyanggahan
Universitas Sumatera Utara
didampingi oleh tim BPBD, fasilitator, aparat kampung Sekdes dan Reje Kapolsek dan Danramil. Di lokasi Kampung Jerata terdapat 3 orang yang
menyanggah.
72
b. Pembentukan Pokmas
Pokmas dibentuk berdasarkan klasifikasi kerusakannya, pembentukan pokmas pertama kali dilakukan pada bulan September 2013, namun secara resmi
baru ditetapkan pada bulan Nopember 2013. Struktur kepengurusan pokmas harus diisi oleh masyarakat yang tidak mempunyai fungsi atau bekerja pada
Pemerintahan, hal tersebut dikarenakan untuk mengantisipasi tidak fokusnya ketua pokmas jika merangkap jabatan, sehingga menyebabkan terbengkalainya
kepengurusan pokmas, jadi kepengurusan pokmas harus diisi oleh masyarakat biasa yang dipilih oleh anggota pokmas terkait. Proses pembentukan pokmas
didampingi oleh fasilitator melalui proses musyawarah mufakat. Struktur kepengurusan pokmas terdiri dari Ketua Pokmas, Bendahara, Sekretaris, dan
Anggota.
73
c. Syarat Untuk Menerima Bantuan