Faktor Pendukung Pelaksanaan Program RR IV.4.3 Faktor Pendukung dan Faktor Kendala Uji Publik IV.4 Implementasi Penanggulangan Bencana oleh BPBD di Masyarakat Pembentukan Pokmas

Evaluasi yang dilakukan oleh BPBD menyertakan bantuan dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, Wartawan, LSM, dan lain-lain agar memudahkan sistem monitoring sehingga jika ada tindakan penyelewengan bisa segera ditindak dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. 62

a. Faktor Pendukung Pelaksanaan Program RR IV.4.3 Faktor Pendukung dan Faktor Kendala

Hasil wawancara yang peneliti lakukan pada Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi sebagai faktor pendukung dalam menjalankan program ini menyebutkan bahwa Pemerintah sangat memfasilitasi semua kegiatan dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi, mulai dari gaji, biaya transportasi ke lapangan, perjalanan dinas ke Banda Aceh maupun ke Jakarta, bahkan biaya rapat koordinasi internal BPBD dan rapat bersama dinasinstansi Pemerintahan lainnya. 63

b. Faktor Kendala 1. Keterbatasan Dana

Berdasarkan hasil wawancara yang saya lakukan bersama informan, menyebutkan bahwa kekurangan dana adalah salah satu faktor penghambat dalam pelaksanaan program ini, baik dana yang bersumber dari APBN dan APBA. Sehingga ada beberapa masyarakat sampai saat ini belum mendapatkan bantuan, 62 Wawancara dengan Kasi Rehabilitasi, Bapak Mahlansyah, S.T 20092014 63 Wawancara dengan Kabid RR, Bapak Gusti Martarosa, S.T 27082014 Universitas Sumatera Utara dan menuntut kepada BPBD. Kekurangan dana untuk penyelesaian program ini sekitar Rp.25 Milyar. 64 BPBD belum bisa memastikan, karena jawaban konkret dari BNPB juga belum ada. Tetapi BPBD berusaha untuk terus meminta. Kepala BPBD mengaku juga sudah sering ke Jakarta, ke Banda Aceh untuk selalu mengingatkan BPBA dan BNPB agar kekurangan dana segera dicairkan. Solusi Kekurangan Dana 65

2. Budaya Masyarakat

Salah satu faktor penghambat dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi adalah budaya masyarakat yang masih tradisionil dan latar belakang masyarakat yang majemuk. Contoh kasusnya adalah, beberapa oknum masyarakat yang menyelewengkan dana pembangunan rumahnya untuk kebutuhan yang tidak penting. Maka, Pemerintah mempunyai hak menghentikan pencairan dana untuk tahap selanjutnya, dan secara tegas masyarakat tersebut dapat diproses secara hukum. 66

3. Rendahnya Kualitas SDM Masyarakat dan SDM Fasilitator

Hambatan lainnya yaitu sejumlah masyarakat membangun rumahnya tidak mematuhi persyaratan kaidah teknis pembangunan rumah ramah gempa. Selain itu hambatan juga dialami oleh para pengeksekusi kebijakan seperti: fasilitator, dan pegawai BPBD, dikarenakan belum pernah sebelumnya melaksanakan kegiatan 64 Wawancara dengan Kepala BPBD, Bapak Djauhari, S.T 22092014 65 Wawancara dengan Kepala BPBD, Bapak Djauhari, S.T 22092014 66 Wawancara dengan Kabid RR, Bapak Gusti Martarosa, S.T 27082014 Universitas Sumatera Utara rehabilitasi dan rekonstruksi ini, mulai dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat Kampung, jadi masih membutuhkan proses adaptasi untuk mempelajari mekanisme kegiatannya agar berjalan dengan lebih baik. 67

4. Terbatasnya Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia

Kendala lain seperti ketersediaan bahan baku yang terbatas sebab ada kebutuhan-kebutuhan yang secara serentak harus dipenuhi, hal tersebut kemudian menimbulkan spekulan-spekulan yang merusak harga bahan kebutuhan bangunan tersebut. Contoh: naiknya harga semen karena permintaan meningkat, harga kayu juga melambung dikarenakan masyarakat saat ini lebih memilih membangun rumah semi permanen daripada rumah beton dikarenakan trauma yang masih membekas. Ketersediaan tukang ahli bangunan yang terbatas, jadi ahli bangunan tukang pada kenyataannya banyak yang berasal dari luar daerah. Upaya untuk meminimalisir dampak terssebut seharusnya bisa diantisipasi oleh kinerja Tim Pendamping Masyarakat, namun dalam implementasinya TPM tidak melakukan fungsi pendampingan dan kinerja dengan baik. 68 Keterbatasan SDM fasilitator juga merupakan kendala, jumlah fasilitator diprogramkan hanya cukup untuk memfasilitasi 2000KK saja, sementara jumlah korban saat ini mencapai lebih dari 7000KK, sehingga fungsi pengawasan terbatas dan tidak maksimalnya kinerja fasilitator dalam memfasilitasi masyarakat. Program pemerintah tersebut seharusnya dikelompokkan dalam 3 gelombang pekerjaan, artinya untuk tahap pertama mengerjakan 2000 rumah terlebih dahulu, 67 Wawancara dengan Kabid RR, Bapak Gusti Martarosa, S.T 27082014 68 Wawancara dengan Kabid RR, Bapak Gusti Martarosa, S.T 27082014 Universitas Sumatera Utara kemudian 2000 rumah lagi, dan sisanya menyusul 3000 rumah. Namun masyarakat enggan menerima mekanisme seperti ini, masyarakat meminta proses pelaksanaan Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi berjalan serentak di seluruh wilayah. Padahal jika program pemerintah tadi bisa berjalan sesuai rencana yang telah ada, pemerintah bisa menentukan skala prioritas dan proses controlling bisa lebih mudah, tujuannya agar pekerjaan bisa lebih efektif dan kemungkinan besar dalam rentang waktu empat bulan bisa diselesaikan 1 gelombang pekerjaan. Namun karena sistem kerja tersebut tidak diterapkan, maka faktanya di lapangan fasilitator tidak mampu menyelesaikan RAB dan sketch rumah masyarakat. Jadi masyarakat mencari pihak ketiga, sehingga menimbulkan banyaknya oknum yang memanfaatkan situasi seperti ini. Ditambah lagi tidak semua fasilititator yang bekerja secara professional sehingga mereka juga menjadi bagian dari oknum- oknum yang memanfaatkan kelemahan masyarakat dengan cara menekan masyarakat dengan dalih bantuan teknis membuat RAB. Terlebih lagi sebenarnya masalah-masalah yang terjadi sudah sangat banyak, karena satu Kabupaten ini hanya BPBD yang membidangi secara khusus tentang kebencanaan. 69

5. Tumpang Tindih dan Buruknya Pendataan

Masalah tumpang tindih data juga merupakan kendala yang sering Pemerintah hadapi di lapangan, namun hal tersebut terus dibenahi dan koreksi seiring berjalannya program. Karena pada dasarnya setiap KK hanya boleh menerima bantuan satu 1 rumah. 69 Wawancara dengan Kabid RR, Bapak Gusti Martarosa, S.T 27082014 Universitas Sumatera Utara Kriteria penyelewengan jenis kerusakan, baik rusak sedang maupun rusak berat juga merupakan hal yang sering dijumpai di lapangan. Contohnya dalam suatu kasus sebenarnya masyarakat hanya mengalami rusak sedang, tapi dalam pendataan ditulis rusak berat. Banyaknya manipulasi data di tingkat bawah juga merupakan permasalahan yang sangat kompleks dalam program ini. Contohnya saat Reje memecah KK dengan anaknya pasca bencana terjadi. Jadi, Reje dan anaknya sama-sama mendapat bantuan sehingga proses pendataan menjadi kacau dan tak transparan. Contoh kongkrit lainnya seperti kasus penipuan di Kampung Pinangan yaitu Reje memanipulasi data korban bencana, sehingga masyarakat yang seharusnya mendapatkan bantuan, menjadi tidak dapat karena dialihkan kepada masyarakat lain. 70

a. Uji Publik IV.4 Implementasi Penanggulangan Bencana oleh BPBD di Masyarakat

IV.4.1 Pelaksanaan Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Uji publik dilaksanakan Pemerintah pada tanggal 20 Oktober 2013. Beberapa masyarakat melakukan proses penyanggahan, namun sanggahan tersebut ada yang diterima ada juga yang ditolak. Di salah satu kampung, seperti Kampung Blang Gele ada sekitar 13 orang yang menyanggah, mereka kemudian dipanggil untuk menindaklanjuti proses berikutnya. Penilaian dan verifikasi pada masyarakat yang melakukan sanggahan dilakukan oleh fasilitator. 71 70 Wawancara dengan Kabid RR, Bapak Gusti Martarosa, S.T 27082014 71 Wawancara dengan Budi, Rusak Sedang, Kampung Blang Gele 21092014 Dilain pihak, informan yang peneliti wawancarai menyebutkan bahwa proses penyanggahan Universitas Sumatera Utara didampingi oleh tim BPBD, fasilitator, aparat kampung Sekdes dan Reje Kapolsek dan Danramil. Di lokasi Kampung Jerata terdapat 3 orang yang menyanggah. 72

b. Pembentukan Pokmas

Pokmas dibentuk berdasarkan klasifikasi kerusakannya, pembentukan pokmas pertama kali dilakukan pada bulan September 2013, namun secara resmi baru ditetapkan pada bulan Nopember 2013. Struktur kepengurusan pokmas harus diisi oleh masyarakat yang tidak mempunyai fungsi atau bekerja pada Pemerintahan, hal tersebut dikarenakan untuk mengantisipasi tidak fokusnya ketua pokmas jika merangkap jabatan, sehingga menyebabkan terbengkalainya kepengurusan pokmas, jadi kepengurusan pokmas harus diisi oleh masyarakat biasa yang dipilih oleh anggota pokmas terkait. Proses pembentukan pokmas didampingi oleh fasilitator melalui proses musyawarah mufakat. Struktur kepengurusan pokmas terdiri dari Ketua Pokmas, Bendahara, Sekretaris, dan Anggota. 73

c. Syarat Untuk Menerima Bantuan