pembangunan rumahnya. Namun ada beberapa kendala yang dihadapi masyarakat dalam pelaksanaannya, yakni:
a. Pencairan Dana Bantuan Perumahan Yang Tidak Tepat Waktu
Sering ditundanya proses pencairan dana dan tidak tepatnya waktu dalam pencairan adalah salah satu yang menghambat masyarakat untuk mengerjakan
pembangunan rumahnya. Maka, secara terpaksa masyarakat harus menggunakan dana pribadi terlebih dahulu, dengan kata lain masyarakat rela meminjam dan
berhutang kepada para kerabat dan sanak keluarganya agar rumahnya dapat segera ditempati, agar tidak berlarut-larut menginap di tenda darurat dan wadah
pengungsian.
b. Kelangkaan dan Naiknya Harga Material Bangunan
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti, hambatan yang tidak kalah pentingnya adalah harga-harga material bangunan yang cenderung
naik dan terbatas, menyebabkan masyarakat harus kembali membuat perencanaan guna menyesuaikan harga material di pasaran, serta mencari sumber-sumber lain
dalam mencari material bahan bangunan, seperti jika masyarakat ingin membeli kayu dengan harga terjangkau namun illegal harus melalui persetujuan Kapolsek
untuk melegalkannya.
c. Sistem Administrasi Yang Terlalu Rumit
Kendala lain yang dihadapi masyarakat adalah rumitnya proses administrasi dan sistem birokrasi, sehingga masyarakat banyak mengalami
Universitas Sumatera Utara
kesalahan dalam setiap pembuatan berkas, terlebih lagi sampai berulang kali. Masyarakat menyebutkan bahwasanya hal tersebut dikarenakan tidak adanya
sosialisasi dan petunjukacuan yang seharusnya menjadi tanggungjawab fasilitator dan TPM.
d. Kurang Efektifnya Komunikasi dan Sosialisasi Oleh Fasilitator
Implementasi akan berjalan efektif apabila komunikasi yang disampaikan dalam menjelaskan ukuran dan tujuan kebijakan bisa dipahami oleh individu-
individu implementor. Dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan setiap masyarakat. Seperti penjelasan Bapak Ramli yang menjadi korban
gempa menyebutkan bahwa fasilitator tidak melakukan proses pendampingan secara langsung keseluruh anggota pokmas, namun fasilitator hanya melakukan
komunikasi dan sosialisasi pada ketua pokmas. Sehingga terlihat bahwa fasilitator hanya mengajarkan dan memfasilitatsi masyarakat dengan setengah hati. Hal
itulah sebenarnya yang membuat masyarakat menjadi emosionil, maka terjadilah banyak penyelewengan fungsi dan wewenang fasilitator. Seperti masyarakat harus
mengeluarkan dana dalam pembuatan RAB lagi pada fasilitator dengan dalih sebagai konsultan. Inilah dasar mengapa RAB akhirnya dibuatkan oleh fasilitator
dengan menggunakan dana. Selain itu, hambatan internal juga terjadi dalam tubuh pokmas seperti saat
ketua pokmas melakukan sosialisasi pada anggotanya, namun anggotnya tetap tidak bisa mengerti walau sudah dijelaskan berulang-ulang, ditambah lagi dengan
anggota yang terlalu sering membanding-bandingkan pokmasnya dengan pokmas
Universitas Sumatera Utara
lain yang sudah terlebih dahulu mendapatkan bantuan. Peneliti melihat bahwa hal tersebut tentu menjadi masalah walaupun pada akhirnya dapat diatasi dengan
adanya proses yang berulang-ulang serta musyawarah antar anggota pokmas. Karena pada dasarnya komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang
amat kompleks dan rumit. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula
Demikianlah, hambatan-hambatan yang diutarakan oleh BPBD maupun masyarakat. Peneliti melihat bahwa hambatan yang dinyatakan oleh BPBD
tersebut adalah hambatan yang bersifat holistic, jadi pemecahan masalah atas kondisi situasi tersebut agak sulit untuk dilakukan, karena hambatan bukan saja
berasal dari BPBD sendiri, namun hambatan dari luar, seperti masyarakat dan jenjang birokrasi yang berada di tingkat Propinsi ataupun Pusat.
Peneliti memperhatikan bahwa pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi di sektor perumahan dan permukiman ini masih lemah dalam
prakteknya, hal tersebut dikarenakan SDM yang belum benar-benar siap untuk menangani penanggulangan bencana sebesar ini, apalagi ini adalah bencana
terbesar yang diakibatkan oleh gempa bumi di Kabupaten ini. Hal ini dikarenakan proses perekrutan fasilitaor yang banyak menuai masalah, Penanggung Jawab
Operasional Kegiatan yang sering tidak ada di tempat, sehingga proses pelatihan dan pengawasan tidak berjalan dengan baik. Setiap implementor mengetahui
dengan jelas tugas dan fungsinya, mengetahui petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya dari UU, Qanun, PP, Perpres, ataupun Perka BNPB namun
terkadang melupakannya. Hal ini juga didukung oleh tidak maksimalnya kinerja
Universitas Sumatera Utara
BPBD dalam menyediakan SDM Fasilitator untuk mendampingi masyarakat, serta banyaknya oknum Fasilitator yang memanfaatkan jabatannya untuk meminta
imbalan pada masyarakat. Hingga banyak menimbulkan situasi yang tidak kondusif di lapangan, masyarakat yang mengeluh oleh karena buruknya kinerja
fasilitator yang tidak selalu bisa mendampingi ataupun membantu masyarakat saat mereka mengalami permasalahan.
Harapan Masyarakat
Kinerja Pemerintahan yang baik sesungguhnya adalah kinerja yang siap untuk diberikan masukan ataupun kritik yang berasal baik dari dalam organisasi
itu sendiri maupun berasal dari luar. Proses input yang baik akan menghasilkan output yang baik pula di sekitarnya. Dalam hal ini, masyarakat selaku korban
bencana, mapun objek penelitian memaparkan sedikit harapannya terhadap Pemerintah yang telah membantu mereka untuk keluar dari masa-masa sulit
setelah bencana gempa 2 Juli 2013 yang lalu. Bapak Sugianto dari Kampung Tapak Moge selaku masyarakat berharap agar Pemerintah lebih mengayomi dan
mensejahterakan masyarakat dengan cara mengedepankan prinsip keadilan, mempermudah sistem birokrasi, bukan malah membuatnya menjadi lebih rumit,
seperti mengenai pembuatan RAB dan sketch rumah. Bapak Siswo juga menambahkan bahwa sisa uang yang bersumber dari
APBA segera dicairkan, maupun sisa uang APBN senilain Rp. 2.000.000,- yang sampai peneliti melakukan penelitian mereka belum menerima realisasi dana
tersebut. Seharusnya jika uang tersebut bisa segera dicairkan masyarakat dapat
Universitas Sumatera Utara
mempergunakannya untuk keperluan lain pada rumah yang sampai saat belum terselesaikan. Walaupun sebenarnya masyarakat banyak yang berharap agar
realisasi mengenai kekurangan ataupun dana yang belum dicairkan segera dikucurkan oleh Pemerintah namun mereka tetap mengerti bahwa proses-proses
pencairan itu membutuhkan mekanisme yang panjang, dan berbelit-belit, sehingga mereka telah paham, dan membuat mereka jadi lebih sabar untuk menunggu
realisasi selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran. Pada sub bab kesimpulan digambarkan bagaimana pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi di
sektor perumahan dan permukiman yang dilakukan oleh BPBD Kabupaten Aceh Tengah yang telah hancur akibat bencana gempa bumi 2 Juli 2013. Pada sub bab
saran, akan dijelaskan bagaimana rekomendasi peneliti bagi BPBD Kabupaten Aceh Tengah.
VI.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang dilakukan, dalam melihat dan mengamati masalah atas Pelaksanaan Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi
pada Sektor Perumahan dan Permukiman di Kabupaten Aceh Tengah oleh BPBD, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Tahapan-tahapan pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstuksi yang dilakukan BPBD telah sesuai dengan ketentuan dari petunjuk teknis ataupun
petunjuk pelaksanaan yang ditetapkan oleh kebijakan yang berlaku, mengacu pada UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Kepala
BNPB No. 3 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Anggaran Kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana maupun panduan
dari Buku Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah Tahun 2013.
Universitas Sumatera Utara