74 Selama penelitian berlangsung kelembaban udara didalam ruangan diukur
dengan menggunakan hygrometer dengan hasil rata-rata didapatkan kelembaban udara ruangan sebesar 71.
Kelembaban udara juga merupakan salah satu kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup nyamuk. Menurut Jumar 2000,
kelembaban yang sesuai untuk perkembangan nyamuk dan serangga pada umumnya adalah sekitar 70 - 89. Sedangkan menurut Mardihusodo dalam
Yudhasuti 2005, kelembaban udara yang berkisar 81,5 - 89,5 merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi dan ketahanan hidup embrio
nyamuk. Standar yang diberikan WHO 2009 untuk kelembaban udara optimal ruangan Laboratorium saat penelitian adalah 80 ± 10.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa kondisi kelembaban dalam ruangan Laboratorium cukup ideal untuk kebutuhan dan kelangsungan hidup
nyamuk, sehingga faktor kelembaban tidak mempengaruhi kematian nyamuk dalam penelitian ini, yang dibuktikan oleh kematian nyamuk pada tabung Kontrol
tabung yang tidak mengandung kertas berinsektisida sebesar 0 .
5.2 Status Resistensi Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Malathion 0,8
dan Sipermethrin 0,75 di Kecamatan Medan Selayang
Secara statistik kematian nyamuk antara tabung Kontrol dengan tabung uji Malathion 0,8 dan Sipermethrin 0,75 didapatkan bahwa ada perbedaan rerata
kematian nyamuk Aedes aegypti yang berada di dalam tabung kontrol dengan kematian nyamuk yang berada di dalam tabung uji Malathion 0,8 dan
Sipermethrin 0,75. Meskipun demikian persentase kematian nyamuk pada
Universitas Sumatera Utara
75 tabung uji Malathion 0,8 dan Sipermethrin 0,75 dibawah 80 yang berarti
nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kecamatan Medan Selayang sudah resisten terhadap kedua insektisida tersebut. Persentase kematian nyamuk yang
diuji dalam tabung Malathion 0,8 sebesar 5 sedangkan persentase kematian nyamuk yang diuji dalam tabung Sipermethrin 0,75 sebesar 32,5.
Persentase kematian nyamuk pada Malathion 0,8 hampir mendekati 0 yang berarti nyamuk Aedes aegypti hampir 100 resisten terhadap Malathion
0,8. Hal ini disebabkan karena penggunaan Malathion secara terus menerus dan tidak pernah digunakan secara bergantian selama pemakaian puluhan tahun dengan
insektisida lain. Persentase kematian nyamuk pada tabung Sipermethrin 0,75 lebih tinggi dibandingkan dengan Malathion 0,8. Meskipun demikian
Sipermethrin juga sudah dikatakan resisten karena persentase kematian nyamuk Aedes aegypti
dibawah 80. Oleh karena itu kedua bahan aktif ini harus diganti dengan bahan aktif lain yang dapat membunuh nyamuk Aedes aegypti secara
efektif agar dapat menurunkan kasus DBD di Kota Medan. Menurut Depkes RI 2007 salah satu upaya penanggulangan DBD adalah
dengan cara penyemprotan insektisida yang diaplikasikan dengan pengasapan thermal fogging. Pengasapan fogging yaitu suatu teknik yang digunakan untuk
mengendalikan DBD dengan menggunakan insektisida tertentu yang berguna untuk mengurangi penularan sampai batas waktu tertentu. Penggunaan insektisida
dalam waktu lama atau dipakai secara terus menerus dapat menimbulkan kekebalan nyamuk resisten.
Universitas Sumatera Utara
76 Menurut Sucipto 2015 penggunaan insektisida secara terus menerus
cenderung mempercepat proses terjadinya resistensi serangga. Sementara penggunaan insektisida secara bergantian dengan insektisida dari kelompok kimia
yang berbeda dan cara kerja yang berbeda akan menghambat terjadinya resistensi serangga. Menurut penelitian Ahmad 2009 bahwa resistensi serangga terhadap
insektisida apapun jenisnya akan muncul ke permukaan setelah 2 -20 tahun digunakan secara terus menerus. Penggunaan insektisida dapat bertindak sebagai
agen seleksi populasi secara alami yang akan membuat serangga yang mempunyai gen resisten yang tetap hidup dan akan diturunkan ke generasi berikutnya.
Akibatnya persentase serangga yang resisten akan terus bertambah sedangkan serangga rentan akan tereliminasi karena insektisida. Pada akhirnya penggunaan
insektisida menjadi tidak efektif karena jumlah serangga resisten jauh lebih banyak dibandingkan dengan serangga rentan.
Pada setiap pengulangan yang dilakukan sebanyak 4 kali didapatkan kematian nyamuk yang berbeda beda yang diduga disebabkan oleh ketahanan
tubuh nyamuk. Menurut penelitian Hasanuddin 2012 bahwa umur 2-5 hari ketahanan tubuh nyamuk sudah kuat dan sudah produktif sehingga umur nyamuk
dapat mengakibatkan tingkat kematian nyamuk yang terlalu cepat jika nyamuk masih memiliki umur 1 hari atau sudah lebih 5 hari.
Pada saat penelitian juga dilakukan pengamatan jumlah nyamuk yang pingsan knock down setelah 1 jam perlakuan. Dari data knock down didapatkan
rata-rata jumlah kejadian knock-down pada nyamuk yang dikontakkan dengan Malathion 0,8 dan Sipermethrin 0,75 memiliki rerata 5 ekor kejadian knock
Universitas Sumatera Utara
77 down
yang berarti tidak mencapai 50 dari jumlah nyamuk yang diuji. Hal ini menunjukkan bahwa Malathion 0,8 dan Sipermethrin 0,75 memiliki daya
knock-down atau daya melumpuhkan nyamuk yang cukup rendah.
Menurut penelitian Erna Kristinawati 2008 penggunaan insektisida bila digunakan terus-menerus mengakibatkan jumlah vektor peka dalam populasi
menjadi semakin sedikit sehingga yang tersisa adalah yang tahan. Vektor akan kawin satu dengan lainnya sehingga menghasilkan keturunan yang tahan pula.
Akhirnya populasi didominasi oleh vektor-vektor tahan yang dapat tetap hidup, berkembang biak, dan tahan terhadap insektisida yang diaplikasikan. Setiap jenis
serangga seperti nyamuk Aedes aegypti mampu mempertahankan dan mewariskan sifat resistensi pada keturunannya dalam waktu yang lama.
Sipermethrin sendiri termasuk dalam golongan Piretroid. Penelitian pada insektisida rumah tangga yang beredar di masyarakat menunjukkan kebanyakan
insektisida rumah tangga bahan aktifnya termasuk dalam golongan Piretroid, sehingga penggunaan insektisida rumah tangga diduga turut berperan dalam
terjadinya resistensi. Berdasarkan kenyataan tersebut perlu pemikiran bersama untuk menyusun strategi mengantisipasi terjadinya resistensi vektor penular DBD
dengan merotasi penggunaan insektisida untuk pengendalian vektor. Menurut David Gilles 2002 rotasi atau pergiliran kelompok dan jenis insektisida
dilakukan berdasarkan cara kerja atau mode of action dan target site yang berbeda. Menurut penelitian Ambarita 2014 migrasi dan penyebaran serangga
menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan terjadinya resistensi di suatu wilayah. Apabila di suatu wilayah mengaplikasikan insektisida untuk
Universitas Sumatera Utara
78 mengendalikan vektor dan disaat yang bersamaan dimasuki oleh serangga rentan
maka proses ke arah resistensi menjadi diperlambat. Strain yang berasal dari
laboratorium dan telah lama dikolonisasi diketahui secara umum bebas dari resistensi rentan karena tidak terpapar dengan insektisida baik yang diaplikasikan
oleh pelaksana program bidang kesehatan dan pertanian termasuk aplikasi di tingkat rumah tangga. Faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi terjadinya
resistensi antara lain frekuensi aplikasi, dosis pemakaian, laju reproduksi dan isolasi populasi. Laju resistensi silang meningkat khususnya pada insektisida dari
kelompok yang sama dan memiliki mode of action yang sama. Insektisida kalau digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu
dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Sebaliknya apabila penggunaannya tidak sesuai dengan
kaidah tersebut, perkembangan resisten vektor terhadap insektisida dapat menjadi lebih cepat. Perkembangan nyamuk menjadi resisten terhadap insektisida
mengakibatkan tindakan pengendalian vektor DBD menjadi lebih sulit karena insektisida sangat diperlukan pada saat terjadinya peningkatan kasus atau saat
KLB yang berguna untuk memutus mata rantai penularan.
5.3 Status Resistensi Nyamuk Aedes aegypti Terhadap Malathion 0,8