inspirasi maupun ekspirasi pernapasan pada saat pemeriksaan. Karena itu gambaran yang diberikan bisa saja berubah-ubah. Keuntungan dari
ekokardiografi yaitu sifatnya non-invasif, karena mengevaluasi organ dalam hanya melalui gelombang suara sehingga tidak merusak anatomi dan fisiologi
tubuh Limantoro, 2012. Gambaran yang paling sering ditemukan pada gagal jantung yaitu penyakit jantung iskemik, kardiomiopati dilatasi, penyakit
jantung iskemik, dilatasi ventrikel kiri, penebalan ventrikel, stenosis aorta, dan infark miokard Mutaqqin, 2009 dan Handler Coghlan, 2008.
b. Rontgen Toraks Pemeriksaan rontgen toraks atau sering disebut chest X-ray bertujuan untuk
menggambarkan secara radiografi organ yang terdapat pada rongga dada. Teknik rontgen toraks terdiri dari bermacam-macam posisi yang harus dipilih
sesuai dengan indikasi pemeriksaan. Foto rontgen toraks posterior-anterior dapat menunjukkan adanya hipertensi vena, edema paru, kardiomegali,
penebalan hilus, gambaran bats wing, gambaran Kerley B, dan efusi pleura Corr, 2011. Bukti yang menunjukkan adanya peningkatan tekanan vena paru
adalah adanya diversi aliran darah ke daerah atas dan adanya peningkatan ukuran pembuluh darah Mutaqqin, 2009.
c. Elektrokardiografi EKG Pemeriksaan elektrokardiografi EKG sudah luas digunakan untuk memeriksa
kondisi jantung. Pemeriksaan ini merekam aktivitas elektrik jantung dan menginterpretasikannya dalam bentuk gelombang pada monitor EKG.
Pemeriksaan elektrokardiografi EKG meskipun memberikan informasi yang
berkaitan dengan penyebab, tetapi tidak dapat memberikan gambaran yang spesifik. Pada pemeriksaan EKG yang normal, perlu dicurigai bahwa hasil
diagnosis salah. Untuk klien gagal jantung, melalui EKG dapat dilihat kelainan sebagai disfungsi ventrikel kiri, penyakit jantung iskemik, stenosis aorta,
penyakit jantung hipertensi, aritmia, dan disfungsi ventrikel kanan Handler Coghlan, 2008.
2.9.2.3 Penegakan Diagnosis
Gagal jantung merupakan kumpulan proses patologis yang kompleks. Meskipun penyebab umum yang paling sering ditemukan adalah penyakit jantung
iskemik dan hipertensi, komorbiditasnya, baik organik seperti disfungsi renal dan dispnea maupun psikologis seperti depresi sering menyertai gagal jantung
sehingga mempersulit pengkajian dan penatalaksanaannya. Adapun kriteria Framingham dibuat untuk menegakkan diagnosis gagal jantung. Diagnosis dibuat
berdasarkan adanya dua atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor gejala yang terjadi tidak disebabkan oleh kondisi lain Chang, 2006.
Tabel 2.1 Kriteria Framingham untuk Penegakan Diagnosis Gagal Jantung
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Dispnea nokturnal paroksimal Peningkatan vena jugularis
Ronkhi Kardiomegali
Edema pulmonal akut Bunyi jantung ketiga S3
Peningkatan tekanan vena 16 cmH
2
O Waktu sirkulasi ≥25 detik
Refleks hepatojugularis Edema pergelangan kaki
Batuk di malam hari Hepatomegali
Efusi pleura Takikardia ≥120 kali permenit
Penurunan berat badan 4,5 kg dalam waktu
5 hari setelah
penanganan
Sumber: McKee, et,al. “The Natural History of Congestive Heart Failure: The
Framingham Study dalam Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan 2006
2.9.2.4 Terapi Farmakologis
Beberapa terapi farmakologis yang dapat dilakukan untuk pasien dengan gagal jantung adalah sebagai berikut.
a. Diuretik
Diuretik meningkatkan pengeluaran cairan melalui ginjal dengan mengurangi reabsorpsi air Davidson, Macdonald, Paull, et.al., 2003. Terapi ini
menyebabkan tubuh membersihkan diri dari cairan dan natrium melalui urin yang juga membantu kerja jantung. Selain itu juga mengurangi penumpukan
cairan di paru dan di bagian tubuh lainnya, seperti kaki dan pergelangan kaki. Setiap diuretik memiliki cara kerja yang berbeda dalam mengeliminasi cairan.
Terapi ini juga berguna untuk membantu menurunkan tekanan darah Tierney, McPhee, dan Papadakis, 2002.
b. Penghambat Angiotensin-converting Enzyme ACE
Penghambat Angiotensin-converting
Enzyme ACE
bekerja dengan
menghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron yang pada awalnya berperan penting dalam mekanisme neurohormonal perkembangan gagal jantung. Terapi
ini menurunkan jumlah angiotensin II sehingga darah dapat mengalir lebih mudah dan kerja jantung menjadi lebih ringan dan efisien dengan cara
mengurangi resistensi pembuluh darah perifer. Hal ini mengurangi konsumsi oksigen miokardium sehingga memperbaiki curah jantung yang selanjutnya
meminimalkan pembuluh darah dan hipertrofi vaskular Davidson, Leung, dan Daly, 2008
c. Beta Blocker
Beta blocker bekerja dengan memblok kerja kompensasi sistem saraf simpatis sehingga menurunkan ukuran dan massa ventrikel kiri. Perubahan ini
menurunkan denyut jantung dan curah jantung. Terapi ini digunakan untuk menurunkan tekanan darah dan digunakan juga untuk terapi aritmia dan angina
serta dapat mencegah serangan jantung di kemudian hari pada pasien penyakit jantung. Sejumlah uji klinis menunjukkan jika beta blocker diresepkan dan
dimulai dengan tepat, penanganan jangka panjang dengan beta blocker dapat mengurangi gagal jantung kronis, meningkatkan status klinis pasien,
meningkatkan perasaan sehat, mengurangi angka masuk rumah sakit, dan menurunkan mortalitas Gibbs, Davies, dan Lip, 2000
d. Glikosida Digitalis
Terapi ini dikenal pula sebagai digoksin yang bekerja dengan menghambat pompa natrium sehingga meningkatkan kadar natrium intraseluler yang
memfasilitasi pertukaran natrium. Kondisi ini akan meningkatkan kalsium sitosolik yang pada akhirnya meningkatkan kontraktilitas miokard sehingga
denyut jantung dapat berfungsi teratur. Terapi ini biasanya digunakan pada pasien yang tidak menunjukkan kemajuan meskipun telah diberi diuretik dan
penghambat ACE. e.
Vasodilator Prinsip kerja obat vasodilator merupakan antagonis neurohormonal, terutama
ACE. Obat ini bekerja dengan mendilatasi otot arteri sehingga dapat mengurangi afterload ventrikel kiri. Vasodilator dapat berupa pil yang ditelan,
tablet kunyah, maupun krim. f.
Penghambat Kanal Kalsium Penghambat kanal kalsium bekerja dengan cara menghambat kalsium menuju
sel jantung dan pembuluh darah sehingga dapat menurunkan kekuatan memompa jantung dan meregangkan pembuluh darah.
g. Antikoagulan
Antikoagulan digunakan untuk mengurangi koagulasi darah, terutama pada pasien dengan emboli arterial sistemik sehingga peredahan darah menjadi lebih
lancar Tierney, McPhee, dan Papadakis, 2002
2.9.2.5 Terapi Non-Farmakologis
Terapi non-farmakologis diberikan pada pasien dengan pemberian terapi oksigen dan perubahan gaya hidup. Terapi oksigen terutama diberikan pada
pasien gagal jantung yang disertai dengan edema pulmonal. Pemenuhan oksigen akan akan mengurangi kebutuhan miokardium akan oksigen dan membantu
memenuhi kebutuhan oksigen tubuh. Perubahan gaya hidup dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi fisik dan
sebagai penatalaksanaan mandiri terhadap faktor risiko yang meliputi aktivitas fisik, asupan garam dari makanan, penatalaksanaan berat badan, dan
menghentikan kebiasaan merokok Handler dan Coghlan, 2008.
2.9.2.6 Mencegah Influenza dan Pneumonia
Influenza dan pneumonia lebih berbahaya bagi penderita gagal jantung daripada orang sehat. Pneumonia mengganggu penggunaan oksigen dalam tubuh
secara efisien. Jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh, sementara orang dengan gagal jantung harus menghindari stress
berat bagi jantungnya. Karena itu, pada klinisi merekomendasikan vaksin influenza dan pneumokokus bagi penderita gagal jantung AHA, 2014.
2.9.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan bagi penderita gagal jantung untuk mencegah komplikasi yang lebih berat atau kematian, di antaranya tetap
mengontrol faktor risiko, terapi rutin, dukungan kepada penderita, serta transplantasi jantung. Jika pasien tidak lagi berespon terhadap semua tindakan
terapi dan diperkirakan tidak akan bertahan hidup selama 1 tahun lagi, maka
pasien ini akan dipertimbangkan tranplantasi jantung. Sejak adanya skrining donor jantung yang lebih cermat, maka harapan hidup pasien yang menjalani
transplantasi jantung sangat meningkat. Pada beberapa pusat kesehatan harapan hidup 1 tahun telah mencapai lebih 80-90 dan harapan hidup 5 tahun sekitar
70 Tierney, dkk., 2002. Namun transplantasi jantung hanya digunakan bagi
pasien dengan gagal jantung yang berat Davey, 2006. 2.10 Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep pada penelitian tentang Karakteristik Penderita Gagal Jantung di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Hadrianus Sinaga Pangururan
Tahun 2014 adalah sebagai berikut.
KARAKTERISTIK PENDERITA GAGAL JANTUNG
1. Sosiodemografi
Umur Jenis Kelamin
Pekerjaan Tempat Tinggal
2. Keluhan Utama
3. Klasifikasi Gagal Jantung
4. Jenis Penyakit Penyerta
5. Terapi yang Diberikan
6. Frekuensi Rawat Inap
7. Sumber Pembiayaan
8. Lama Rawatan
9. Keadaaan Sewaktu Pulang
10. Case Fatality Rate
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan bagi negara dalam pembangunan nasional. Sumber daya manusia yang berkualitas pada
dasarnya ditentukan oleh derajat kesehatannya. Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari beberapa indikator, di antaranya angka harapan hidup, angka
kesakitan, angka kematian, dan status gizi. Indikator-indikator di atas juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan sosial, keturunan, dan
faktor-faktor lain Depkes RI, 2009. Karena itu masalah-masalah kesehatan yang ada pada berbagai negara perlu dipahami dari berbagai aspek agar derajat
kesehatan masyarakat dapat ditingkatkan. Selain itu, masalah kesehatan pada penduduk mempengaruhi ketahanan ekonomi yang merupakan beban bagi negara.
Seiring berkembangnya peradaban manusia, faktor ekonomi, budaya, dan kependudukan mempengaruhi pola penyakit pada masyarakat di seluruh dunia,
dimana telah terjadi transisi epidemiologi dari penyakit menular penyakit infeksi menjadi penyakit tidak menular penyakit degeneratif sehingga negara-negara
berkembang termasuk Indonesia mengalami beban ganda dalam menghadapi masalah kesehatan.
Penyakit tidak menular merupakan penyakit penyebab kematian terbanyak dibandingkan dengan kematian oleh penyebab lain. Kebanyakan orang mengira
bahwa penyakit tidak menular kebanyakan terjadi di negara-negara maju. Namun data yang ada menunjukkan bahwa hampir 80 kematian akibat penyakit tidak
menular terjadi di negara yang penduduknya berpendapatan menengah ke bawah. Pertumbuhan penyakit tidak menular di negara dengan pendapatan menengah ke
bawah dipercepat oleh dampak buruk globalisasi, seperti urbanisasi yang tidak terkendali dan meningkatnya kehidupan sedentari. Orang-orang di negara
berkembang juga semakin banyak mengkonsumsi makanan dengan jumlah kalori yang tinggi, merokok, alkohol, dan junk food. Apalagi upaya pemerintah dalam
mengontrol kebijakan, pelayanan, dan infrastruktur untuk melindungi masyarakat dari penyakit tidak menular masih belum maksimal.
Penduduk pada status sosial ekonomi rendah lebih mudah mengalami kesakitan dan kematian akibat penyakit tidak menular daripada penduduk yang
berstatus sosial ekonomi yang lebih tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain pendidikan, pekerjaan, pendapatan, gender, dan etnik. Terdapat fakta
adanya korelasi antara determinan sosial, khususnya pendidikan, dengan angka prevalensi penyakit tidak menular dan faktor risikonya
. Masalah penyakit tidak
menular pada akhirnya tidak hanya menjadi masalah kesehatan saja, karena bila tidak dikendalikan dengan tepat, benar, dan berkesinambungan dapat
mempengaruhi ketahanan ekonomi nasional maupun global, karena sifatnya kronis dan umumnya terjadi pada usia produktif WHO, 2011.
Dewasa ini, penyakit tidak menular telah mencapai angka yang cukup tinggi sebagai penyebab kematian, membunuh orang setiap tahunnya dengan
penyebab yang kompleks. World Health Organization 2011 menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36
juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh penyakit tidak menular. Pada
tahun 2030 diprediksi angka kesakitan akibat penyakit tidak menular akan meningkat dan akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena penyakit tidak
menular di seluruh dunia. Data yang ada juga menunjukkan bahwa sekitar 80 kematian akibat penyakit tidak menular terjadi di negara-negara miskin dan
berkembang. Di negara-negara dengan tingkat ekonomi rendah dan menengah, kematian akibat penyakit tidak menular terjadi pada orang-orang pada usia di
bawah 60 tahun dengan proporsi 29, sedangkan di negara-negara maju menyebabkan 13 kematian. Penyakit tidak menular sebenarnya dapat dikurangi
dengan mengurangi faktor risikonya, melakukan deteksi dini, dan pengobatan teratur.
Masyarakat sering menganggap penyakit tidak menular tidak berbahaya dibandingkan dengan penyakit menular. Hal ini dikarenakan penyakit tidak
menular umumnya bersifat kronis dan patofisiologinya cenderung lebih lama sehingga manifestasinya baru dirasakan setelah penyakit sudah parah atau sudah
mengalami komplikasi. Akibatnya, banyak orang datang berobat setelah penyakit sudah memasuki stadium berat bahkan saat keadaan darurat. Padahal, penyakit
tidak menular dapat dicegah dengan mengetahui dan mengendalikan faktor-faktor risikonya secara dini. Adapun penyakit tidak menular yang paling banyak dialami
masyarakat secara global di antaranya penyakit kardiovaskular penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, diabetes, gagal ginjal, penyakit pernapasan kronis,
dan penyakit tidak menular lainnya. Di antara penyakit-penyakit tidak menular ini, sering kali antara satu penyakit dengan penyakit lainnya saling
mempengaruhi, sehingga tidak jarang terjadi komplikasi.