Sistem Kekerabatan GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

44 ada seorang dukun yang dipanggil pada saat mematikan pohon beringin tersebut melihat mata ular penjaga yang besar itu secara langsung dari lobang sumber mata air Aek Bintatar. Gambar 1 : Aek Bintatar 2.5.8. Sarana Umum Sarana Umum seperti listrik baru dibangun sekitar tahun 1990. Cara pembayarannya, ada seseorang yang datang untuk mengutip ke setiap rumah di desa tersebut. Pembayarannya berdasarkan pemakaian perbulan ditambah ongkos sebesar Rp 4500,00 untuk ke Pangururan pada setiap rumah. Adapun sumber mata air yang terdapat di pancuran, kamar mandi, dan tempat permandian umum lainnya dibangun pada tahun 2005 oleh masyarakat. Sumber airnya berasal dari Puncak Gunung Pucuk Buhit, dan tidak ada pungutan atau biaya gratis untuk air tersebut.

2.6. Sistem Kekerabatan

Masyarakat Batak Toba menarik garis keturunan dari pihak ayah atau pihak laki-laki yang dinamakan dengan prinsip patrilineal. Suatu kelompok adat dihitung dari satu ayah disebut saama atau satu nenek disebut dengan saompung Universitas Sumatera Utara 45 dan kelompok kekerabatan besar adalah marga. Kelompok kekerabatan yang terkecil disebut dengan ripe. Istilah ripe dapat juga dipakai untuk menyebut keluarga luas patrilineal. Saompu dapat disebut klen, istilah ini dipakai juga untuk menyebut kerabat yang terikat dalam satu nenek moyang Lubis, 1999:112. Berdasarkan prinsip keturunan masyarakat Batak Toba yang berarti garis keturunan etnis adalah dari keturunan laki-laki. Keturunan laki-laki yang memegang peranan penting dalam kelanjutan generasi. Berarti apabila seseorang tidak mempunyai keturunan laki-laki, maka dianggap silsilah marga dari ayah tidak dapat dilanjutkan atau hilang. Silsilah yang dapat berlanjut lagi, sama halnya bahwa seseorang itu tidak akan pernah diingat atau diperhitungkan lagi dalam silsilah keluarga. Hubungan kekerabatan yang timbul sebagai akibat dari penarikan garis keturunan patrilineal mempunyai nilai yang sangat penting. Pada urutan generasi setiap ayah yang mempunyai keturunan laki-laki menjadi bukti nyata dalam silsilah kelompok patrilinealnya. Seorang ayah mempunyai dua atau lebih kelompok keturunan yang masing-masing mempunyai identitas sendiri. Apabila mereka berkumpul maka akan menyebut ayah jadi ompu parsadaan. Ompu berarti adalah kakek, moyang laki-laki; sedangkan sada adalah satu, jadi merupakan titik temu mereka. Mereka yang berasal dari nenek moyang yang satu nasompu dari generasi ke generasi akan menjadi satu marga. Marga merupakan suatu pertanda bahwa orang yang menggunakannya masih mempunyai kekerabatan atau percaya Universitas Sumatera Utara 46 bahwa mereka adalah keturunan dari seseorang kakek menurut garis patrilineal Bruner dalam Lubis, 1999:112. Prinsip patrilineal, masyarakat Batak Toba mengartikannya bahwa laki- laki mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menurunkan silsilah dan keturunan keluarga laki-lakilah yang dapat menurunkan marga bagi keturunannya. Setiap anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan selalu mencantumkan marga ayahnya. Masyarakat Batak Toba menurut ketentuan dalam kebudayaannya harus selalu memelihara kepribadiaan dan rasa kekeluargaan harus terpupuk. Hal tersebut dilakukan bukan saja terhadap keluarga dekat, tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Nama panggilan terhadap seseorang adalah nama marganya dan bukan nama pribadinya. Apabila sesama orang Batak bertemu, maka yang pertama ditanya adalah nama marganya, dan bukan nama pribadinya atau tempat tinggalnya. Dengan mengetahui marganya, maka akan mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan di antara mereka. Proses penelusuran silsilah disebut dengan martutur atau martorombo, dengan martutur maka mengetahui kedudukan masing-masing dan hal-hal yang tabu dapat dihindarkan. Masyarakat Batak Toba mempunyai sebuah ungkapan di dalam hal martutur, yaitu: “Uji jolo tinitip sanggar, asa binalu huru-huruan, jolo sinungkun marga asa binoto partuturan.” Artinya adalah “Untuk membuat sangkar haruslah terlebih dahulu dibuat bermarga, untuk mengetahui hubungan Universitas Sumatera Utara 47 keluarga haruslah terlebih dahulu menanyakan marganya.” Dengan demikian, orang yang saling berkenalan itu dapat mengetahui apakah dia mempunyai hubungan keluarga satu sama lainnya, sehingga dapat ditentukan kedudukan dalam hubungan tersebut. Selain hubungan marga secara garis keturunan antara marga-marga juga mempunyai hubungan lain fungsional. Marga mempunyai fungsi terhadap marga lain yang terjadi akibat perkawinan. Hubungan fungsional ini mengakibatkan adanya penggolongan marga di dalam kaitannya dengan marga lain yang menimbulkan suatu sistem kekerabatan dan masyarakat Batak Toba yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Secara etimologis Dalihan Na Tolu berarti “Tiga Tungku” Dalihan artinya tungku, Na artinya yang, dan Tolu artinya tiga, yang dalam arti bahasa Indonesia disebut Tungku yang Tiga. Adanya tiga kelompok kekerabatan yaitu : dongan sabutuha, hula-hula, dan boru. Dongan sabutuha adalah teman satu kampung, Hula-hula adalah marga pemberi gadis, dan boru adalah anak perempuan dari keluarga laki-laki. Adapun pengertian dari Dalihan Na Tolu adalah : Masyarakat Batak Toba di pandang sebagai sebuah kuali balanga sedang Dalihan Na Tolu adalah tiga batu tungku yang mendukung kuali tersebut, sehingga padanya terdapat keseimbangan. Setiap tungku harus menjaga dan memelihara keseimbangan dari pada kuali agar tetap berdiri kokoh. Untuk dapat mencapai keseimbangan itu, ketiganya harus bekerja sama dan saling tolong-menolong. Universitas Sumatera Utara 48 Dalam masyarakat Batak Toba kuali belanga melambangkan wadah dan tempat bagi anggota-anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan bersama, misalnya pesta dan upacara-upacara bersama. Sedangkan masing-masing tungku melambangkan dongan sabutuha, hula-hula, dan boru. Oleh karena itu, Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba dapat didefinisikan sebagai struktur kemasyarakatan atas dasar hubungan kekerabatan yang menjadi landasan dari semua kegiatan, khususnya kegiatan yang bertalian dengan adat. Universitas Sumatera Utara 49

BAB III KONSEP MAMELE PADA BATAK TOBA

3.1. Pengertian Mamele

Mamele adalah suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba yang diwariskan secara turun temurun ke generasi berikutnya. Mamele artnya adalah menyembah roh leluhur yang sudah meninggal dan sekaligus meminta bantuan kepada roh leluhur untuk diberikan kesehatan, rezeki, hasil panen bagus, perlindungan, dan sebagainya. Mamele ini juga merupakan salah satu unsur yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan orang Batak. Mamele dapat diselenggarakan dengan bantuan orang yang dianggap mempunyai kuasa dan kedudukan mereka sebagai bius yang dipilih menjadi pewaris dari nenek moyangnya untuk melakukan mamele. . Dalam suatu upacara ritual, sesajian sangat diperlukan agar roh leluhur yang sudah meninggal baik yang ada di tempat keramat maupun bukan tempat keramat dapat mengabulkan permintaan si pemohon. Salah satu informan yang mengatakan bahwa pemberian sesajian sangat diwajibkan ada dalam upacara ritual yaitu Bapak Sahe Sagala umur 63 tahun yang mengatakan: jika kami melaksanakan upacara mamele pemberian sesajian adalah sangat penting. Mamele yaitu penyembahan terhadap roh leluhur dan memberikan sesajian supaya roh tersebut dapat mengabulkan apa yang diminta oleh pemohonnya. Oleh sebab itu, pemberian sesajian sangat penting. Universitas Sumatera Utara