Upacara Pomparan Tatea Bulan

64

3.4.2. Upacara Pomparan Tatea Bulan

Upacara ini diyakini sebagai penghormatan pada roh leluhur sekaligus menerima pewahyuan dari nenek moyang, dikenal dengan sebutan ”Tatea Bulan”. Menjelang upacara Tatea Bulan, aktivitas warga di Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir, tampak berbeda dari biasanya. Sebagian besar warga larut dalam persiapan perayaan. Ada yang memasak, memotong ternak, membuat hiasan di Batu Hobon serta tak ketinggalan panitia inti mempersiapkan roundown acara. Gambar 5 : Upacara Tatea Bulan Gambar 6 : Persembahan yang sudah dibawa akan diletakkan ke Batu Hobon Universitas Sumatera Utara 65  Hari Pertama Sekitar pukul 10.30 wib, upacara pun digelar. Pemberian persembahan makanan kepada roh leluhur, mulai dari daun sirih, jeruk, telur ayam kampung, ikan jurung, nasi hingga makanan lain yang telah dipersiapkan sebelumnya diletakkan diatas Batu Hobon, sambil memohon agar hasil panen selalu diberkahi sang leluhur. Konon, makna telur sebagai tanda kesuburan dan cikal bakal penerus bagi generasi selanjutnya. Sedangkan sirih merupakan tanda penghormatan dan penghaturan doa kepada Guru Tatea Bulan. Dalam upacara Tatea Bulan ini dipersembahkan pula seekor kerbau. Para pemuka adat di Tanah Batak Toba mempercayai kerbau sebagai hewan kurban persembahkan bagi Mulajadi Nabolon atau Tuhan. Setelah dihias dengan hiasan lambe atau janur kuning dari daun pohon nira, kerbau itu dipindahkan ke borotan. Borotan adalah kayu tambatan sebagai pusat pelaksanaan upacara. Biasanya, sebelum berangkat ke Batu Hobon, seorang warga orang yang sudah ditunjuk oleh bius akan mempersiapkan alat-alat untuk upacara, berupa tali sulaman. Tali ini dinamakan bonang manalu, berfungsi untuk mengikat batu ajimat pada saat upacara nanti. Selain itu ia pun harus mengenakan pakaian pambuhai, yang dihiasi sebuah pengiring atau ikat kepala. Menggunakan pengiring, dipercaya sang leluhur akan menuntun dan melindungi jiwanya. Kemudian dia menyiapkan daun tujuh rupa, antara lain daun sipilit, ropu, sirih, silinjuang, alum-alum, dan siritak. Sesajian dedaunan ini dipercaya dapat membuat upacara Tatea Bulan berlangsung dengan baik dan jauh dari gangguan. Setiap daun dianggap memiliki kekuatan. Sipilit, misalnya, digunakan untuk Universitas Sumatera Utara 66 menjauhkan diri dari amarah. Sedangkan ropu atau rotan sebagai perlambang perekat atau kesatuan untuk menghindarkan warga dari perpecahan. Sebuah tombak, yakni Tombak Jurung Buhit pun selalu setia menemaninya. Tombak tradisional Jurung Buhit ini adalah warisan leluhur dan telah diberikan ropu atau simbol kekerabatan. Tombak ini pun harus diarahkan ke langit, sebagai pertanda menyebar mantra untuk menghindari pengaruh buruk. Tombak itu adalah pamungkas pada upacara sakral itu. Nantinya alat itu akan digunakan untuk mengurbankan seekor kerbau sebagai perwujudan penghormatan bagi Mulajadi Nabolon. Diiringi musik pargondang, para pendoa mulai menari dan melangkah kecil untuk mengitari borotan. Tarian ini dinamakan Tor Tor Mangaliat. Gerakannya dipercaya sebagai bentuk doa dan rasa syukur. Dalam upacara ini, terkadang para peserta kerasukan. Dalam keadaan tak sadar, mereka memakan telur dan jeruk persembahan. Setelah proses pembuktian akan kehadiran leluhur mereka, sang pambuhai segera menarikan Gondang Tatea Bulan. Pambuhai pun merapalkan mantra dan mengelilingi borotan sebanyak tiga kali. Saat tarian pambuhai tengah ditabuhkan ke delapan penjuru, Tombak Jurung Buhit menjadi pamungkas persembahan bagi para leluhur Tanah Batak. Pambuhai memiliki kewajiban menusukkan tombak sebanyak tiga kali ke arah kerbau. Ketiga hunusan terkait dengan dalihan na tolu atau bentuk tali kekerabatan di dalam marga Batak. Setiap hunusan merupakan ungkapan permintaan terhadap leluhur dan Tuhan Mulajadi Nabolon. Terutama agar memberikan keselamatan, kesejahteraan, dan perlindungan abadi bagi seluruh keturunan orang Batak. Selanjutnya, pada tengah malam akan Universitas Sumatera Utara 67 dipertunjukkan bagaimana nenek moyang orang Batak melakukan pengobatan massal, dengan meminta persetujuan Mulajadi Nabolon untuk menyembuhkan keturunannya yang sedang sakit. Biasanya saat sakral ini, tidak boleh ada satu titik cahaya pun. Semua harus gelap. Benar-benar hening. Hanya cahaya bulan yang menerangi.  Hari kedua Keesokan harinya, saat sang surya mulai mengeluarkan silaunya. Semua orang akan makan bersama di bawah naungan tenda besar. Semua keturunan Guru Tatea Bulan yang hadir harus menikmati hidangan daging kerbau yang telah di sembelih kemarin sore. Masing-masing orang duduk bersila diatas tikar sebelum akhirnya mendapat jatah makan. Semua orang akan makan dengan kenyang. Sebagai tahap akhir di kegiatan Tatea Bulan, selesai makan, para keturunan raja Batak ini akan melakukan long march ke tempat persemayaman Guru Tatea Bulan, di puncak Pusuk Buhit pada ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut dengan berjalan kaki. Walau cukup melelahkan, mereka menganggap menelusuri jejak leluhur adalah suatu berkah dan kebanggaan tersendiri. Sebagian warga suku Batak menganggap Guru Tatea Bulan adalah leluhur yang suci. Berada di rumah persembahan Guru Tatea Bulan diibaratkan sebagai sebuah pertemuan antara nenek moyang dan para cucunya. Di puncak ini pula terdapat patung-patung perlambang Guru Tatea Bulan. Terkadang, para peziarah menghaturkan doa di hadapan patung ini. Melalui patung Guru Tatea Bulan dan Raja Uti, doa dipanjatkan kepada Mulajadi Nabolon yang dipercaya sebagai Tuhan dalam kepercayaan leluhur orang Batak. Maka, ziarah dan berdoa adalah Universitas Sumatera Utara 68 kegiatan pamungkas sebelum turun kembali ke Desa Limbong-Sagala, kecamatan. Sianjur Mula-mula. Serangkaian upacara adat untuk menghormati sang leluhur.

3.4.3. Sumangot Ni Ompung