Perumusan Masalah Lokasi Penelitian Tinjauan Pustaka

6

1.2. Perumusan Masalah

Upacara mamele merupakan upacara adat yang masih bertahan atau tetap dijalankan hingga saat ini. Bagi orang Batak Toba di Hutaurat dan Hutabalian keberadaan upacara tersebut memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupannya baik diri sendiri maupun orang lain. Atas dasar tersebut maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian adalah kenapa masyarakat masih percaya terhadap mamele untuk mendapatkan status. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi fokus dari masalah yang hendak dikaji dalam penelitian adalah: 1. Faktor-faktor pendorong terjadinya perilaku mamele 2. Dampak negatif dari perilaku mamele untuk mendapatkan status terhadap ajaran agama Kristen 3. Bagaimana pandangan masyarakat sekitarnya terhadap mamele

1.3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini difokuskan di desa Hutaurat dan Hutabalian dapat disebut juga desa Sianjur Mula-Mula, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir. Alasan mengapa desa Hutaurat dan Hutabalian digabungkan menjadi satu desa karena jumlah penduduk per KK Kepala Keluarga di Hutaurat tidak mencukupi di atas 100 KK, begitu juga dengan Hutabalian. Akhirnya Hutaurat dan Hutabalian digabungkan menjadi satu desa yang disebut dengan desa Sianjur Mula-Mula. Penentuan lokasi penelitian ini karena lokasi ini banyak sekali tempat pemujaan yang masih dilakukan dan dipercayai oleh masyarakat setempat dan Universitas Sumatera Utara 7 juga masyarakat dari luar desa ini. Mamele ini dapat dilakukan masyarakat setempat di Gunung Pucuk Buhit, dalam kamar, kuburan, batu hobon, dan tempat mamele lainnya. 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan perilaku mamele untuk mendapatkan status yang masih dilakukan dan memiliki arti penting bagi masyarakat Batak Toba di desa Hutaurat dan Hutabalian desa Sianjur Mula-Mula sampai sekarang ini.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah diharapkan secara akademis dapat menambah wawasan keilmuan terutama dalam melihat realita dan permasalahan di tengah masyarakat untuk dijadikan sebagai kajian dan pembelajaran. Dalam hal ini tentu saja akan menambah khasanah keilmuan terutama Antropologi dalam kaitannya dengan judul penelitian ini yakni menggambarkan tentang kepercayaan masyarakat setempat dan juga masyarakat dari luar daerah ini terhadap mamele yang mereka yakini dapat mengabulkan segala permintaannya. Selain itu juga, secara akademis peneliti memperoleh gelar sarjana dari Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan- masukan terhadap masyarakat yang terkait dalam menanggapi perilaku mamele Universitas Sumatera Utara 8 untuk mendapatkan status secara arif dan positif serta agar nantinya tradisi ini terdepannya dapat dilestarikan sesuai dengan hakekat mamele yang tidak merugikan dirinya ataupun orang lain.

1.5. Tinjauan Pustaka

Masyarakat adalah pendukung suatu kebudayaan, baik itu masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Kebudayaan mempunyai arti penting dalam mempengaruhi perilaku dan cara berpikir para anggotanya. Suparlan, menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapinya serta untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Sikap pada dasarnya berada pada diri seseorang individu, namun meskipun demikian sikap biasanya juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya tersebut Koentjaraningrat, 1981:26. Nilai-nilai budaya yang terpengaruh kepada masyarakat adalah nilai-nilai budaya yang hidup dalam pikiran sebagian besar suatu masyarakat mengenai sesuatu yang dianggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman tinggi bagi perilaku manusia yang memberikan arah dan orientasi kepada kehidupan masyarakat Koentjaraningrat, 1979:186. Salah satu kebudayaan yang dapat mendorong manusia itu dan menciptakan terjadinya kelakuan adalah dengan membuat hubungan manusia dengan kekuatan gaib. Oleh karena itu, hubungan tersebut dapat dijaga sebaik- baiknya oleh masyarakat melalui proses upacara tradisional. Umumnya Universitas Sumatera Utara 9 kepercayaan tradisional terdapat pada kalangan masyarakat pedesaan berkaitan peristiwa alam dan kepercayaan mereka. Upacara tradisional merupakan upacara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sejak dahulu kala sampai sekarang dalam bentuk yang relatif. Upacara tradisional merupakan kegiatan nasional yang melibatkan para warga masyarakat, dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan kesalamtan bersama. Koentjaraningrat, 1989:225. Dalam kaitannya dapat terbaca melalui tingkah laku resmi warga masyarakat yang dilakukan dalam peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan kekuatan supranatural atau gaib. Kekuatan ini dapat berupa kekuatan roh-roh, makhluk halus, dan kekuatan sakti. Terutama pada manusia yang lebih banyak percaya kepada sesuatu kekuatan yang lebih tinggi daripadaNya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dan cara-cara beranekaragam untuk mencari hubungan dengan kekuatan yang dipercayainya Koentjaraningrat,1981:251. Dalam hal ini, upacara tradisional menjadi ikatan utama antar orang dan antar kelompok dan juga keperluan simbolik manusia yang mengharapkan keselamatan. Upacara juga timbul karena adanya dorongan perasaan manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib. Semua unsur yang ada di dalamnya baik itu saat upacara, benda-benda yang digunakan, juga orang-orang yang terlibat di dalamnya dianggap keramat Koentjaraningrat, 1977:241. Menurut R. Otto terhadap ”sikap kagum atau terpesona pada hal-hal yang gaib dan keramat”. Sifat pada azasnya sulit dilukiskan dengan bahasa manusia mana pun juga, karena ”hal yang gaib serta keramat” itu memang memiliki sifat- Universitas Sumatera Utara 10 sifat yang sebenarnya tidak mungkin dapat dicakup oleh pikiran dan akal manusia. Walaupun demikian, dalam semua masyarakat dan kebudayaan di dunia ini, ”hal yang gaib dan keramat” tadi yang menimbulkan sikap kagum terpesona, selalu akan menarik perhatian manusia dan mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati rasa bersatu dengannya Koentjaraningrat, 1987:80. Robertson Smith tentang kepercayaan bersaji. Mengatakan bahwa asas religi, tetapi berpangkal pada upacaranya. Dalam gagasannya ada 3 tiga komponen penting yang menambah pengertian kita mengenai asas-asas dari religi dan agama pada umumnya. Gagasan pertama mengenai sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara yang merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus. Gagasan kedua adalah upacara religi yang biasanya dilaksanakan banyak warga masyarakat pemeluk religi yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Gagasan ketigs adalah teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Selain itu Smith mengatakan bahwa upacara bersaji sebagai suatu upacara yang gembira meriah tetapi juga keramat dan tidak sebagai suatu upacara yang khidmat Kontjaraningrat, 1980. Ini juga ditegaskan oleh Preusz bahwa pusat dari religi adalah ritus atau upacara. Menurutnya, bahwa melalui kekuatan-kekuatan yang dianggapnya berperan dalam tindakan-tindakan gaib seperti itu manusia mengira dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya serta mencapai tujuan hidupnya, baik yang bersifat meterial maupun yang spiritual. Dengan demikian Preusz menganggap tindakan ilmu gaib dan upacara religi itu hanya sebagai dua aspek dari satu Universitas Sumatera Utara 11 tindakan, dan malahan seringkali tampak bahwa ia menganggap upacara religi biasanya memang bersifat ilmu gaib Koentjaraningrat,1987:69. Sedangkan menurut Durkheim bahwa semua sistem religi di dunia ada suatu hal yang ada di luarnya, suatu hal in foro externo dalam arti bahwa hal itu tetap akan ada dalam sistem religi, lepas dari wujud, isi, atau materinya yaitu kebutuhan azasi dalam tiap masyarakat manusia yang mengikuti sistem religi tadi untuk mengintensifkan kembali kesadaran kolektifnya dengan upacara yang keramat. Kebutuhan ini menurut Durkheim akan tetap ada, juga bila ilmu pengetahuan telah menggantikan kosmologi dan kosmogoni agama. Dalam hal ini menerangkan azas-azas kekuatan alam, dan juga bila ajaran agama telah menyesuaikan diri dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta otonomi moral individual yang semakin lama semakin meluas. Walaupun demikian, manusia sebagai warga masyarakat masih tetap membutuhkan keyakinan-keyakinan, sentimen-sentimen, dan kesadaran kolektif yang memberi identitas kepadanya dan yang memperkuat kebutuhan moralnya. Hal-hal itu sebaliknya memerlukan upacara-upacara yang ditentukan oleh gagasan-gagasan kolektif yang tidak pernah akan hilang dari kehidupan masyarakat manusia Koentjaraningrat,1987:97-98. Salah satu upacara tradisional yang pernah dilakukan oleh masyarakat setempat adalah Mamele. Mamele merupakan salah satu kepercayaan suku Batak Toba yang diberikan kepada Tuhan, Dewa, Roh Halus, dan lain-lain yang dilakukan dengan berbagai macam kegiatan upacara ritual religi. Isi dari sesajian ialah berupa makanan, minuman, bunga-bungaan, dan lain-lain. Mamele juga sangat berkaitan dengan suatu peristiwa alam, keinginan yang ingin dicapai oleh Universitas Sumatera Utara 12 masyarakat diberi rejeki, kesehatan, kekayaan, jabatan yang lebih tinggi, dan lain-lain. Dalam arti mempersembahkan sesajian itu kepada Tuhan, dewa, atau makhluk-makhluk halus penghuni alam gaib lainnya manusia dan bermaksud berkomunikasi dengan makhluk halus itu. Dengan kata lain, persembahan ini memiliki nilai sakral yang tinggi, karena tanpa adanya persembahan maka upacara ini tidak dapat berlangsung. Persembahan tersebut digunakan masyarakat sebagai alat komunikasinya kepada dewa-dewa atau roh-roh halus. Terkait dengan hal itu, Koentjaraningrat 1987:42, menyatakan bahwa upacara bersaji dan upacara-upacara lainnya juga merupakan sebuah tindakan yang penuh symbol of communication lambang untuk berkomunikasi. Koentjaraningrat lebih jauh menjelaskan bahwasanya semua unsur-unsur kecil yang tersusun dalam sesajian itu, masing-masing merupakan lambang yang mengandung arti yang baik dalam bentuknya, maupun dalam tempat asal bahan mentahnya, jumlahnya ataupun warnanya. Ini adalah bagian komunikasi antara manusia kepada para dewa atas makhluk halus yang menghuni alam gaib. Upacara ini biasanya terdiri dari beberapa tindakan, yaitu: berdoa, bersujud, bersaji, makan bersama, manari, bersemedi, dan sebagainya. Upacara ini merupakan penghubung manusia dengan keramat. Ada 5 aspek yang terkandung dalam upacara tradisional, yaitu: 1 Tempat upacara keagamaan dilakukan 2 Saat upacara dilakukan atau dijalankan 3 Benda-benda dan alat upacara 4 Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara Universitas Sumatera Utara 13 5 Emosi keagamaan Dalam hal ini, pemberian sesajian dapat diartikan sebagai ’pemberian’ kepada kekuatan gaib yang berada pada tempat-tempat keramat, yang mana fungsi pemberian ini mengandung arti untuk menguku hkan hubungan antara pemberi dan penerima. Di dalam pelaksanaan upacara religi akan terkandung 2 dua aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena sifatnya sakral atau magis atau gaib, yaitu: 1 Aspek Ketuhanan Keagaiban Dengan mengadakan upacara ini bahwa manusia dalam kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari kekuatan-kekuatan Tuhan kekuatan gaib. Di balik kekuatan-kekuatan lahir, pasti ada kekuatan gaib yang menguasai kehidupan manusia. 2 Aspek Keduniawian Lahiriah Di dalam aspek ini, manusia dapat menciptakan atau mencapai sesuatu seperti: keselamatan, kekuasaan, kesehatan, dan sebagainya melalui upacara religi. Selain persembahan, doa juga penting dalam mamele. Doa itu juga merupakan komunikasi antara orang Batak Toba dengan Mulajadi Na Bolon dan dengan para leluhurnya. Biasanya doa ini dibawa oleh seseorang datu, yang ditujukan kepada Debata Mulajadi Na Bolon, Debata Na Tolu dan roh-roh para leluhur. Tiga tipe doa yang cukup berperanan dalam kehidupan orang Batak yang Universitas Sumatera Utara 14 barangkali juga sama pada budaya lain, yakni doa permohonan, syukur dan doa pemulihan. Hal ini tidak berarti orang Batak Toba percaya bahwa sukses yang bergantung pada doa. Banyak faktor yang diakui termasuk sikap dan tingkah laku orang yang bersangkutan turut menentukan kesuksesan. Lebih menarik lagi bahwa permohonan dapat disampaikan melalui atau lewat makna-makna persembahan.

1.6. Metode Penelitian