Dalam Kamar Kuburan dan Tugu Manfaat Pelaksanaan Upacara Mamele

60 Tutup Batu Hobon yang terbuka itu, sempat mengundang keresahan bagi tokoh masyarakat Tapanuli Utara sehingga datanglah ratusan murid-murid Perguruan HKI dari Tarutung yang dipimpin oleh Bapak Mangantar Lumbantobing, untuk memasang kembali tutup Batu Hobon yang sempat terbuka itu. Pada mulanya tutup batu itu tidak dapat diangkat, walaupun telah ratusan orang sekaligus mengangkatnya, tetapi barulah setelah diadakan Upacara memohon restu penghuni alam yang ada di tempat itu yang dipimpin oleh salah seorang pengetua adat dari limbong, maka dengan mudah, tutup batu itu dapat diangkat dan dipasang kembali ketempat semula.

c. Dalam Kamar

Mamele yang dilakukan oleh masyarakat setempat di dalam kamar sudah menjadi kewajiban dan warisan dari nenek moyangnya yang secara turun temurun diwariskan sampai ke generasi berikutnya. Mamele yang dilakukan oleh masyarakat setempat adalah hanya pada roh nenek moyang mereka saja. Tradisi ini dilakukan dengan memberikan makanan kesukaan nenek moyangnya semasa hidupnya. Tradisi ini dapat dilakukan karena masyarakat didatangi roh nenek moyangnya dalam mimpi, pada saat ada acara keluarga, dan sebagainya. Pada saat mereka melakukan mamele yang bisa hadir ke dalam kamar adalah hanya keluarga terdekat saja yaitu keluarga dari pihak bapak dan pihak ibu. Anak-anak tidak diperbolehkan masuk ke dalam kamar, karena ini dapat mengganggu dan merusak acaranya. Menurut masyarakat setempat, mamele ini adalah rahasia, maka dari itu mereka melakukannya secara diam-diam supaya tidak ketahuan. Universitas Sumatera Utara 61

d. Kuburan dan Tugu

Mamele yang dilakukan dilakukan di kuburan atau tugu ini karena dua hal, yaitu: ziarah dengan memberikan makanan dan minuman kepada roh nenek moyang yang sudah meninggal, dan juga pada saat menaikkan tulang belulang keluarga yang sudah meninggal ke atas atau menggali tulang belulang leluhur upacara ini disebut dengan mangongkal holi. Dengan melakukan penggalian tulang belulang mereka telah menjaga hubungan keluarga yang sudah meninggal.

3.4. Upacara Ritual

Dalam Koentjaraningrat 1980:241, menjelaskan bahwa upacara ritual adalah suatu upacara kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku. Kelakuan keagamaan tersebut merupakan perbuatan- perbuatan manusia yang bertujuan untuk menjalin hubungan dengan dunia gaib. Upacara tersebut berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh-roh nenek moyang atau makhluk halus lainnya. Upacara ini biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, musim, atau kadang-kadang saja. Tergantung dari isi acara tersebut. Suatu upacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan beberapa tindakan, seperti: berdoa, bersujud, bersaji, menari, menyanyi, bertapa, bersemedi, berkorban, makan bersama, berprosesi, berseni, dan berpuasa Koentjaraningrat, 1980:81. Di desa Hutaurat dan Hutabalian terdapat beberapa upacara ritual yang dilaksanakan dalam usaha untuk berkomunikasi dengan Tuhan atau makhluk gaib Universitas Sumatera Utara 62 lainnya dengan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa upacara yang pernah dilakukan oleh masyarakat setempat, antara lain:

3.4.1. Upacara Mangongkal Holi

Mangongkal holi merupakan penaikkan tulang belulang yang di gali dari bawah tugu ke atas tugu. Dasar penggalian ini pada awalnya adalah penguburan kembali tulang belulang yang berserakan karena suatu hal. Tulang belulang yang berserakan, berdasarkan kepercayaan orang Batak Toba, roh tidak dapat berkomunikasi dengan penghuni tempat kemuliaan Mulajadi Nabolon di Banua Ginjang surga. Sehingga jabu-jabu rumah yang dibuat menjadi peti jenazah bertujuan untuk menyenangkan roh nenek moyang yang sudah meninggal, yakni dengan hal itu roh leluhur dapat berkomunikasi dengan Mulajadi Nabolon. Acara penggalian pun dimulai setelah tonggo raja selesai. Penggalian dilakukan dilakukan dengan memukul gendang namun tidak selamanya di detiap upacara mangongkal holi ada bunyi gendang. Setiap unsur Dalihan Natolu, kemudian berkumpul di tempat penggalian, maka acara ini dimulai dengan nyanyian rohani kemudian dilanjutkan dengan berdoa, memohon agar upacara tersebut berkenan di hadapan-Nya. Penggalian pun dimulai dari hasuhuton, boru dilanjutkan hula-hula, pemimpin acara adat, sihal-sihal dan diteruskan oleh boru. Tulang belulang telah didapat, pertama-tama yang diambil adalah saring-saring bagian kepala dari keseluruhan. Saring-saring itu lalu disanti diterima hula-hula yang beralas ulos. Semua tulang belulang itu dihtung keseluruhannya, ruas-ruasnya jangan sampai Universitas Sumatera Utara 63 ada yang ketinggalan. Kemudian dimasukkan ke dalam ulos dipangku hula-hula. Hula-hula lalu menyerahkan tulang belulang itu kepada boru suhut. Tulang belulang kemudian dibersihkan dengan air sirih, air jeruk, air kunyit, baru diuras oleh pemimpin upacara dengan aek pangurasan, kemudian dimasukkan ke dalam peti mini yang beralaskan kain putih, lalu ditutup dengan ulos ragi idup. Saring- saring itu kemudian dibawa ke kampung oleh hasuhuton penyelenggara pesta diiringi dengan gondang dalan. Sampai di kampung ditutup dengan gondang hasahaton yang digabung dengan gondang sitio-tio. Acara pesta baru dimulai setelah tulang belulang tersebut dimasukkan ke dalam tugu. Pesta ini dibuka dengan acara gereja yakni dengan gondang untuk dimainkan lalu mereka menari manortor sebagai adat budaya yang tidak ada kaitannya dengan kepercayaan lama. Acara pesta peresmian tugu tersebut melibatkan dan mendatangkan hampir seluruh anggota marga yang mengadakan upacara ini, dan juga dari kampung tersebut. Gambar 4 : Tulang belulang nenek moyang yang akan dimasukkan ke dalam tugu dan dilakukan dalam Upacara Mangongkal Holi Universitas Sumatera Utara 64

3.4.2. Upacara Pomparan Tatea Bulan

Upacara ini diyakini sebagai penghormatan pada roh leluhur sekaligus menerima pewahyuan dari nenek moyang, dikenal dengan sebutan ”Tatea Bulan”. Menjelang upacara Tatea Bulan, aktivitas warga di Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir, tampak berbeda dari biasanya. Sebagian besar warga larut dalam persiapan perayaan. Ada yang memasak, memotong ternak, membuat hiasan di Batu Hobon serta tak ketinggalan panitia inti mempersiapkan roundown acara. Gambar 5 : Upacara Tatea Bulan Gambar 6 : Persembahan yang sudah dibawa akan diletakkan ke Batu Hobon Universitas Sumatera Utara 65  Hari Pertama Sekitar pukul 10.30 wib, upacara pun digelar. Pemberian persembahan makanan kepada roh leluhur, mulai dari daun sirih, jeruk, telur ayam kampung, ikan jurung, nasi hingga makanan lain yang telah dipersiapkan sebelumnya diletakkan diatas Batu Hobon, sambil memohon agar hasil panen selalu diberkahi sang leluhur. Konon, makna telur sebagai tanda kesuburan dan cikal bakal penerus bagi generasi selanjutnya. Sedangkan sirih merupakan tanda penghormatan dan penghaturan doa kepada Guru Tatea Bulan. Dalam upacara Tatea Bulan ini dipersembahkan pula seekor kerbau. Para pemuka adat di Tanah Batak Toba mempercayai kerbau sebagai hewan kurban persembahkan bagi Mulajadi Nabolon atau Tuhan. Setelah dihias dengan hiasan lambe atau janur kuning dari daun pohon nira, kerbau itu dipindahkan ke borotan. Borotan adalah kayu tambatan sebagai pusat pelaksanaan upacara. Biasanya, sebelum berangkat ke Batu Hobon, seorang warga orang yang sudah ditunjuk oleh bius akan mempersiapkan alat-alat untuk upacara, berupa tali sulaman. Tali ini dinamakan bonang manalu, berfungsi untuk mengikat batu ajimat pada saat upacara nanti. Selain itu ia pun harus mengenakan pakaian pambuhai, yang dihiasi sebuah pengiring atau ikat kepala. Menggunakan pengiring, dipercaya sang leluhur akan menuntun dan melindungi jiwanya. Kemudian dia menyiapkan daun tujuh rupa, antara lain daun sipilit, ropu, sirih, silinjuang, alum-alum, dan siritak. Sesajian dedaunan ini dipercaya dapat membuat upacara Tatea Bulan berlangsung dengan baik dan jauh dari gangguan. Setiap daun dianggap memiliki kekuatan. Sipilit, misalnya, digunakan untuk Universitas Sumatera Utara 66 menjauhkan diri dari amarah. Sedangkan ropu atau rotan sebagai perlambang perekat atau kesatuan untuk menghindarkan warga dari perpecahan. Sebuah tombak, yakni Tombak Jurung Buhit pun selalu setia menemaninya. Tombak tradisional Jurung Buhit ini adalah warisan leluhur dan telah diberikan ropu atau simbol kekerabatan. Tombak ini pun harus diarahkan ke langit, sebagai pertanda menyebar mantra untuk menghindari pengaruh buruk. Tombak itu adalah pamungkas pada upacara sakral itu. Nantinya alat itu akan digunakan untuk mengurbankan seekor kerbau sebagai perwujudan penghormatan bagi Mulajadi Nabolon. Diiringi musik pargondang, para pendoa mulai menari dan melangkah kecil untuk mengitari borotan. Tarian ini dinamakan Tor Tor Mangaliat. Gerakannya dipercaya sebagai bentuk doa dan rasa syukur. Dalam upacara ini, terkadang para peserta kerasukan. Dalam keadaan tak sadar, mereka memakan telur dan jeruk persembahan. Setelah proses pembuktian akan kehadiran leluhur mereka, sang pambuhai segera menarikan Gondang Tatea Bulan. Pambuhai pun merapalkan mantra dan mengelilingi borotan sebanyak tiga kali. Saat tarian pambuhai tengah ditabuhkan ke delapan penjuru, Tombak Jurung Buhit menjadi pamungkas persembahan bagi para leluhur Tanah Batak. Pambuhai memiliki kewajiban menusukkan tombak sebanyak tiga kali ke arah kerbau. Ketiga hunusan terkait dengan dalihan na tolu atau bentuk tali kekerabatan di dalam marga Batak. Setiap hunusan merupakan ungkapan permintaan terhadap leluhur dan Tuhan Mulajadi Nabolon. Terutama agar memberikan keselamatan, kesejahteraan, dan perlindungan abadi bagi seluruh keturunan orang Batak. Selanjutnya, pada tengah malam akan Universitas Sumatera Utara 67 dipertunjukkan bagaimana nenek moyang orang Batak melakukan pengobatan massal, dengan meminta persetujuan Mulajadi Nabolon untuk menyembuhkan keturunannya yang sedang sakit. Biasanya saat sakral ini, tidak boleh ada satu titik cahaya pun. Semua harus gelap. Benar-benar hening. Hanya cahaya bulan yang menerangi.  Hari kedua Keesokan harinya, saat sang surya mulai mengeluarkan silaunya. Semua orang akan makan bersama di bawah naungan tenda besar. Semua keturunan Guru Tatea Bulan yang hadir harus menikmati hidangan daging kerbau yang telah di sembelih kemarin sore. Masing-masing orang duduk bersila diatas tikar sebelum akhirnya mendapat jatah makan. Semua orang akan makan dengan kenyang. Sebagai tahap akhir di kegiatan Tatea Bulan, selesai makan, para keturunan raja Batak ini akan melakukan long march ke tempat persemayaman Guru Tatea Bulan, di puncak Pusuk Buhit pada ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut dengan berjalan kaki. Walau cukup melelahkan, mereka menganggap menelusuri jejak leluhur adalah suatu berkah dan kebanggaan tersendiri. Sebagian warga suku Batak menganggap Guru Tatea Bulan adalah leluhur yang suci. Berada di rumah persembahan Guru Tatea Bulan diibaratkan sebagai sebuah pertemuan antara nenek moyang dan para cucunya. Di puncak ini pula terdapat patung-patung perlambang Guru Tatea Bulan. Terkadang, para peziarah menghaturkan doa di hadapan patung ini. Melalui patung Guru Tatea Bulan dan Raja Uti, doa dipanjatkan kepada Mulajadi Nabolon yang dipercaya sebagai Tuhan dalam kepercayaan leluhur orang Batak. Maka, ziarah dan berdoa adalah Universitas Sumatera Utara 68 kegiatan pamungkas sebelum turun kembali ke Desa Limbong-Sagala, kecamatan. Sianjur Mula-mula. Serangkaian upacara adat untuk menghormati sang leluhur.

3.4.3. Sumangot Ni Ompung

Pelaksanaan sumangot ni ompung ini biasanya dilakukan hanya dalam acara yang cukup sederhana saja, karena maksud dan tujuan diadakannya upacara ini hanyalah semata-mata hanya memberi makan kepada kepada roh keluarga mereka yang sudah meninggal. Biasanya upacara ini dilaksanakan karena salah satu anggota keluarga mimpi didatangi roh keluarga mereka sendiri dan juga dapat dilakukan pada saat acara keluarga. Sebelum upacara dimulai dilakukan terlebih dahulu harus menyiapkan makanan yang sesuai dengan makanan kesukaan roh tersebut semasa hidupnya dan di alas dengan ulos. Makanan tersebut dibawa ke dalam kamar dan diletakkan di atas tempat tidur. Setelah itu, anggota keluarga tersebut masuk ke dalam kamar kecuali anak kecil dan membawa daun sirih. Upacara ini diawali dengan pembacaan doa sekaligus mengundang roh nenek moyangnya. Setelah itu, anggota keluarga yang hadir dalam upacara ini dapat mengucapkan beberapa kalimat kepada roh nenek moyang untuk meminta mohon doa kepada roh tersebut supaya diberikan perlindungan, kesehatan, rezeki, dan lain-lain. Setelah acara selesai, mereka keluar dari kamar supaya roh nenek moyang tersebut dapat memakan makanan tersebut. Setelah kira-kira 15 menit berlalu, makanan tersebut dapat diambil dan dimakan oleh anggota keluarganya. Universitas Sumatera Utara 69

3.4. Manfaat Pelaksanaan Upacara Mamele

Setiap upacara yang dilaksanakan akan memberikan manfaat bagi yang melaksanakannya, baik itu memperoleh kesehatan, keselamatan, dan bahkan memperoleh ketenangan dalam kehidupannya. Demikian juga halnya pada masyarakat Batak Toba di Hutaurat dan Hutabalian masih mempercayai upacara mamele dan akanmemberikan manfaat bagi pelaksanaannya. Pelaksanaan upacara mamele akan memberikan hasil yang baik sesuai dengan harapan orang yang melaksanakannya. Manfaat yang paling tampak dari pelaksanaan ini adalah dapat memberikan keberuntungan bagi masyarakat yang mempercayainya. Selain itu juga, upacara mamele ini dapat memberikan rasa kepuasan terhadap sesuatu yang diinginkannya. Walaupun pelaksanaan upcara mamele ditentang oleh agama, namun hal ini masih tetap dilakukan atau bukan menjadi penghalangnya untuk meninggalkan warisan leluhur yang diturunkan oleh nenek moyang ke generasi berikutnya. Universitas Sumatera Utara 70

BAB IV PERILAKU MAMELE UNTUK MENDAPATKAN STATUS

Jika dilihat dari evolusi kepercayaan bahwa peilaku mamele untuk mendapatkan status merupakan kepercayaan masyarakat yang bersifat primitif, karena berisikan kekuatan mistik dan makhluk spiritual yang dirumuskan dalam hubungannya dengan roh-roh nenek moyang atau leluhur. Perilaku mamele untuk mendapatkan status ini ternyata dapat menyatukan seluruh anggota penganut kepercayaan terhadap mamele dari berbagai dusun. Dalam hal ini, perilaku tersebut bersifat fungsional karena mampu mengintegrasikan seluruh anggota serta mampu melestarikan budaya dari nenek moyang. Akan tetapi, juga bersifat disfungsional karena jika tidak melakukan mamele akan membuat bencana bagi dirinya dan orang lain serta merasa tidak puas jika tidak dilakukannya mamele. Perilaku kepercayaan terhadap mamele ini juga memiliki fungsi manifest atau fungsi secara langsung disadari oleh para penganut tersebut yaitu mereka berhasil di dalam pekerjaan, meningkatkan ekonomi keluarga, kesehatan, dan kesuksesan. Selain memiliki fungsi manifest, perilaku ini juga memiliki fungsi laten atau fungsi tidak disadari oleh masyarakat tersebut. Perilaku ini dianggap telah menduakan Tuhan, yang mana perilaku ini dianggap sebagai kegiatan menyembah roh lain, selain Tuhan. Akan tetapi, perilaku mereka ini merupakan perilaku yang dapat menyatukan sasama anggota yang memiliki kepercayaan tersebut. Selain itu, Universitas Sumatera Utara