Tempat-Tempat Mamele yang Pernah Dilakukan Masyarakat Setempat Batu Sawan Batu Hobon

55 terpilih nantinya sebagai calon pemimpin yang diinginkannya. Persembahan dan peralatan yang harus dibawa adalah sirih, jeruk purut, pisang, kerbau, ikan batak, sagu-sagu nagodang, itak putih, hinopingan nihotang niandalu, gundur palangi gendang.

3.3. Tempat-Tempat Mamele yang Pernah Dilakukan Masyarakat Setempat

Tempat-tempat mamele di desa Hutaurat dan Hutabalian adalah batu hobon, batu sawan, dalam kamar, dan kuburan atau tugu. Tempat-tempat tersebut hingga saat ini masih dikunjungi dan dipercayai oleh para pelaku atau pemimpin upacara untuk melakukan mamele.

a. Batu Sawan

Batu Sawan ini merupakan suatu kawasan yang berada di atas gunung Pucuk Buhit. Dulunya di tempat ini kerap diadakan upacara sakral yang masih berlanjut hingga sekarang. Upacara ini dilakukan untuk meminta restu kepada Guru Tatea Bulan supaya permintaanya dapat terkabulkan. Biasanya upacara yang dilakukan di Batu Sawan ini adalah masyarakat yang berada di luar daerah ini, seperti: calon kandidat gubernur Sumatera Utara, bupati samosir, wali kota medan, dan lain-lain.

b. Batu Hobon

Tepatnya di kaki bukit, terdapat sebuah tempat keramat yang dianggap sakral bagi masyarakat setempat, bernama “Batu Hobon.” Kondisi jalan sebagian sudah diaspal dan sebagian lagi belum diaspal. Untuk mecapai lokasi tersebut Universitas Sumatera Utara 56 dapat menaiki sepeda motor dan mobil yang kira-kira 10 menit dari dalam desa ini. Jika berjalan kaki sesuai dengan arah jalan besar kira-kira 30 menit, sedangkan dengan mendaki kira-kira 20 menit. Batu Hobon ini memiliki bentuk berupa batu berdiameter satu meter dengan bagian bawah berongga. Diperkirakan batu ini merupakan sebuah lorong yang mungkin saja berbentuk goa. Dulunya di tempat ini kerap diadakan upacara sakral yang masih berlanjut hingga sekarang. Upacara itu diyakini sebagai penghormatan pada roh leluhur sekaligus menerima pewahyuan dari nenek moyang, dikenal dengan sebutan “Tatea Bulan”. Gambar 2 : Pomparan Ompu Guru Tatea Bulan Universitas Sumatera Utara 57 Di Batu Hobon ini lah pomparan Ompu Guru Tatea Bulan pada mulanya bermukim. Diriwayatkan, Pusuk Buhit sebagai tempat turunnya Si Raja Batak yang pertama, diutus oleh Mulajadi Nabolon atau Tuhan Yang Maha Esa untuk mengusai tanah Batak. Disanalah Raja Batak memulai kehidupannya. Dalam silsilahnya, Raja Batak memiliki dua orang anak sebagai pembawa keturunan atau marga dan menjaga martabat keluarga. Kedua putra Raja Batak itu bernama Guru Tatea Bulan dan Raja Isombaon. Guru Tatea Bulan memiliki lima orang putra dan lima orang putri. Kelima putranya bernama; Raja Uti tidak memiliki keturunan, Sariburaja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Silau Raja. Dari keturunan mereka lah asal muasal semua marga-marga Batak muncul dan menyebar ke seluruh penjuru. Konon, Batu Hobon adalah buah tangan Raja Uti untuk menyimpan harta kekayaan orang Batak, berupa benda-benda pusaka dan alat-alat musik. Diyakini pula, di dalam Batu Hobon ini tersimpan Lak-Lak sejenis kitab yang berisi ajaran dan nilai-nilai luhur. Berdasarkan pewahyuan yang datang pada keturunannya, diperkirakan pada suatu saat, benda-benda yang tersimpan dalam batu itu akan di keluarkan sendiri oleh Raja Uti yang menurut kepercayaan setempat tidak pernah mati. Dia akan tetap hidup dalam pribadi-pribadi pilihan yang tentu masih keturunannya. Di atas Batu Hobon terdapat Sopo Guru Tatea Bulan yang dibangun tahun 1995 oleh Dewan Pengurus Pusat Punguan Pomparan Guru Tatea Bulan. Bangunan ini terdapat di Bukit Sulatti di bawah Pusuk Buhit, dan di dalam Universitas Sumatera Utara 58 bangunan terdapat sejumlah patung keturunan Raja Batak berikut dengan patung sejumlah kendaraan si Raja Batak dan pengawalnya. Kendaraan itu antara lain naga, gajah, singa, harimau dan kuda. Jejak sejarah di Tanah Batak itu yang sering dilupakan pemerintah. Keanehannya: Gambar 3 : Batu Hobon Sudah tiga kali orang berusaha untuk membuka Batu Hobon ini namun ketiga-tiganya gagal, dan orang yang berusaha membuka itupun serta merta mendapat bala dan meninggal dunia. Pertama : Pada zaman penjajahan Belanda, ada seorang pejabat Pemerintah Belanda dari Pangururan, berusaha untuk membuka batu Hobon, dia berangkat membawa dinamit dan peralatan lain, serta beberapa orang personil. Pada saat mereka mempersiapkan alat-alat untuk meledakkan Batu Hobon itu dengan tiba-tiba datanglah hujan panas yang sangat lebat, disertai angin yang sangat kencang, serta petir dan guntur yang sambung menyambung, dan tiba-tiba mereka melihat Universitas Sumatera Utara 59 ditempat itu ada ular yang sangat besar dan pada saat itu juga ada berkas cahaya sinar seperti tembakan sinar laser dari langit tepat keatas Batu Hobon itu, maka orang Belanda itu tiba-tiba pingsan, sehingga dia harus di tandu ke Pangururan, dan setelah sampai Pangururan dia pun meninggal dunia. Kedua : Pada masa pemberotakan PRRI, ada seorang tentara yang berusaha untuk membuka Batu Hobon ini, menembaki Batu Hobon itu dengan senapan, tetapi sampai habis persediaan pelurunya Batu Hobon itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan si Tentara itu menjadi gila dan dia menjadi ketakutan dia berjalan sambil berputar-putar, serta menembaki sekelilingnya, walaupun peluru senapannya sudah kosong, dan tidak berapa lama, si Tentara itupun meninggal dunia. Ketiga : Pernah juga ada orang yang tinggalnya di daerah Sumatera Timur, berambisi untuk mengambil Harta Pusaka yang ada dalam Batu Hobon ini, sehingga mereka berangkat kesana dengan beberapa orang personil, membawa peralatan untuk membuka dan memecahkan batu. Mereka sempat membuka tutup lapisan yang paling atas, tetapi dengan tiba-tiba mereka melihat ular yang sangat besar di Batu Hobon itu sehingga mereka lari terbirit-birit dan gagallah usaha mereka untuk membuka Batu Hobon itu dan tidak berapa lama pimpinan rombongan itupun meninggal dunia dan anggota rombongan itupun banyak yang mendapat bala. Universitas Sumatera Utara 60 Tutup Batu Hobon yang terbuka itu, sempat mengundang keresahan bagi tokoh masyarakat Tapanuli Utara sehingga datanglah ratusan murid-murid Perguruan HKI dari Tarutung yang dipimpin oleh Bapak Mangantar Lumbantobing, untuk memasang kembali tutup Batu Hobon yang sempat terbuka itu. Pada mulanya tutup batu itu tidak dapat diangkat, walaupun telah ratusan orang sekaligus mengangkatnya, tetapi barulah setelah diadakan Upacara memohon restu penghuni alam yang ada di tempat itu yang dipimpin oleh salah seorang pengetua adat dari limbong, maka dengan mudah, tutup batu itu dapat diangkat dan dipasang kembali ketempat semula.

c. Dalam Kamar