”Sekarang” seru Sakim. Teddy tidak membuang waktu. Sekuat tenaga dia menarik tuas utama dan menghidupkan aliran listrik kembali. Percikan-percikan
api bermunculan ketika ribuan watt arus bertekanan tinggi mengalir simpang- siur. Rambut-rambut di tubuh mereka berdiri dan Teddy menggenggam
linggisnya kuat-kuat. Mereka melihat Moore mengumpulkan tenaga untuk melepaskan percikan-percikan api yang segera menjilati tumpahan-tumpahan
solar di sekitar unggunnya, lalu merangkak naik ke puncak tumpukan kayu bakar Sbr: 227.
Yuni, istri Sakim, menggagalkan rencana Moore melalui tetesan darahnya yang dicampur dengan darah Rigel.
Campuran darah Yuni, orang yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan semua korban lainnya, merusak susunan ramuan sihir Moore dan
menggagalkan persembahannya Sbr: 229.
Puncak kontravensi terjadi ketika Sembrani berhasil menggagalkan rencana Moore dengan cara merenggut tubuh Leng Cu yang akan dikorbankan Moore dalam
ritual pembakaran. Tawa nyaring Reuben Moore menggema menggetarkan rongga dada. Penuh
kemenangan dan sangat yakin, sampai sesosok bayangan putih tiba-tiba melesat masuk dan menabrak tubuh gadis itu di udara, menghentikan lajunya, dan
memutuskan aliran energi sihir Moore.... Dia melihat cahaya putih menutupi pandangannya, yakin bahwa itu berarti terbukanya gerbang nirwana, dan
sebelum tahu benar apa yang dilakukannya, Sembrani telah mengepakkan sayapnya diiringi lolongan memilukan Reuben Moore ketika ledakan besar dan
kobaran api menelan tubuhnya Sbr: 230.
Kegagalan Moore dalam pelaksanaan ritual pembakaran tersebut berdampak langsung pada dirinya. Moore menjadi semakin marah dan tidak terkendali sehingga
akhirnya tewas dalam ritual yang diciptakannya dan impiannya untuk menambah kekuatan agar dapat menguasai dunia tidak tercapai.
4.2 Temuan Penelitian
Dalam trilogi DE ditemukan bahwa interaksi yang dilakukan oleh para tokoh yang berasal dari berbagai etnis, terjadi secara asosiatif dan disosiatif. Interaksi itu
Universitas Sumatera Utara
terjadi antara etnis Tionghoa dan Melayu Jambi, antarsesama etnis Tionghoa, bahkan antara manusia dan hewan. Mereka melakukan interaksi melalui organisme fisik, seperti
dalam perbincangan, pendengaran, penglihatan, atau melakukan gerakan pada beberapa bagian tubuh. Akan tetapi, interaksi sosial asosiatif yang berbentuk asimilasi dan
amalgamasi tidak ditemukan dalam trilogi ini. Para tokoh hanya melakukan bentuk- bentuk interaksi seperti kooperasi, akomodasi, kompetisi, konflik, dan kontravensi.
Bentuk-bentuk interaksi yang dilakukan oleh beberapa tokoh terjadi secara berantai, terus-menerus, bahkan berlangsung seperti lingkaran tanpa ujung. Misalnya,
beberapa tokoh yang mengalami pertikaian konflik, untuk sementara waktu dapat diakomodir; kemudian tokoh akan bekerja sama kooperasi; kerja sama berubah
menjadi persaingan kompetisi; apabila persaingan memuncak, dapat menimbulkan pertikaian. Tokoh Hartanto dan Datuk Itam pada awalnya, digambarkan melakukan
kooperasi kerja sama dalam mencapai tujuan bersama. Akan tetapi, mereka juga melakukan kompetisi persaingan ketika masing-masing telah memiliki kepentingan
sendiri dalam mencapai tujuan tersebut. Demikian pula tokoh Hartanto dan Rigel yang sering terlibat konflik, untuk sementara dapat meredam konflik itu menjadi akomodasi
demi mewujudkan satu tujuan yang sama. Deskripsi ini menunjukkan bahwa interaksi sosial akan terjadi sesuai dengan kepentingan setiap individu.
Sehubungan dengan motif yang melatarbelakangi terjadinya interaksi sosial, motif psikologis merupakan motif yang ditemukan dalam trilogi ini. Motif ini
ditemukan melalui interaksi antara Cen Cu dan Naga yang ditandai dengan perasaan sayang dan belas kasihan yang timbul dalam diri Cen Cu terhadap Naga. Perasaan
Universitas Sumatera Utara
tersebut terutama tampak ketika Cen Cu mengobati tubuh Naga yang penuh luka karena terkena jerat ular lalang emas yang dipasang Datuk Itam.
Cen Cu mengumpulkan perdu demi perdu dengan sabar, hampir tanpa menghiraukan suhu dingin yang membuat kakinya mati rasa.... Ketika Cen Cu
sampai kembali ke pohon beringin besar tempat Naga berlindung, pakaiannya sudah basah kuyup dan penuh tanah, tetapi wajahnya berseri-seri. Dia
menggerus daun perdu obat yang dibawanya, mencampur semuanya menjadi pasta yang lembut, dan menapalkannya dengan hati-hati ke setiap luka di tubuh
Naga... MN: 138-139. Motif psikologis juga tergambar melalui kebencian Hartanto dan Datuk Itam
terhadap Naga dan keturunannya sehingga mereka bekerja sama untuk memusnahkan Naga.
”Kalau Naga sudah datang, dia pasti sudah memilih mempelainya. Dan kau tahu apa artinya itu? Akan lahir seorang perempuan yang bakal memutuskan tali
riwayatmu. Pabrik kayu lapis bermodal miliaran itu akan tinggal sejarah. Dan bersama keruntuhannya, mesin uang haram itu akan menyeretmu dan seluruh
keluarga besarmu. Karena kau keturunan musuh Naga. Para perusak alam...” MN: 24.
Dia mendengar tawa cicit-cicitnya sedang bermain kelereng di samping rumah dan tiba-tiba merasa kecut, sadar bahwa dirinya dan Hartanto saling
membutuhkan. Jika sendiri-sendiri, mereka tidak punya kesempatan untuk melawan Naga, apalagi menang GBTET: 45.
Universitas Sumatera Utara
BAB V TRILOGI DARAH EMAS
SEBAGAI MEDIA REPRESENTASI MASYARAKAT TIONGHOA-JAMBI
Ditinjau dari kuantitas dan kualitas kemanusiaannya, bangsa Cina Tionghoa adalah bangsa yang besar dan kuat. Ini disebabkan mereka sangat meyakini falsafah
yang ditanamkan leluhurnya. Dalam falsafah Cina, manusia menjadi sentral perhatian karena hanya manusia yang dapat menentukan nasib tujuannya sendiri Susetya, 2010:
13. Falsafah itu mencakup tiga tema pokok yang menjadi pedoman bagi orang Tionghoa dalam menjalin hubungan dengan sesama. Tiga tema tersebut adalah harmoni
keseimbangan, toleransi, dan perikemanusiaan Susetya, 2010: 11. Di samping itu, dalam menjalin hubungan dengan sesama, sejak dini mereka diajarkan untuk meniru
sifat air: nurturing ’mengasuh atau berguna’; flexible ’luwesmudah bergaul’; dan firm ’tegaskuat’ Landri, 2006: 255. Dengan demikian, mereka tidak akan kesulitan dalam
bersosialisasi di manapun dan berbaur dengan siapapun. Dalam trilogi DE, pembauran yang dilakukan masyarakat Tionghoa lebih
terkonsentrasi pada masyarakat Jambi. Sejak dahulu, masyarakat Jambi, secara emosional, sudah memiliki sejarah simbiosis yang cukup panjang dengan etnis
Tionghoa. Melalui catatan yang terdapat dalam kitab sejarah diketahui bahwa bangsa Cina telah melakukan beberapa kali kunjungan ke Jambi. Kontinuitas kunjungan seperti
itu akhirnya memberikan peluang simbiosis kultur dan hubungan etnis dalam kadaran tertentu Noor, 2007: 171. Selain itu, temuan situs purbakala berupa candi dan artefak
yang bertuliskan aksara Cina, sebagai bukti keberadaan orang Tionghoa di Jambi, semakin menguatkan hubungan antara kedua etnis sehingga tidak berlebihan apabila
96
Universitas Sumatera Utara