2.3 Landasan Teori
Pembicaraan mengenai pendekatan sosiologis atau sosiologi sastra terhadap karya sastra di Indonesia, muncul pada dekade tahun 1980-an Mahayana, 2005: 335;
Sikana, 2009: 255. Pada saat itu, muncul anggapan bahwa karya sastra, khususnya novel-novel di Indonesia, dalam beberapa hal mengandung nilai-nilai cermin
masyarakat, terutama novel yang berlatar belakang sosial budaya. Menurut Pradopo 1995: 66, latar sosial budaya daerah yang ditonjolkan dalam novel-novel Indonesia
terjadi pada periode 1970-1990. Beberapa novel yang menjadikan sosial budaya dan masyarakat sebagai latar belakangnya, antara lain, Warisan karya Chairul Harun 1979
dan Bako karya Darma Moenir 1983, yang menggambarkan masyarakat Minangkabau; Upacara karya Korrie Layun Rampan 1978, sebagai potret masyarakat
Dayak; Sri Sumarah 1985 dan Para Priyayi 1990 karya Umar Kayam, berlatar belakang masyarakat Jawa; serta Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya
1971 yang menggambarkan masyarakat Bali. Gambaran masyarakat multietnis dalam novel-novel Indonesia itu menjadikan sastra Indonesia sangat kaya dan khas
dibandingkan dengan kesusastraan negara lain. Oleh karena itu, peranan sosiologi sastra sangat dibutuhkan di Indonesia, terutama untuk mengangkat keberagaman tradisi
kultural masyarakat Indonesia.
Sosiologi sastra, pada dasarnya, lebih menitikberatkan pada unsur dalam karya sastra yang menandai adanya hubungan antara pengarang dan latar belakang sosialnya.
Suatu kelompok masyarakat lingkungan tertentu, tempat seorang pengarang berada, dengan sendirinya akan menghasilkan karya sastra tertentu pula. Kecenderungan ini
didasarkan atas adanya suatu asumsi yang menyatakan bahwa tata kemasyarakatan
Universitas Sumatera Utara
bersifat normatif, mengandung unsur-unsur pengatur yang mau tidak mau harus dipatuhi. Sastra juga ditentukan atau dibentuk oleh situasi dan kondisi kehidupan sesuai
dengan struktur sosial masyarakat yang memiliki perbedaan kelas Marx dalam Sikana, 2009: 256; Osborn, 2005:106. Sastra tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena
sastra muncul dari realitas sosial sehingga dapat dikatakan sebagai refleksi realitas. Lukacs dalam Selden, 1993: 27 menyatakan bahwa novel bukan hanya mencerminkan
realitas pada permukaannya, tetapi juga merefleksikan realitas yang lebih lengkap, hidup, dan dinamis.
Pernyataan di atas menyiratkan bahwa karya sastra, sebagai dunia rekaan, tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif,
tetapi kerangka imajinasi tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya Ratna, 2003: 27. Karya sastra lahir berdasarkan fakta kultural dan melibatkan struktur sosial
sehingga dapat menjelaskan eksistensi individu dalam masyarakat. Hal ini relevan dengan tujuan sosiologi sastra yang disampaikan Kayam dalam Ratna, 2003: 26 yakni
”Memahami manusia melalui visi antardisiplin sekaligus menopang koeksistensi disiplin humaniora dalam menghadapi transformasi budaya secara global”.
Secara harfiah, sosiologi sastra berarti analisis yang menggabungkan teori-teori sosiologi dan sastra. Namun demikian, dalam menganalisis karya sastra secara
sosiologis, teori-teori sastra lebih dominan digunakan daripada teori sosiologi yang hanya bersifat komplementer. Menurut Ratna 2003: 18, teori-teori sosiologi yang
dipakai dalam analisis sosiologis adalah teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta- fakta sosial dalam karya sastra, seperti kelas sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial,
sistem sosial, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Karya sastra yang menekankan perihal masyarakat dalam penceritaannya, dapat didekati melalui pendekatan sosiologis. Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah
adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan yang dimaksud, menurut Ratna 2004: 332-333, adalah sebagai berikut.
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang; pengarang adalah anggota masyarakat. 2. Karya sastra hidup dalam masyarakat.
3. Medium karya sastra, yakni bahasa, dipinjam melalui kompetensi
masyarakat. 4. Dalam karya sastra terkandung aspek yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat, yaitu estetika, etika, dan logika. 5. Karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat dapat menemukan
citra dirinya dalam karya tersebut. Di samping itu, sosiologi sastra juga dianggap sebagai bagian dari tradisi
empirik dalam sosiologi umum. Artinya, keterlibatan produksi, distribusi, dan resepsi sastra sebagai kegiatan sosial yang spesifik tidak dapat dinafikan. Dengan demikian,
objek sosiologi sastra, menurut Silbermann dalam Segers, 2000: 68 dapat dipaparkan sebagai berikut.
1. studi terhadap pengaruh sastra pada kehidupan sosial; 2. studi pengaruh sastra pada pembentukan kelompok, interferensi kelompok,
konflik kelompok, dan sebagainya; 3. studi perkembangan dan keragaman sikap sosial;
4. studi pembentukan, pertumbuhan, dan lenyapnya lembaga-lembaga sosioartistik; dan
5. studi faktor-faktor tipikal dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang mempengaruhi sastra.
Pada dasarnya, sosiologi sastra dapat diaplikasikan ke dalam karya sastra melalui tiga perspektif Endraswara, 2008: 80. Pertama, perspektif teks sastra, yakni
karya sastra dianalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat. Kedua, perspektif biografis, yakni menganalisis karya sastra melalui latar belakang sosial pengarang.
Ketiga, perspektif reseptif, yakni menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks
Universitas Sumatera Utara
sastra. Hal ini sesuai dengan pandangan Escarpit 2008: 3 yang menyatakan bahwa fakta sastra menyiratkan adanya penulis pencipta, buku karya sastra, dan pembaca
publik. Teori sosiologi sastra yang berkaitan dengan ketiga fakta sastra tersebut
dikemukakan oleh Wellek dan Austin yang dikenal dengan teori trilogi pengarang- karya-pembaca Ratna, 2003: 22. Klasifikasi teori trilogi Wellek dan Austin 1993:
111 adalah sebagai berikut. 1 Sosiologi pengarang.
Masalah yang berkaitan dengan sosiologi pengarang adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang yang
terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Informasi mengenai pengarang dapat diketahui melalui biografinya, terutama yang berkaitan dengan proses
kreatif. Menurut Wellek dan Austin 1993: 112, biografi pengarang merupakan sumber utama, akan tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan asal
pengarang. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga atau posisi ekonomi pengarang, turut berperan dalam pengungkapan masalah sosiologi
pengarang. Menurut Abrams dalam Pradopo, 2002: 22, sosiologi pengarang, terutama proses kreatifnya, dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaan-
keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju. Segers 2000: 70 juga mengaitkan sosiologi pengarang dengan profesionalisme
pengarang, kelas sosial, dan generasi sastra pengarang tersebut. Sebagai makhluk sosial, pengarang tentunya dipengaruhi oleh latar belakang
sosiologis dalam menghasilkan karyanya. Latar belakang sosiologis itu berupa struktur
Universitas Sumatera Utara
sosial, proses sosial, dan perubahan-perubahan sosial. Menurut Junus dalam Siswanto, 2008: 3, latar belakang sosiologis pengarang dapat dijabarkan atas enam faktor, yaitu
1 asal sosial, yang merujuk pada lingkungan tempat pengarang dibesarkan atau tempat tinggalnya; 2 kelas sosial, berkaitan dengan kedudukan pengarang dalam masyarakat,
apakah berasal dari kelas atas, menengah, atau bawah; 3 jenis kelamin; 4 umur; 5 pendidikan; dan 6 pekerjaan pengarang.
2 Sosiologi karya sastra. Sosiologi karya sastra berkaitan dengan isi karya sastra, tujuan, serta hal lain
yang tersirat dalam karya sastra yang ada hubungannya dengan masalah sosial. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini adalah mempelajari sastra sebagai
dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial Wellek dan Austin, 1993: 122. Karya sastra dianggap sebagai cermin masyarakat karena merefleksikan sikap kelompok sosial
tertentu Ian Watt dalam Damono, 2002: 4. 3 Sosiologi sastra pembaca
Sosiologi sastra berkaitan dengan permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Karya sastra dianggap dapat mempengaruhi dan mengubah pola pikir
publik pembaca, sehingga dari segi etika resepsi, menurut Albert Memmi dalam Segers, 2000: 70, cara-cara sebuah karya diterima oleh pembaca dapat dipandang
sebagai indikasi yang krusial dari pentingnya karya tersebut. Klasifikasi trilogi pengarang-karya-pembaca yang dikemukakan Wellek dan
Austin tersebut tidak jauh berbeda dengan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat yang dibicarakan Ian Watt dalam esainya yang berjudul
Literature and Society dalam Damono, 2002: 4. Hubungan tersebut
Universitas Sumatera Utara
diklasifikasikannya menjadi konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
Sebagai suatu pendekatan yang reflektif, sosiologi sastra harus menemukan sasaran yang tepat dalam pengaplikasiannya. Sasaran yang dimaksud adalah 1 fungsi
sosial sastra, 2 produksi dan pemasaran sastra, 3 sastra sebagai cermin masyarakat, dan 4 konteks sosiobudaya Endraswara, 2008: 81. Hal ini sesuai dengan pandangan
Alan Swingewood dalam Junus, 1986: 1 yang mengatakan, ”Sosiologi dan sastra meliputi tiga pendekatan, yaitu 1 pendekatan yang
memandang karya sastra sebagai dokumen sosio-budaya, 2 pendekatan yang memandang kedudukan sosial pengarang, dan 3 pendekatan yang menekankan
pada resepsi masyarakat terhadap suatu karya.” Berdasarkan beberapa teori sosiologi sastra tersebut, teori trilogi pengarang-
karya-pembaca yang disampaikan Wellek dan Austin, dianggap lebih tepat dalam mengungkapkan interaksi sosial yang ada dalam trilogi novel Darah Emas karya
Meiliana K. Tansri. Hal ini didasarkan pada keterlibatan pengarang yang cukup intens dalam proses kreatif dan struktur penceritaan novel tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Model Penelitian