Kedewasaan MKT juga tampak pada kemampuannya memberikan kritik terhadap oknum-oknum yang mengatasnamakan sesuatu untuk kepentingan pribadi.
Kritik tersebut, antara lain, ”Pejabat berwenang hanya berpikir untuk memihak siapa yang bakal lebih menguntungkan pemerintah daerah –dan dirinya sendiri” MN: 42;
”seorang teman yang diketahuinya membayar suap untuk menjadi pegawai negeri sipil, yang sampai saat ini masih harus merelakan sebagian gajinya sebagai ”uang jasa” untuk
si perantara” MN: 80; ”PNS Kota yang biasanya berpengetahuan pas-pasan” Sbr: 25; ”dikandangkan atas nama pelestarian hanya karena manusia tidak mampu menahan
dirinya” Sbr: 35. MKT juga mengangkat kearifan lokal yang ada di Jambi dengan memberikan
gambaran tentang pelestarian warisan budaya Jambi, perlindungan satwa langka, mitos manusia harimau cindaku, dan perilaku Orang Rimba suku terasing di Provinsi
Jambi.
6.1.5 Pendidikan Pengarang
Pendidikan formal yang ditempuh MKT ternyata mempengaruhi novel-novel yang dikarangnya. Dia menyelesaikan pendidikan menengahnya di sebuah institusi
pendidikan yang cukup ternama di Kota Jambi. Hasil dari pendidikan tersebut ditunjukkan MKT melalui kemampuannya merangkai kata. Salah satunya adalah
kemampuan menciptakan gaya bahasa simile dan metafora yang tidak lazim. Dia tidak menggunakan gaya bahasa yang umum digunakan orang, tetapi menciptakan sesuatu
yang khas dan unik. Menurut MKT, dia melakukan itu dengan cara berlatih terus- menerus. Semakin sering berlatih, semakin tajam pula kemampuan menulisnya.
Universitas Sumatera Utara
Adapun contoh pemakaian simile dalam trilogi DE, antara lain, ”rambutnya yang panjang dan berwarna seperti tembaga bergelombang” MN: 10; ”bulan seperti
sepotong kuku keemasan di langit” MN: 176; ”seperti stek batang singkong yang ditancapkan ke tanah” GBTET: 211; ”seperti nenek baik hati yang membukakan pintu
rumahnya” Sbr: 30. Contoh metafora dalam trilogi ini, antara lain, ”lingkaran bulan” MN: 21 yang berarti masa menstruasi seorang perempuan; ”seringai maut” MN: 28
yang berarti bahaya yang mengancam jiwa; dan ”wajah kotor” GBTET: 94 yang berarti perilaku yang sangat jahat atau keji.
Di samping simile dan metafora, MKT juga menyelipkan beberapa gaya bahasa personifikasi dan peribahasa dalam triloginya. Contoh personifikasi, antara lain,
”membangunkan hutan yang masih tertidur” MN: 10; ”matanya memuaskan diri” MN: 10; ”angin yang lembut berbisik memanggilnya” MN: 77; ”langit dan bumi
mengamuk” MN: 28; ”matahari yang terik sudah kembali bersembunyi” MN: 123; dan ”langit dan bumi sedang menghitung gumpal murkanya” GBTET: 94. Contoh
peribahasa, antara lain, ”menjerat leher dengan ekor sendiri” MN: 9 yang berarti melakukan pekerjaan yang sia-sia dan merugikan diri sendiri.
MKT juga mampu berbahasa Inggris, sebagaimana tergambar dalam beberapa dialog antara Rigel dan Reuben Moore. Kemampuan berbahasa Inggris tersebut
diperolehnya melalui sekolah dan latihan. Keluarga, menurut MKT, juga membiasakannya berkomunikasi dalam bahasa Inggris, termasuk kesukaannya
membaca buku-buku warisan kakeknya yang banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris. MKT juga banyak membaca buku dari berbagai bidang ilmu, sebagai wujud dari
pendidikan informal. Tidak mengherankan apabila dalam trilogi ini dia mengetahui
Universitas Sumatera Utara
istilah-istilah yang dipakai dalam disiplin ilmu yang berbeda. Misalnya, istilah dalam bidang jurnalistik, arkeologi, astronomi, musik, dan teknologi. Dia juga mengetahui
gambaran masyarakat Tionghoa-Jambi melalui berbagai referensi, termasuk dari cerita orang tuanya.
6.1.6 Pekerjaan Pengarang