Peristiwa-Peristiwa yang Diceritakan Fakta-Fakta Fiksional dalam Trilogi Darah Emas yang Merepresentasikan

anak sah Hartanto. Menurut Hermawan 2009: 95, inklusi narasi ketidaksetiaan seperti itu tampak memetakan sejarah generasi Tionghoa yang ”ilegal dan tidak orisinal” karena dilahirkan oleh ibu non-Tionghoa yang dinikahi secara tidak resmi oleh ayah Tionghoa.

5.1.3 Peristiwa-Peristiwa yang Diceritakan

Peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam trilogi DE dilatarbelakangi oleh usaha sekelompok orang untuk melestarikan aset budaya dan lingkungan hidup. Usaha tersebut diawali dengan beberapa peristiwa yang berkaitan langsung dengan etnis Tionghoa. Salah satunya adalah peristiwa yang berkaitan dengan naga liong, makhluk yang dianggap serba bisa dan luar biasa. Sejak dahulu sampai sekarang, orang Tionghoa meyakini anak yang lahir di bawah naungan shio naga akan lebih baik dalam segala hal, terutama dalam karir dan kehidupan sehari-hari. Kedudukan naga memegang peranan penting dalam tradisi Tionghoa. Hal ini dapat dilihat melalui ukiran-ukiran naga yang terdapat di pilar-pilar kelenteng atau ornamen di atap kelenteng. Dalam cerita Cina kuno Landri, 2006: 7, naga berinteraksi dengan manusia dan mendatangkan anugerah besar berupa pencerahan atau pengetahuan. Dikisahkan, setelah Kaisar Chi Fu memakan seekor naga, ia mendapat pengetahuan yang sangat luas yang berasal dari otak naga. Para tabib Cina meyakini darah naga sangat berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Hampir setiap bagian tubuh naga mempunyai khasiat yang berharga. Naga bahkan diyakini mempunyai batu permata di bawah dagunya yang nilainya setara dengan kekayaan kerajaan. Dalam trilogi DE MN: 86, Universitas Sumatera Utara batu permata naga disebut dengan mustika naga, berupa bola kristal yang memiliki kekuatan untuk melihat masa lalu dan masa depan. Naga dideskripsikan sebagai makhluk yang bisa menyemburkan api, bisa hidup di air, mempunyai banyak kaki, sangat kuat dan gigih saat bertarung, dan bisa terbang. Pendeskripsian yang sama bisa ditemukan secara tersirat dalam trilogi DE. Naga disimbolisasikan sebagai roh langit dan bumi yang menjaga agar kebaikan dan kejahatan tetap terpisah. Kehebatan naga dapat dilihat melalui kemampuannya menyerupai makhluk apapun, termasuk manusia. Cen Cu melihat sosok naga sebagai lelaki tampan berbadan tegap MN: 10, tetapi Hartanto melihatnya dalam wujud kadal raksasa bersisik emas MN: 153. Kehebatan lainnya adalah mustika yang dimiliki naga, berupa bola cahaya yang berisi kekuatan segala ilmu pengetahuan GBTET: 31. Dalam urusan bisnis, naga memiliki peranan yang tidak kalah penting. Naga merupakan simbolisasi dari kesadaran, semangat, kreativitas, vitalitas, dan kehendak Susetya, 2010: 63. Agar bisnis lancar dan tidak mudah tersendat, para pebisnis harus melakukan perubahan-perubahan dan transformasi yang tidak terbatas, seperti yang dilakukan naga. Oleh karena itu, mereka berprinsip harus “menunggangi naga” agar memperoleh kekuatan darinya. Prinsip ini terinspirasi dari pepatah Cina kuno berikut ini. ”Jika Anda mengabaikan sang naga, ia akan menerkam Anda. Jika Anda mencoba menghadapi sang naga, ia akan menundukkan Anda. Jika Anda menunggangi sang naga, Anda akan mendapat keuntungan dari kekuatan dan kuasanya” Susetya, 2010: 61. Trilogi DE juga menyinggung tentang legenda burung hong burung api sebagai burung yang merebut mustika naga. Burung hong –orang Eropa menyebutnya phoenix- dikenal sebagai burung setan yang dibangkitkan dari abu reruntuhannya. Universitas Sumatera Utara Setelah bangkit, burung ini bukan hanya menjadi burung hong baru, melainkan juga bisa menjelma menjadi burung apapun, bahkan apapun yang bukan burung Prasetyo, 2005: 63. Dalam Sbr 2010: 147 diceritakan bahwa Reuben Moore merupakan dinasti phoenix yang ingin bereinkarnasi untuk menguasai dunia. Untuk mencapai tujuannya, dia harus melakukan ritual pembakaran, dengan meleburkan diri bersama orang-orang tertentu yang dibakarnya, dan kemudian bangkit kembali dari debu hasil pembakaran tersebut. Peristiwa lain yang diceritakan adalah situs Kemingking, daerah temuan purbakala tempat ditemukannya reruntuhan kerajaan kuno yang pernah berdiri berabad- abad lampau. Reruntuhannya tertimbun di bawah fondasi pabrik kayu milik Hartanto. Situs ini terletak di Desa Kemingking, salah satu daerah tempat sebaran candi-candi kuno di sebelah barat Sungai Batanghari. Candi-candi yang ditemukan di desa Kemingking dinamakan Candi Teluk I dan Candi Teluk II yang termasuk ke dalam wilayah kompleks percandian Muarojambi. Candi Teluk I dan II ditemukan secara kebetulan pada tahun 1980, ketika sebuah buldoser yang sedang meratakan tanah untuk persiapan pembangunan pabrik, menabrak sisa bangunan kuno dalam home.candimuarojambi.com . Saat ini, kawasan cagar budaya tersebut terancam rusak karena akan dijadikan lahan penimbunan batu bara, minyak sawit mentah, serta terminal peti kemas dalam www.kompas.com . Situs Kemingking hanyalah satu dari beberapa situs percandian yang tersebar di Kabupaten Muarojambi. Situs percandian Muarojambi memiliki potensi andal bagi kepariwisataan daerah Jambi karena merupakan mata rantai prosesi ritual keagamaan Budha yang berskala lokal, nasional, dan internasional Noor: 2005: 92. Bukti Universitas Sumatera Utara keterkaitan agama Budha dengan situs-situs ini terekam melalui catatan para pemuka agama Budha yang pernah melakukan perjalanan sampai ke Kerajan Melayu Jambi, salah satunya adalah I-Tsing pada abad VII. Dalam catatannya disebutkan bahwa I- Tsing menunggu angin untuk melayarkan kapalnya di sebuah Pelabuhan Melayu yang disebut sebagai Kuala Tungkal Noor, 2005: 171. Melalui catatan ini juga diketahui bahwa para pendeta Budha membangun candi, sebagai tempat pemujaan dan penyimpanan abu jenazah, di sepanjang DAS Batanghari. Kompleks percandian Muarojambi merupakan situs percandian yang paling luas di Indonesia dalam www.muarojambi.go.id . Oleh sebab itu, Provinsi Jambi layak dijuluki ”Bumi Seribu Candi” Noor, 2007: 13, mengingat banyaknya candi kuno yang ditemukan. Dalam kompleks percandian ini ditemukan sekitar 60-an menapo, yakni gundukan tanah yang diduga berisikan reruntuhan bangunan kuno. Setiap menapo dikelilingi oleh beberapa candi kecil yang disebut dengan pewara. Dalam situs pemerintahan Kota Jambi www.kotajambi.go.id disebutkan bahwa bangunan- bangunan candi dan bekas reruntuhannya menunjukkan bahwa di masa lalu situs ini pernah menjadi pusat peribadatan agama Budha Tantri Mahayana. Hal ini terlihat dari ragam temuan sarana ritual, seperti Arca Prajnaparamita, reruntuhan stupa, arca gajah singha, wajra besi serta tulisan-tulisan mantra yang dipahatkan pada lempengan emas atau digoreskan pada bata. Situs pemerintahan Kota Jambi menyebutkan bahwa arca Prajnaparamita merupakan arca berwujud dewi dan merupakan Dewi Kebijaksanaan dalam agama Budha Tantrayana, sebagai simbol tercapainya Sunyata kebenaran tertinggi yang berupa Sakti unsur wanita. Digambarkan dalam Dharma-cakramudra, yaitu sikap tangan ”sedang memutar roda dharma”, serta sikap duduk vajraparyangka, Universitas Sumatera Utara kaki melipat bersikap padmasana lotusteratai, sebagai lambang kesucian yang hidup dalam tiga alam; tanah, air, dan udara yang merupakan unsur kehidupan dalam agama Budha. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, dapat dikatakan bahwa interaksi antara etnis Tionghoa -melalui peninggalan agama Budha- dan etnis Melayu Jambi sudah terjalin sejak berabad-abad silam. Kehadiran etnis Tionghoa, di samping etnis pendatang lainnya, telah menambah jumlah penduduk dan membentuk masyarakat multikultural di Jambi. Di samping itu, salah satu dampak yang paling nyata dari interaksi ini terwujud melalui perkawinan antara orang Tionghoa dan orang Jambi. Generasi yang lahir melalui perkawinan ini pun mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu Jambi sehingga terjadi peningkatan sumber daya manusia sebagai salah satu penentu keberhasilan pembangunan di Jambi pada masa depan.

5.2 Temuan Penelitian