Jenis Kelamin Pengarang Hubungan Antara Latar Belakang Sosiologis Pengarang dan Trilogi Darah

Rutinitas Cen Cu dapat disejajarkan dengan MKT yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Dalam wawancara dengan Jambi Independen 25 November 2009, MKT mengatakan bahwa aktivitas hariannya diawali dengan mencuci pakaian, memasak, membereskan rumah, dan mengurus anak, sambil terus mengembangkan ide di sela-sela pekerjaannya itu. MKT selalu membekali dirinya dengan kertas dan pena sehingga apabila inspirasi datang, dia segera mencatatnya ke dalam buku saku. Model manuskrip seperti itu memang menjadi andalan MKT dalam menghasilkan novel- novelnya. Dia hanya bisa mengetik idenya ke dalam komputer apabila ada waktu senggang. Di samping itu, kelas sosial MKT yang berasal dari golongan menengah juga tampak pada kesenangannya bermain piano dan mendengarkan musik klasik –dua kegiatan yang biasanya digandrungi oleh orang-orang dari kalangan tertentu. Kesenangan bermain piano dituangkan MKT ke dalam salah satu novelnya, Konser, yang mengangkat cerita mengenai kehidupan seorang pianis dan memamerkan pengetahuan musik klasiknya melalui novel itu. Dalam trilogi DE, MKT juga menyelipkan perihal piano dan musik klasik, seperti yang tampak dalam kutipan berikut ini. Restoran itu tenang dan temaram. Piano secara live memainkan lagu-lagu klasik lembut GBTET: 113. Rigel masih asyik menunggu sambil menikmati Etude 4 gubahan Chopin ketika Maitre d’ datang dengan baki berisi setangkai Rosa galica GBTET: 114.

6.1.3 Jenis Kelamin Pengarang

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Mahayana 2007: 61, kebangkitan pengarang yang berjenis kelamin perempuan, secara kuantitatif, terjadi pada akhir Universitas Sumatera Utara dasawarsa tahun 1990-an, pasca melambungnya Saman karya Ayu Utami. Novel Saman yang fenomenal, menurut Mahayana, berhasil menyebarkan virus yang membangkitkan kualitas-kualitas terpendam para perempuan pengarang di seluruh Tanah Air. Jika sebelumnya tercatat nama-nama seperti N.H. Dini atau Titis Basino yang berhasil menempatkan dirinya sebagai novelis perempuan yang sejajar dengan novelis laki-laki, Ayu Utami dan kawan-kawan justru telah menggeser posisi dan dominasi novelis laki- laki. Mereka –para perempuan pengarang- menciptakan mainstream baru dalam kesastraan Indonesia, terutama dari tema-tema yang menampilkan posisi dan peran sosial perempuan berdasarkan kacamata perempuan. Sejarah kesastraan Indonesia mencatat, kehadiran perempuan di peta sastra Indonesia sebenarnya sudah diawali pada dekade 1890-an oleh penyair-penyair perempuan peranakan Tionghoa, seperti Tan Tjeng Nio dan Lioe Gwat Kiauw Nio Salmon, 2010: 420. Generasi awal ini yang nantinya memunculkan perempuan- perempuan pengarang keturunan Tionghoa, seperti Mira W. dan Marga T. pada tahun 1970-an Salmon, 2010: 440; Sumardjo, 1999: 179, serta Lan Fang, Iriani R. Tandy, dan MKT, pada tahun 2000-an. Seperti kebanyakan perempuan pengarang, MKT pun selalu mengangkat problematika di seputar kehidupan perempuan dalam novel-novelnya. Dia bukan hanya menggambarkan perempuan, tetapi juga memprotes kedudukan dan peran perempuan. Hal ini memproyeksikan pandangan dunia atau ideologi MKT dalam menerjemahkan situasi di sekelilingnya. Dalam triloginya ini, MKT menyisipkan ideologi gender kategori umum, yakni ideologi yang menekankan nilai pingitan perempuan dan pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu Darma, 2009: 220. Kedudukan Universitas Sumatera Utara perempuan sebagai warga negara kelas dua, bagi sebagian masyarakat Tionghoa, digambarkan MKT dalam trilogi DE. Perempuan yang dinikahi ayahnya ketika ia berumur tiga tahun itu adik kandung ibunya. Orang tua mereka, kakek dan nenek Cen Cu, meninggal tidak lama setelah Cen Ling, kakak sulung Cen Cu, lahir. Sejak itu, Guat Kim yang baru berumur sepuluh tahun tinggal bersama mereka. Orang tua Cen Cu membiayai sekolahnya, dan Guat Kim membantu mengurus keempat keponakan perempuannya yang lahir susul-menyusul dalam waktu delapan tahun. Setelah ibu Cen Cu meninggal dunia dalam perjuangannya melahirkan Cen Cu yang sungsang, ayah Cen Cu memperistri adik iparnya itu. Guat Kim melahirkan tiga orang anak laki-laki, sesuatu yang tidak pernah diberikan ibu kandung Cen Cu, dan itu membuatnya besar kepala. Guat Kim memainkan peran ibu pengganti dengan baik selama beberapa waktu. Namun, begitu ayah Cen Cu meninggal dunia ketika Cen Cu berumur delapan belas tahun, Guat Kim menjelma menjadi ibu tiri yang mengerikan MN: 14-15. Kutipan yang bercetak miring di atas menyiratkan bahwa kehadiran anak laki- laki di tengah keluarga Tionghoa sangat diharapkan dan dibanggakan. Sementara itu, kehadiran anak perempuan hanya diperlukan untuk urusan domestik rumah tangga, sebagaimana tergambar dalam kutipan berikut. ”Sana, cepat masukkan induk babi itu, lalu bersihkan dirimu dan segera mengurus rumah A Lung dan A Ming hari ini ujian, harus sarapan yang bergizi, agar bisa dapat nilai yang bagus” MN: 14. ”Dasar pemalas Apa kau tidak tahu betapa pentingnya induk babi itu bagi kita? Kau pasti sengaja membiarkannya lepas supaya tidak perlu mengurusnya lagi. Apa maksudmu? Mau diizinkan bekerja seperti A Yen di bank itu? Kau pikir aku bodoh, apa? Kau bakal lebih banyak menghasilkan uang kalau kujual kepada germo di Pucuk Mereka pasti mau membayar mahal untuk perawan desa seperti kau” MN: 35. Kedudukan kaum perempuan yang terdiskriminasi dalam masyarakat Tionghoa itu dikritisi MKT melalui trilogi DE. MKT menempatkan posisi perempuan menjadi sangat istimewa dalam klan darah emas. Perempuan menjadi penentu terputus atau Universitas Sumatera Utara tidaknya garis darah tersebut. Kedudukan laki-laki tidak berpengaruh dalam klan darah emas karena hanya Naga yang berhak menduduki peran tersebut. ”Aku mendampingi mereka melalui seorang perempuan yang lahir dari benihku, yang dilahirkan seorang perempuan terpilih. Dia akan membawa darahku dalam tubuhnya, yang akan diwariskannya pada semua perempuan keturunannya. Jika mereka mati tanpa memiliki anak perempuan, garis darah itu akan terputus. Dan aku akan mencari seorang pengganti. Seorang perempuan yang akan melahirkan anak perempuan untuk mewarisi darahku” MN: 41. ”Darah emas? Perempuan-perempuan ini adalah orang-orang istimewa yang mengerjakan tugas-tugas Naga di tengah manusia. Mereka adalah penemu, pencipta, penggagas, atau perempuan-perempuan yang melahirkan, membantu, atau mendampingi orang-orang besar di seluruh dunia”.... ”Semua perempuan ini? Bukankah para laki-laki...” Moore menggeleng. ”Hanya perempuan yang membawa darah emas, untuk mereka wariskan pada semua perempuan keturunan mereka. Kalau mereka mati tanpa memiliki anak perempuan, garis darah itu akan terputus, dan Naga akan memilih seorang perempuan untuk meneruskannya” Sbr: 66. Melalui kutipan tersebut, MKT seolah-olah ingin menyuarakan suara perempuan. Perempuan adalah makhluk super dan serba bisa. Perempuan dapat berperan di sektor publik dan domestik sekaligus. Perempuan dapat meningkatkan sekaligus menurunkan derajat seorang laki-laki. Karena berpengaruhnya peran perempuan, sampai-sampai ada pepatah yang mengatakan bahwa wanita adalah tiang negara.

6.1.4 Umur Pengarang