Penalaran Induktif
1. Penalaran Induktif
Secara formal induksi dapat dibatasi sebagai proses penalaran untuk sampai kepada keputusan, prinsip, atau sikap yang bersifat umum maupun khusus berdasarkan pengamatan atas hal-hal yang khusus. Atau proses penalaran yang meneliti fenomena secara individual untuk sampai kepada kesimpulan umum (khusus ke umum).
Berikut ini secara umum dapat dilihat contoh penalaran dalam paragraf penalaran induktif (khusus ke umum). Contoh,
Syauqi anak yang rajin membaca buku sejarah terutama yang berkaitan dengan ceritra orang sukses. Ia telah membaca buku tentang H. Agussalim, Sutan Syahrir, Soekarno, Mohammad Hatta, Soeharto, dan B.J. Habibie. Semua buku yang dibacanya
menunjukkan bahwa kebesaran yang mereka peroleh tidaklah
tiba-tiba, tetapi melalui ketekunan belajar, kerja keras, aktif
bermasyarakat, dan berbagai ujian hidup berat yang dialami dan
dijalaninya dengan ketabahan. Berdasarkan hasil bacaannya, Syauqi menyimpulkan bahwa untuk menjadi orang besar dan sukses, seseorang harus rajin belajar, bekerja keras, mau bermasyarakat, tekun, dan sabar menghadapi persoalan. Singkatnya, kesuksesan hanya dapat diperoleh karena
perjuangan yang gigih diseratai ketabahan dalam menjalani
hidup.
Proses penalaran induktif dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu generalisasi, analogi, dan hubungan kausal (sebab akibat).
a. Generalisasi
Generalisasi atau perampatan adalah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah pengamatan terhadap gejala atau peristiwa yang serupa (sifat-sifat tertentu) untuk menarik kesimpulan mengenai semua atau sebagian peristiwa itu. Generalisasi diturunkan dari gejala-gejala khusus yang diperoleh melalui pengalaman, observasi, wawancara, atau studi dokumentasi. Sumbernya dapat berupa dokumen, statistik, kesaksian, pendapat ahli, peristiwa politik, sosial, ekonomi, atau hukum. Dari berbagai gejala atau peristiwa khusus itu, orang Generalisasi atau perampatan adalah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah pengamatan terhadap gejala atau peristiwa yang serupa (sifat-sifat tertentu) untuk menarik kesimpulan mengenai semua atau sebagian peristiwa itu. Generalisasi diturunkan dari gejala-gejala khusus yang diperoleh melalui pengalaman, observasi, wawancara, atau studi dokumentasi. Sumbernya dapat berupa dokumen, statistik, kesaksian, pendapat ahli, peristiwa politik, sosial, ekonomi, atau hukum. Dari berbagai gejala atau peristiwa khusus itu, orang
Generalisasi akan berbahaya apabila kurang berhati-hati dalam menarik kesimpulan. Kesimpulan yang diambil atau ditetapkan dapat menjadi kekeliruan atau berlebihan. Untuk menghindari kekeliruan atau berlebihan dalam menarik kesimpulan dari generalisasi maka generalisasi harus berdasarkan fakta-fakta, evidensi-evidensi yang reprensentatif, akurat, jelas, tepat, dan logis.
Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menguji keabsahan hasil generalisasi. 1). Jumlah gejala atau peristiwa khusus yang dijadikan dasar
generalisasi cukup memadai. Jumlah atau ukuran gejalanya tergantung dari keluasan cakupan generalisasi itu. Di samping itu, cara untuk menambah keabsahan penyimpulan, yaitu cari data tambahan agar representatif, dan penyimpulannya diawali dengan frase tertentu, seperti sebagian besar, dari hasil penelitian itu, bertolak dari data di atas, dan cenderung.
2). Gejala atau peristiwa yang digunakan sebagai bahan generalisasi merupkan contoh yang baik, dapat mewakili keselurhan atau bagian yang dikenai generalisasi.
3). Cermati berapa banyak pengecualian yang tidak sesuai dengan generalisasi yang dilakukan. Jika pengecualian itu banyak jumlahnya, generalisasi yang dilakukan tidak sah. Jika jumlah pengecualiannya sedikit, perumusannya harus hati-hati. Oleh karena itu, kita harus cermat menggunakan kata atau frase, seperti semua, setiap, seluruh, selalu, biasanya, cenderung, pada umumnya, sebagian besar, rata-rata, atau kebanyakan.
4). Perumusan generalisasi itu harus sesuai dengan data-data yang diteliti.
b. Analogi
Analogi biasanya berguna untuk memperbandingkan atau mempersamakan aspek tertentu dari dua hal. Kedua hal itu memang tidak sejenis, tetapi keduanya memiliki aspek tertentu yang mirip.
Analogi yang dimaksudkan dalam uraian tersebut adalah analogi induktif. Artinya, suatu proses penalaran untuk menarik kesimpulan atau inferensi tentang kebenaran sutau gejala khusus berdasarkan kebenaran gejala khusus lainnya yang dimiliki sifat-sifat esensial yang bersamaan. Dengan demikian, untuk mengemukakan analogi induktif, yang perlu diperhatikan adalah persamaan yang digunakan sebagai dasar kesimpulan benar-benar merupakan ciri esensial yang berhubungan erat dengan kesimpulan yang dikemukakan.
Sebagai contoh , “kesimpulan beberapa ilmuwan yang mengatakan bahwa anak kera dapat diberi makan, seperti anak manusia berdasarkan persamaan yang terdapat di antara sistem pencernaan anak kera dan anak manusia ”. Kesimpulan itu, merupakan analogi induktif yang sah karena yang digunakan sebagai dasar penarikan kesimpulan adalah sistem pencernaan, sedangkan yang merupakan ciri esensial yang berhubungan erat dengan kesimpulan adalah cara memberi makan.
Perbandingan lain, “Hawa nafsu adalah kuda tunggangan yang akan membawamu meraih ambisi. Agama adalah kendali untuk mengendalikan tungganmu agar tidak liar, mementalkan, menyeret, dan menginjak- injak dirimu”. Hawa nafsu dianalogikan dengan kuda tunggangan, dan agama adalah tali kekangnya. Analogi itu dilakukan karena antara sesuatu yang dibandingkan dan pembandingnya memiliki kesamaan fungsi dan peran. Melalui analogi seseorang dapat menerangkan hal-hal yang abstrak atau rumit secara konkret dan lebih mudah dicernah. Namun, hendaknya dibedakan dengan analogi metaforis atau analogi deklaratif (penjelasan) yang tidak memberikan simpulan atau pengetahuan.
Analogi yang dimaksud dalam penalaran induktif adalah analogi logis, yaitu sesuatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa atau gejala khusus yang satu sama lain memiliki kesamaan untuk menarik sebuah kesimpulan. Titik tolak penalaran ini adalah kesamaan karateristik di antara dua hal. Oleh karena itu, kesimpulannya akan menyiratkan “apa yang berlaku pada satu hal akan berlaku juga pada hal lainnya” (Suparno, 2002: 1.40-1.41).
c. Hubungan Kausal (Sebab-Akibat)
Berdasarkan hukum kausalitas semua peristiwa yang terjadi di dunia ini terjalin dalam rangkaian sebab akibat. Proses penalaran hubungan sebab-akibat biasa juga disebut hubungan kausal. Hubungan sebab-akibat bertolak dari prinsip umum, bahwa tak ada satu gejala atau kejadian pun yang muncul tanpa penyebab. Jadi, semua peristiwa yang terjadi pasti ada penyebabnya. Seorang filosof Yunani Leucippus, mengatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi tanpa sebab. Cara berikir seperti ini, sebenarnya lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya dalam ilmu pengetahuan.
Hubungan, atau corak, atau jenis penalaran kausalitas ini dapat terwujud dalam pola: sebab ke akibat, akibat ke sebab, dan akibat ke akibat. Di bawah ini akan diuraikan satu per satu.
1) Penalaran dari sebab ke akibat dimulai dengan pengamatan terhadap suatu sebab yang diketahui. Berdasarkan pengamatan itu dapat ditarik kesimpulan mengenai akibat yang mungkin ditimbulkan.
2) Penalaran dari akibat ke sebab dimulai dari suatu akibat yang diketahui. Berdasarkan akibat tersebut dipikirkan apa yang mungkin menjadi penyebabnya.
3) Penalaran dari akibat ke akibat berpangkal dari suatu akibat dan berdasarkan akibat tersebut langsung dipikirkan akibat lain tanpa memikirkan sebab umum yang menimbulkan kedua akibat itu.
Penentuan hubungan sebab-akibat harus dilakukan dengan sangat berhati-hati. Pengarang harus berhati-hati menentukan mana yang sebab dan mana yang akibat. Kekeliruan dalam menunjukkan sebab atau akibat akan menghasilkan kesimpulan yang keliru pula. Selain itu, perlu juga diperhatikan, apakah secara logika benar sesuatu sebab mengakibatkan sesuatu akibat? Atau sebaliknya, akibat ini disebabkan oleh sebab itu. Dalam hal seperti ini harus dilakukan melalui penelitian yang harus diulang pada tempat atau waktu yang berbeda serta dilakukan secara sungguh-sungguh untuk memperoleh data yang valid.
Pengambilan kesimpulan melalui hubungan sebab-akibat dapat diketahui dan dapat dipertanggungjawabkan apabila memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a) Tidak adakah sesuatu yang dapat mencegah timbulnya gejala yang
diakibatkan oleh sesuatu penyebab yang kita amati? Tidak ada faktor lain yang ikut menjadi penyebab terjadinya suatu akibat? Dalam penalaran dari akibat ke sebab, kadang-kadang kita tidak melihat bahwa ada penyebab lain yang turut berperan dalam menimbulkan akibat yang diamati.
b) Selanjutnya, dalam penalaran akibat ke akibat harus diyakini bahwa ada penyebab umum yang menimbulkan akibat-akibat. Dalam hal ini perhatikan apakah penyebab itu betul-betul merupakan penyebab satu-satunya yang menimbulkan kedua akibat tersebut. Apakah tidak ada penyebab lain yang mungkin juga menimbulkan salah satu atau kedua akibat tersebut?