Menulis sebagai Proses Kreatif

B. Menulis sebagai Proses Kreatif

Karya ilmiah adalah hasil proses kegiatan menulis yang dapat didefinisikan sebagai kegiatan penyampaian pesan dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Pesan adalah isi atau muatan yang terdapat dalam suatu tulisan. Tulisan merupakan sebuah simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati pemakaiannya. Dengan demikian, dalam tindak komunikasi tulis ada empat aspek yang terlibat di antaranya: penulis sebagai penyampai pesan, pesan atau isi tulisan, saluran atau media berupa tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan (Suparno, 2002: 3). Jadi, karya ilmiah sesungghnya adalah bentuk komunikasi melalui proses kegiatan menulis yang melibatkan unsur penulis, isi tulisan, media atau tulisan, dan pembaca.

Orang tidak tertarik melakukan kegiatan menulis karena tidak tahu untuk apa dia melakukan kegiatan menulis, merasa tidak memiliki bakat menulis, dan merasa tidak tahu bagaimana cara menulis. Ketidaksenangan menulis adalah pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakat di mana seseorang berada. Selain itu, juga dipengaruhi aspek pembelajaran menulis yang kurang memberi motivasi dan merangsang minat menulis.

Kegiatan menulis sebenarnya bukanlah pekerjaan asing bagi kita, melainkan kegiatan yang sering dilakukan, seperti pada pembuatan artikel, esai, laporan resensi, karya sastra, dan cerita. Bentuk karya tulis tersebut sangat akrab dengan kehidupan kita. Tulisan itu akan menarik dibaca jika menyajikan secara runtut, ide, gagasan, diksi yang jelas, dan ungkapan perasaan penulisnya.

Menurut St. Kartono (2009: 17) menulis adalah sebuah aktivitas yang kompleks tidak hanya sekedar mengurutkan kalimat, tetapi lebih dari itu. Menulis adalah proses menuangkan pikiran dan menyampaikannya kepada khalayak. Ide yang sudah tertuang dalam tulisan, kelak akan memiliki kekuatan untuk menembus ruang dan waktu sehingga keberadaan ide atau gagasan tersebut akan abadi. Selain itu, proses menulis adalah upaya untuk mewariskan dan meneruskan ide atau gagasan kepada generasi selanjutnya agar ide tersebut terpeli hara dan tetap “hidup”.

Proses selanjutnya St. Kartono (2009: 32-33) menjelaskan bahwa menulis membutuhkan tiga hal yang saling berkaitan, yaitu kemauan, pengetahuan, dan keterampilan.

1. Kemauan adalah dorongan dari dalam hati yang menggerakkan untuk bertindak. Kemauan atau keinginan menulis dapat disebabkan oleh hal-hal yang berasal dari luar diri karena ditugasi atau diwajibkan. Kemauan dari dalam diri dapat berupa keinginan untuk aktualisasi diri agar diakui atau dikenal oleh masyarakat. Apabila seseorang memunyai kemauan atau keinginan yang kuat maka telah memiliki modal besar untuk menulis.

2. Pengetahuan adalah kekayaan tentang teknik tulis-menulis dan isi tulisan. Pengetahuan menulis seseorang dapat diciptakan dengan banyak membaca, banyak berdiskusi, banyak melihat, mengamati, dan mendengar.

3. Keterampilan menulis adalah pengetahuan yang harmonis antara daya otak dan daya tangan. Dengan membiasakan diri untuk terus menulis akan terasa dengan baik. Keterampilan adalah aksi nyata seseorang yang mau bertindak dan tahu yang harus dilakukan dan tahu cara melakukannya.

Aktivitas menulis sesungguhnya kegiatan rutin bagi para insan akademik karena menulis adalah salah satu indikator kemajuan yang telah dicapai. Jadi, semakin banyak karya tulis yang diproduksi akan menunjukkan tingkat kematangan kita sebagai insan akademik. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada umumnya civitas akademika merasa mengalami kesulitan dalam menulis. Hal ini disebabkan oleh rendahnya minat menulis dan kurangnya keinginan untuk melakukan proses (latihan) menulis. Kalau civitas akademika tidak menyukai menulis atau kurang dalam menulis bagaimana pula dengan lingkungan masyarakat lain yang tidak tersentuh secara langsung dengan manfaat menulis?

Salah satu aspek yang paling mendasar membentuk keteguhan dan keyakinan menulis adalah kita harus punya visi dan tujuan. Jadi, hal yang pertama muncul dalam pikiran kita adalah mengapa saya ingin menulis atau mengarang? Pertanyaan ini akan menambah berbagai alasan yang bersifat rasional, sosial-emosional, bahkan spritual untuk memacu dan memotivasi membuat tulisan.

Pengalaman sesungguhnya adalah guru yang sangat berharga mengajarkan tentang menulis dapat menjadi gampang jika ada visi, dan tujuan yang jelas. Tujuan itu akan membangkitkan motivasi berjuang dan motivasi berkarya. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau penulis terkemuka pada umumnya adalah orang-orang yang memiliki visioner. Mereka memiliki ketidakpuasan mendalam mengenai situasi dan kondisi yang dihadapinya. H al inilah yang memotivasi memiliki “bayangan” tentang situasi dan kondisi yang lebih baik dan dapat dicapai melalui perjuangan. Selanjutnya, mereka memilih tulisan sebagai media untuk menyatakan visi tersebut untuk mengajak orang ikut berjuang untuk memperbaiki keadaan.

Visi, pandangan, tujuan, dan sasaran yang relatif “jelas” menjadi sumber motivasi penulis terkemuka. Jadi, menulis dapat menjadi mudah jika punya

visi dan tujuan yang jelas sebelum menulis. Tentu saja orang dapat menulis dengan tujuan sederhana untuk memperoleh uang, seperti yang mungkin menjadi motivasi sebagian besar wartawan media tetentu. Orang dapat menulis dengan tujuan memperoleh popularitas dalam tingkat tertentu. Orang dapat menulis dengan maksud untuk menyenangkan atau memberikan kritik kepada pihak tertentu. Salain itu, orang dapat juga menulis untuk tujuan memengaruhi pikiran pembacanya. Bahkan, orang dapat menulis karena seribu satu macam alasan dan itu sah-sah saja.

Ada beberapa faktor yang perlu menjadi perhatian untuk dipertimbangkan agar hakikat proses menulis dapat dipahami dengan sesungguhnya, di antaranya adalah.

1. Menulis itu mudah Teori menulis memang mudah. Gampang dihafal, tetapi perlu dipahami menulis tidaklah sekedar teori, tetapi juga perlu keterlibatan keterampilan. Bahkan, menulis ada unsur seni dalam menulis. Teori hanyalah alat untuk mempercepat kompetensi seseorang dalam penulisan.

Sebagai perbandingan kita sepakat bahwa menyopir kendaraan itu bukan hanya teori. Sehebat apa pun penguasaan teorinya tidak akan dapat menjadi pengendara yang baik. Dia akan pandai menyopir setelah berlatih, beruji coba, serta mengasah keberanian dan kepekaan. Demikian pula halnya dengan kegiatan menulis. Tanpa keterlibatan langsung dalam kegiatan dan latihan menulis, seseorang tidak akan mampu menulis dengan baik. Dia harus mencoba dan berlatih berulang kali memilih topik, menentukan tujuan, mengenali pembaca, mencari informasi pendukung, menyusun kerangka karangan, serta menata dan menuangkan ide-idenya secara runtut dan tuntas dalam racikan bahasa yang yang mudah dipahami.

2. Kemampuan menggunakan unsur mekanik tulisan merupakan inti dari menulis

Dalam menulis seseorang perlu memiliki keterampilan mekanik, seperti penggunaan ejaan, pemilihan kata, pengkalimatan, pengalineaan, dan pewacanaan. Namun, jika kemampuan mekanik saja tidak akan cukup. Oleh karena itu, tulisan harus mengandung sesuatu atau isi yang akan disampaikan. Isu itu berupa ide, gagasan, perasaan atau informasi yang akan diungkapkan penulis kepada orang lain. Unsur mekanik hanyalah sebagai salah satu alat yang digunakan untuk mengemas dan menyajikan isi karangan agar dapat dipahami dengan baik oleh pembacanya.

3. Menulis itu harus sekali jadi Pernakah kita dalam membuat tulisan sekali tulis langsung jadi dan bagus? Kemungkinan besar jawabannya tidak. Berapa kali kita harus meremas kertas dan membuangnya karena tidak puas. Padahal tulisan tersebut belum jadi, atau tulisan tersebut sudah selesai ditulis. Kita menulis, memperbaiki, mencoba menulis lagi, hingga dianggap selesai. Tidak banyak orang yang dapat menulis sekali langsung jadi, meskipun penulis profesional. Menulis merupakan sebuah proses. Proses yang melibatkan tahap prapenulisan, penulisan, serta penyuntingan, perbaikan, dan penyempurnaan.

4. Orang yang tidak menyukai dan tidak pernah menulis dapat mengajarkan menulis Siapa pun yang mengajarkan menulis dia harus menyukai dan memiliki pengalaman dan keterampilan tentang menulis. Dia harus menunjukkan kepada orang yang diajarnya tentang manfaat dan nikmatnya menulis. Dia pun harus mampu mendemonstrasikan apa dan bagaimana menulis. Sulit membayangkan seseorang yang takut dan tidak suka menulis dapat melakukan hal tersebut (Suparno, 2002: 4-6). Orang yang mengajarkan menulis harus sering menulis. Bagaimana ia akan menjadi juru masak kalau sebelumnya tidak pernah memasak di rumah. Jadi, menulis adalah kegiatan yang membutuhkan latihan untuk sampai kepada tingkat kemahiran menulis dan selanjutnya dapat mengajarkan menulis.

Seseorang melakukan kegiatan menulis tentu karena didorong oleh beberapa faktor. Faktor yang mendorong seseorang menulis menjadi motivasi yang sangat kuat sehingga menggerakkan hatinya untuk menulis. Menurut St. Kartono (2009: 18-19) ada beberapa hal positif diperoleh dari kegiatan menulis, yaitu (a) agar pemikiran kita dapat dipahami orang lain, (b) adanya perubahan, (c) iklim intelektual selalu berkembang, (d) persoalan dapat terdiskusikan secara sejajar, dan (e) menulis sebagai sifat kreatif.

Menulis adalah proses kreatif yang banyak melibatkan cara berpikir divergen (menyebar) dari pada konvergen (memusat) (Supriadi dalam

Tang dkk., 2008). Menulis tidak ubahnya dengan melukis. Penulis memiliki banyak ide, gagasan, pendapat, pikiran, perasaan serta obsesi yang akan dituliskannya. Kendatipun, secara teknis ada kriteria yang dapat diikuti, tetapi wujud yang akan dihasilkan sangat bergantung pada kepiawaian, imajinasi dan kreativitas penulis dalam mengungkapkan gagasan.

Banyak orang memunyai ide bagus dibenaknya sebagai hasil dari perenungan, pengamatan, diskusi, penelitian atau membaca, tetapi pada saat ide tersebut dilaporkan secara tertulis, laporan atau tulisan itu terasa amat kering, kurang menggigit dan membosankan. Fokus dan arah tulisan tidak jelas gaya bahasa yang digunakan (apalagi dalam penulisan akademik sebagai tuntutan ilmuwan) monoton, pilihan katanya kurang tepat (diksi), dan variasi kata dan kalimatnya kering. Tulisan yang baik dapat diibaratkan makanan ia bergizi, enak dimakan, dan menyehatkan. Oleh karena itu, seorang penulis dituntut kreatif dalam merumuskan masalah, merencanakan dan mengembangkan tulisan, dan mengakhiri tulisan. Oleh karena itu, diperlukan penguasaan serta kemampuan bahasa tulis sesuai dengan bidang ilmu masing-masing.

Menurut Tang dkk. (2008) menulis sebagai proses kreatif yang berlangsung secara kognitif, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan tulisan ilmiah sekurang-kurangnya memuat empat tahap, yaitu (1) tahapan persiapan atau prapenulisan, (2) tahap inkubasi, (3) tahap iluminasi, dan (4) tahap verifikasi atau evaluasi. Keempat proses kreatif ini kadang-kadang tidak disadari oleh setiap orang yang mengalaminya. Namun, jika dilacak lebih jauh lagi hampir semua proses menulis (karya ilmiah, akademik, artistik, sosial budaya, ekonomi, kesehatan, politik, dan lain-lain) melalui keempat tahap ini. Perlu dipahami bahwa proses kreatif tidak identik dengan proses, urutan kegiatan, atau langkah-langkah mengembangkan laporan, tetapi lebih banyak merupakan proses kognitif atau bernalar.

Tahap pertama dalam proses kreatif adalah persiapan atau prapenulisan, yaitu ketika seseorang merencanakan menyiapkan diri mengumpulkan dan mencari informasi, merumuskan masalah, menentukan arah, dan fokus tulisan, mengolah informasi, menarik tafsiran, dan inferensi terhadap realitas yang akan dihadapi, berdiskusi, membaca, mengamati, melakukan survei, dan lain-lain. Semua ini akan memperkaya masukan kognitif untuk diproses pada tahap selanjutnya.

Kedua, inkubasi-ketika seseorang memproses informasi yang telah dimiliki sedemikian rupa sehingga mengantarkan pada ditemukannya pemecahan masalah, jalan keluar atau solusi yang dicarinya. Proses inkubasi ini analog dengan ayam yang mengerami telurnya sampai menetas menjadi anak ayam. Proses ini sering terjadi secara tidak Kedua, inkubasi-ketika seseorang memproses informasi yang telah dimiliki sedemikian rupa sehingga mengantarkan pada ditemukannya pemecahan masalah, jalan keluar atau solusi yang dicarinya. Proses inkubasi ini analog dengan ayam yang mengerami telurnya sampai menetas menjadi anak ayam. Proses ini sering terjadi secara tidak

Selain itu, proses inkubasi dapat berlangsung beberapa detik dan sampai bertahun-tahun. Biasanya ketika seorang penulis melalui proses inkubasi seakan-akan dia mengalami kebingungan dan tidak tahu apa yang akan, dan harus dilakukan. Oleh karena itu, sering seorang penulis yang tidak sabar akhirnya mengalami frustasi karena tidak menemukan jalan keluar atas masalah yang dipikirkannya, seakan-akan kita melupakan apa yang ada di dalam benak kita. Misalnya, kita pergi berjalan-jalan atau berekreasi dengan anggota keluarga melaksanakan kegiatan rutin atau pekerjaan lain, atau hanya duduk termanggu saja di kursi malas. Kendatipun demikian, sesungguhnya di bawah sadar kita sedang berlangsung proses pengeraman (inkubasi) yang menanti saatnya untuk segera “menetas” berupa gagasan yang siap dituliskan.

Ketiga, iluminasi adalah ketika datangnya inspirasi, yaitu gagasan datang seakan tiba-tiba dan berloncatan dari pikiran kita. Pada saat itu apa yang telah lama dipikirkan untuk menemukan pemecahan atau jalan keluarnya. Iluminasi tidak mengenal waktu dan tempat. Dia dapat datang ketika kita sedang duduk di kursi, mengendarai mobil, sedang berbelanja di pasar, sedang makan, sedang mandi, atau sedang salat sekalipun manakala pikiran kita sedang semrawut.

Proses iluminasi itu terjadi, sebaiknya gagasan yang muncul secara tiba-tiba dan amat dinantikan itu segera dicatat, jangan dibiarkan berlarut- larut, apalagi sampai hilang kembali, sebab peristiwa itu tidak berlangsung lama. Tentu saja untuk peristiwa atau kejadian tertentu, kita dapat menuliskannya setelah peristiwa atau kejadian itu selesai dikerjakan. Jangan ketika kita sedang mandi, lalu kita keluar mencari alat tulis hanya untuk menuliskan gagasan penting itu, atau ketika kita sedang salat, salat kita tidak khusuk atau batal. Agar gagasan tidak menguap begitu saja seorang penulis yang baik selalu menyediakan alat tulis (balpoin pensil dan kertas didekatnya) bahkan ke mana pun dia pergi selalu tersedia alat tulis yang siap mendampingi saat menuangkan gagasan ke dalam tulisan.

Keempat, perivikasi atau evaluasi, yaitu apa yang dituliskan sebagai hasil dari tahap iluminasi diperiksa kembali, diseleksi, dan disusun sesuai dengan fokus laporan atau tulisan yang diinginkan. Mungkin ada yang tidak perlu dituliskan, atau ada hal-hal yang perlu ditambahkan, dikembangkan, disempurnakan, dan lain-lain. Mungkin juga ada bagian yang mengandung hal-hal yang peka sehingga perlu dipilih kata-kata, istilah konsep, atau kalimat yang lebih sesuai tanpa menghilangkan esensi dari yang dikehendaki. Jadi, dalam tahap keempat ini, kita menguji dan menghadapkan apa yang ditulis sesuai atau tidak dengan realitas Keempat, perivikasi atau evaluasi, yaitu apa yang dituliskan sebagai hasil dari tahap iluminasi diperiksa kembali, diseleksi, dan disusun sesuai dengan fokus laporan atau tulisan yang diinginkan. Mungkin ada yang tidak perlu dituliskan, atau ada hal-hal yang perlu ditambahkan, dikembangkan, disempurnakan, dan lain-lain. Mungkin juga ada bagian yang mengandung hal-hal yang peka sehingga perlu dipilih kata-kata, istilah konsep, atau kalimat yang lebih sesuai tanpa menghilangkan esensi dari yang dikehendaki. Jadi, dalam tahap keempat ini, kita menguji dan menghadapkan apa yang ditulis sesuai atau tidak dengan realitas