Zakat Profesi

B. Zakat Profesi

Melihat jenis-jenis harta yang wajib dizakatkan, terkesan bahwa ajaran zakat turun pada masyarakat agraris (pertanian) dan masyarakat industri (perdagangan). Wajarlah jika harta yang dizakatkan itu mengacu pada hasil bumi dan hasil-hasil perdagangan. Namun sehubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang membawa perubahan-perubahan besar dalam kehidupan manusia, memunculkan kebutuhan manusia terhadap jasa.

Jadi yang diproduk manusia ternyata tidak hanya barang (materi) juga jasa, seperti jasa bantuan hukum yang diberikan para pengacara. Demikian juga para dokter, dosen, teknokrat yang juga bergerak dalam bidang pelayanan jasa dan dalam kenyataannya penghasilan dari profesi yang mereka jalankan jauh lebih besar dari penghasilan yang diperoleh para petani atau pedagang. Persoalannya adalah apakah mereka juga dikenakan kewajiban zakat ?

Yusuf Qardawi dalam karyanya yang terkenal Fiqih Zakat telah membicarakan persoalan zakat profesi ini. Menurutnya, pekerjaan yang Yusuf Qardawi dalam karyanya yang terkenal Fiqih Zakat telah membicarakan persoalan zakat profesi ini. Menurutnya, pekerjaan yang

Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini adalah penghasilan profesional seperti penghasilan seorang advokat, insinyur, dokter, akuntan dan sebagainya. Kedua, pekerjaan yang dilakukan seseorang buat orang lain atau pemerintah, baik melalui tangan atau otak yang atas pekerjaan itu ia

mendapatkan upah, gaji atau honorarium. 10 Yusuf Qardawi berkesimpulan tentang zakat profesi sebagai berikut :

Siapa yang memperoleh pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat yang sama dengan zakat petani tersebut, tanpa mempertimbangkan sama sekali modal dan persyaratan-persyaratannya. Berdasarkan hal itu maka seorang dokter, insinyur, advokat dan sebagainya wajib mengeluarkan zakat berdasarkan keumuman ayat al- Qur’an surah al-Baqarah ayat 267 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, keluarkanlah sebagian hasil usaha yang kalian peroleh”. 11

Qardawi melanjutkan, Islam tidak mungkin mewajibkan zakat atas petani yang memiliki lima faddam (1 faddam = ½ ha), sedangkan atas pemilik usaha yang memiliki penghasilan lima puluh faddam tidak dikenakan kewajiban zakat, atau tidak mewajibkan seorang dokter yang penghasilannya

9 Dawam Rahardjo, Islam Dan Trabsformasi Sosial Ekonomi, (Jakarta : LSAF, 1999), h.507-508.

10 Yusuf al-Qardhawi, op.cit,. h. 461

11 Ibid ., h. 481 11 Ibid ., h. 481

Persoalan yang tampaknya belum selesai adalah berapa besar zakat yang harus dikeluarkan dari sebuah profesi ?. Tampaknya para ulama setuju sampai pada angka 2,5 %. Ada yang menyebutnya 10 % - 20 % dengan menyamakannya dengan harta temuan (rikaz) yang zakatnya 10 % sampai 20

%. 13 Di Indonesia angka 2,5 % ini pernah dipersoalkan oleh Amin Rais

dengan mengatakan, ketika para ulama menetapkan angka 2,5 % , profesi modern seperti sekarang ini belumlah muncul. Hari ini cukup banyak profesi yang mendatangkan uang secara gampang dan melimpah seperti komisaris perusahaan, bankir, pialang, dokter spesialis, pemborong berbagai konstruksi, eksportir, importir, akuntan, notaris, bahkan artis dan berbagai penjual jasa, serta bermacam profesi white collar lainnya, Apakah bagi mereka wajar dikenakan zakat 2,5 %.

Yusuf Al-Qardhawi, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khallaf menetapkan zakat Profesi sebesar 2,5 % berdasarkan qiyas kepada zakat perdagangan yang nisabnya disesuaikan dengan nisab emas yaitu 94 gram emas. Selanjutnya Muhammad al-Ghazali mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian. Sehingga, menurutnya beban zakat setiap pendapatan sesuai dengan ukuran beban pekerjaan atau pengusahaannya, seperti ukuran

beban petani dalam mengairi sawahnya, yaitu 5 % atau 10 %. 14 Menurut Didin Hafidhuddin dalam bukunya Zakat dalam Perekonomian

Modern, zakat profesi itu dapat dianalogikan kepada dua hal sekaligus, yaitu

12 Ibid ., 13 Mashfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta : Haji Masagung, 1993), h. 223 12 Ibid ., 13 Mashfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta : Haji Masagung, 1993), h. 223

Dari sisi istinbat (penetapan) hukum Islam qiyas yang dilakukan para ulama tersebut seperti yang dikritik oleh Muhammad yang menulis buku Zakat Profesi Wacana Pemikiran dalam Fikih Kontemporer, menimbulkan kemusykilan-kemusykilan (kesulitan) tersendiri seperti masalah epistemologi hukum Islam yang belum kukuh (debatable). Sebagai contoh bagaimana mungkin mengqiyaskan zakat profesi dengan perdagangan yang haul dan nisab nya masih diperselisihkan. Kesulitan berikutnya adalah, hasil dari qiyas tersebut belum mampu menjawab cita keadilan hukum Islam. Terlepas apakah mengqiyaskannya dengan zakat pertanian, perdagangan, atau rikaz, yang jelas implikasinya adalah terjadi pembebanan baru terhadap orang-orang yang memiliki profesi, tetapi gajinya tidak mencukupi dan sekali lagi hal ini

bertentangan dengan cita keadilan Islam. 16 Sebagai contoh, jika qiyas zakat profesi berdasarkan zakat pertanian,

maka pegawai yang penghasilannya hanya Rp.250.000 dikenakan kewajiban zakat karena disamakan dengan hasil seorang petani. Argumentasinya, nisab zakat pertanian adalah 750 Kg beras. Untuk mengetahui jumlah gaji pegawai yang besarnya setara dengan zakat pertanian, maka zakat pertanian ini harus disesuaikan terlebih dahulu. Misalnya petani dalam setahun mengalami dua kali panen maka hasilnya, 750 Kg X Rp.2000 = Rp. 1.500.000.-. karena dua

14 Lihat, Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta : GIP Pers, 2002), h.96-97 15 Ibid., 16 Muhammad, Zakat Profesi Wacana Pemikiran dalam Fikih Kontemporer,(Jakarta : Salemba

Diniyyah, 2002), h. 64-65 Diniyyah, 2002), h. 64-65

Lebih musykil lagi jika diqiyaskan dengan harta temuan, maka setiap menerima gaji, pegawai tersebut wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 20 % dan ini merupakan angka yang cukup tinggi.

Berangkat dari kemusykilan-kemusykilan yang terjadi dalam penentuan kadar zakat profesi, maka perlu ditempuh jalan lain. Jalaluddin Rakhmat, menawarkan cara baru untuk menemukan landasan kewajiban zakat profesi dengan cara merujuk ayat-ayat al- Qur’an dan meninggalkan metode qiyas yang selama ini digunakan para ulama.

Menurutnya zakat profesi itu memiliki landasan dalil yang kuat seperti yang terdapat dalam al- Qur’an surat al-anfal ayat 41 yang berbicara tentang khumus (perlimaan) berkenaan dengan ghanimah (harta rampasan perang) yang dapat juga berarti keuntungan. Jika orang yang berperang pada jalan Allah dengan mengorbankan nyawa, harta dan keluarga sanggup mengeluarkan 20 % dari hasil rampasan perangnya, maka sejatinya kaum profesional yang dengan mudah mendapatkan uang, seharusnya juga mampu mengeluarkan jumlah sebesar itu karena penghasilan profesi juga dapat disebut dengan ghanimah . Jika demikian hasil ghanimah tersebut harus dikeluarkan khumus (perlimaan) atau 20 %. Jelaslah bahwa kadar zakat profesi itu sebesar 20 %

dengan berdasarkan dalil al- 18 Qur’an dan Hadis.

17 Ibid., 18 Ibid.,

Penting untuk ditegaskan secara sederhana ada dua jenis profesi, profesi yang penghasilannya cukup besar seperti profesi white collar yang telah disebut di muka dan mereka mendapatkannya dengan mudah dan profesi yang penghasilannya sekedar cukup, seperti guru, karyawan disebuah perusahaan dan lain-lain. yang dikenai zakat profesi adalah yang profesi yang pertama saja sedangkan yang kedua tidak.

Terlepas dari perdebatan epitemologis zakat profesi yang telah diungkapkan di muka, dengan berpijak pada cita keadilan sosial dan keadilan ekonomi seperti yang dinyatakan al- Qur’an maka perlu diperhatikan kembali panduan al- Qur’an mengenai harta yaitu seperti, harta kekayaan tidak boleh berputar pada sebagian orang saja (Q.S: al-Hasyar/ 59:7), Orang yang bertaqwa adalah orang yang menyadari bahwa dalam harta kekayaannya ada hak milik orang lain (Q.S: al-Zariyat /51:19).