Pengertian Riba

A. Pengertian Riba

Riba secara bahasa bermakna bertambah, dan tumbuh. Sedangkan menurut istilah riba yang dalam bahasa Inggris disebut dengan usury berarti

pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. 1 Kendati para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan riba, namun ada benang

merah yang menghubungkannya yaitu, pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli atau hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat Islam.

Ulama telah sepakat bahwa riba hukumya haram. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa ayat al- Qur’an dan hadis nabi Muhammad SAW. Diantaranya terdapat pada surah al-Baqarah /2; 278, 279 dan ali- Imran /3;130. sebenarnay dalam agama selain Islampun khususnya agama samawi riba tetap dilarang. Sampai abad ke-13, ketika kekuasaan gereja di Eropa masih dominan, riba dilarang oleh gereja dan hukum canon. Akan tetapi, pada akhir abad ke-13, pengaruh geraja ortodoks mulai melemah dan orangpun mulai berkompromi dengan riba. Bacon seorang tokoh saat itu menulis dalam buku, Discource on

Usury, “karena kebutuhannya, manusia harus meminjam uang dan pada dasarnya

1 Syafi`i Antonio, Perbankan Syari`ah , Wacana Ulama Dan Cendikiawan, (Jakarta: BI dan Tazkia Institut, 1999), h. 59. Lihat juga, Mu`amalat Institut, Perbankan Syari`ah : Perspektif Praktisi, (Jakarta

: MI, 1999), h. 8

Etika Bisnis Islam

manusia enggan hatinya untuk meminjamkan uang, kecuali dia akan menerima suatu manfaat dari pinjaman itu, maka bunga harus diperbolehkan. 2

Menarik untuk dicermati, pengharaman riba dalam al- Qur’an tidaklah berlangsung sekaligus melainkan bertahap. Ini mengisyaratkan betapa riba bagi masyarakat Arab seperti di Thaif, Mekah maupun di Madinah pada waktu itu sebagai kegiatan ekonomi yang telah berurat berakar dalam kehidupan sehari-hari.

Thabari mencatat bahwa pada saat jatuh tempo, pemberi utang biasanya memberi dua pilihan: melunasi seluruh pinjaman atau perpanjangan waktu dengan tambahan pembayaran. Seorang yang harus mengembalikan seekor unta betina berumur satu tahun bila meminta perpanjangan waktu pada saat jatuh temponya, harus membayar dengan unta betina dua tahun. Bila ia meminta masa perpanjangan kedua maka unta betina tiga tahun, dan

seterusnya. Begitu pula dengan emas atau perak. 3 Untuk melarang praktek riba diperlukan strategi khusus seperti

ditempuh al- Qur’an dengan menggunakan strategi pelarangan bertahap. Tahap pertama, al- Qur’an menolak anggapan bahwa pinjama riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan yang mendekatkan diri pada Allah. Ini dinyatakan Allah pada surah ar-rum: 39 yang artinya,” Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.

Tahap kedua, Allah melukiskan bahwa riba merupakan aktivitas bisnis yang buruk. Bagi yang melakukannya akan diberi balasan yang pedih.Dalam surah an- nisa’/4:160-161, Allah menyatakan ,”Maka disebabkan kezaliman orang

2 Adiwarman A.Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta : Rajawali Pers, 2001), h.72

Etika Bisnis Islam

Yahudi, kami haramkan atas mereka yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan pada mereka, dan mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka banyak memakan riba, pada hal mereka sesunggguhnya telah dilarang dari padanya dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka siksa yang pedih.

Tahap ketiga, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Pada saat itu (III H) pengambilan bunga dengan jumlah yang besar banyak dilakukan orang Arab. Akibatnya banyak yang terzalimi. Untuk itu Allah menegaskan dalam surah ali- Imran:/3: 130, “Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan”.

Tahap keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. 4 Pernyataan ini ditemukan pada surah

al-Baqarah/2:278- 279, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa dari berbagai jenis riba jika kamu orang-orang yang beriman. jika kamu tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat mengambil riba, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.

Adapun hadis nabi tentang larangan riba dapat ditemukan pada pesan terakhirnya pada tanggal 9 Zulhijjah tahun 10 H. Pada waktu itu nabi

menyatakan, “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan dia pasti akan menghitung amalmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) adalah hak kamu. Bahkan nabi

3 Ibid., h. 70 4 Syafi`I Antonio, op.cit, h.73-74

Etika Bisnis Islam

mengatakan bahwa dosa pemanfaatan riba sama dengan penyelewengan seksual sebanyak tiga puluh enam kali bagi mereka yang sudah menikah atau sama dosanya dengan bersetubuh dengan ibu kandung. Satu dosa yang cukup besar. Demikian Chafra mengomentari hadis Rasul tersebut. 5

Seperti yang telah disebut di muka, strategi larangan bertahap yang ditempuh al- Qur’an serta banyaknya hadis nabi yang melarang riba memberi kesan bahwa praktek riba merupakan aktivitas ekonomi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Arab masa itu. Ini disebabkan bahwa Mekah adalah kota dagang dan bukan kota agraris. Melihat tandusnya kota Mekah pada masa itu, bisa dipastikan bahwa kegiatan dagang orang Quraisy mengambil bentuk dagang agen dan bukan dagang hasil produksi. Memasuki abad VI M, kemajuan dagang kota Mekah semakin pesat. Akhirnya kota tersebut tidak saja sebagai pusat dagang melainkan telah menjelma menjadi pusat keuangan. Tidaklah mengherankan apabila pemuka-pemuka Mekah sudah mahir dalam memanipulasi kredit, pandai berspekulasi dan menguasai modal serta pandai memanfaatkan potensi investasi yang menguntungkan

dari orang Aden ke Gaza dan Damaskus. 6 Membaca latar belakang kehidupan Mekah saat itu, peraktek riba yang

mereka lakukan dapat dipahami. Formula riba yang dilakukan adalah, pinjam meminjam dengan satu perjanjian, peminjam bersedia mengembalikan jumlah pinjaman pada waktu yang telah disepakati berikut tambahannya. Pada saat jatuh tempo, si pemberi pinjaman (kreditor), meminta jumlah pinjaman yang

5 Umer Chafra, Al- Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, terj.Lukman Hakim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h.27

6 Muh.Zuhri, Riba Dalam Al- Qur’an Dan Masalah Perbankan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h. 25

Etika Bisnis Islam

dulu diberikan kepada peminjam (debitor). Jika debitor menyatakan belum sanggup membayar, kreditor memberi tenggang waktu dengan syarat, debitor bersedia membayar sejumlah tambahan di atas pinjaman pokok tadi.

Bisa diduga riba seperti ini menjadikan kaum lemah semakin lemah. Karena ketidakmampuan debitor mengembalikan jumlah pinjaman pada waktu yang telah ditentukan maka jumlah hutang mereka semakin bertambah. Pada akhirnya riba menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat saat itu.