Etika Islam
C. Etika Islam
Dalam Islam tidak ada main stream pemikiran tentang akhlak, seperti aliran lainnya. Islam juga mengenal sistem akhlak yang pernah berkembang dalam sejarah Islam. masalahnya menyangkut apakah ukuran baik dan buruk dalam Islam. Ada yang menyebut, baik dan buruk ditentukan oleh al- Qur‟an (Wahyu). Ada yang menyebut, akal harus diutamakan dari pada wahyu. Sebahagian lagi menyebut, akal harus dilengkapi dengan wahyu dalam merumuskan perbuatan baik dan buruk..
Seperti yang dikatakan M. Quraish Shihab, tolak ukur perbuatan baik dan buruk mestilah merujuk pada ketentuan Allah
seperti yang terdapat dalam al- 17 Qur‟an. Namun untuk memahaminya peran akal tidak dapat diabaikan. Dengan kata
lain, akal memiliki peran yang sangat penting dalam merumuskan perbuatan baik dan buruk dengan tetap mengacu pada petunjuk al- Qur‟an seperti keadilan, persamaan, kebahagiaan dunia akhirat, jasmani, rohani dan kemaslahatan.
Paling tidak menurut Haidar Bagir ciri-ciri etika Islam tersebut adalah, Pertama, Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat fitri. Artinya, semua manusia pada hakikatnya-baik itu muslim maupun non muslim- memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk.
17 M.Quraish Shihab, Wawasan al- Qur’an (Bandung: Mizan, 1997),h.
Kedua, Moralitas dalam Islam didasarkan pada keadilan, yakni menempatkan sesuatu pada porsinya. Ketiga, Tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya.
Keempat, Tindakan etis itu bersifat rasional. 18 Berangkat dari prinsip etika Islam tersebut dapatlah
dijelaskan aksioma etik Islam seperti yang dirumuskan oleh Rafiq Issa pada tabel di bawah ini. 19
Tabel –2 AKSIOMA ETIKA ISLAM
Aksioma Unitas Berkaitan dengan konsep tauhid. Bentuk keseluruhan homogen dari segenap aspek kehidupan manusia: sosial , politik, ekonomi, agama, dsb. Kesatuan ini bersifat konsisten dan terpadu dengan alam semesta.
Equilibrium Berkaitan dengan konsep adil. Merupakan suasana keseimbangan di antara pelbagai aspek
a kehidupan manusia (sosial, politik, ekonomi, agama, dsb), Yang membentuk tatanan sosial
Kehendak
yang harmonis.
Bebas
18 Haidar Bagir, op.cit.,h.19-20 19 Choirul Fuad Yusuf, op.cit, h. 15
Kemampuan manusia untuk bertindak tanpa paksaan dari luar sesuai dengan parameter ciptaan Allah SWT serta posisinya sebagai
Tanggungjawab khalifatullah di muka bumi.
Kebutuhan manusia untuk bertanggungjawab Ihsan
atau mempertanggungjawabkan atas tindakan yang dilakukannya.
Ihsan (benevolence) merupakan suatu tindakan yang menguntungkan oranmg lain.
D. Norma , Konflik Norma Dan Dekadensi Moral. Norma adalah tata aturan yang kalau diikuti akan membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi “normal”. Sebaliknya yang melanggarnya dianggap “abnormal”. Setiap orang cenderung untuk mengikuti norma yang ingin terlihat normal. Norma yang terdapat dalam suatu masyarakat itu juga ada bermacam-macam sesuai dengan struktur masyarakatnya. Secara horizontal, norma suku Batak dapat dibedakan dalam banyak hal dari norma suku Melayu. Secara vertikal, misalnya, kalangan elit memiliki norma berbeda dari masyarakat awam. Hal ini kentara sekali pada masyarakat yang tertutup (closed society). Sedangkan pada D. Norma , Konflik Norma Dan Dekadensi Moral. Norma adalah tata aturan yang kalau diikuti akan membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi “normal”. Sebaliknya yang melanggarnya dianggap “abnormal”. Setiap orang cenderung untuk mengikuti norma yang ingin terlihat normal. Norma yang terdapat dalam suatu masyarakat itu juga ada bermacam-macam sesuai dengan struktur masyarakatnya. Secara horizontal, norma suku Batak dapat dibedakan dalam banyak hal dari norma suku Melayu. Secara vertikal, misalnya, kalangan elit memiliki norma berbeda dari masyarakat awam. Hal ini kentara sekali pada masyarakat yang tertutup (closed society). Sedangkan pada
Dalam kehidupan sosial dapat dibedakan empat jenis norma. Yang paling umum adalah norma adat-tradisi yang timbul dari kebiasaan yang turun temurun. Yang paling kuat sanksi keberlakuannya karena „dipaksakan‟ oleh negara adalah norma hukum, yang dalam negara kita yang mengikuti civil law system tertuang dalam perundang-undangan (legal statuates). Yang paling mendalam nilainya, karena terkait dengan sakral, adalah norma agama. Meskipun tidak memiliki sanksi langsung, tetapi norma susila – apa yang dianggap baik oleh hati nurani pribadi perorangan- juga sangat menentukan pilihan banyak orang dalam bertingkah laku dan dalam menilai tingkah laku orang lain. Yang terakhir inilah yang juga dikenal dengan budi pekerti.
Meskipun biasanya dipilih untuk kepentingan analisis dan diagnosa, tetapi pada kenyataan kehidupan sehari-hari, keempat jenis norma ini saling tumpang tindih, berjalin berkelindan, dan bahkan sering menimbulkan mutasi, integrasi maupun asimilasi. Contohnya, banyak norma adat atau agama, yang kemudian diresmikan sebagai norma hukum suatu negara atau peraturan suatu daerah (perda). Norma hukum harus pakai helm dikecualikan, secara aformal maupun informal, bagi mereka orang muslim berpeci ketika pergi jum‟atan, atau orang India yang tradisinya mengharuskan ia memakai turban.
Jika keempat jenis norma di atas sama dan sejajar, maka bertambah kuatlah keberlakuan dan ketaatan masyarakat untuk mengikutinya atau memberikan sanksi kepada mereka yang melanggarnya. Jika madat dilarang oleh norma hukum, diharamkan oleh norma agama, dibenci oleh norma susila serta dinistakan oleh norma adat, maka bertambah kuatlah pengakuan dan kepatuhan masyarakat untuk menjauhi madat tersebut.
Dalam konteks bisnis, konflik norma ini juga kerap terjadi. Di satu sisi agama melarang praktek bisnis curang, namun tradisi yang berkembang menuntut kelihaian seseorang untuk melihat peluang yang ada, terlepas apakah merugikan orang lain. Ini pulalah yang dikeluhkan oleh Rosita Nor yang menulis buku Menggugah Etika Bisnis Orde Baru. Rosita Noer menggambarkan dengan sangat gamblang bagaimana PT.Indofood Sukses makmur (ISM), salah satu anak perusahan grup Salim yang memproduksi mie instan bermerek Sarimi menghambat dan membatasi gerak Sanmaru dan Supermi Indonesia dengan jalan mengganggu pasokan bahan baku utama, tepung terigu dan produksi pabrik
gandum yang nota bene juga dimiliki oleh kelompok Salim. 20 Contoh lain menyangkut konflik yang terjadi antara norma
adat, agama dan tradisi bisnis yang berkembang terjadi pada kasus perkayuan. Baik norma adat dan norma agama mengajarkan bahwa hutan dengan segala isinya diperuntukkan untuk kesejahteraan manusia namun pengelolaan dan pemanfaatannya
20 Rosita Noer, Menggugah Etika Bisnis Orde Barub, (Jakarta: Sinar harapan, 1998), h. 63 20 Rosita Noer, Menggugah Etika Bisnis Orde Barub, (Jakarta: Sinar harapan, 1998), h. 63
Namun seringkali ini tidak disadari oleh pelaku bisnis. Diakui kekayaan hutan memang menjanjikan keuntungan yang tidak bisa dikatakan kecil bagi pengusaha. Apalagi permintaan pasar kayu, baik nasional maupun dunia semakin lama semakin meningkat. Pilihan-pilihan antara memelihara kelestarian hutan dan rangsangan keuntungan yang cukup besar menjadi konflik tersendiri bagi pelaku bisnis. Sayangnya pilihan dijatuhkan untuk meraih keuntungan yang besar walaupun resiko kerugian yang dihadapi –seringkali yang merasakan akibatnya bukan pelaku tetapi rakyat kecil- jauh lebih besar.
Konflik norma membuat tingkah laku pelaku bisnis menjadi bertentangan dari yang diharapkan. Tidaklah mengherankan jika berkembang satu ungkapan, menjunjung etika dalam kegiatan
bisnis akan menghambat tujuan kegiatan bisnis itu sendiri. 21 Dalam kondisi yang seperti itu, pelaku bisnis bisa memilih salah
satu dari norma-norma yang bertentangan itu. Ini berarti mematuhi yang satu dan melanggar yang lain. Atau tidak mematuhi kedua-duanya sama sekali dan beralih kenorma lain.
Dalam memilih mana yang dipatuhi dan mana yang akan dilanggar, banyak faktor yang menentukan.Faktor sanksi salah satu yang paling berpengaruh.
Meskipun seseorang mungkin saja telah mengetahui dan mengakui norma yang benar dan berlaku, tetapi mengapa ia masih saja melanggarnya ? Para pakar telah banyak mengkajinya. Jawabannya sangat beragam. Ada yang mengatakan bahwa, jahat itu masalah tabi‟at yang terdapat dalam kepribadian manusia. Lebih umum adalah pendapat yang mengatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia ingin mematuhi norma, ingin hidup „normal‟, jika tidak maka ia pasti dijangkiti „pathos’ atau penyakit. Penyakit yang meluas, disebut pathologi sosial. Namun disebabkan faktor-faktor tertentu, manusia tersebut berani melanggar norma-norma tersebut.
Konflik norma lebih dipersulit dengan adanya kenyataaan bahwa sebenarnya kehidupan manusia, baik secara individual maupun sosial, tidak ada yang statis. Normapun terus mengalami perubahan. Biasanya lamban, tetapi terkadang cepat. Masyarakat akan mengalami transisi, yang bisa membuat warga bingung atau ekstrim, ketika norma lama sudah goyah dan tak menarik, sedangkan norma baru belum kokoh dan dikenal. Jika keadaaan makin memburuk, malah bisa menimbulkan situasi anomie. Ketika tidak ada norma-norma yang jelas mengatur dan dipatuhi oleh masyarakat, maka setiap orang akan semaunya bertindak.
21 Ibid ., h.11
Akhirnya masyarakat menjadi chaos dan hukum rimbalah yang berkuasa.
Menurut Rosita Noer, pelaku bisnis sering kali mengalami cultural shock .Mereka melihat dan merasakan pergeseran kehidupan bisnis yang sudah tidak lagi menempatkan etika dalam posisi yang semestinya.Pada sisi lain mereka juga sedang mencari- cari sistem nilai yang “pas” (tanpa kehilangan rasa kepantasan hati nurani mereka dalam beraktivitas).Akhirnya muncullah sikap ambivalen. Disatu sisi pelaku bisnis bahkan beberapa organisasi bisnis ingin menegaskan dirinya sebagai pembawa peradaban bisnis (bussines civilization initiator), tetapi pada sisi lain mereka cenderung untuk melakukan pembenaran terhadap cara-cara
bisnis yang melanggar etika. 22 Pada situasi seperti inilah dibutuhkan satu norma yang jelas,
tegas, meyakinkan, sekaligus menyejukkan. Inilah yang ditawarkan oleh agama. Hidayah, Tuhan dan panduan agama memberikan wawasan, arah, makna dan malah kaedah tingkah laku dalam situasi konflik dan kondisi anomi tersebut. Mereka yang tidak beragama, atau tidak memperdulikan nilai-nilai relegius, biasanya lebih mudah mengalami stress, bingung, frustasi atau malah melakukan tindakan konfensatif atau memilih alternatif yang salah dan membahayakan, bukan saja bagi orang lain, tetapi bahkan terhadap dirinya sendiri.
Meskipun peran dan fungsi agama bagi kehidupan manusia sangat bervariasi, dari satu zaman kezaman berikutnya, secara umum semua agama berperan sebagai pemberi makna mendalam (sublime values) dan pembentuk identitas penganutnya. Di samping itu agama berfungsi, dalam kadar yang berbeda, sebagai pembentuk solidaritas, pengarah keyakinan dan pengatur tingkah laku penganutnya.
Berbagai hasil penelitian telah mengkonfirmasikan bahwa berbagai upaya penanggulangan problema sosial lebih berhasil jika didukung oleh semua perangkat norma, terutama norma agama. Pentingnya norma agama ini terlebih lagi bagi masyarakat yang relegius, seperti halnya Indonesia. Meskipun begitu diberbagai masyarakat modern, peran agama banyak, diambil-alih oleh perangkat sumber nilai dan acuan lain, terutama iptek. Paling tidak peranan agama dikucilkan pada masalah-masalah yang bersifat spritual dan hubungan vertikal kepada Tuhan semata. Sikap ambivalensi dan mendua terhadap norma agama juga sangat mewarnai masyarakat modern. Disatu sisi mereka ingin mendapat berkah Tuhan, tetapi disisi lain tidak mau tunduk pada petunjuk Tuhan, atau setidak-tidaknya ia memilah-milah Hidayah Tuhan, ada yang diikuti dan lebih banyak ditinggalkan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan formulasi norma-norma tersebut dan memberikan tekanan yang lebih pada norma agama, karena ia memiliki sumber yang absolut Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan formulasi norma-norma tersebut dan memberikan tekanan yang lebih pada norma agama, karena ia memiliki sumber yang absolut